Anda di halaman 1dari 33

Laporan Kasus

RHINITIS ALERGI

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani Kepaniteraan Klinik


di Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Keluarga Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

disusun oleh :

Hasanul Umri NIM: 1507101030078


Siti Chairunnisa NIM: 1507101030163
Anindita Dena Varissa NIM: 1507101030209
Fauzia Eliza Saraswati NIM: 1507101030216
Ruziqni Arihanim Putroe NIM: 1507101030232

Pembimbing:
dr. Benny Kurnia, Sp.THT-KL

SMF/BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KELUARGA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus yang berjudul
“RHINITIS ALERGI”. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi
Muhammad SAW. yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik pada Bagian/ SMF Ilmu Kedokteran Keluarga
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Ucapan terima kasih
dan penghargaan penulis sampaikan kepada dr. Benny Kurnia, Sp. THT-KL
yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis dalam penulisan
laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat
dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan moril dan materil sehingga
tugas ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya
bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.

Banda Aceh, Februari 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2


DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 6
2.1 Anatomi Cavum Nasalis ...................................................................... 6
2.2 Fisiologi Indera Penciuman ................................................................. 2
2.3 Rhinitis Alergi .................................................................................. 11
2.4 Epidemiologi Rhinitis Alergi ............................................................. 11
2.5. Etiologi Rhinitis Alergi .................................................................... 11
2.6 Patofisiologi Rhinitis Alergi .............................................................. 12
2.7 Klasifikasi Rhinitis Alergi ................................................................ 15
2.8 Manifestasi Klinis Rhinitis Alergi ..................................................... 16
2.9 Diagnosis Rhinitis Alergi .................................................................. 16
2.10 Diagnosis Banding ........................................................................... 19
2.11 Penatalaksanaan Rhinitis Alergi ...................................................... 19
2.12 Komplikasi Rhinitis Alergi .............................................................. 20
2.13 Prognosis ......................................................................................... 22
BAB III LAPORAN KASUS............................................................................ 23
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................. 28
BAB V KESIMPULAN .................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 32

3
BAB I

PENDAHULUAN

Rhinitis alergi yaitu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut. Berdasarkan WHO dan ARIA (Allergic Rhinitis
and It’s Impact on Asthma) tahun 2001 rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung
dengan gejala gatal di hidung, bersin-bersin, rinore dan rasa tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.1
Rhinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi
yang terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup
penderitanya, berkurangnya produktivitas kerja dan prestasi sekolah, serta dapat
mengganggu aktivitas social. Rhinitis alergi juga mempengaruhi secara signifikan
terhadap anggaran kesehatan. Di Amerika biaya untuk rhinitis alergi saja
mencapai 2.7 milyar dolar setahun dan hampir 3.8 juta waktu bekerja dan sekolah
hilang setiap tahunnya akibat rhinitis alergi.2
Prevalensi rhinitis alergi di Amerika Utara mencapai 10-20%, di Eropa
sekitar 10-15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang 10%. Prevalensi di negara
industri lebih banyak daripada negara agraria, sedangkan diperkotaan lebih tinggi
daripada di pedesaan. Prevalensi rhinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5-12,4%
dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Di Indonesia aeroalergen
yang tersering menyebabkan rhinitis alergi yaitu tungau, dan tungau debu rumah.3
Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi pada rhinitis alergi adalah
suatu tahapan penatalaksanaan yang bersifat holistik berupa edukasi,
penghindaran terhadap alergen, farmakoterapi secara tepat dan rasional dan
mungkin imunoterapi. Dalam hal pemberian terapi, diperlukan pengetahuan yang
memadai mengenai patogenesis, patofisiologi rhinitis alergi sebagai landasan
dalam
pemilihan obat yang tepat. Intervensi dini dan tepat dapat memperbaiki kualitas
hidup dan produktifitas pasien dengan rhinitis alergi. Komplikasi rhinitis alergi

4
yang sering adalah polip hidung, otitis media efusi yang sering residif dan
sinusitis paranasal.1
Berdasarkan tingginya prevelansi rhinitis saat ini, penulis ingin membahas
bagaimana penegakan diagnose rhinitis dan juga cara penatalaksanaan secara
holistic dan juga edukasi yang baik terhadap penderita rhinitis. Diharapkan
laporan ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi kasus pasien dengan rhinitis
alergi.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Cavum Nasalis

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan pendarahan serta persarafannya. Hidung luar berbentuk piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2)
dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung
(nares anterior).3
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os
nasalis, 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari.1) sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala
mayor), 3) beberapa pasang kartilago ala minor, dan 4) tepi inferior kartilago
septum.1
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang
letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.4
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os
etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian
tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

6
Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan
dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung.6
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka
media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema.Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid.3
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.Meatus medius terletak di antara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula
etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus
semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara
sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding
inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
Lamina kribiformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini
berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf
olfaktorius.6
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi
penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid,
hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan

7
unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus
yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal.3

Gambar 3.1 Anatomi Eksternal Hidung


Vaskularisasi Hidung
Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri
etmoidalis anterior, arteri etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan
arteri sfenopalatina. Arteri etmoidalis anterior memperdarahi septum bagian
superior anterior dan dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior
memperdarahi septum bagian superior posterior. Arteri sfenopalatina terbagi
menjadi arteri nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan
arteri septi posterior yang menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis.7
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

8
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus
kavernosus.5

Inervasi Hidung
Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya
mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.
Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2), serabut
parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis
dari nerus petrosus profundus. Gangglion sfenopalatina terletak di belakan dan
sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel- sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.7
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai
arti penting dalam mobilisasi palut lendir di dalam kavum nasi yang didorong ke
arah nasofaring.Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang tidak bersilia.Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung
dengan mukosa rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai
mukosa hidung, hanya lebih tipis dan sedikit mengandung pembuluh darah.6

2.2. Fisiologi Cavum Nasalis


1. Fungsi Respirasi
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu
udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi pengatur suhu

9
ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur
yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh: rambut (vibrissae) pada
vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.
2. Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan
kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan.
Gambar 3.3. Bagian Rongga Hidung.

Gambar 3.2 Bagian Rongga Hidung

3. Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang
atau hilang,sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis
rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan
anatomis atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering
terjadi karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan

10
benda cair (ketika pilek) atau padat (polip, tumor, benda asing) yang
menyumbat.4
4. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan
saluran cerna,kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan
menyebabkan reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu
akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.5

2.3. Rhinitis Alergi


Rhinitis alergi yaitu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis
and It’s Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan
gejala gatal, bersin-bersin, rinore dan rasa tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.8

2.4. Epidemiologi Rhinitis Alergi


Prevalensi rhinitis alergi di Indonesia berdasarkan penelitian yang
dilakukan pada tahun 2009 mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Dapat timbul pada semua golongan umur, terutam
anak dan dewasa, namun menurun sejalan dengan bertambahnya umur. Faktor
herediter berperan, sedangkan jenis kelamin,golongan etnis dan ras tidak
berpengaruh.8

2.5. Etiologi Rhinitis Alergi


Penyebab tersering adalah alergen inhalan dan alergen ingestan. Pada
anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dangangguan
pencernaan. Dipeberat oleh faktor non-spesifik, seperti asap rokok, bau yang
merangsang, perubahan cuaca dan kelembapan yang tinggi. Berdasarkan cara
masuknya, alergen dibagi atas :

11
a. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan dengan udara
pernafasan,misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit
binatang, rerumputanserta jamur.
b. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan kacang-kacangan.
c. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan,misalnya
penisilin, sengatan lebah dan bisa ular
d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringanmukosa,
misalnya bahan kosmetika, perhiasan dan lain-lain.

2.6. Patofisiologi Rhinitis Alergi


Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Gambar 3.3 Tahap Sensitisasi


Seperti ditunjukkan pada gambar 3.3, sensitisasi melibatkan penyerapan
alergen oleh sel antigen (sel dendritik) di situs mukosa, yang menyebabkan

12
aktivasi sel T antigen spesifik, yang kemungkinan besar dialirkan oleh kelenjar
getah bening. Aktivasi simultan sel epitel oleh jalur nonantigenic (misalnya
protease) dapat menyebabkan pelepasan sitokin epitel (stroma thymus
lymphopoietin [TSLP], interleukin-25, dan interleukin-33), yang dapat
mempolarisasi proses sensitisasi menjadi T-helper tipe 2 (Th2) respon sel.
Polarisasi ini diarahkan menuju sel dendritik dan mungkin melibatkan partisipasi
type 2 innate lymphoid sel (ILC2) dan basofil, yang melepaskan sitokin Th2-
pembawa sitokin (interleukin-13 dan interleukin-4). Hasil dari proses ini adalah
generasi sel Th2, yang pada gilirannya, mendorong sel B menjadi IgE-sel
plasmaalergen tertentu. MHC menunjukkan major histocompatibility kompleks.6

Gambar 3.4 Tahap Reexposure

Seperti ditunjukkan pada gambar 3.4, antibodi IgE dan alergen tertentu
memiliki afinitas tinggi reseptor pada permukaan sel jaringan yang berisi mast sel
dan basofil yang sedang bersirkulasi. Pada paparan ulang, alergen berikatan
dengan IgE pada permukaan sel-sel dan cross-link reseptor IgE, yang
mengakibatkan mast sel dan aktivasi basofil serta pelepasan mediator neuroaktif
dan vasoaktif seperti histamin dan cysteinylleukotrien. Zat-zat ini menghasilkan

13
gejala khas dari rhinitis alergi. Selain itu, aktivasi lokal limfosit Th2 oleh sel
dendritikmenghasilkan pelepasan kemokin dan sitokin yang mengatur masuknya
sel-sel inflamasi (eosinofil, basofil, neutrofil, sel T, dan sel B) pada mukosa,
memberikan lebih banyak target alergen dan meningkat pada organ-organ akhir
hidung (saraf, pembuluh darah, dan kelenjar). Sel Th2 inflamasi membuat mukosa
hidung lebih sensitif terhadap alergen tetapi juga terhadap iritasi lingkungan.
Selain itu, paparan alergen lanjut merangsang produksi IgE.6

Gambar 3.5 Gejala di hidung yang timbul pada paparan alergen.

Seperti ditunjukkan dalam gambar 3.5 mediator yang dilepaskan oleh sel
mast dan basofil dapat langsung mengaktifkan ujung-ujung saraf sensori,
pembuluh darah, dan kelenjar melalui reseptor spesifik. Histamin tampaknya
memiliki efek langsung pada pembuluh darah (yang mengarah ke permeabilitas
pembuluh darah dan kebocoran plasma) dan saraf sensorik, sedangkan leukotrien
lebih mungkin menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi saraf sensorik mengarah ke
gejala pruritus dan berbagai refleks pusat. Ini termasuk refleks motorik untuk
bersin dan refleks parasimpatis yang merangsang sekresi kelenjar hidung dan
menghasilkan vasodilatasi. Selain itu, refleks simpatis mengakibatkan vena
sinusoid melebar, dan terjadi pembengkakan pembuluh darah dan obstruksi pada
saluran hidung. Dengan adanya peradangan alergi, respons pada organ akhir ini
meningkat dan lebih berat. Respon yang berlebihan dari saraf sensorik adalah ciri-
ciri umum dari patofisiologi rhinitis alergi.5,6

14
2.7. Klasifikasi Rhinitis Alergi

Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat


berlangsungnya, yaitu :

1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)


Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di
negara
yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat
adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang
tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai
lakrimasi).

Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu


terdapat konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua
golongan umur dan biasanya mulai timbulnya pada anak-anak dan
dewasa muda. Berat ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke
tahun, tergantung pada banyaknya alergen di udara. Faktor herediter
pada penyakit ini sangat berperan.8

2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perenial)


Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa
variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada
orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah
alergen dalam rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen
inhalan dalam rumah terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur,
selimut, karpet, dapur, tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa.
Komponen alergennya terutama berasal dari serpihan kulit dan feses
tungau D. Pteronyssinus, D. farinae dan Blomia tropicalis, kecoa dan
bulu binatang peliharaan (anijng, kucing, burung). Alergen inhalan di
luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan
penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan gejala alergi yang
lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada

15
golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman
tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering
ditemukan.1

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari


WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau


kurang dari 4 munggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari
4 minggu.

Berdasarkan tstadium atau tingkatan berat ringannya penyakit, rhinitis


alergi dibagi menjadi :

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,


bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas.1

2.8. Gejala Klinis Rhinitis Alergi

Gejala klinis pada rhinitis alergi adalah gatal, bersin berulang, keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak dan hidung tersumbat. Pada mata dapat
menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa
terbakar, dan lakrimasi.Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi
telinga bagian tengah.3

2.9. Diagnosis Rhinitis Alergi


1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi di
hadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari diagnosis
saja. Anamnesis yang dapat ditanyakan yaitu apakah rhinitis terjadi pada

16
musim tertentu ataukah terjadi sepanjang tahun, gejala-gejala yang timbul
pada paparan alergen tertentu (hewan, tanaman tertentu), pengobatan yang
dijalani saat ini, riwayat penyakit atopi keluarga atau penyakit alergi, gejala
yang timbul akibat paparan iritan, gejala dari infeksi saluran pernapasan
atas.

Gejala yang dapat ditanyakan antara lain gatal pada daerah hidung yang
disebabkan oleh histamin yang merangsang nervus vidianus, bersin-bersin, rinore
yang biasanya cair jernih (kalau kental berwarna kuning berarti terdapat infeksi
sekunder) dan rasa hidung tersumbat.

Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin


berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada
pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima
kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadangkadang
pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.1

2. Pemeriksaan fisik
Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi. Perlu juga dilihat apakah terdapat
kelainan septum (lurus, deviasi, spina, krista), dan polip hidung yang dapat
memperberat gejala hidung tersumbat. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia, apakah ada gambaran konka bulosa atau
polip kecil di daerah meatus medius serta komplek osteomeatal. Pada anak
dapat ditemukan juga allergic shiner, allergic salute dan allergic crease.
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid).
Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti
gambaran peta (geographic tongue).1,2

17
3. Pemeriksaan penunjang in-vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent
test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada
pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil sari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE
spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked
Immuno Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak
dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksa pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan
alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
In-vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.5

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun
sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi
(“Challenge Test”).Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam
waktu lima hari. Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari
menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan
suatu jenis makanan.6

18
2.10. Diagnosis Banding
Rhinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan
mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.
Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rhinitis
vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi sehingga sulit
untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung
tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang
Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan
keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif
lebih dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban
udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dansebagainya, yang pada
keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh
individu tersebut.1,2

Tabel 3.1 Diagnosis banding rhinitis alergika dan rhinitis vasomotor.

Penatalaksanaan rhinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya


gejala dandapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif. Beberapa
faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :

- obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis,


seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat
vasokonstriktor topikal.

- faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban
udara yang tinggi dan bau yang merangsang.

19
- faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil
anti hamil dan hipotiroidisme.

- faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.1

2.11. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi


1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Lindungi dengan masker dan salap.
3. Terapi medikamentosa :
- Antihistamin
Antihistamin bekerja dengan memblok reseptor histamin. Dikenal 3
macam reseptor histamin yaitu H1, H2 dan H3. Reseptor histamin
yang diblok pada pengobatan rhinitis alergi adalah H1 yang terdapat
di bronkus, gastrointestinal, otot polos, dan otak.6

Gambar 3.6 Target-target terapi rhinitis alergika.

Saat ini antihistamin (AH1) yang beredar di pasaran adalah


generasi pertama dan kedua. Perbedaan antara AH1 dan kedua terletak
pada kemampuan menembus sawar darah otak dan selektivitas/spesifisitas.
AH1 generasi kedua bersifat lipofobik sehingga kurang mampu menembus
sawar darah otak, yang akhirnya mengakibatkan penurunan efek sedasi.6

20
Di samping itu, generasi kedua lebih selektif sehingga tidak
mempengaruhi reseptor fisiologik yang lain seperti muskarinik dan
adrenergik alfa. Kelebihan lain generasi dua adalah mempunyai efek
antialergi dan antiinflamasi. Dikatakan antialergi karena dapat
menghambat pelepasan histamin, prostaglandin, kinin, dan leukotrien.
Sedangkan antiinflamasi dikarenakan dapat mengurangi ekspresi ICAM-
1.6
- Kortikosteroid
Berdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu
topikal dan sistemik. Kortikosteroid topikal menjadi pilihan pertama
untuk penderita rhinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan
persisten (menetap), karena mempunyai efek antiinflamasi jangka
panjang. Kortikosteroid topikal efektif mengurangi gejala sumbatan
hidung yang timbul pada fase lambat.
Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase
cepat dan lambat dari rhinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2,
sel mast dan basofil, mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B,
menekan pengerahan lokal dan migrasi transepitel dari sel mast,
basofil, dan eosinofil, menekan ekspresi GM-CSF, IL-6, IL-8,
RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di mukosa
hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi,
kemotaksis dan apoptosis eosinofil 1.1
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka
pendek pada penderita rhinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi
pilihan pertama.1
- Obat-obatan bronkodilatasi dan dekongestan untuk mengurangi
rhinore dan obstruksi atau sumbatan pada hidung
Dekongestan dapat mengurangi sumbatan hidung dan kongesti
dengan cara vasokonstriksi melalui reseptor adrenergik alfa. Preparat
topikal bekerja dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12
jam. Efek samping adalah rasa panas dan kering di hidung, ulserasi
mukosa, serta perforasi septum. Yang terakhir jarang terjadi.

21
Takifilaksis dan gejala rebound (rhinitis medikamentosa) dapat
terjadi pada pemakaian dekongestan topikal jangka panjang.
Efek terapi dari preparat oral dirasakan setelah 30 menit dan berakhir
6 jam kemudian, atau dapat lebih lama (8-24 jam) bila bentuk
sediaanya adalah tablet lepas lambat (sustained release). Efek
samping berupa iritabilitas, pusing melayang (dizziness), sakit
kepala, tremor, takikardi, dan insomnia.5
- Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala
yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan
cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari
imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan
penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan
yaitu intradermal dan sublingual.6

2.12. Komplikasi Rhinitis Alergi


Komplikasi rhinitis alergi yang sering ialah :
1. Sinusitis paranasal
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Polip hidung.1

2.13. Prognosis Rhinitis Alergi


Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah
dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin
dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai aturan umum, jika
suatu zat menjadi penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat
terus mempengaruhi orang itu dalam jangka panjang.1

22
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. KZ
Umur : 28 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Kampung Mulia, Banda Aceh
Pendidikan Terakhir : SMA
Agama : Islam
Suku : Aceh
Tanggal pemeriksaan : 15 Februari 2018

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Hidung tersumbat


Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke Puskesmas Kuta Alam dengan
keluhan hidung kanan dan kiri tersumbat sejak 3 tahun yang lalu dan memberat
dalam 1 bulan ini. Hidung tersumbat secara bergantian namun hidung kanan lebih
sering tersumbat. Hidung tersumbat dirasakan semakin memberat saat pasien
terpapar debu dan tidak dipengaruhi cuaca dingin. Pasien juga mengeluhkan
kedua hidung sering terasa gatal sejak 3 tahun yang lalu dan memberat dalam 1
bulan ini. Hidung terasa gatal jika pasien terpapar debu. Pasien juga mengeluhkan
adanya lendir yang keluar dari hidung sejak 3 tahun yang lalu dan memberat
dalam 2 minggu ini. Lendir yang keluar berwarna jernih dan terkadang bau.
Pasien juga mengeluhkan napas berbau sejak 1 bulan ini. Napas berbau sesekali
dan dapat dirasakan oleh pasien. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada pangkal
hidung kanan dan nyeri kepala sejak 1 bulan ini. Nyeri pada pangkal hidung
kanan dan kepala dirasakan sesekali dan tidak bertambah berat saat pasien
menundukkan kepala atau sujud. Pasien tidak ada mengeluhkan lendir yang jatuh
dari hidung ke tenggorokan, tidak ada telinga berdenging, tidak ada nyeri
tenggorokan, dan tidak ada nyeri saat menelan.

23
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti
ini sebelumnya. Riwayat alergi debu (+), hipertensi (-), DM (-), riwayat operasi (-)
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga pasien yang mengeluhkan
keluhan seperti pasien. Riwayat alergi makanan (+), hipertensi (-), DM (-).
Riwayat Pengobatan :Pasien sebelumnya sudah pernah meminum obat
dan memakai obat tetes hidung selama seminggu, namun keluhan tidak membaik.
Pasien lupa apa nama kedua obat tersebut.
Riwayat Kebiasaan Sosial : Pasien bekerja di bidang wiraswasta dengan
aktivitas di luar ruangan dan sering terpapar debu.
Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi : Faktor risiko yang tidak
dapat dimodifikasi oleh pasien adalah riwayat alergi debu pada pasien dan riwayat
alergi makanan pada keluarga pasien.
Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi : Faktor risiko yang dapat
dimodifikasi oleh pasien adalah gaya hidup (pola makan, olahraga, pola tidur,
stres, merokok dan aktivitas) dan menghindari paparan terhadap faktor alergen.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Vital Sign
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Denyut Nadi : 86 kali/menit
Frekuensi Napas : 20 kali/menit
Suhu Tubuh : 36,6°C

Status Gizi
Berat Badan : 75 kg
Tinggi Badan : 175 cm
IMT : 24,49 kg/m2
Kesan : Normal

Status Generalisata
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis

24
GCS : E4M6V5
1. Kepala : Dalam batas normal
2. Leher : Dalam batas normal
3. Paru : Dalam batas normal
4. Jantung : Dalam batas normal
5. Abdomen : Dalam batas normal
6. Ekstremitas : Dalam batas normal
7. Genetalia : Tidak diperiksa

Status Lokalis Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala Dan Leher

1. Telinga: CAE lebar (+/+), CAE hiperemis (-/-), serumen (-/-), membran
timpani intak (+/+), reflex cahaya (+/+), membran timpani hiperemis (-/-)
2. Hidung: mukosa cavum nasi livid (+/+), konka inferior hipertrofi (+/+),
sekret (-/-), deviasi septum (-/-)
3. Orofaring: Tonsil (T1/T1), hiperemis (-/-), kripta melebar (-/-), detritus (-/-),
faring hiperemis (-/-), arkus faring simetris (+/+), post nasal drip (-)
4. Leher: pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-)

3.4 Pemeriksaan Holistik

Aspek personal : Pasien merupakan seorang kepala keluarga yang memiliki


seorang istri. Pasien bekerja di bidang wiraswasta dengan aktivitas tinggi dan
paparan terhadap debu yang tinggi.

Aspek klinik : Pasien datang ke Puskesmas Kuta Alam dengan keluhan hidung
kanan dan kiri tersumbat sejak 3 tahun yang lalu dan memberat dalam 1 bulan ini.
Hidung tersumbat secara bergantian namun hidung kanan lebih sering tersumbat.
Hidung tersumbat dirasakan semakin memberat saat pasien terpapar debu dan
tidak dipengaruhi cuaca dingin. Pasien juga mengeluhkan kedua hidung sering
terasa gatal sejak 3 tahun yang lalu dan memberat dalam 1 bulan ini. Hidung
terasa gatal jika pasien terpapar debu. Pasien juga mengeluhkan adanya lendir
yang keluar dari hidung sejak 3 tahun yang lalu dan memberat dalam 2 minggu
ini. Lendir yang keluar berwarna jernih dan terkadang bau. Pasien juga

25
mengeluhkan napas berbau sejak 1 bulan ini. Napas berbau sesekali dan dapat
dirasakan oleh pasien. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada pangkal hidung
kanan dan nyeri kepala sejak 1 bulan ini. Nyeri pada pangkal hidung kanan dan
kepala dirasakan sesekali dan tidak bertambah berat saat pasien menundukkan
kepala atau sujud.

Aspek risiko internal : Pasien memiliki riwayat alergi debu pada pasien dan riwayat
alergi makanan pada keluarga pasien.

Aspek risiko eksternal : Pasien bekerja di bidang wiraswasta dengan aktivitas


tinggi dan paparan terhadap debu yang tinggi.

Derajat fungsional : Derajat fungsional satu (1) dimana pasien tidak mengalami
kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari.

3.5 Diagnosis Banding

a. Rhinitis Alergi
b. Rhinitis Vasomotor
c. Rhinitis Medikamentosa

3.6 Diagnosis Kerja


Rhinitis Alergi

3.7 Tatalaksana

 Terapi Medikamentosa:
1. Illiadin Nasal Spray
2. Cetirizine tablet 1 x 10 mg
 Edukasi kepada pasien:
1. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit yang dideritanya merupakan
suatu penyakit alergi yang tidak dapat disembuhkan, namun dapat
dicegah kekambuhannya.
2. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit alergi yang dideritanya
merupakan suatu penyakit yang dapat diturunkan, sehingga kemungkinan
anak pasien dapat mengalami hal yang sama seperti pasien.

26
3. Menjelaskan kepada pasien untuk menghindari paparan dan kontak
langsung dengan faktor pencetus yang merupakan alergen yang
menyebabkan timbulnya gejala dan membiasakan mencuci hidung.
4. Menjelaskan kepada pasien pentingnya menjaga pola hidup sehat seperti
makan makanan sehat dan bergizi, olah raga yang teratur, serta jaga
kebersihan badan dan lingkungan, terutama rumah.
5. Menjelaskan kepada pasien bahwa obat-obatan yang diberikan bukan
untuk menghilangkan sumber penyakit/menyembuhkan hanya untuk
mengurangi gejala dan hanya bersifat sementara.
6. Menjelaskan kepada pasien efek samping dari penggunaan obat dalam
jangka panjang.
7. Menjelaskan kepada pasien komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi
apabila faktor pencetus tidak dieliminasi dari keseharian pasien.
8. Menjelaskan kepada pasien pilihan-pilihan pengobatan yang lain jika
terapi obat-obatan sudah tidak mempan lagi.

3.8 Prognosis
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad functionam : bonam
 Quo ad sanactionam : bonam

27
BAB IV
PEMBAHASAN

Telah diperiksa pasien laki laki berusia 28 tahun datang ke Puskesmas


dengan keluhan hidung kanan dan kiri tersumbat sejak 3 tahun yang lalu yang
hilang timbul dan memberat dalam 1 bulan ini. Hidung tersumbat secara
bergantian namun hidung kanan lebih sering tersumbat. Hidung tersumbat
dirasakan semakin memberat saat pasien terpapar debu dan tidak dipengaruhi
cuaca dingin. Pada awalnya pasien mengeluhkan hidung terasa gatal jika pasien
terpapar debu terutama pada pagi hari diikuti dengan keluhan adanya lendir yang
keluar dari hidung berwarna jernih dan terkadang bau. Pada satu bulan terakhir,
pasien mulai mengeluhkan nyeri pada pangkal hidung kanan dan nyeri kepala.
Berdasarkan hasil anamnesis tersebut, pasien memiliki keluhan yang pada
mulanya berupa keluhan bersin-bersin di pagi hari disertai gatal pada hidung dan
mengeluarkan cairan kental berwarna bening, keluhan juga dirasakan oleh pasien
saat terpapar dengan debu mengingat pasien memiliki pekerjaan di luar rumah
yang sering terpapar debu. Keluhan tersebut berkaitan dengan patofisiologi
rhinitis alergi dimana fase sensitisasi dimulai ketika seseorang terpapar dengan
alergen dan diikuti denganfase reaksi alergi. Berdasarkan definisi yang dibuat
oleh WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on Asthma) tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala gatal, bersin-bersin, rinore dan rasa
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Alergen penyebab tersering adalah alergen inhalan dan alergen ingestan. Ikatan
dan reaksi antara antibodi igE dan antibodi tertentu memiliki afinitas tinggi
terhadap reseptor pada permukaan sel jaringan yang berisi mast sel dan basofil
yang sedang bersirkulasi. Pada paparan berulang alergen berikatan dengan IgE
pada permukaan sel-sel dan cross-link reseptor IgE, yang mengakibatkan mast sel
dan aktivasi basofil serta pelepasan mediator neuroaktif dan vasoaktif seperti
histamin dan cysteinylleukotrien. Zat-zat ini menghasilkan gejala khas dari
rhinitis alergi.
Pasien menjelaskan bahwa saudara kandung pasien memiliki reaksi
hipersensitivitas atau alergi pada kulit terhadap jenis makanan tertentu. Hal ini

28
menunjukkan adanya riwayat atopi yang melibatkan faktor genetik pada keluarga
pasien. Atopik adalah suatu syndroma hipersensitivitas atau hiper-alergis sebagai
respon terhadap paparan suatu alergen. Pada penelitian terdahulu sudah banyak
dinyatakan bahwa riwayat atopik sangat berhubungan dengan komponen genetik
sehingga sangat memungkinkan menjadi suatu keadaan yang diturunkan dalam
keluarga. Individu yang memiliki bakat atopik dalam tubuhnya akan merespon
pajanan alergen yang bervariasi atau dapat berbeda dengan anggota keluarga yang
lain, berupa salah satu diantara manifestasi berikut yaitu dermatitis atopik, rinitis
alergi, atau asma bronchiale.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, evaluasi tanda-tanda vital pasien
didapatkan kesadaran pasien yaitu compos mentis Tekanan Darah 120/80 mmHg,
denyut nadi 86 kali/menit, frekuensi napas 20 kali/menit dan suhu tubuh 36,6°C.
Ditinjau dari pemeriksaan dan status lokalis at regio nasal didapatkan mukosa
cavum nasi livid (+/+), konka inferior hipertrofi (+/+), sekret (-/-), deviasi septum
(-/-). Hal ini sesuai dengan tanda objektif yang umumnya terjadi pasien dengan
rhinitis alergi.
Pada rhinitis alergi, mediator yang dilepaskan oleh sel
mast dan basofil dapat langsung mengaktifkan ujung-ujung saraf sensori,
pembuluh darah, dan kelenjar melalui reseptor spesifik. Histamin tampaknya
memiliki efek langsung pada pembuluh darah (yang mengarah ke permeabilitas
pembuluh darah dan kebocoran plasma) dan saraf sensorik, sedangkan leukotrien
lebih mungkin menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi saraf sensorik mengarah ke
gejala pruritus dan berbagai refleks pusat. Ini termasuk refleks motorik untuk
bersin dan refleks parasimpatis yang merangsang sekresi kelenjar hidung dan
menghasilkan vasodilatasi. Selain itu, refleks simpatis mengakibatkan vena
sinusoid melebar, dan terjadi pembengkakan pembuluh darah dan obstruksi pada
saluran hidung.
Pasien mendapat terapi antihistamin sistemik dan dekongestan hidung
topikal. Pemilihan terapi untuk pasien rhinitis alergi dipilih berdasarkan tujuan
yang hendak dicapai dalam perawatan pasien dengan rhinitis. Tujuan pengobatan
rinitis alergi adalah mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas
nonspesifik dan inflamasi, memperbaiki kualitas hidup penderita sehingga dapat

29
menjalankan aktifitas sehari-hari, mengurangi efek samping pengobatan dengan
cara mengedukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan
kewaspadaan terhadap penyakitnya termasuk dalam hal ini mengubah gaya hidup
seperti pola makanan yang bergizi, olahraga dan menghindari stres. Untuk
mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapat diberikan obat-obatan seperti
antihistamin, dekongestan hidung dimana obat-obatan dekongestan hidung
menyebabkan vasokonstriksi karena efeknya pada reseptorreseptor α-adrenergik.
Pemakaian topikal sangat efektif menghilangkan sumbatan hidung, tetapi tidak
efektif untuk keluhan bersin dan rinore. Kombinasi antihistamin dan dekongestan
oral dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang tidak dipengaruhi oleh
antihistamin. Pemakaian kortikosteroid topikal (intranasal) untuk rinitis alergi
seperti Beclomethason dipropionat, Budesonide, Flunisonide acetate fluticasone
dan Triamcinolone acetonide dinilai lebih baik karena mempunyai efek
antiinflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptornya,
serta memiliki efek samping sitemik yang lebih kecil. Tapi pemakaian dalam
jangka waktu yang lama dapat menyebabkan mukosa hidung menjadi atropi.

30
BAB V
KESIMPULAN

Rinitis alergi merupakan suatu proses inflamasi dari mukosa hidung yang
diperantarai oleh Immunoglobulin E (IgE) setelah terpapar alergen. Gejala utama
rinitis alergi adalah cairan hidung yang jernih, hidung tersumbat, bersin berulang
dan hidung gatal. Penatalaksanaan rinitis alergi tergantung dari klasifikasi dan
derajat penyakit, yang meliputi penghindaran diri terhadap alergen, farmakoterapi
dan imunoterapi

31
DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rhinitis Alergi. Dalam: Buku
Ajar
Ilmu Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ketujuh.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI;2014; 128-134
2. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et
al. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2008 update (in
collaboration with the World Health Organization, GA(2)LEN and
AllerGen). Allergy. 2008;63(Suppl 86):8–160
3. Moeis RM, Sudiro M, Herdiningrat RS. Allergic rhinitis patient
characteristics in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung Indonesia.
Althea Med J. 2014;1(2):70–4.
4. Rambe A Y F, Munir D, Haryuna T S, Eyanoer PC. Hubungan rhinitis
alergi
dan disfungsi tuba Eustachius dengan menggunakan timpanometri. ORLI.
2015;43.
5. Seidman M, et al. Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis.
Otolaryngology–Head and Neck Surgery. 2015;152(1S): S1 –S43.
6. Brozek J ea. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)2010
Revision Journal of Allergy and Clinical Immunology 2010:22 of 153.
7. Alexandropoulos T, Haidich AB, Pilalas D, Dardavessis T, Daniilidis M,
Arvanitidou M. Characteristics of patients with allergic rhinitis in an
outpatient clinic: A retrospective study. Allergol Immunopathol (Madr).
2013;41(3):194–200.
8. Kementerian Kesehatan RI. Masalah kesehatan akibat kabut asap
kebakaran hutan dan lahan tahun 2015. Jakarta Selatan: Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI; 2015.

32
33

Anda mungkin juga menyukai