Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS HALU OLEO DESEMBER 2017

FLEXIBLE ENDOSCOPIC EVALUATION OF SWALLOWING

(FEES)

Oleh :

Maghfira Guntata S.B, S.Ked

K1A1 12 086

PEMBIMBING

dr. Nur Hilaliyah, M.Kes, Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL

RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2018

1
Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES)

Maghfira Guntata S.B, Nur Hilaliyah

I. Pendahuluan

Menelan merupakan suatu proses yang kompleks yang memungkinkan

pergerakan makanan dan cairan dari rongga mulut ke lambung. Proses ini

merupakan suatu proses sensorimotorik yang melibatkan suatu koordinasi

antara otot-otot di sekitar mulut, lidah, faring, laring, dan esophagus1,2,3. Proses

menelan terbagi menjadi 3 fase yaitu fase persiapan dan transportasi oral, fase

faring, dan fase esofagus3. Adanya gangguan fungsional dan koordinasi pada

elemen tersebut dapat menyebabkan disfagia. Keluhan sulit menelan (disfagia)

merupakan salah satu gejala kelainan atau penyakit di orofaring dan

esophagus1. Keluhan ini akan timbul bila terdapat gangguan gerakan otot-otot

menelan dan gangguan transportasi makanan dari rongga mulut ke lambung.

Jenis makanan yang dapat menyebabkan disfagia dapat memberikan informasi

mengenai kelainan yang terjadi3. Terdapatnya disfagia dapat mengakibatkan

terjadinya malnutrisi, dehidrasi, infeksi saluran napas, bertambahnya jumlah

hari rawat inap, dan bahkan kematian3,4.

Salah satu metode pemeriksaan penunjang diagnostik disfagia adalah

dengan menggunakan endoskopi fleksibel, yang disebut Flexible Endoscopic

Evaluation of Swallowing (FEES). Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh

Susan Langmore dan kawan-kawan pada tahun 1988. Tujuan FEES adalah

untuk menegakkan diagnosis disfagia pada fase faringeal, menentukan kelainan

anatomi dan fisiologi penyebab disfagia dan menentukan posisi aman dan lebih

efisien untuk menelan pada penderita disfagia1,3,5.

2
II. Anatomi

A. Rongga Mulut

Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot

orbikularis oris yang dipersarafi oleh saraf fasialis. Ruangan di antara

mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris. Palatum

dibentuk oleh tulang dari palatum durum di bagian depan dan sebagian

besar dari otot palatum mole di bagian belakang. Dasar mulut di antara

lidah dan gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian dari kelenjar

submandibula. Muara duktus sub mandibularis terletak di depan dari

frenulum lidah6.

Lidah merupakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga depan

dapat digerakkan, sedangkan pangkalnya terfiksasi. Korda timpani

mempersarafi cita rasa lidah duapertiga bagian depan dan n.

glossofaringeus seperti sepertiga lidah bagian belakang5,6.

Gambar 1. Anatomi Rongga mulut6

3
B. Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti

corong dimulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus

setinggi vertebra servikal 6. Faring berhubungan dengan rongga hidung

melalui koana dan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus

orofaring, sedangkan dengan laring berhubungan melalui aditus laring dan

ke bawah berhubungan dengan esofagus. Otot-otot faring tersusun dalam

lapisan memanjang (longitudinal) dan melingkar (sirkular). Otot-otot yang

sirkuler terdiri dari m. konstriktor faring superior, media dan inferior.

Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup

sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini

bertemu satu sama lain dan di bagian belakang bertemu pada jaringan ikat

yang disebut rafe faring. Batas hipofaring di sebelah superior adalah tepi

atas epiglotis, batas anterior adalah laring, batas posterior ialah vertebra

servikal serta esofagus di bagian inferior. Pada pemeriksaan laringoskopi

struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah adalah valekula.

Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum

glossoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap

sisi. Di bawah valekula adalah permukaan laringeal dari epiglotis.

Epiglotis berfungsi melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus

makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke

esofagus. Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari

pleksus faringealis. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faringeal dari

n.vagus, cabang dari n. glossofaringeus dan serabut simpatis5,6,7.

4
Dari pleksus faringealis keluar cabang-cabang untuk otot – otot

faring kecuali m. stilofaringeus yang dipersarafi langsung oleh

cabang n. Glosofaringeus5,6,7.

Gambar 2. Anatomi Faring6

C. Esofagus

Esofagus merupakan bagian saluran cerna yang menghubungkan

hipofaring dengan lambung. Bagian proksimalnya disebut introitus

esofagus yang terletak setinggi batas bawah kartilago krikoid atau setinggi

vertebra servikal 6. Di dalam perjalanannya dari daerah servikal, esofagus

masuk ke dalam rongga toraks. Di dalam rongga toraks , esofagus berada

di mediastinum superior antara trakea dan kolumna vertebra terus ke

mediastinum posterior di belakang atrium kiri dan menembus diafragma

setinggi vertebra torakal 10 dengan jarak kurang lebih 3 cm di depan

5
vertebra. Akhirnya esofagus ini sampai di rongga abdomen dan bersatu

dengan lambung di daerah kardia2.

Berdasarkan letaknya esofagus dibagi dalam bagian servikal,

torakal dan abdominal. Esofagus menyempit pada tiga tempat.

Penyempitan pertama yang bersifat sfingter terletak setinggi tulang rawan

krikoid pada batas antara esofagus dengan faring, yaitu tempat peralihan

otot serat lintang menjadi otot polos. Penyempitan kedua

terletak di rongga dada bagian tengah, akibat tertekan lengkung aorta dan

bronkus utama kiri. Penyempitan ini tidak bersifat sfingter. Penyempitan

terakhir terletak pada hiatus esofagus diafragma yaitu tempat esofagus

berakhir pada kardia lambung. Otot polos pada bagian ini murni bersifat

sfingter. Inervasi esofagus berasal dari dua sumber utama, yaitu saraf

parasimpatis nervus vagus dan saraf simpatis dari serabut-serabut ganglia

simpatis servikalis inferior, nervus torakal dan n. Splangnikus2.

Gambar 3. Anatomi daerah penyempitan Esofagus6

6
III. Fisiologi

Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut1:

1. Pembentukan bolus makanan dengan bentuk dan konsistensi yang baik

2. Usaha sfingter mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan,

3. Kerja sama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong

bolus makanan ke arah lambung

4. Mencegah masuknya bolus makanan dan minuman ke dalam nasofaring

dan laring

5. Mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat

respirasi

6. Usaha untuk membersihkan kembali esofagus.

Proses menelan dapat dibagi dalam tiga fase yaitu1,3,5 :

1. Fase Oral

Fase oral terbagi menjadi fase persiapan oral dan fase transportasi

oral. Fase oral berlangsung secara sadar. Pada fase oral bekerja saraf

kranial nervus n.V2 dan n.V3 sebagai serabut afferen dan n.V, n.VII, n.IX,

n.X, n.XI, dan n.XII sebagai serabut efferen.

Pada fase persiapan oral terjadi proses mengunyah dan

bercampurnya makanan dengan saliva, sehingga terbentuk bolus. Saat

proses mengunyah, terjadi koordinasi antara bibir, lidah, mandibula, gigi

geligi, palatum mole, dan otot bukal. Pergerakan dan posisi makanan

dipertahankan oleh lidah pada posisi anterolateral terhadap palatum

durum.

7
Fase transportasi oral merupakan fase pemindahan bolus makanan

yang dibentuk pada fase persiapan oral dari mulut hingga ke faring. Bolus

makanan ditempatkan di bagian tengah lidah, rongga faring terbuka oleh

elevasi palatum mole dan penurunan bagian posterior lidah. Bolus

kemudian didorong ke posterior (faring) dan gerakan elevasi lidah yang

simultan dari anterior ke posterior. Gerakan-gerakan ini akan memicu

refleks faring bersamaan dengan masuknya bolus ke faring. Fase ini

membutuhkan kerapatan bibir untuk mencegah bocornya makanan dari

mulut dan tekanan otot bukal untuk mencegah makanan masuk diantara

mandibula dan bukal.

2. Fase Faringeal

Fase faringeal dimulai ketika bolus makanan menyentuh arkus

faring anterior (arkus palatoglosus) dan refleks menelan segera terjadi.

Bolus dengan viskositas yang tinggi akan memperlambat fase faring,

meningkatkan waktu gelombang peristaltik, dan memperpanjang waktu

pembukaan sfingter esofagus bagian atas. Bertambahnya volume bolus

menyebabkan lebih cepatnya waktu pergerakan pangkal lidah, pergerakan

palatum mole dan pergerakan laring serta pembukaan sfingter esofagus

bagian atas. Waktu pharyngeal transit bertambah dengan bertambahnya

usia.

3. Fase Esofageal

Fase esofagus berlangsung tanpa disadari atau secara refleks. Fase ini

dimulai dengan terjadinya relaksasi m. Krikofaring. Gelombang peristaltik

primer terjadi akibat kontraksi otot longitudinal dan otot sirkuler dinding

8
esofagus bagian proksimal. Gerakan peristaltik bagian tengah esofagus

dipengaruhi oleh serabut saraf pleksus misenterikus yang terletak antara

otot longitudinal dan otot sirkuler dinding esofagus dan gelombang ini

bergerak terus secara teratur hingga menuju distal esofagus. Esophageal

transit time bertambah dengan bertambahnya usia akibat dari

berkurangnya tonus otot-otot rongga mulut untuk merangsang gelombang

peristaltik primer.

Gambar 4. Fase-fase menelan. a: fase oral, b-c: fase faring, d-f: fase esofagus3.

IV. DISFAGIA

Dysphagia didefinisikan sebagai kesulitan makan. Dysphagia adalah

perkataan yang berasal dari bahasa Yunani dys yang berarti kesulitan atau

gangguan, dan phagia berarti makan. Disfagia berhubungan dengan kesulitan

makan akibat gangguan dalam proses menelan. Kesulitan menelan dapat

terjadi pada semua kelompok usia, akibat dari kelainan kongenital, kerusakan

struktur, dan/atau kondisi medis tertentu. Masalah dalam menelan merupakan

keluhan yang umum didapat di antara orang berusia lanjut, dan insiden

disfagia lebih tinggi pada orang berusia lanjut dan pasien stroke. Kurang lebih

9
51-73% pasien stroke menderita disfagia. Penyebab lain dari disfagia

termasuk keganasan kepala-leher, penyakit neurologic progresif seperti

penyakit Parkinson, multiple sclerosis, atau amyotrophic lateral sclerosis,

scleroderma, achalasia, spasme esofagus difus, lower esophageal (Schatzki)

ring, striktur esofagus, dan keganasan esofagus4.

Keluhan sulit menelan (disfagia), merupakan salah satu gejala kelainan

atau penyakit di orofaring dan esophagus. Keluhan ini akan timbul bila terdapat

gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari

rongga mulut ke lambung. Disfagia dapat disertai dengan keluhan lainnya,

seperti odinofagia (rasa nyeri waktu menelan), rasa panas di dada, rasa mual,

muntah, regurgitasi, hematemesis, melena, anoreksia, hipersalivasi, batuk dan

berat badan yang cepat berkurang. Manifestasi klinik yang sering ditemukan

ialah sensasi makanan yang tersangkut di daerah leher atau dada ketika menelan 1.

A. Penyebab disfagia

Disfagia dapat terjadi pada satu atau lebih fase menelan dan dapat

disebabkan oleh berbagai macam penyebab (Tabel 1). Penderita dengan

gangguan neurologik lebih sering mengalami gangguan pada fase oral5.

10
Tabel 1. Penyebab disfagia5

Oropharyngeal dysphagia: Metabolic disease:


Neurologic disease: Hyperthyroidism Congenital webs
Cerebrovascular accident Plummer-Vinson syndrome
Parkinson disease Inflammatory/autoimmune Neoplasma
Multiple sclerosis disease Cricopharyngeal bar
Brain neoplasma Amyloidosis Zenker divertikulum
Alzheimer’s disease Sarcodosis Extrinsic compression
SLE Poor dentition
Myopathic disease :
Myositis Infectious disease: Iatrogenic disease:
Myasthenia gravis Meningitis Medication side effect
Viral (coxsackie, herpes) Surgical resection
Radiation induced
Structural disease
Esofageal Dysphagia:
Neuromuscular disorders: Esophageal carcinoma
Achalasia Medication induced stricture
Diffuse esophageal spasm Eosinophilic esophagitis

Structural lesion (intrinsic): Structural lesion (extrinsic):


Benign peptic stricture Vascular compression
Esophageal rings and webs Mediastinal lesion
Esophageal diverticula Cervical osteoarthritis

Berdasarkan penyebabnya, disfagia di bagi atas disfagia mekanik,

disfagia motorik, disfagia oleh gangguan emosi.

Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esophagus

oleh massa tumor dan benda asing. Penyebab lain adalah akibat peradangan

mukosa esophagus, striktur lumen esophagus, serta akibat penekanan lumen

esophagus dari luar, misalnya oleh pembesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid,

kelenjar getah bening di mediastinum, pembesaran jantung dan elongasi aorta.

Letak a.subklavia dekstra yang abnormal dapat menyebabkan disfagia yang

disebut disfagia Lusoria. Disfagia mekanik timbul bila terjadi penyempitan

lumen esophagus. Pada keadaan normal lumen esophagus orang dewasa dapat

meregang sampai 4 cm. Keluhan disfagia mulai timbul bila dilatasi ini tidak

mencapai diameter 2,5 cm1.

11
Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular

yang berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak

n.V, n.VII, n.IX, n.X dan n.XII, kelumpuhan otot faring dan lidah serta

gangguan peristaltik esophagus dapat menyebabkan disfagia1.

Kelainan otot polos esophagus yang dipersarafi oleh komponen

parasimpatik n. vagus dan neuron non kolinergik pasca ganglion (post

ganglionic noncholinergic) di dalam ganglion mienterik akan menyebabkan

gangguan kontraksi dinding esophagus bagian bawah, sehingga dapat timbul

keluhan disfagia. Penyebab utama dari disfagia motorik adalah akalasia,

spasme difus esophagus, kelumpuhan otot faring dan scleroderma esophagus.

Keluhan disfagia dapat juga timbul bila terdapat gangguan emosi atau

tekanan jiwa yang berat. Kelainan ini dikenal sebagai globus hosterikus1.

B. Klasifikasi disfagia

Disfagia diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu disfagia

orofaring (atau transfer dysphagia) dan disfagia esophagus. Disfagia

orofaring timbul dari kelainan di rongga mulut, faring, dan esofagus, dapat

disebabkan oleh stroke, penyakit Parkinson, kelainan neurologis,

oculopharyngeal muscular dystrophy, menurunnya aliran air liur,

xerostomia, masalah gigi, kelainan mukosa oral, obstruksi mekanik

(keganasan, meningkatnya tonus sfingter esophagus bagian atas,

radioterapi, infeksi, dan obat-obatan (sedatif, antikejang, antihistamin)4.

Gejala disfagia orofaring yaitu kesulitan menelan, termasuk

ketidakmampuan untuk mengenali makanan, kesukaran meletakkan

makanan di dalam mulut, ketidakmampuan untuk mengontrol makanan

dan air liur di dalam mulut, kesukaran untuk mulai menelan, batuk dan

12
tersedak saat menelan, penurunan berat badan yang tidak jelas

penyebabnya, perubahan kebiasaan makan, pneumonia berulang,

perubahan suara (suara basah), regurgitasi nasal4,8.

Disfagia esofagus timbul dari kelainan di korpus esofagus, sfingter

esofagus bagian bawah, atau kardia gaster. Biasanya disebabkan oleh

striktur esofagus, keganasan esofagus, esophageal rings and webs,

akhalasia, skleroderma, kelainan motilitas spastik termasuk spasme

esofagus difus dan kelainan motilitas esofagus nonspesifik. Makanan

biasanya tertahan beberapa saat setelah ditelan, dan akan berada setinggi

suprasternal notch atau di belakang sternum sebagai lokasi obstruksi,

regurgitasi oral atau faringeal, perubahan kebiasaan makan, dan

pneumonia berulang4,8.

Bila terdapat disfagia makanan padat dan cair, kemungkinan besar

merupakan suatu masalah motilitas. Bila pada awalnya pasien mengalami

disfagia makanan padat, tetapi selanjutnya disertai disfagia makanan cair,

maka kemungkinan besar merupakan suatu obstruksi mekanik. Setelah

dapat dibedakan antara masalah motilitas dan obstruksi mekanik, penting

untuk memperhatikan apakah disfagianya sementara atau progresif.

Disfagia motilitas sementara dapat disebabkan spasme esofagus difus atau

kelainan motilitas esofagus nonspesifik. Disfagia motilitas progresif dapat

disebabkan skleroderma atau akhalasia dengan rasa panas di daerah ulu

hati yang kronis, regurgitasi, masalah respirasi, atau penurunan berat

badan. Disfagia mekanik sementara dapat disebabkan esophageal ring.

13
Dan disfagia mekanik progresif dapat disebabkan oleh striktur esofagus

atau keganasan esofagus4,8.

C. Patogenesis disfagia

Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur yang

berperan dalam proses menelan harus bekerja secara terintergrasi dan

berkesinambungan. Keberhasilan mekanisme menelan ini tergantung dari

beberapa faktor, yaitu ukuran bolus makanan, diameter lumen esophagus yang

dilalui bolus, kontraksi peristaltik esophagus, fungsi sfingter esophagus

bagian atas dan bagian bawah dan kerja otot-otot rongga mulut dan lidah1.

Intergrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem neuro-

muskular mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan sensorik

dinding faring dan uvula, persarafan ekstrinsik esophagus bekerja dengan

baik, sehingga aktivitas motorik berjalan lancar. Kerusakan pada pusat

menelan dapat menyebabkan kegagalan aktivitas komponen orofaring, otot

lurik esophagus dan sfingter esophagus bagian atas. Oleh karena otot lurik

esophagus dan sfingter esophagus bagian atas juga mendapat persarafan dari

inti motor n.vagus, maka aktivitas peristaltik esophagus masih tampak pada

kelainan di otak. Relaksasi sfingter esophagus bagian bawah terjadi akibat

peregangan langsung dinding esophagus1.

D. Penilaian disfagia

Disfagia merupakan gejala dari berbagai penyebab yang berbeda,

yang biasanya dapat ditegakkan diagnosanya dengan anamnesa,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya, di antaranya

pemeriksaan radiologi dengan barium, CT scan, dan MRI5.

14
1. Anamnesis

Data harus dikumpulkan dari riwayat kesehatan umum

penderita. Riwayat neurologik yang mungkin berhubungan dengan

beberapa penyakit yang dapat menyebabkan disfagia seperti multiple

sclerosis, stroke, serta penyakit Parkinson dan Alzheimer harus

ditanyakan. Operasi yang pernah dialami penderita pada kepala dan

leher juga perlu ditanyakan. Semua pengobatan yang sedang dijalani

penderita harus dicatat. Obat-obatan dengan efek samping seperti

sedasi, kelemahan otot, dan disorientasi dapat menyebabkan disfagia.

Selain itu, faktor psikososial juga dapat memengaruhi proses menelan,

terutama pada orangtua5.

Keluhan subyektif penderita dapat membantu menegakkan

diagnosis disfagia, yaitu antara lain: air liur yang mengalir berlebihan;

batuk atau kesedakan saat makan; terkumpulnya makanan pada pipi, di

bawah lidah, atau pada palatum durum; suara serak; suara cegukan

setelah makan atau minum atau beberapa kali membersihkan

kerongkongan; susah mengontrol gerakan lidah; kelemahan otot wajah;

harus menelan beberapa kali untuk satu bolus makanan; slurred speech;

adanya perasaan makanan seperti tertahan di leher atau dada; dan waktu

mengunyah serta waktu makan yang lebih lama5.

15
2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik umum sangat penting dilakukan untuk

melihat adanya penyakit kardiopulmoner, gastrointestinal, atau

neurologik yang dapat memengaruhi fungsi menelan. Pemeriksaan

dilakukan juga terhadap status mental, kemampuan bekerjasama, dan

fungsi bahasa penderita. Saraf kranialis harus dinilai secara teliti5.

Pemeriksaan terhadap fungsi pernapasan meliputi tanda-tanda

obstruksi atau restriksi seperti takipnea, stridor, penggunaan otot

pernapasan tambahan, dan pergerakan dinding dada yang asimetris5.

Inspeksi dan palpasi terhadap kelainan struktur pada kepala dan

leher perlu dilakukan. Sensasi pada wajah diperiksa secara bilateral;

juga kekuatan otot-otot wajah. Otot maseter dan temporalis dipalpasi

saat penderita diminta menggigit atau mengunyah. Pemeriksaan ini

dapat dilakukan pada saat pemeriksaan saraf kranialis5.

Pemeriksaan intraoral dilakukan dengan inspeksi intraoral untuk

melihat lesi, sisa makanan, atau kelainan struktural. Palpasi dengan

sarung tangan pada dasar mulut, gusi, fosa tonsiler, bahkan lidah, untuk

menyingkirkan adanya tumor. Adanya atrofi, kelemahan, dan fasikulasi

lidah dicatat. Kekuatan lidah bisa diukur dengan menempatkan jari

pada pipi bagian luar dan menahan lidah penderita yang diminta untuk

menekan pipi dari dalam5.

Palatum diinspeksi untuk melihat posisi simetris pada saat

istirahat dan saat fonasi. Setiap sisi palatum distimulasi untuk

menimbulkan refleks muntah, sambil memperhatikan apakah palatum

16
mole dan dinding faring berkontraksi secara simetris. Pada anak adanya

refleks primitif (sucking, biting, dan snout) perlu dicatat. Terdapatnya

refleks-refleks ini pada orang dewasa mengindikasikan adanya

kerusakan pada kedua hemisfer atau lobus frontalis yang menyebabkan

kelemahan oral motor control5.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang bisa digunakan untuk

mendiagnosis gangguan menelan ialah: videofluorographic swal-lowing

study (VFSS), fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing (FEES),

dan ultrasonografi5.

Gambar 5. Flexible endoskopik evaluation of swallowing Device

Gambar 6. Flexible endoskopik evaluation of swallowing

17
V. Evaluasi Menelan Dengan Menggunakan Endoskopi Fleksibel (FEES)

Flexible endoskopik evaluation of swallowing merupakan pemeriksaan

evaluasi fungsi menelan dengan menggunakan nasofaringoskop serat optic

lentur. Pemeriksaan ini dapat mengevaluasi fase persiapan oral, fase oral

maupun fase faring, namun tidak dapat menilai fase esofagus. Pasien

diberikan berbagai jenis konsistensi makanan dari jenis makanan cair sampai

padat dan dinilai kemampuan pasien dalam proses menelan3.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menilai seorang

pasien dengan keluhan disfagia antara lain5:

 Videofluoroscopic Swallow Study (=Modified Barium Swallow (MBS ))

 Fiberoptic Endoscopic Examination of Swallowing (FEES)

 Fiberoptic Endoscopic Examination of Swallowing with Sensory Testing

(FEESST)

 Scintigraphy

FEES menjadi pilihan pertama untuk evaluasi pasien dengan disfagia

karena mudah, dapat dilakukan berpindah tempat dan lebih murah

dibandingkan MBS. Prosedur ini dapat dilakukan oleh dokter spesialis THT-

KL bersama dokter spesialis Rehabilitasi Medik dan dapat menilai anatomi

dan fisiologi menelan, perlindungan jalan nafas dan hubungannya dengan

fungsi menelan makanan padat atau cair, diagnosis, rencana terapi selanjutnya

serta evaluasi keberhasilan setelah terapi5.

Fiberoptic Endoscopic Examination of Swallowing (FEES) adalah

pemeriksaan fase faringeal pada proses menelan yang dilakukan secara

endoskopi. FEES sudah digunakan sebagai alat evaluasi pada kasus gangguan

18
menelan sejak dideskripsikan oleh Susan E. langmore pada tahun 1988.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa FEES dapat mendeteksi dengan

baik adanya aspirasi, penetrasi dan residu faringeal apabila dibandingkan

dengan videofluoroskopi. Namun demikian FEES bukan merupakan

pengganti dari pemeriksaan lainnya seperti video fluoroskopi5.

FEES merupakan prosedur instrumen yang digunakan untuk

mengevaluasi fungsi menelan dan menuntun penatalaksanaan kelainan

menelan. Dengan menggunakan endoskopi transnasal untuk

memvisualisasikan secara langsung anatomi struktur yang penting dalam

proses menelan agar dapat mengevaluasi pergerakan struktur tersebut

selama menelan makanan maupun minuman, pemeriksaan evaluasi fungsi

menelan dengan menggunakan nasofaringoskop seratoptik lentur. Pasien

diberikan berbagai jenis konsistensi makanan dari jenis makanan cair sampai

padat dan dinilai kemampuan pasien dalam proses menelan5.

Gambar 7. Pemeriksaan Fiberoptic Endoscopic Examination of Swallowing10

19
Tahap pemeriksaan dibagi dalam beberapa tahap1,3:

1. Pemeriksaan sebelum pasien menelan (preswallowing assessment) untuk

menilai fungsi muskular dari oromotor dan mengetahui kelainan fase oral.

2. Pemeriksaan langsung dengan berbagai konsistensi makanan, dinilai

kemampuan pasien dan diketahui konsistensi apa yang paling aman

untuk pasien.

3. Pemeriksaan terapi dengan mengaplikasikan berbagai manuver dan posisi

kepala untuk menilai apakah terdapat peningkatan kemampuan menelan.

4. Penilaian anatomi dan fisiologi menelan: velar, anatomi faring dan

laring, pergerakan dan sensasi yang berkaitan dengan proses menelan.

5. Penilaian fungsi menelan makanan dan cairan secara langsung.

6. Aplikasi manuver terapi, modifikasi diet dan strategi perilaku, serta

evaluasi efektifitasnya.

A. Indikasi

Indikasi FEES adalah untuk mengevaluasi pasien dengan kesulitan

menelan dan kemungkinan risiko aspirasi dalam proses menelan. Metode

ini juga dapat menentukan intake nutrisi yang optimal untuk

meminimalkan risiko aspirasi. Indikasi lain adalah : menilai struktur

anatomi orofaring, nasofaring, dan laringofaring. Menilai integritas

sensorik struktur faring dan laring. Menilai kemampuan pasien untuk

melindungi jalan napas pada saat menelan3.

20
Tanda dan gejala disfagia di bawah ini dapat mengindikasikan

untuk dilakukan pemeriksaan FEES, yakni11 :

1. Riwayat disfagia faringeal

2. Kesulitan mengolah sekret oral

3. Kesulitan dalam mengkoordinasikan proses menelan dan bernapas.

4. Kualitas fokal yang abnormal disertai suspek disfagia

5. Fatig selama menelan

6. Globus pharyngeus

FEES dapat diaplikasikan pada beberapa populasi

berbeda, yakni pasien-pasien dengan kelainan neurologis seperti stroke

dan tumor di kepala serta post bedah kepala leher.

B. Kontraindikasi

Kontraindikasi pada FEES yaitu3:

 Agitasi berat dan tidak kooperatif

 Kelainan pergerakan yang berat

 Riwayat vasovagal

 Riwayat epistaksis yang berat

 Trauma nasal

 Riwayat penatalaksanaan pada kanker kepala maupun leher

(bedah,kemoterapi, radioterapi)

 Obstruksi pada kedua saluran nasal

 Kondisi kardiovaskuler yang tidak stabil

 Riwayat pengobatan antikoagulan

 Stenosi nasofaringeal

21
 Fraktur pada wajah atau basis kranii

 Pasien dengan kelainan darah

 Etiologi disfagia berlokasi di esofagus.

C. Prosedur pemeriksaan

Agar pemeriksaan FEES ini dapat berlangsung dengan baik dan untuk

menghindari komplikasi yang mungkin timbul, perlu diperhatikan

persiapan yang optimal. Persiapan ini meliputi1,3.

1. Persiapan penderita.

Sebelum tindakan FEES perlu dilakukan :

 Anamnesis lengkap dan cermat

 Pemeriksaan THT rutin

 Pemeriksaan darah terutama penderita dengan kecurigaan gangguan

penyakit perdarahan

 Pemeriksaan tanda-tanda vital sesaat sebelum pemeriksaan

2. Anestesi

Anestesi dan atau dekongestan topikal digunakan untuk

mengurangi rasa tidak nyaman. Namun demikian penggunaannya tidak

dianjurkan karena dapat mempengaruhi aspek sensoris dari menelan.

Pemakaian lubrikan (K-Y Jelly) di ujung endoskop dapat

memudahkan insersi endoskop

22
3. Persiapan alat

Alat-alat dan bahan yang dibutuhkan adalah11 :

 Endoskop fleksibel

 Light source

 Stimulator sensoris pada ujung endoskop

 Monitor televisi

 Kamera dan video untuk merekam

 Mavigraf

 Minuman dan makanan yang berwarna dengan berbagai konsistensi

D. Teknik pemeriksaan

FEES dilakukan di poliklinik atau ruang perawatan. Pasien dalam

posisi duduk menghadap pemeriksa atau bisa juga dengan posisi

berbaring. Endoskop dimasukkan ke dalam vestibulum nasi menelusuri

dasar hidung, kearah velofaringeal masuk ke dalam orofaring. Pada

pemeriksaan FEES perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut3:

 Evaluasi kompetensi velofaringeal

 Evaluasi faring. Meliputi dasar lidah, epiglotis, valekula, dinding

posterior dan lateral faring serta sinus piriformis.

 Evaluasi laring dan supra glotis meliputi plika ariepiglotik, insisura

nteraritenoid, plika vokalis dan plika ventrikularis, subglotik dan bagian

proksimal trakea.

 Evaluasi pergerakan laring pada saat respirasi dan fonasi.

 Evaluasi pengaturan sekret

23
Prosedur pemeriksaan FEES ada 2 tahap, pertama yaitu evaluai refleks

adduktor laring terhadap rangsangan berupa pulsasi udara yang diberikan

melalui saluran khusus dalam endoskop dan yang kedua evaluasi menelan

makanan berwarna dengan berbagai konsistensi.

1. Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing with Sensory Testing

(FEESST)3,10.

Tingkat sensoris supra glotik dan faring diukur dengan

memberikan stimulus berupa pulsasi udara dengan tekanan dan durasi

tertentu pada kedua sisi lateral aritenoid untuk membangkitkan refleks

adduktor laring (Laryngeal Adductor Reflex = LAR). Masing-masing

stimulus udara diberikan dalam interval 3 detik. Stimulus udara selama

50 milidetik pertama diberikan pada level supratreshold (tekanan

pulsasi udara/APP 10 mmHg) untuk masing-masing sisi laringofaring.

Bila tidak ada respon pada satu sisi tertentu, stimulus supra treshold

diulangi kembali. Apabila setelah 3 kali percobaan pemberian pulsasi

udara 50 milidetik belum ada respon, maka pasien diberikan stimulus

pulsasi udara kontinyu selama 1 detik. Bila tetap tidak ada reaksi

setelah stimulasi dengan pulsasi udara kontinyu, maka pasien dikatakan

tidak mempunyai LAR atau mengalami defisit sensorik berat dan tidak

perlu dilakukan tes sensoris lainnya dalam pemeriksaan FEES.

Respon terhadap pulsasi udara selama 50 milidetik pada tekanan

> 6 mmHg disebut defisit sensorik berat. Bila respon positif muncul

pada level supratreshold, pulsasi udara diberikan dengan tekanan 2

mmHg APP. Apabila pasien memberikan respon pada 2 mmHgAPP,

24
maka ambang sensoris dianggap 2 mmHg dan keadaan ini disebut

normal. Bila pasien tidak memberikan respon pada 2 mmHg APP, maka

APP ditingkatkan intensitasnya dengan menaikkan 1 mmHg sampai ada

respon positif. Titik di mana respon pasien berubah dari positif ke

negatif atau dari negatif ke positif disebut ambang sensoris dan

ditentukan dengan menambahkan 2 angka di mana tampak perubahan

dan hasilnya dibagi 2. Contoh : Pada kedua sisi aritenoid diberikan

rangsangan sebesar 10 mmHg. Kekuatan pulsus udara selanjutnya

dikurangi sampai 2 mmHg sampai tidak ada respon yang timbul.

Kekuatan pulsasi udara kemudian ditingkatkan dengan menaikkan 1

mmHg hingga timbul respon pada 4 mmHg. Titik di mana respon

berubah dari negatif ke positif terletak antara 2-4 mmHg. Oleh karena

itu resultan ambang sensoris adalah 3 mmHg (4 mmHg respon positif +

2 mmHg respon negatif = 6 mmHg. 6 : 2 = 3 mmHg) Sensitivitas

laringofaring ditentukan berdasarkan kriteria berikut : – Normal 6

mmHgAPP.

2. Evaluasi Transport Bolus3,10

Setelah evaluasi kemampuan proteksi jalan napas, selanjutnya

dilakukan penilaian transport bolus makanan. Pasien menelan berbagai

variasi konsistensi makanan dan cairan yang telah diberi pewarna.

Konsistensi makanan yang diberikan berdasarkan diet yang terakhir

diberikan dan temuan evaluasi disfagia sebelumnya. Makanan diberikan

dengan ukuran bolus yang makin besar mulai dari 1/4 sensok teh (sdt),

½ sdt, dan 1 sdt. Cairan diberikan lewat sendok teh, cangkir dan

25
sedotan. Proses menelan dievaluasi untuk masing-masing presentasi.

Urutan pemberian makanan mulai dari cairan, makanan lunak dan

makanan padat. Faktor-faktor yang dinilai adalah transit time oral,

tepatnya waktu inisiasi menelan, elevasi laring, spillage, residu,

kekuatan dan koordinasi menelan, penutupan laring (retrofleksi

epiglotis dan penutupan plika vokalis), refluks, penetrasi dan aspirasi.

Perhatikan kemampuan membersihkan residu makanan atau minuman,

penetrasi dan aspirasi, baik secara spontan ataupun dengan cara-cara

tertentu misalnya dengan merubah posisi kepala ke kiri atau ke kanan,

menelan beberapa kali atau menelan kuat-kuat.

Dengan pemeriksaan FEES dinilai 5 proses fisiologi dasar seperti1:

1. Sensitivitas pada daerah orofaring dan hipofaring yang sangat berperan

dalam terjadinya aspirasi.

2. Spillage (preswallowing leakage) : masuknya makanan ke dalam

hipofaring sebelum refleks menelan dimulai sehingga mudah terjadi

aspirasi.

3. Residu : menumpuknya sisa makanan pada daerah valekula, sinus

piriformis kanan dan kiri, poskrikoid dan dinding faring posterior

sehingga makanan tersebut akan mudah masuk ke jalan napas pada saat

proses menelan terjadi ataupun sesudah proses menelan.

4. Penetrasi : masuknya makanan ke vestibulum laring tetapi belum

melewati pita suara. Sehingga menyebabkan mudah masuknya

makanan ke jalan napas saat inhalasi.

26
5. Aspirasi : masuknya makanan ke jalan napas melewati pita suara yang

sangat berperan dalam terjadi komplikasi paru.

E. Komplikasi

Adapun komplikasi yang bisa timbul pada pemeriksaan FEES


adalah sebagai berikut11:

1. Rasa tidak nyaman . Biasanya ringan, dari 500 pemeriksaan dengan

FEES dilaporkan 86 % pasien merasa tidak nyaman yang ringan.

2. Epistaksis

3. Respon vasovagal

4. Alergi terhadap anestesi topikal

5. Laringospasme.

VI. Kesimpulan
1. Menelan merupakan suatu proses sensorimotorik yang melibatkan

suatu koordinasi antara otot-otot di sekitar mulut, lidah, faring, laring,

dan esophagus1,2,3.

2. Proses menelan terbagi menjadi 3 fase yaitu fase persiapan dan

transportasi oral, fase faring, dan fase esofagus3.

3. Keluhan sulit menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala kelainan

atau penyakit di orofaring dan esophagus. Adanya gangguan

fungsional dan koordinasi pada elemen tersebut dapat menyebabkan

disfagia1.

4. Berdasarkan penyebabnya, disfagia di bagi atas disfagia mekanik, disfagia

motorik, disfagia oleh gangguan emosi1.

27
5. Disfagia diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu disfagia

orofaring (atau transfer dysphagia) dan disfagia esophagus.

6. Disfagia dapat ditegakkan diagnosanya dengan anamnesa,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya, di antaranya

pemeriksaan radiologi dengan barium, CT scan, dan MRI5

7. Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) adalah suatu

alat untuk menegakkan diagnosis disfagia pada fase faringeal,

menentukan kelainan anatomi dan fisiologi penyebab disfagia dan

menentukan posisi aman dan lebih efisien untuk menelan pada

penderita disfagia1,3,5.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Elfiaty Arsyad. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Bab XIII Kesulitan Menelan.
Edisi Ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2014. Hal 244
2. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, E/6, Vol.1. Jakarta: EGC. 2006. Hal 404-406
3. Trisnawaty, Indah. Zulka, Elvie. Tamin, Susyana. Gambaran
disfagia pada anak dan karakteristiknya. Jurnal ORLI Volume. 46
Nomor 2. Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok-
Bedah Kepala Leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. 2016. Hal 116
Internet : Https://orli.or.id/index.php/orli/article/download/164/144. (akses
13 Desember 2017)
4. Soetikno, Rista D. Pencitraan Disfagia. Bagian Radiologi Rsup. Dr.
Hasan Sadikin. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran Rsup. Dr. Hasan Sadikin. 2007. Hal 2-3
Internet : https://repository.unpad.ac.id/1369/1/pencitraan_disphagia.pdf.

(akses 13 Desember 2017)

5. Pandaleke, Jenny J. C. Sengkey, Lidwina S. Angliadi, Engeline.


Rehabilitasi Medik Pada Penderita Disfagia. Jurnal Biomedik (Jbm),
Volume 6, Nomor 3. Program Studi Ilmu Kedokteran Fisik Dan
Rehabilitasi. Manado: Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi. 2014. Hal 157-164
Internethttps://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/download

(akses 13 Desember 2017)

6. Nagel, Patrick. Gurkov, Robert. Dasar-Dasar Ilmu THT. Edisi kedua


Jakarta: EGC. 2014. Hal 70-71

29
7. Ballenger, John Jacob. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala,
dan Leher. Jilid Satu. Edisi 13. Staf Penerjemah Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta:
Binarupa Aksara. 2014. Hal 318-321
8. Ludman, Harold. Bradley, Patrick J. ABC Telinga Hidung Tenggorok.
Edisi Kelima. Jakarta: EGC. 2012. Hal 63-66
9. Mehta, Shamik Paresh. Innovations in Flexible Endoscopic
Evaluation of Swallowing and Laryngeal Sensation Testing.
International Journal of Phonosurgery and Laryngology. India:
Departement of ENT Sushrusha Hospital. 2015. Page 17-19
Internet : www.jaypeejournals.com/.../ShowText.aspx. (akses 13 Desember

2017)

10. Dodd Hall Rehabilitation. Fiberoptic Endoscopic Evaluation of


Swallowing (FEES). The Ohio State. University Medical Center.
2008. Page 1-2
Internet : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2644994/.

(akses 13 Desember 2017)

11. Deenadayal, D. S. et all. Role of Fibreoptic Endoscopy in Evaluating


Swallowing Disorders. International Journal of Otolaryngology and
Head & Neck Surgery. India : Department of ENT and HNS, Yashoda
Hospital. 2016. Page 145-152
Internet : www.scirp.org/journal/PaperInformation.aspx?paperID. (akses

13 Desember 2017)

12. Fiberoptic Endoscopy Evaluation of the Swallow (FEES). Marianjoy


Swallowing and Voice Center. Marianjoy Rehabilitation Hospital.

30

Anda mungkin juga menyukai