Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan Inayahnya sehingga
saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah mengenai sinusitis.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kenaikan pangkat dan
golongan kepegawaian di RSUD Cilegon
Demikian yang dapat saya sampaikan mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca dan khususnya tim penilai.
Penyusun
(.......................................)
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................i
BAB 1.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
BAB II............................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................3
1. Anatomi Hidung...........................................................................................3
B. Sinusitis..........................................................................................................12
2. Etiologi4......................................................................................................13
3. Epidemiologi...............................................................................................13
4. Patofisiologi................................................................................................14
5. Manifestasi Klinis.......................................................................................15
6. Kriteria Diagnosis1,2,12,14..............................................................................17
7. Penatalaksanaan..........................................................................................20
8. Komplikasi..................................................................................................22
BAB III.........................................................................................................................24
PENUTUP....................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................25
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1) Latar Belakang
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia .. Data
dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada
urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan
di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan
oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data
penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-
Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435
pasien, 69% nya adalah sinusitis.1,2
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering
juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering
ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat
mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter umum atau
dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan
metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini.2,3
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri.
Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinusetmoid dan maksila. Yang
berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya keorbita dan intrakranial. Komplikasi ini
terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tak dapat dihindari.1
Polip hidung merupakan massa edematous yang lunak berwarna putih atau keabu-
abuan yang terdapat di dalam rongga hidung dan berasal dari pembengkakan mukosa hidung
atau sinus. Etiologi dan patogenesis dari polip nasi belum diketahui secara pasti. Sampai saat
ini, polip nasi masih banyak menimbulkan perbedaan pendapat.6
Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,2% di
Finlandia. Di Amerika Serikat prevalensi polip nasi diperkirakan antara 1-4%. Pada anak-
anak sangat jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos
di Denmark memperkirakan insidensi polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun. Di
1
Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3:1
dengan prevalensi 0,2%-4,3%. Polip hidung dapat timbul pada semua umur tetapi umumnya
terjadi pada penderita dewasa muda dengan rentang usia 30-60 tahun.4
Polip hidung merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan
sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan. Etiologi
polip terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu pada proses alergi,
sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya sinusitis. Pada anamnesis pasien,
didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya riwayat rinitis alergi, keluhan sakit
kepala daerah frontal atau sekitar mata, adanya sekret hidung. Bila menyumbat ostium sinus
paranasalis mengakibatkan terjadinya sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan hidung
berair. Penegakan diagnosis polip nasi dapat didapatkan dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan dapat secara medikamentosa,
non medikamentosa, maupun operatif.4,5
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dasar hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Atap
hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan tulang-tulang os nasale, os
frontale lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os sphenoidale. Dinding medial rongga
hidung adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas kartilago septi nasi, lamina
perpendikularis os etmoidale, dan os vomer. Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi
disempurnakan oleh kulit, jaringan subkutis, dan kartilago alaris major.7
Dinding lateral
3
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat prosesus
frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta konka, dan di posterior
terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina pterigoides medial. Bagian
terpending pada dinding lateral adalah empat buah konka. Konka terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior kemudian konka yang lebih kecil adalah konka media, konka
superior dan yang paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan
mengalami rudimenter.7
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior.
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan
massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus sfenoetmoidal terletak di
posterosuperior konka superior dan di depan konka os spenoid. Resesus sfenoetmoidal
merupakan tempat bermuaranya sinus sfenoid. Meatus media merupakan salah satu celah
yang di dalamnya terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus
etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding
lateralnya terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai infundibulum. Muara
atau fisura berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum
dinamakan hiatus semilunaris.7
4
Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum,
premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista
maksila, krista palatina dan krista sfenoid.7
5
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V1).
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui
ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris
juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.
Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka
media.Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah
sepertiga atas hidung.4,7
6
proses dihancurkan) selanjutnya oleh pergerakan silia akan di dorong dengan gerakan ritmis
menuju ostium dengan pola tertentu.9
Patensi ostium sangat diperlukan agar berbagai bahan yang dapat menyebabkan iritasi
serta perubahan histopatologik mukosa dapat dialirkan keluar sinus. Oleh gerakan silia,
mucous blanket yang ada di setiap sinus akan dialirkan seluruhnya keluar ostium (klirens
mukosilier) dalam waktu 20-30 menit. Mukus yang berasal dari sinus frontal, maksila dan
etmoidalis anterior selanjutnya akan menuju kompleks ostiomeatal di meatus medius.
Sedangkan mukus dari sinus etmoidalis losterior dan sfenoid akan mengalir menuju meatus
superior melalui resesus sfenoetmoidalis. Transport mukus selanjutnya menuju nasofaring
dengan mengelilingi tuba eustachius.4,9
Sinus frontalis berada pada os frontalis, dipisahkan oleh septum tulang. Masing-
masing sinus berbentuk segitiga (triangular), memanjang sampai batas atas ujung medial alis
dan kebelakang hingga bagian medial atap orbita. Sinus frontalis bermuara pada meatus
media melalui infundibulum nasi. Sinus sfenoid berada pada os sfenoid. Sinus ini bermuara
pada resesus sfenoetmoidal diatas konka superior.Sinus etmoid berada pada anterior, media
dan posterior os etmoid, antara hidung dan orbita. Sinus etmoid anterior bermuara pada
infundibulum, sinus etmoid media bermuara pada meatus media, di atas bula etmoidalis, dan
sinus etmoid posterior bermuara pada meatus superior.9
Sinus Maksila
7
terletak pada regio maksilaris dibelakang kulit pipi. Atap sinus terbentuk dari dasar orbita dan
dasar sinus berhubungan dengan akar premolar dan molar. Sinus ini bermuara pada meatus
media melalui hiatus semilunaris. Dinding anterior terbentuk dari bagian fasialis maksila,
dinding posterior membatasi fosa infratemporal, dinding medial terbentuk dari dinding lateral
kavum nasal, dasar sinus yaitu prosesus alveolar dan dasar orbita sebagai dinding superior.
Pada 2% kasus, akar gigi molar pertama dan kedua dapat masuk kedalam sinus maksila.
Ostium sinus ini terbuka pada bagian superior dinding medial untuk drainase sinus menuju
infundibulum etmoid. Ostium sinus maksila aksesorius ditemukan 15% sampai 40% orang,
kebanyakan umumnya di bagian superior dan posterior prosesus unsinatus diatas insersi
konka inferior. 9
Sinus Frontal
Sinus frontal mempunyai variabilitas tinggi dalam perkembangan, jumlah dan ukuran.
Bagian dari sinus ini yang meluas ke meatus medius membentuk penonjolan, disebut resesus
frontalis. Sinus frontal terbagi oleh septa tak beraturan dan memiliki batas tulang yang juga
tak beraturan. Pada dinding posterior dan inferior sinus ini berbatasan dengan anyaman
pembuluh vena besar yang menuju otak dan orbita. Sekret yang berasal dari sinus frontalis
mengalir ke dalam resesus frontalis melalui ostium nasofrontalis. Dari resesus frontalis,
sekret langsung menuju meatus medius, atau tidak langsung melalui aspek superior
infundibulum dan hiatus semilunaris.9
Sinus Etmoid
Sinus etmoid merupakan struktur sentral hidung dengan anatomi yang kompleks.
Bagian lateral sinus etmoid membentuk dinding medial orbita, sfenoid membentuk bagian
posterior wajah sedangkan permukaan superior dibentuk oleh dasar tengkorak fosa kranial
anterior dan beberapa struktur dinding lateral nasal, yang berasal dari lamela basalis, meluas
secara posteroinferior dari dasar tengkorak. Dinding lateral sinus etmoid, atau lamina
papirasea, membentuk dinding medial orbita. Lempeng vertikal pada bagian tengah tulang
etmoid dibentuk dari bagian superior fosa kranial anterior yang dinamakan krista gali dan
bagian inferior kavum nasi yang dinamakan lempeng perpendikular tulang etmoid, yang akan
membentuk septum nasal. Fosa kranial anterior terpisah dari sel etmoid pada bagian superior
oleh lempeng horizontal tulang etmoid, yang terdiri dari lamina kribiformis medial yang tipis
dan yang lebih tebal pada lateral atap etmoid. Atap etmoid berartikulasi dengan lamina
8
kribiformis pada lamela lateral lamina kribiformis, yang merupakan tulang paling tipis pada
semua dasar tengkorak. Panjang lamela lateral tergantung dari posisi lamina kribiformis
dengan atap etmoid. Sinus etmoid dipisahkan oleh lima sekat bertulang atau lamela. Kelima
lamela ini, dari anterior ke posterior, yaitu prosesus unsinatus, bula etmoid, lamela basalis,
konka superior, konka suprema.
Dasar lamela merupakan batas yang memisahkan sinus etmoid anterior dan posterior.
Bagian inferior dasar lamela menghubungkan konka media ke dinding nasal lateral pada
bidang aksial dan berfungsi dalam stabilisasi konka saat operasi sinus endoskopi. Sel etmoid
posterior umumnya lebih besar dan memiliki pneumatisasi secara lateral dan superior ke
sinus sfenoid. Lamela sinus etmoid dipisahkan oleh empat buat resesus yaitu resesus frontal
yang merupakan drainase sinus frontalis, infundibulum pada bagian lateral prosesus
unsinatus, sinus lateralis dan resesus sfenoetmoidalis pada bagian posterior meatus superior
yang merupakan drainase sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Lamina basalis konka
media membagi sinus etmoid menjadi kompleks etmoidalis anterior dan posterior. Kompleks
etmoidalis anterior terdiri atas selule dan celah yang membuka dan mengalirkan sekret kearah
anterior dan inferior menuju lamela basalis. Bula etmoidalis merupakan sel etmoidalis yang
terletak paling anterior dan berlokasi di dalam lamina papirasea orbita. Kompleks etmoidalis
posterior terdiri atas selulule dan celah yang mengalirkan sekret mukosa kearah posterior dan
medial menuju lamela dari konka media, selanjutnya ke dasar tengkorak, dan dinding medial
orbita.9
Sinus Sfenoid
Sinus ini terletak paling posterior dari sinus paranasal lainnya. Pada dinding lateral
sinus berbatasan dengan beberapa struktur penting seperti sinus kavernosus, arteri karotis
interna, nervus kranialis I, III, IV, V dan VI. Ostium sinus sfenoid membuka ke resesus
sfenoetmoid. Penelitian pada ostium sinus sfenoid mengidentifikasi ujung posteroinferior
konka superior yang merupakan bagian paling baik dalam identifikasi ostium sinus sfenoid.
Pada kebanyakan kasus, ujung posteroinferior konka superior berada pada bidang horizontal
yang sama dengan dasar sinus sfenoid. Ostium berada pada bagian medial konka superior
pada 83% kasus dan di lateral pada 17% kasus. Septum sfenoid biasanya mengalami deviasi
ke arah posterior dari garis tengah, membagi sinus menjadi dua bagian asimetris dan dapat
masuk ke dalam penonjolan tulang yang melapisi nervus optikus atau arteri karotis.9
9
Gambar 6. Sinus Paranasal
Prosesus unsinatus adalah penonjolan tulang mirip bukit pada dinding meatus medius
yang letaknya anterior dari bula etmoidalis. Infundibulum merupakan ruang berbentuk
corong antara bula etmoidalis dan prosesus unsinatus, pada akhirnya menerima aliran sekret
dari sinus frontalis dan maksilaris. Hiatus semilunaris merupakan cekungan berbentuk sabit
dengan panjang sekitar 2 cm dan kedalaman 3-4 mm, terletak diantara bula etmoidalis dan
prosesus unsinatus. Sekret yang berada di hiatus semilunaris berasal dari infundibulum,
selanjutnya menuju meatus medius dan kemudian ke dalam hidung. 4,9.
10
Gambar 7. Kompleks Ostiomeatal
Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal.
Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena
terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Namun ada beberapa pendapat yang
dicetuskan mengenail fungsi sinus paranasal yakni :9,10
11
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.Lagipula tidak ada korelasi
antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah
11)Sinusitis
1. Definisi dan Klasifikasi
Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi
virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang
ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis). Sinusitis bisa bersifat akut
(berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu
tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis. Dari semua jenis sinusitis, yang paling sering ditemukan adalah sinusitis
maksilaris dan sinusitis ethmoidalis.
12
penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza, Steptococcus
viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhatis2,10
2) Etiologi4
Berbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan kontribusi dalam
terjadinya obstruksi akut ostia sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh silia, yang
akhirnya menyebabkan sinusitis. Penyebab nonifeksius antara lain adalah rinitis alergika,
barotrauma, atau iritan kimia. Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell
carcinoma), dan juga penyakit granulomatus (Wegener’s granulomatosis atau rhinoskleroma)
juga dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan konsisi yang menyebabkan
perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis kistik) dapat menyebabkan sinusitis dengan
mengganggu pengeluaran mukus.4
Di rumah sakit, penggunaan pipa nasotrakeal adalah faktor resiko mayor untuk infeksi
nosokomial di unit perawatan intensif. Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan berbagai
organisme, termasuk virus, bakteri, dan jamur. Virus yang sering ditemukan adalah
rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus influenza. Bakteri yang sering menyebabkan
sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan moraxella
catarralis. Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan sebagai penyebab sinusitis maksilaris,
terkait dengan infeksi pada gigi premolar. Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai
penyebab sinusitis pada pasien dengan gangguan sistem imun, yang menunjukkan infeksi
invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain adalah dari
spesies Rhizopus, rhizomucor,Mucor, Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan Fusarium.4
3) Epidemiologi
Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia, terutama di tempat
dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan konsentrasi pollen yang tinggi
terkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dari sinusitis. Sinusitis maksilaris adalah sinusitis
dengan insiden yang terbesar. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa
penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama
atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Di Amerika Serikat, lebih dari 30
juta orang menderita sinusitis. Virus adalah penyebab sinusitis akut yang paling umum
ditemukan. Namun, sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan
pemberian antibiotik. Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan medis
13
sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika
Serikat.2,4
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering
juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering
ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat
mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat.10.
4) Patofisiologi
Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi bila klirens silier
sekret sinus berkurang atau ostia sinus menjadi tersumbat, yang menyebabkan retensi sekret,
tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan parsial oksigen. Lingkungan ini cocok untuk
pertumbuhan organisme patogen. Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur
pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis.10
Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu obstruksi
drainase sinus (sinus ostia), kerusakan pada silia, dan kuantitas dan kualitas mukosa.
Sebagian besar episode sinusitis disebabkan oleh infeksi virus. Virus tersebut sebagian besar
menginfeksi saluran pernapasan atas seperti rhinovirus, influenza A dan B, parainfluenza,
respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus. Sekitar 90 % pasien yang mengalami
ISPA akan memberikan bukti gambaran radiologis yang melibatkan sinus paranasal. Infeksi
virus akan menyebabkan terjadinya oedem pada dinding hidung dan sinus sehingga
menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium sinus, dan berpengaruh
pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu inflamasi, polyps, tumor, trauma, scar,
anatomic varian, dan nasal instrumentation juga menyebabkan menurunya patensi sinus
ostia.10,11
Virus yang menginfeksi tersebut dapat memproduksi enzim dan neuraminidase yang
mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia. Hal ini
menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret yang diproduksi sinus menjadi lebih
kental, yang merupakan media yang sangat baik untuk berkembangnya bakteri patogen. Silia
yang kurang aktif fungsinya tersebut terganggu oleh terjadinya akumulasi cairan pada sinus.
Terganggunya fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kehilangan
lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran udara yang cepat, virus, bakteri, environmental
ciliotoxins, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan mukosa, parut, primary cilliary
dyskinesia (Kartagener syndrome).12
14
Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan kemungkinan
terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi oksigen oleh bakteri akan
menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus dan akan memberikan media yang
menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob. Penurunan jumlah oksigen juga akan
mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas leukosit. Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh
fungsi lapisan mukosilia yang tidak adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu,
dan terdapatnya beberapa bakteri patogen.10,13
Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi pre molar
dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis seperti infeksi yang berasal
dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus. Sinusitis
maksila diawali dengan sumbatan ostium sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga
hidung. Proses inflamasi ini akan menyebabkan gangguan aerasi dan drainase sinus.
Keterlibatan antrum unilateral seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan gigi sebagai
penyebab. Bila hal ini terjadi maka organisme yang bertanggung jawab kemungkinan adalah
jenis gram negatif yang merupakan organisme yang lebih banyak didapatkan pada infeksi
gigi daripada bakteri gram positif yang merupakan bakteri khas pada sinus.12,13
Penyakit gigi seperti abses apikal, atau periodontal dapat menimbulkan gambaran
radiologi yang didominasi oleh bakteri gram negatif, karenanya menimbulkan bau busuk.
Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental akan memperberat atau mengganggu
drainase terlebih bila meatus medius tertutup oleh oedem atau pus atau kelainan anatomi lain
seperti deviasi, dan hipertropi konka. Akar gigi premolar kedua dan molar pertama
berhubungan dekat dengan lantai dari sinus maksila dan pada sebagian individu berhubungan
langsung dengan mukosa sinus maksila. Sehingga penyebaran bakteri langsung dari akar gigi
ke sinus dapat terjadi.10
5) Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis sinusitis sangat bervariasi. Keluhan utama yang paling sering
ditemukan adalah tidak spesifik, dan dapat berupa sekret nasal purulen, kongesti nasal, rasa
tertekan pada wajah, nyeri gigi, nyeri telinga, demam, nyeri kepala, batuk, rasa lelah,
halitosis, atau berkurangnya penciuman. Gejala seperti ini sulit dibedakan dengan infeksi
saluran nafas atas karena virus, sehingga durasi gejala menjadi penting dalam diagnosis.
Pasien dengan gejala diatas selama lebih dari 7 hari mengarahkan diagnosis ke arah
sinusitis.10
15
Sinusitis maksilaris akut biasanya menyusul infeksi saluran napas atas yang ringan.
Alergi hidung kronik, benda asing, dan deviasi septum nasi merupakan faktor-faktor
predisposisi lokal yang paling sering ditemukan. Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa
demam, malaise, dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian
analgetik biasa seperti aspirin.11,12
Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke
alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga. Wajah terasa
bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik
atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri
pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau
busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada.10,11
16
6) Kriteria Diagnosis1,2,12,14
a. Sinusitis Akut2,12,14
2) Anamnesis
Gejala mayor Gejala minor
Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik
ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang
kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung
tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita dan kadang-kadang menyebar ke alveolus,
sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga.
Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan.
Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila
peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.
3) Pemeriksaan Fisik
Pada Inspeksi yang diperhatikan adalah ada tidaknya pembengkakan pada
muka, pipi sampai kelopak mata atas/bawah yang berwarna kemerahan. Pada palpasi
dapat sinus paranasal ditemukan nyeri tekan dan tenderness.
17
Rhinoskopi anterior dengan atau tanpa dekongestan. Untuk menilai status dari
mukosa hidung dan ada tidaknya,warna cairan yang keluar. Kelainan anatomis juga
dapat dinilai dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan transiluminasi pada sinus maksila
dan frontal dapat menunjukkan adanya gambaran gelap total, apabila hanya sebagian
dinyatakan tidak spesifik.1
Gambar 9 dan 10. Pus pada meatus medius dan pembengkakan pipi
4) Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Transluminasi bermakna bila salah satu sinus yang sakit, sehingga tampak lebih
suram dibandingkan dengan sisi yang normal.
5) Sinusitis Kronis
1) Anamnesis
Keluhan umum yang membawa pasien sinusitis kronis untuk berobat biasanya
adalah kongesti atau obstruksi hidung. Keluhan biasanya diikuti dengan malaise, nyeri
18
kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip) , gangguan
penciuman dan pengecapan.
2) Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus
medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke
tenggorok.
3) Pemeriksaan Penunjang
Transluminasi dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan sinus
frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan
transluminasi tampak gelap didaerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh
pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum. Bila
terdapat kista yang besar didalam sinus maksila, akan tampak terang pada
pemeriksaan transluminasi.
19
Stage I : Satu fokus penyakit
Stage II : Penyakit noncontiguous melalui labirin ethmoid
Stage III : Difuse yang responsif terhadap pengobatan
Stage IV : Difuse yang tidak responsif dengan pengobatan.
4) Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:1
Mempercepat penyembuhan
Mencegah komplikasi
Mencegah perubahan menjadi kronik.
Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa) dan
pembedahan (operasi).Penatalakanaan yang dapat diberikan pada pasien sinusitis
akut, yaitu:
Pada kasus sinusitis kronis, antibiotik diberikan selama 4-6 minggu sebelum
diputuskan untuk pembedahan. Dosis amoksisilin dapat ditingkatkan sampai 90
mg/kgbb/hari. Pada pasien dengan gejala berat atau dicurigai adanya komplikasi
diberikan antibiotik secara intravena. Sefotaksim atau seftriakson dengan klindamisin
dapat diberikan pada Streptococcus pneumoniae yang resisten.1,2
20
Terapi tambahan: Terapi tambahan meliputi pemberian antihistamin,
dekongestan, dan steroid.
21
5) Komplikasi
a. Komplikasi Orbita
Sinus etmoidalis merupakan penyebab komplikasi tersering pada daerah
orbita. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoiditis akut, namun
sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat pula
menimbulkan infeksi isi orbita. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis, dan
perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul dari kelainan ini adalah edema palpebra,
selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi
trombosis sinus kavernosus.15.16
2) Komplikasi Intrakranial
Kelainan dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak,
dan trombosis sinus kavernosus.Meningitis akut disebabkan infeksi dari sinus
paranasalis yang menyebar sepanjang vena atau langsung dari sinus yang berdekatan,
seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribiformis di dekat
sistem sel udara etmoidalis.15,16
Abses dura adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium;
seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat sehingga
mungkin pasien hanya mengeluh nyeri kepala, dan sebelum pus yang terkumpul
mampu menimbulkan tekanan intrakranial yang memadai, mungkin tidak terdapat
gejala neurologik lain.16
22
4) Komplikasi Paru
Kelainan pada paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya
kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis.
Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan
sebelum sinusitis disembuhkan.15,16
5) Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus. Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai
kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, etmoidalis,
dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur
di sekitarnya. Dengan demikian, kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan
pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus
sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan
menekan saraf di sekitarnya.15
23
BAB III
PENUTUP
Sinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan
sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang memberikan dampak bagi
pengeluaran finansial masyarakat. Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga
terminologi saat ini yang diterima adalah rinosinusitis. Rinosinusitis dibagi menjadi
kelompok akut, subakut dan kronik.
Diagnosis sinusitis ditegakkan berdasarkan klinis, baik gejala maupun tanda yang
didapat pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, atau prosedur diagnostik lain seperti
pemeriksaan penunjang. Kriteria diagnosis sinusitis akut berdasarkan EPOS (European
Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps) tahun 2012, yaitu adanya onset tiba-tiba
2 atau lebih gejala, dimana salah satunya yaitu hidung tersumbat atau sekret nasal (anterior
atau postnasal drip) disertai sensasi nyeri atau tertekan pada wajah dan perubahan
kemampuan menghidu. Pemeriksaan fisik berupa rinoskopi anterior yang menunjukkan
adanya pembengkakan, kemerahan dan pus.
Gejala akan membaik secara sempurna dengan pengobatan medis hingga mencapai
90% kasus. Komplikasi rinosinusitis bakterial akut diperkirakan terjadi 1 dari 1000 kasus.
Komplikasi sinusitis dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu komplikasi orbital,
intrakranial dan pada tulang.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Mackay DN. Antibiotic therapy of the rhinitis & sinusitis. Dalam : Settipane GA,
penyunting. Rhinitis. Edisi ke-2. Rhode Island: Ocean Side Publication;1991. p. 253-5.
2. Mangunkusumo Endang, Soetjipto Damajanti. Sinusitis. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta: FKUI, 2010: h. 152
3. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In advanced
Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505
4. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar. Telinga,
Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2012.hal.122-124.
5. Hwang PH, Abdalkhani A. Anatomy and Physiology of the Nose and Paranasal Sinuses.
In James B, Snow JR, Wackym PA, eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and
Neck Surgery 17th ed. Vol 1. Connecticut: BC Decker Inc, 2009:484-494
6. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta. 2000
7. Ferguson BJ, Johnson JT. Chronic sinusitis. In Cummings CW, Flint PW,et al eds.
Cummings: otolaryngology - head & neck surgery. 4 th ed. Philadelphia: Elsevier Mosby,
2005; 1-4.
8. USA: American Academy of Otolaryngology—Head and Neck Surgery
Foundation;2015:p1-39.
9. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter II. Nose, Nasal Sinuses and Face,
Acute and Chronic Rhinosinusitis. In : Ear, Nose and Throat Disease With Head and
Neck Surgery. 3rd Ed. Thieme: New York. 2009.p.155-66.
10. Anonim. 2001. Sinusitis, dalam Kapita Selekta Kedokteran, ed. 3. Media Ausculapius FK
UI. Jakarta : 102-106.
11. Higler PA. Nose: Applied Anatomy dan Physiology. In: Adams GL, Boies LR, Higler
PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed. Philadelphia, PA: WB
Saunders Company; 1989. p.173-90
12. Sobol SE, Schloss MD, Tewfik TL. Acute Sinusitis Medical Treatment. August 8, 2005.
Available from: http://www.emedicine.com. Accessed December 20, 2010
13. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory Tract. In: Kasper
DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s
Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 185-93
25
14. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak S.
Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p 81-91
15. Anugrahani A, Madaidipoera T, Dermawan A. Korelasi Otitis Media dengan Temuan
Nasoendoskopi pada Penderita Rinosinusitis Akut. ORLI. 2015: 45(2): 101-108.
16. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter II. Nose, Nasal Sinuses and Face,
Acute and Chronic Rhinosinusitis. In : Ear, Nose and Throat Disease With Head and
Neck Surgery. 3rd Ed. Thieme: New York. 2009.p.155-66.
17. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis and nasal
polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139
18. Mansjoer,Arif,Kuspuji Triyanti,Rakhmi Savitri, dkk. 2001. Polip Hidung. Kapita Selekta
Kedikteran ed.III jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Hal: 113-4.
19. Soetjipto, Damayanti dan Retno Wardani. 2008. Hidung. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Hal:118-22.
20. Adams, George, Lawrence Boies and Peter Hiegler. 2009. Rhinosinusitis Alergika. Buku
Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok ed.VI. Philadelphia: W.B. Saunders. Hal.210-
217.
21. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia (PERHATI-KL). 2007. Polip Hidung
dan Sinus Paranasal (Dewasa) Penatalaksanaan. Guideline Penyakit THT di Indonesia.
Hal.58.
22. Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemological & Clinical aspect of Nasal Polyps that
Require Surgery. Iranian Journal Of Otorhynolaryngology.2012: 2 (4) : 72-75
26