Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
Rhinomanometri digunakan untuk mengukur hambatan aliran udara nasal
dengan pengukuran kuantitatif pada aliran dan tekanan udara nasal. Tes ini
berdasarkan prinsip bahwa aliran udara melalui suatu tabung hanya bila terdapat
perbedaan tekanan yang melewatinya. Perbedaan ini dibentuk dari usaha respirasi
yang mengubah tekanan ruang posterior nasal relatif terhadap atmosfir eksternal
dan menghasilkan aliran udara masuk dan keluar hidung.1
Rinomanometri dan rinometri akustik telah dicoba untuk menilai potensi
jalan napas pada hidung. Rinometri mengukur tekanan udara dan laju aliran udara
saat bernafas. Pengukuran ini kemudian digunakan untuk menghitung resistensi
saluran napas hidung. Rinometri akustik menggunakan sinyal suara yang
dipantulkan untuk mengukur luas penampang dan volume rongga hidung.
Rinometri akustik memberikan gambaran anatomi dari bagian hidung, sedangkan
rinomanometri memberikan ukuran fungsional dari hubungan tekanan atau aliran
skema

siklus

pernapasan.

Kedua

teknik

ini

telah

digunakan

dalam

membandingkan tindakan dekongestiv-antihistamin dan kortikosteroid dan untuk


penilaian dari seseorang individu sebelum atau setelah operasi hidung.2

BAB II
EMBRIOLOGI HIDUNG
Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai
terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang
masih sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis aksial berbentuk
lekukan bersatu membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika kehamilan
berusia sembilan minggu, mulailah terbentuk sinus maksila yang diawali oleh
invaginasi meatus media. Pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus
unsinatus dan bula etmoid yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut
hiatus semilunar. Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan
pembentukan sel etmoid anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus
media dan sel etmoid posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior.
Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu, dinding lateral
hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka. Seluruh
daerah sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru
lahir, perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang pertama berkembang
adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksila, sfenoid dan sinus frontal.3,4,5
Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan
embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung
sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan
prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke
otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral
akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari
pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah
mesoderm yang berasal dari daerah maksila.4

Perkembangan embriologi hidung, bibir dan palatum terjadi antara minggu ke-5
hhingga minggu ke-10. Menunjukkan perkembangan wajah embrio dari minggu
ke-5 hingga ke 10 diliat dari aspek frontal. 3

BAB III
ANATOMI HIDUNG
Anatomi Hidung Luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian
luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk
hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),
4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal), 2)
prosesus frontal os maksila dan 3) prosesus nasal os frontal ; sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasal lateral superior, 2) sepasang
kartilago nasal lateral inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan
3) tepi anterior kartilago septum.4
Anatomi Hidung Dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan
rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral
terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka

inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media
disebut meatus superior.3,5

Gambar 1. Anatomi Hidung Dalam3

Septum Nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikular os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatina serta krista
sfenoid.5,6,7

Kavum Nasi
Kavum nasi terdiri dari dasar hidung, atap hidung, dinding lateral, dan
konka. Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horizontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateral superior dan
inferior, os nasal, prosesus frontal os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os

sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui
oleh filament-filamen nervus olfaktori yang berasal dari permukaan bawah bulbus
olfaktori berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka
superior. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontal os
maksila, os lakrimal, konka superior dan konka media yang merupakan bagian
dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikular os platinum dan lamina
pterigoid medial. Fosa nasal dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka;
celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior; celah
antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka
media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka
suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal
dari massa lateral os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.4,5
Meatus Superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel
etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa
ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan
korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoid, tempat bermuaranya sinus
sfenoid.5,7

Meatus Media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang
lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior
konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah
yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara
atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius
dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunar. Dinding inferior dan

medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal
sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu
bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal,
antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum.
Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior
atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya selsel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di
depan infundibulum.5,7

Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimal yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di
belakang batas posterior nostril.4,6
Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontal palatum, bagian
dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginal os sfenoid dan bagian luar
oleh lamina pterigoid.5
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontal dan sfenoid. Sinus maksila merupakan sinus
paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang tidak teratur
dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah
apeks prosesus zygomatik os maksilla.5,7
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolar dan
bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari

orbita dan zygomatik. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified


columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari
rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel
goblet.6
Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior
yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus
paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media
dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah
prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunar, bula etmoid, agger
nasi dan ressus frontal.5,7
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena
sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal
sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai
serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung
menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus
dan konka media.5,7

Gambar 2. Kompleks Ostio Meatal4

Peredaran Darah di Hidung


Bagian atas hidung, rongga hidung mendapat pendarahan dari areri etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri
karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
arteri maksila interna, di antaranya adalah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina

yang

keluar

dari

foramen

sfenopalatina

bersama

nervus

sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka


media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang cabang arteri
fasial.7
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labia superior, dan arteri palatina
mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.7
Vena-vena

hidung

mempunyai

nama

yang

sama

dan

berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung


bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Venavena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.7
Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoid anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliar, yang
berasal dari nervus oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar
mendapat

persarafan

sensoris

dari

nervus

maksila

melalui

ganglion

sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris


juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.

Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari nervus maksila (N.V-2),


serabut parasimpatis dari nervus petrosus superfisial mayor dan serabut-serabut
simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang
dan sedikit di atas ujung posterior konka media.7
Nervus olfaktori. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktori dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.7

BAB IV
FISIOLOGI HIDUNG
Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.
Berdasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari sinus paranasal adalah sebagai
barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi yang masuk. Berdasarkan teori
struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung
dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya
mukosa olfaktori (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu
proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4)
fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal; 6) membantu produksi mukus untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi.6,7

10

BAB V
RHINOMETRI
Rhinomanometri
Rhinimanometri digunakan untuk mengukur hambatan aliran udara nasal
dengan pengukuran kuantitatif pada aliran dan tekanan udara nasal. Tes ini
berdasarkan prinsip bahwa aliran udara melalui suatu tabung hanya bila terdapat
perbedaan tekanan yang melewatinya. Perbedaan ini dibentuk dari usaha respirasi
yang mengubah tekanan ruang posterior nasal relatif terhadap atmosfir eksternal
dan menghasilkan aliran udara masuk dan keluar hidung.1
Pada tahun 1984, the European Committee for Standardization of
Rhinomanometry menetapkan rumus aliran udara nasal : R = P:V pada tekanan
150 P.
R = Tahanan terhadap aliran udara (Pa/cm/det)
P = Tekanan transnasal (Pa atau CmH2O)
V = Aliran udara (Lt/det atau CmH20)
Dengan adanya standarisasi ini diharapkan memberikan perbandingan
hasil dan perbandingan rentang normal. Rhinomanometri dapat dilakukan secara
aktif atau pasif dan dengan pendekatan anterior atau posterior. Rhinomanometri
anterior aktif lebih sering digunakan dan lebih fisiologis. Tekanan dinilai pada
satu lubang hidung dengan satu kateter yang dihubungkan dengan pita perekat,
sementara aliran udara diukur melalui lubang hidung lain yang terbuka.1,8

11

Gambar 3. Rhinomamometri8
Sungkup wajah yang transparan di pasang menutupi hidung. Alat ini
dihubungkan dengan suatu pneumotokografi, amplifier dan perekam. Hasil ini
ditampilkan secara grafik sebagai kurva S dimana masing- masing lobang
hidung dilakukan lima kali pemeriksaan. Kemudian diambil nilai rata-rata lima
kali pemeriksaan.8
Sebelum diperiksa, pasien harus relaksasi selama 30 menit pada suhu
kamar yang tetap. Mesin membutuhkan 30 menit untuk penghangatan dan
membutuhkan kalibrasi teratur.8,9

Gambar 4.Hasil rhinomanometry (A)tidak terdapat sumbatan hidung pada lobang


hidung kiri dan kanan.(B)terjadi sumbatan hidung pada lobang hidung kiri8

12

Rhinomanometri relatif menghabiskan waktu dan hasil dapat bervariasi


sampai 20-25% dengan waktu yang

dibutuhkan mencapai

15 menit.

Rhinomanometri tidak bisa digunakan jika terjadi sumbatan hidung yang berat
atau ketika terdapat perforasi septum. Alat ini juga tidak dapat menilai lokasi
obstruksi.8
Pada rhinomanometri posterior aktif, kateter dimasukkan melalui mulut
dengan bibir ditutup agar dapat mengukur tekanan faring. Aliran melalui kedua
kavum nasi diukur secara bersamaan. Digunakan sungkup hidung transparan yang
sama dengan rhinomanometri anterior. Teknik ini kurang invasif dan cendrung
mendistorsi rongga hidung. Namun satu dari empat pasien tidak dapat merelaksasi
palatum mole dan sebagian pasien tidak memungkinkan untuk memasukkan pipa.
Hasil bervariasi dalam beberapa menit, biasanya antara 15% sampai 20%.8,9
Rhinometri akustik
Rhinometri akustik ini memberikan nada suara yang dapat didengar (150
-10000 hz) yang dihasilkan oleh klik elektronik dan dibangkitkan oleh tabung
suara. Alat ini dimasukan ke hidung dan aliran udara hidung direfleksikan oleh
perubahan lokal pada akuistik impedansi. Bunyi yang direfleksikan ditangkap
oleh mikrofon, diteruskan ke komputer dan dianalisa.8,9

Gambar 5. Pemeriksaan Rinometri Akustik8

13

Gambar 6. Hasil pemeriksaan rinometri akustik (A) hubungan lokasi yang


terdapat di hidung (B)Sebelum dan sesudah operasi polip hidung. N = normal, D
= setelah pemberian dekongestan (C) sebelum dansetelah pemberian allergen.8
Terdapat berbagai ukuran nosepiece untuk menghubungkan tabung suara
ke hidung. Sangat perlu untuk menyesuaikan nosepiece dengan lubang hidung
tanpa menyebabkan deformitas. Pemeriksaan diulang lima kali dan dihitung nilai
rata-ratanya.10
Rinometri akustik didasarkan pada prinsip bahwa impedansi tabung untuk
gelombang suara (lebih dari 250 Hz) tergantung pada perubahan dalam geometri.
Dengan menganalisis amplitudo maka suara yang tercermin dari tabung yang
seperti rongga hidung, perkiraan rongga geometri dapat diproduksi oleh software
pada microcomputer. Pada grafik ini, penyempitan terlihat pada garis yang
menurun dan pelebaran terlihat pada garis yang meningkat atau naik. Generator
yang ada akan menghasilkan suara 150-10.000 Hz. Suara masuk ke dalam rongga
hidung melalui nosepiece yang cocok di lubang hidung dan akan direfeleksikan
oleh mikrofon setelah amplifikasi, penyaringan dan konversi secara digital yang
nantinya tergambar pada komputer.10

14

BAB VI
RESUME
Rhinomanometri merupakan alat yang telah distandarisasi yang digunakan
untuk mengukur hambatan aliran udara nasal dengan pengukuran kuantitatif pada
aliran dan tekanan udara nasal, Tetapi dalam penggunaannya membutuhkan
tenaga ahli untuk mengerjakan dan mempunyai harga beli alat yang relatif mahal.
Akustik rhinometri merupakan alat yang dapat menentukan lokasi
sumbatan hidung dengan memasukkan alat melalui hidung yang hasilnya
ditangkap oleh mikrofon yang disalurkan melalui komputer.

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Grymer LF, Hilberg O, Ole Find afek Pederson. Prediction of nasal


obstruction based on clinical examination and acustic rhinometry.
Rhinology. 1996; 35-7
2. http://www.aetna.com/cpb/medical/data/700_799/0700.html
3. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Anatomi Hidung. Buku Ajar Penyakit
THT. Jakarta: EGC. 1997: 173-176.
4. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007: 96-100.
5. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Jilid
Satu. Edisi 13. Jakarta:Binarupa Aksara. 1994:1-25.
6. Brown Scott. Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth &
Co Ltd. 1997: 1-29.
7. Dhingra, PL. Miscellaneous Disorders of Nasal Cavity. Disease of Ear,
Nose, and Throat. New Delhi: B.I.Churchill Livingstone Pvt Ltd. 1998.
8. Glenys KS, Valrie JL. Investigative rhinology.London:Taylor&Francis;
2004:71-6.
9. Kim HY. Paradoxical nasal obstruction: Analysis of characteristics using
acoustic rhinometry. Am J Rhinol 2007;21:408-1.

16

10. Grymer LF, Hilberg 0, Pedersen OF, Rasmussen TR. Acoustic rhinometry:
Values from adults with subjective normal nasal patency. Rhinology
1991;35-47

17

Anda mungkin juga menyukai