Anda di halaman 1dari 32

Laporan Kasus

PENANGANAN PARALISIS PLIKA VOKALIS BILATERAL


DENGAN TEKNIK KORDEKTOMI

Oleh :

Rositania Manyang Budihardjo

Progam Studi Spesialis Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

I. PENDAHULUAN

Plika vokalis adalah dua buah serat elastis yang terbuat dari jaringan otot
yang terletak di laring, tepat diatas trakea. Ketika bernapas plika vokalis
akan terbuka dan tertutup rapat saat menelan. Pada parese atau paralisis
plika vokalis, udara dari paru-paru akan menggetarkan plika vokalis dalam
kondisi setengah terbuka dan setengah tertutup ketika bersuara.1 Paralisis
plika vokalis akan menyebabkan terganggunya pergerakan salah satu
ataupun kedua plika vokalis dimana plika vokalis tidak dapat membuka dan
menutup dengan semestinya. Paralisis pita suara dapat mengakibatkan
masalah dalam mengeluarkan suara jika yang terjadi gangguan adalah otot
adduktor serta gangguan dalam bernapas dan menelan jika yang terganggu
otot abduktor. 2

Paralisis ini dapat terjadi pada semua umur, jenis kelamin, dan banyak
macam penyebab. Efek dari parese/paralisis ini bervariasi dari ringan sampai
sangat berat dan mengancam jiwa, tergantung dari pemakaian suara orang
tersebut. 1 Paralisis plika vokalis sendiri hingga kini masih menjadi masalah
yang serius dalam bidang THT-KL. Hal ini dikarenakan kerusakan yang
terjadi terhadap sarafnya bersifat permanen. Berbagai tindakan intervensi
pun mulai dikembangkan untuk meminimalkan kerusakan yang terjadi.3

1
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi Laring
II.1.1 Struktur Laring

Laring merupakan struktur kompleks yang menyatukan trakea dan


bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif umum. Secara umum,
laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan subglotis. Supraglotis
terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika
ventrikularis dan ventrikel laringeal. Glotis terdiri dari plika vokalis dan
kartilago tiroid, daerah subglotis memanjang dari permukaan bawah plika
vokalis hingga kartilago krikoid.4

Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah
batas kaudal kartilago krikoid. Kerangka laring tersusun dari satu tulang,
yaitu tulang hioid dan beberapa tulang rawan. Tulang hioid berbentuk huruf
U, dimana bagian atasnya berhubungan dengan lidah, mandibula, tengkorak
oleh tendon dan otot otot. 4

Sewaktu menelan, kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan laring


tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja
untuk membuka mulut dan membantu menggerakan lidah. Tulang rawan
yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago tiroid, kartilago
aritenoid, kartilago krikoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis dan
kartilago tritisea.5

Kartilago krikoid dihubungkan dengan kartilago tiroid oleh ligamentum


krikotiroid. Bentuk kartilago krikoid berupa lingkaran dimana merupakan
cincin tulang rawan yang utuh. Kartilago krikoid satu-satunya penyokong
laring yang utuh mengelilingi jalan napas dan memiliki peranan yang besar
dalam fungsi laring yaitu menjaga patensi jalan napas. Sedangkan kartilago
tiroid merupakan tulang rawan terbesar dari laring yang tersusun dari dua
buah sayap yang disebut alae atau lamina yang menggantung pada
ligamentum tiroid dan akan menyatu di bagian tengah yang disebut dengan
jakun atau adam’s apple. Terdapat sepasang kartilago aritenoid yang terletak
dekat permukaan belakang laring, membentuk sendi dengan kartilago krikoid,

2
disebut artikulasi krikoaritenoid. Kartilago aritenoid berada di bagian superior
dari kartilago krikoid yang berbentuk seperti piramida. Sepasang kartilago
kornikulata melekat pada kartilago aritenoid di daerah apeks, sedangkan
sepasang kartilago kuneiformis terdapat di dalam lipatan ariepiglotik dan
kartilago tritisea terletak didalam ligamentum hiotiroid lateral.5

II.1.2 Otot Laring

Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-


otot intrinsik. Otot – otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara
keseluruhan, sedangkan otot – otot intrinsik menyebabkan gerakan bagian –
bagian laring tertentu yang berhubungan dengan gerakan plika vokalis.

Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah otot aduktor (kontraksinya akan


mendekatkan kedua plika vokalis ke medial) kecuali muskulus krikoaritenoid
posterior yang merupakan otot abduktor (kontraksinya akan menjauhkan kedua
plika vokalis ke lateral.6,7

- Otot Ekstrinsik Laring


a. Suprahioid yang terletak di atas tulang hioid, berfungsi untuk
menarik laring ke bawah. Otot-otot ekstrinsik suprahioid adalah
muskulus digastrikus, muskulus geniohioid, muskulus stilohioid dan
muskulus milohioid.

3
b. Infrahioid yang terletak di bawah tulang hioid, berfungsi untuk
menarik laring ke atas. Otot-otot ekstrinsik infrahioid ialah muskulus
sternohioid, muskulus omohioid dan muskulus tirohioid.

- Otot Intrinsik Laring


a. Bagian lateral laring, terdiri dari muskulus krikoaritenoid lateral,
muskulus tiroepiglotika, muskulus vokalis, muskulus tiroaritenoid,
muskulus ariepiglotika, muskulus krikotiroid.
b. Bagian posterior laring, terdiri dari muskulus aritenoid transversum,
muskulus aritenoid oblik dan muskulus krikoaritenoid posterior.
- Adapun fungsi dari otot intrinsik laring adalah :
a. Muskulus krikotiroid, terletak dipermukaan depan laring, dan
berfungsi menegangkan plika vokalis
b. Muskulus tiroaritenoid, terletak dibelakang kartilago tiroid sampai
aritenoid, berfungsi merelaksasikan plika vokalis
c. Muskulus krikoaritenoid posterior : terletak dibelakang kartilago
krikoid sampai aritenoid, berfungsi mengabduksikan plika vokalis
d. Muskulus krikoaritenoid lateral, berfungsi mengadduksikan plika
vokalis
e. Muskulus interaritenoid dan ariepiglotis, membentuk spincter dan
bersama dengan epiglottis menutup aditus laring selama proses
menelan

4
II.1.3 Persarafan dan Perdarahan Laring

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus yaitu nervus laringeus


superior dan inferior. Kedua saraf tersebut merupakan campuran dari serabut
motorik dan sensorik.8

- Nervus laringeus superior terdiri atas cabang sensori interna yang


mempersarafi bagian anterior laring, turun sampai ke glotis dan cabang
eksterna yang merupakan motorik mempersarafi muskulus krikotiroid
eksterna.
- Nervus laringeus inferior merupakan lanjutan dari nervus laringeus
rekuren yang merupakan cabang dari nervus vagus. Nervus laringeus
rekuren kanan akan menyilang arteri subklavia, sedangkan nervus rekuren
kiri akan menyilang arkus aorta sebelum mencapai laring pada lekukan
antara trakea dan esofagus. Karena perjalanan saraf rekurens kiri yang
lebih panjang serta hubungannya dengan aorta, maka saraf ini lebih rentan
cedera dibandingkan saraf yang kanan.

Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang yaitu arteri laringeus


superior dan arteri laringeus inferior.8,9

- Arteri laringeus superior merupakan cabang dari arteri tiroid superior


yang memperdarahi mukosa dan otot – otot laring.

5
- Arteri laringeus inferior cabang dari arteri tiroid inferior yang
mempendarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan arteri
laringeus superior.

II.2 Fungsi Laring

Pada laring terdapat plika vokalis dan plika ventrikularis yang terbentuk
oleh lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum ventrikulare.
Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan disebut rima glotis, sedangkan
bidang antara plika ventrikularis kiri dan kanan disebut rima vestibuli. Plika
vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu :
vestibulum laring atau supraglotik, glotik dan infraglotik atau subglotik. 4,5

Laring memiliki fungsi sebagai proteksi jalan nafas, respirasi, menelan dan
fonasi. 10

- Fungsi laring sebagai proteksi jalan nafas adalah mencegah makanan dan
benda asing masuk ke dalam trakea dengan jalan menutup aditus laring
dan rima glotis secara bersamaan.
- Fungsi respirasi dari laring adalah dengan mengatur besar kecilnya rima
glotis. Bila otot krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan
prosesus vokalis kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima
glotis terbuka dan terjadilah inspirasi. Pada saat ekspirasi tekanan udara
dari paru menyebabkan plika vokalis bergerak ke lateral sehingga udara
dapat keluar.
- Fungsi laring dalam proses menelan adalah dengan 3 mekanisme, yaitu
gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laringis dan

6
mendorong bolus makanan turun ke hipofaring sehingga tidak masuk ke
dalam laring.
- Fungsi laring untuk fonasi dengan membuat suara serta menentukan
tinggi rendahnya nada dengan mengatur peregangan plika vokalis. Bila
plika vokalis dalam keadaan aduksi maka otot krikotiroid akan
merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan ke depan menjauhi kartilago
aritenoid. Pada saat bersamaan otot krikoaritenoid posterior akan
menahan atau menarik kartilago aritenoid ke belakang. Pada saat ini plika
vokalis dalam keadaan paling efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya
kontraksi otot krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke
depan sehingga plika vokalis relaksasi. Kontraksi dan relaksasinya plika
vokalis akan menentukan tingi rendahnya nada.

II.3 Fisiologi Laring

Selama pernapasan normal, plika akan terbuka lebar agar aliran udara
mudah lewat. Selama fonasi, plika akan menutup bersama-sama sehingga
aliran udara diantara mereka akan menghasilkan getaran (vibrasi). Kuatnya
getaran terutama ditentukan oleh derajat peregangan plika, juga oleh
bagaimana kerapatan plika satu sama lain dan oleh massa pada tepinya. Tepat
di sebelah dalam setiap plika terdapat ligamen elastik yang kuat dan disebut
ligamen vokalis. Ligamen ini melekat pada anterior dari kartilago tiroid yang
besar, yaitu kartilago yang menonjol dari permukaan anterior leher dan
(Adam’s Apple”). Di posterior, ligamen vokalis terlekat pada prosessus
vokalis dari kedua kartilago aritenoid. Kartilago tiroid dan kartilago aritenoid
ini kemudian berartikulasi pada bagian bawah dengan kartilago lain, yaitu
kartilago krikoid.9

Plika vokalis dapat diregangkan oleh rotasi kartilago tiroid ke anterior atau
oleh rotasi kartilago aritenoid ke posterior, yang diaktivasi oleh otot- otot dari
kartilago tiroid dan kartilago aritenoid menuju kartilago krikoid. Otot-otot
yang terletak di dalam plika vokalis di sebelah lateral ligament vokalis, yaitu
otot tiroaritenoid, dapat mendorong kartilago aritenoid ke arah kartilago tiroid
dan karena itu dapat melonggarkan plika vokalis. Pemisahan otot-otot ini juga
dapat mengubah bentuk dan massa pada tepi plika vokalis, menajamkannya

7
untuk menghasilkan bunyi dengan nada tinggi dan menumpulkannya untuk
suara yang lebih rendah (bass). Masih terdapat beberapa rangkaian lain dari
otot laringeal kecil yang terletak di antara kartilago aritenoid dan kartilago
krikoid, yang dapat merotasikan kartilago ini ke arah dalam atau ke arah luar
atau mendorong dasarnya bersama-sama atau memisahkannya, untuk
menghasilkan berbagai konfigurasi plika vokalis. 10

II.4 Paralisis Plika Vokalis


II.4.1 Definisi

Paralisis plika vokalis merupakan suatu kondisi terganggunya pergerakan


plika vokalis yang dapat terjadi pada salah satu atau kedua plika vokalis
dimana plika vokalis tidak dapat membuka atau menutup dengan semestinya.
Paralisis plika vokalis adalah suatu gangguan yang sering terjadi dengan
gejala klinis yang bervariasi, dari ringan hingga mengancam nyawa. 11

Paralisis plika vokalis dapat mengakibatkan masalah dalam mengeluarkan


suara dan mungkin dalam bernafas serta menelan. Satu atau kedua plika
vokalis dapat terlibat, namun kelumpuhan bilateral atau dua sisi lebih sering
terjadi. Pada paralisis plika vokalis unilateral salah satu sisi plika vokalis
kurang atau tidak dapat merapat secara lengkap di garis median (midline) saat
berbicara atau menelan. Penderita paralisis plika vokalis unilateral biasanya
merasa sulit bersuara, suara serak, sulit menelan dan sesak. 11

8
II.4.2 Etiologi

Kelumpuhan plika vokalis dapat terjadi pada anak-anak ataupun orang


dewasa. Kelumpuhan ini pun dapat dikategorikan dalam kelumpuhan
kongenital dan kelumpuhan yang didapat. Satu atau kedua plika vokalis dapat
terlibat, namun kelumpuhan bilateral atau dua sisi lebih sering terjadi. 7

- Kelumpuhan kongenital plika vokalis sering terjadi pada anak-anak


yang berhubungan erat dengan lesi pada sistem saraf pusat, termasuk
hidrochepalus, meningomyolocele, Arnold-chiari malformation,
meningocele, encephalocele, gangguan neuro muskular dan mistenia
gravis. 14
- Kelumpuhan yang didapat paling sering disebabkan oleh trauma,
infeksi dan neoplasma. Lesi traumatik lebih sering terjadi sekunder
akibat trauma operasi pada kista bronkogenik, fistula trakeoesofagus
dan paten duktus arteriosus. Infeksi juga dapat menyebabkan
kelumpuan plika vokalis, penyakit penyakit menular seperti batuk
rejan, ensefalitis, poliomyelitis, difteri, rabies, tetanus, sifilis
walaupun sekarang jarang terjadi namun dapat menyebabkan
kelumpuhan plika vokalis.15

Penyebab paralisis plika vokalis adalah trauma operasi 42%, idiopatik


25% dan keganasan 23%.9 Kelumpuhan n. rekuren bilateral dapat terjadi
karena saraf terpotong atau tertekan adanya proses inflamasi ataupun
penyebab yang tidak jelas diketahui. Biasanya tersering adalah akibat cedera
saraf rekurens pada operasi tiroidektomi.12

Penelitian bahwa paralisis plika vokalis bilateral dapat terjadi pada


golongan umur dewasa muda dan usia lanjut dengan frekuensi terbanyak pada
golongan usia dekade 4-5. Lebih sering dijumpai pada wanita dengan
perbandingan 2:1.13

II.4.3 Klasifikasi

Ada beberapa macam tipe kelumpahan plika vokalis berdasarkan saraf


yang terkena, yakni paralisis plika vokalis bilateral dan unilateral;16

9
1. Paralisis Plika vokalis Bilateral

a. Paralisis Nervus Laringeus Rekuren

Kelumpuhan bilateral nervus laringeus rekuren dapat disebabkan oleh


pasca pembedahan tiroid dan keganasan tiroid.

b. Paralisis Komplit Nervus Vagus

Penyebab tersering pada kelumpuhan bilateral komplit nervus vagus


adalah neurologik. Penyebab lainnya antara lain infark batang otak,
multipel sklerosis dan penyakit saraf motorik.

2. Paralisis Plika vokalis Unilateral

a. Paralisis Nervus Laringeus Rekuren

Pada orang dewasa paralisis nervus laringeus rekurens yang unilateral


dapat terjadi akibat trauma bedah iatrogenik, contohnya pada
pembedahan kepala leher khususnya tiroidektomi dan pembedahan
pada dada.

b. Paralisis Komplit Nervus Vagus

Penyebab paralisis komplit vagus unilateral adalah iatrogenik (operasi


tulang tengkorak), neurologik (multipel sklerosis dan ensefalitis),
infark batang otak, pertumbuhan tumor ganas baik primer dan
sekunder serta inflamasi (osteomyelitis tulang tengkorak).

II.4.4 Patofisiologi
Secara anatomis pada daerah laring terdapat nervus vagus dan cabangnya
yaitu nervus laringeus superior dan nervus laringeus inferior atau rekurens
yang mempersarafi plika vokalis. Apabila terdapat penekanan ataupun
kerusakan terhadap nervus ini maka akan terjadi paralisis plika vokalis,
dimana plika vokalis tidak dapat beradduksi maupun berabduksi. Secara
normal saat fonasi kedua plika vokalis beradduksi, namun apabila terjadi
paralisis pada salah satu atau kedua plika vokalis, maka vibrasi yang
dihasilkan oleh plika vokalis tidak maksimal dan muncul keluhan suara serak,

10
sebaliknya secara normal saat respirasi plika vokalis akan berabduksi, jika
terjadi paralisis pada salah satu atau kedua plika vokalis, maka fungsi respirasi
akan terganggu sehingga menyebabkan sesak nafas.
Pergerakan plika vokalis disebabkan oleh adanya kontraksi dari otot-otot
intrinsik laring seperti kontraksi otot interaritenoid yang dapat menyebabkan
kartilago aritenoid bergerak ke tengah dan menyebabkan aduksi plika vokalis.
Pergerakan otot krikoaritenoid posterior dapat memutar aritenoid ke arah luar
yang akan menyebabkan abduksi plika vokalis. Hal ini berlawanan dengan
muskulus krikoaritenoid lateral yang akan memutar plika vokalis ke arah
dalam sehingga menyebabkan aduksi plika vokalis. Muskulus krikotiroid
memiliki fungsi secara pasif memutar aritenoid ke arah medial sehingga
muskulus krikotiroid juga dikatakan dapat menyebabkan aduksi plika vokalis.
Adanya kelainan yang mengganggu proses pergerakan dari plika vokalis akan
menyebabkan terjadinya paralisis plika vokalis unilateral maupun bilateral.17

II.4.5 Gejala Klinis

Gejala klinis dari paralisis plika vokalis bervariasi bergantung dari posisi plika
vokalis. Terdapat 5 posisi plika vokalis berdasarkan derajat ostium laringeus
yakni : 1. Median (midline), 2. Paramedian (1,5mm), 3. Intermediate/ cadaveric
(3,5mm atau posisi netral), 4. Abduksi parsial (7mm) dan 5. Abduksi penuh
(9.5mm).

11
a. Posisi Median

Kelumpuhan plika vokalis pada posisi median sangat jarang terjadi dan
menandakan paralisis nervus laringeus rekuren yang telah berlangsung lama.
Pada pemeriksaan biasanya didapatkan pita suara yang lumpuh mengalami atrofi
dan letaknya sedikit lebih rendah daripada plika vokalis yang normal, tetapi pada
fonasi tampaknya hampir normal. Aritenoid pada sisi yang lumpuh lebih condong
kedepan. Gejala yang muncul biasanya tidak jelas, pada pembicaraan suara akan
normal, namun pada yang memerlukan perubahan tinggi nada yang luas,
misalnya saat bernyanyi suara akan terganggu.

Sedangkan kelumpuhan bilateral pada posisi median dapat terjadi segera


setelah cedera nervus laringeus rekuren atau dapat tertunda sampai 20 tahun.
Gejala yang timbul pada kondisi ini adalah dispnea dan adanya stridor inspirasi.
Pasien biasanya bernafas dangkal dan perlahan, menghindari kerja fisik atau
rangsangan. Pada pemeriksaan ketika fonasi, laring tampak normal namun pita
suara tidak dapat berabduksi dari posisi digaris tengah pada waktu inspirasi,
sehingga saluran nafas hanya berupa celah tipis berbentuk lonjong. Pada beberapa
kasus saluran nafas secara subjektif adekuat, oleh karena perbedaan tinggi pita
suara.

b. Posisi Paramedian

Kelumpuhan plika vokalis pada posisi paramedian adalah yang paling sering
terjadi. Kelumpuhan unilateral pada posisi paramedian terjadi akibat kelumpuhan
nervus laringeus rekuren yang baru. Derajat disfungsi sangat dipengaruhi oleh
derajat kompensasi yang dicapai. Pada pemeriksaan biasanya didapatkan pita

12
suara bagian membran agak melengkung dan letaknya lebih rendah daripada pita
suara yang normal. Plika vokalis yang lumpuh tampak menggelembung ke atas
pada fonasi dan bentuk glotis tetap agak lonjong. Aritenoid tampak melewati
garis tengah dan bergerak dibelakang atau didepan aritenoid yang lumpuh, bila
paralisis telah beberapa hari. Gejala pada kasus yang tidak mengalami
kompensasi pada paralisis paramedian antara lain suara mendesah, parau, waktu
fonasi memendek, volume suara dan tingkat nada berkurang, serta diplofonia.
Bila terjadi kompensasi, maka gejalanya berkurang dan pada beberapa kasus suara
akan menjadi normal kembali. Biasanya terdapat sedikit disfonia, dan pada
beberapa kasus tinggi nada meninggi abnormal (falsetto), oleh karena usaha
kompensasi untuk glotis yang lonjong. Biasanya pada orang tua tidak terjadi
kompensasi pada posisi plika vokalis ini.

Sedangkan kelumpuhan bilateral pada posisi paramedian terjadi akibat


paralisis nervus rekurens bilateral yang baru saja terjadi. Gejalanya yang timbul
dapat berupa dispnea dan stridor. Pada pemeriksaan didapatkan lebar glotis di
komisura posterior sekitar 3-4 mm. Plika vokalis biasanya agak melengkung serta
pada saat ekspirasi dibagian superior menggelembung.

c. Posisi Intermedian

Paralisis plika vokalis pada posisi intermedian biasanya disebabkan oleh


paralisis nervus rekuren dan nervus laringeus superior pada satu sisi yang disebut
paralisis gabungan. Kondisi yang paling sering menyebabkan kerusakan saraf
ganda ini adalah cedera akibat tindakan tiroidektomi. Paralisis plika vokalis pada
posisi intermedian ini biasanya bersifat sementara dan plika vokalis akan
berpindah kearah garis tengah setelah beberapa hari beberapa bulan atau tahun.
Gejala yang dapat timbul berupa ketidakmampuan glotis, suara lemah, suara
parau, waktu fonasi pendek dan nafas pendek karena udara nafas banyak pada
waktu berbicara. Pada pemeriksaan laring tampak letak plika vokalis yang
lumpuh kira-kira 3,5 sampai 4 mm dari garis tengah. Plika vokalis melengkung
ke lateral dan masih terdapat celah glotik seluas 1 sampai 2 mm pada fonasi.
Jarang terjadi kelumpuhan bilateral diposisi intermedian yang menetap, karena
hal ini biasanya disebabkan oleh lesi bulbar bilateral dan lesi vagus atas, yang
tidak memungkinkan untuk terus hidup.

13
d. Posisi Abduksi Parsial
Paralisis plika vokalis dalam posisi abduksi parsial jarang sekali
ditemukan. Hal ini dapat terjadi oleh karena lesi korteks difus yang
disebabkan oleh trauma. Kelumpuhan yang di timbulkan cenderung bilateral
dan gejalanya sama dengan kelumpuhan pada posisi intermedian tetapi lebih
jelas.

e. Posisi Abduksi Penuh


Paralisis plika vokalis dalam posisi abduksi penuh disebabkan oleh
paralisis cabang eksternal nervus laringeus superior. Pada keadaan tersebut
akan terjadi kesulitan mempertahankan, menaikkan dan mengatur tinggi nada.
Kelumpuhan ini umumnya unilateral. 18

II.4.6 Diagnosis

Untuk mendiagnosis suatu paralisis atau parese plika vokalis, perlu


dilakukan anamnesa mengenai gejala dan gaya hidup pasien, perlu juga
ditanyakan tentang riwayat tindakan operatif yang sebelumnya dilakukan.
Pemeriksaan fisik secara umum dengan melakukan pemeriksaan terhadap
laring akan menentukan apakah hanya satu plika vokalis yang terkena atau
kedua-duanya terkena paralisis/parese. Pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan laring yang dapat menggunakan fiberoptik laringoskop (FOL)
dan laringostroboskopi, elektromiografi (Laryngeal EMG), Direct
Laryngoscopy serta pemeriksaan radiologis.9

a. Fiberoptik Laringoskop (FOL)


Pemeriksaan ini untuk melihat saat fonasi akan tampak celah dan plika
vokalis yang paralisis berada di sisi lateral. Selain itu dapat di nilai
besarnya celah rima glotis (jalan nafas yang adekuat) dan memastikan ada
tidaknya celah dibagian posterior saat fonasi.
b. Laringostroboskopi
Merupakan prosedur utama untuk menentukan abnormalitas gerakan plika
vokalis. Pada saat pemeriksaan, pasien diminta untuk menghidu dan
bersiul, karena gerakan ini akan menggerakkan otot-otot abduktor. Dapat
mengetahui bentuk plika vokalis, mobilitas, penutupan glotis dan lamanya

14
mengeluarkan suara.
c. Elektromiografi ( Laryngeal EMG)
Pada pemeriksaan elektromiografi dapat ditegakkan ada tidaknya kelainan
gerakan laring, intregitas nervus laringeus, denervasi saraf dan prognosis
dari plika vokalis yang mengalami paralasis dengan meletakkan elektrode
di lokasi muskulus tiroaritenoid dan muskulus krikotiroid.
d. Radiologi
Pemeriksaan radiologi berupa CT scan dapat dilakukan bila dicurigai
adanya kelainan disekitar foramen magnum di basis tengkorak, leher dan
mediastinum. Pemeriksaan MRI dapat dilakukan untuk mendeteksi
kelainan di otak.

II.4.7 Penatalaksanaan
Tujuan terapi yang ideal adalah selain membebaskan jalan napas juga
mempertahankan fungsi bicara. Indikasi pengobatan dari gejala tersebut sangat
individual tergantung pada lamanya gejala, umur pasien, derajat keluhan,
status sosial pasien dan keinginan pasien. Dua strategi yang biasanya
digunakan adalah konservatif dan operatif.19
a. Konservatif
Terapi konservatif pada penderita paralisis plika vokalis unilateral berupa
Voice Theraphy oleh ahli terapi wicara (speech therapy) dan
medikamentosa dengan obat-obatan neurotropik.
Voice therapy dilakukan terlebih dahulu, sambil melihat
perkembangan kondisi pasien. Pemilihan terapi wicara ini sebagai terapi
sendiri karena dalam beberapa kasus suara dapat kembali normal tanpa
terapi pada tahun pertama terjadinya kerusakan sehingga tidak
memerlukan pembedahan, jika pasien tidak bisa atau menolak
pembedahan. Apabila rehabilitasi gagal menghasilkan perbaikan kualitas
suara pasien, maka dipertimbangkan untuk dilakukan phonosurgery.
Pasien-pasien yang akan menjalankan operasi diharapkan
menghentikan kegiatan merokok. Selain itu juga pasien-pasien denga
Chronic Obstructive Pulmonary Disease, Gastroesophageal Reflux
Disease, dan Diabetes Mellitus harus diberikan manajemen yang baik
sebelum menjalani proses operasi, karena merupakan faktor pemicu

15
gagalnya operasi.
Terapi dengan medikasi biasanya dipakai saat ada kelainan
penyerta seperti refluks gastroesofagus dengan menggunakan antasida,
proton pump inhibitor, sinonasal alergi dengan antihistamin. 16

b. Operatif
Gejala utama pada paralisis abduktor bilateral adalah sesak napas
dengan kemungkinan terjadinya asfiksia. Oleh karena itu, tindakan yang
pertama adalah menghilangkan sesak napas dengan melakukan
trakeostomi. Trakeostomi dapat merupakan tindakan permanen dengan
menggunakan kanul yang berkatup, sehingga pasien dapat bersuara. Selain
trakeostomi permanen tindakan yang lain adalah melebarkan rima glotis,
tetapi akibatnya suara dapat bertambah jelek, oleh karena itu sebaiknya
ditunggu 6-12 bulan dengan harapan kelumpuhan yang bukan karena
terpotongnya saraf rekuren akan pulih kembali fungsinya.15
Narcy dkk merekomendasikan lateralisasi dini antara 6-9 bulan
setelah diagnosis. Dengan tindakan aritenoidektomi dan aritenoidepeksi,
mereka dapat mendekanulasi 68% pasien trakeostomi.19
Menurut kepustakaan, ada beberapa macam teknik operasi yang
dikemukakan para ahli, antara lain:16
- Aritenoidopeksi, yaitu mobilisasi tulang rawan aritenoid dan
memfiksasinya ke tepi dorsal lamina tiroid.
- Aritenoidektomi, tulang aritenoid diangkat dan plika vokalis difiksasi ke
tepi dorsal lamina tiroid.
- Kordektomi, pengangkatan plika vokalis dengan teknik intralaring
menggunakan laser CO2 oleh Ossof. Teknik ini mempunyai kelebihan,
yaitu lebih teliti dan tepat, hemostasis lebih baik, edema
intraoperatif/pascaoperatif kurang dan hanya sedikit mempengaruhi
fungsi fonasi.

II.4.8 Prognosis
Hasil dari terapi pada paralisis plika vokalis adalah sangat baik.
Kebanyakan pasien dapat kembali berbicara hampir normal dan bahkan
normal dan dengan minimal atau tanpa limitasi dari fungsi berbicara untuk

16
kebutuhan berbicara sehari hari. Tetapi untuk bernyanyi, kemungkinan tidak
akan bisa dengan sempurna, karena kemampuan plika vokalis sudah
terbatas.20

II.4.9 Komplikasi
Komplikasi dari terapi pembedahan adalah suara yang kurang baik. Pada
saat pembedahan yang mencakup manipulasi dari saluran nafas, faktor seperti
hematoma, edema dapat menyebabkan kesulitan bernafas, dan untuk
mencegah dari komplikasi ini maka pada saat operasi harus dilakukan dengan
tepat dan sangat hati-hati serta dengan pemberian kortikosteroid pre dan post
operatif, dan resiko akan lebih besar jika proses pembedahan adalah bilateral.
Pada beberapa kasus ditemukan komplikasi post operatif berupa
tumbuhnya jaringan granulasi pada plika vokalis yang telah di eksisi,dapat
dihindari dengan teknik operasi mencakup hingga bagian intramuskular.

II.5 Kordektomi

Kordektomi adalah operasi pengangkatan plika vokalis dan biasanya


sebagai penanganan dari karsinoma laring. Eksisi laring dapat dengan cara
tradisional maupun lebih lanjut dengan menggunakan laser karbon dioksida.22

Terdapat delapan tipe klasifikasi dari teknik kordektomi. Tipe I adalah


kordektomi subepitelial, dimana reseksi dilakukan pada bagian subepitelium.
Tipe II adalah kordektomi subligamental, dimana reseksi dilakukan pada
epitelium, ruang Reinke’s, dan ligament plika vokalis. Tipe III adalah
kordektomi transmuskular, dimana resesksi melalui otot plika vokalis. Tipe IV
adalah kordektomi total. Tipe V dibagi menjadi 4 yaitu Va dimana kordektomi
diperluas hingga kontralateral dari plika vokalis dan komisura anterior. Vb
diperluas hingga aritenoid, Vc diperluas hingga plika ventrikularis, dan Vd
diperluas hingga area subglotik.

Indikasi teknik penggunaan kordektomi ini berbeda tiap dokter,dan operasi


diklasifikasikan menurut pendekatan bedah yang digunakan dan derajat
reseksinya dimana hal tersebut bergantung pada ukuran dan jenis lesi pada
plika vokalis.

17
a. Tipe I (Kordektomi Subepitelial)

Kordektomi dengan reseksi pada epitelium plika vokalis lalu melewati lapisan
superfisial dari lamina propria. Teknik ini digunakan pada kasus lesi pada plika
vokalis yang dicurigai adanya transformasi malignansi. Pada kebanyakan kasus
didapatkan secara umum bagian dari epitelum akan terdampak, maka harus
dilakukan reseksi secara komplit, hal ini dilakukan untuk mencegah adanya area
karsinoma yang tertinggal.

b. Tipe II (Kordektomi subligamental)

Kordektomi dengan reseksi diantara ligamen plika vokalis dan otot plika vokalis,
reseksi dapat diperluas hingga komisura anterior. Pada level diagnostik, prosedur
ini diindikasikan pada kasus leukoplakia berat ketika lesi diperlihatkan sebagai
tanda klinis dari dari transformasi neoplastik. Pada level terapeutik, diindikasikan
pada kasus mikroinvasif karsinoma.

c. Tipe III (Kordektomi Transmuskular)

18
Kordektomi dengan reseksi pada epitelium, lamina propria hingga bagian dari otot
plika vokalis, dapat diperluas hingga komisura anterior. Untuk melihat seluruh
plika vokalis, reseksi parsial pada plika ventrikularis dapat dilakukan.pada level
terapeutik, teknik ini diindikasikan untuk kasus keganasan dimana sel kanker
sudah sampai pada otot plika vokalis.

d. Tipe IV (Kordektomi Total)

Kordektomi yang meluas dari plika vokalis hingga ke komisura anterior,


kedalaman dari batas reseksi mencapai perikondrium internal dari ala tiroid,
pada beberapa kasus bahkan perikondrium juga ikut direseksi. Total
kordektomi di indikasikan untuk kasus T1a keganasan, dimana sel kanker
berinfiltrasi ke plika vokalis, tindakan adalah untuk tujuan kuratif.

e. Tipe V (Kordektomi yang diperluas)

19
Kordektomi total dapat diperluas ketika diperlukan pengangkatan secara
parsial maupun total dari plika ventrikular ipsilateral.

- Va (perluasan kordektomi hingga plika vokalis kontralateral)

Reseksi mencakup komisura anterior dan tergangung pada perluasan


tumor dapat satu segmen maupun seluruh plika vokalis kontralateral,
reseksi harus dilanjutkan sepanjang kartilago dari komisura anterior.
Untuk mendapatkan hasil yang baik, reseksi dapat dilakukan hingga plika
ventrikularis kontralateral.
- Vb (Perluasan kordektomi hingga aritenoid)

Teknik ini diindikasikan untuk kasus karsinoma plika vokalis yang


melibatkan plika vokalis posterior hingga mengenai aritenoid. Aritenoid
bersifat mobile, kartilago dapat direseksi parsial maupun total hingga
mukosa aritenoid posterior dapat terlihat.
- Vc (perluasan kordektomi hingga plika ventrikularis)

20
Teknik ini diindikasikan untuk keganasan ventrikular atau kanker
transglotik yang meluas dari plika vokalis menuju plika ventrikularis.
Reseksi mencakup plika ventrikularis dan ventrikel Morgagni.

- Vd (Perluasan kordektomi hingga area subglotik)

Reseksi ini dapat dilakukan hingga sedalam 1 cm dibawah glotis untuk dapat
melihat kartilago krikoid, namun teknik ini masih menjadi beberapa
perdebatan. Pada beberapa kasus kordektomi yang diperluas cocok untuk
karsinoma T2.

III. LAPORAN KASUS

21
Pasien GAMS, perempuan, umur 50 tahun, beralamat di Tabanan datang
ke Poli THT-KL RSUP Sanglah pada tanggal 26 Agustus 2020 dengan keluhan
suara serak yang semakin memberat sejak kurang lebih 1 bulan, Pasien dengan
riwayat operasi tiroid pada umur 13 tahun dimana sejak saat itu suara pasien
berubah menjadi sedikit serak namun karena tidak menganggu aktivitas, pasien
tidak pernah periksa untuk keluhan tersebut, lalu pada tahun 2016 terdapat
keluhan sesak nafas dan telah dilakukan trakeostomi dan LD biopsi didapatkan
hasil tidak tampak ada keganasan, terpasang trakeostomi selama 3 bulan karena
sudah tidak ada keluhan maka di dekanulasi, setelah itu tidak ada keluhan sesak
hingga pada tanggal 16 Agustus 2020 muncul keluhan sesak sejak 1 minggu
sebelumnya yang semakin memberat hingga pasien dilakukan tindakan
trakeostomi kembali.

Pada pemeriksaan fisik kesan keadaan umum penderita kompos mentis


dan gizi cukup. Status generalis : TD : 120/80 mmHg, RR : 19 x/mnt, N :
89x/mnt, Tax : 36,5 C, SpO2 : 99 %. Pada pemeriksaan THT tidak didapati
adanya kelainan pada telinga, hidung dan faring. Inspeksi pada daerah leher
tampak terpasang trakeostomi dengan luka terawat baik, tampak sikatrik bekas
operasi sebelumnya. Pada palpasi tidak teraba massa dan tidak ada nyeri tekan.

Pada pemeriksaan penunjang dilakukan endoskopi dengan serat fiber


optik dengan hasil evaluasi :

a. Epiglotis : mukosa normal, tidak udem


b. Vallekula : tidak nampak adanya massa tumor

c. Plika vokalis : posisi median, tidak bergerak dengan celah ± 1 mm pada saat
inspirasi dan massa tumor tidak ada

d. Aritenoid : keduanya nampak tidak bergerak, mukosa warna merah muda,


tidak udem

22
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan
diagnosis kerja pasien ini adalah paralisis plika vokalis abduktor bilateral post
trakeostomi, pasien direncanakan tindakan kordektomi. Sebagai persiapan
dilakukan pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil WBC : 7,46 10µ/µL, HGB
: 10,32 g/dL, HCT : 35,30 %, PLT : 349 10µ/µL, glukosa acak : 83 mg/dL, BT 2
menit, APTT 29,2 detik, INR 0,89. Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan
hasil cor dan pulmo tak tampak kelainan.

Pasien direncanakan tindakan kordektomi pada tanggal 31 Agustus 2020


dengan status fisik ASA I dari TS Anastesi, tindakan dilakukan di OK IGD
dengan bius total, dengan laporan operasi sebagai berikut :

a. Pasien tidur terlentang diatas meja operasi dibawah pengaruh General


Anastesi
b. Desinfeksi lapangan operasi, persempit dengan doek steril
c. Dimasukan laringoskopi, kemudian dilakukan pemotongan plika vokalis
sinistra dan rawat perdarahan
d. Temuan operasi : tampak paralisis plika vokalis bilateral, tidak tampak
massa
e. Evaluasi perdarahan : perdarahan tidak ada
f. Operasi selesai.

Pada tanggal 1 September 2020 pasca tindakan kordektomi pasien


dirawat diruangan dengan diberikan antibiotika seftriakson 2 x 1 gr intravena,
metilprednisolon 2 x 62,5 mg intravena, asam traneksamat 3 x 500 mg intravena,
serta ketorolak 3 x 30 mg intravena.

23
Pada tanggal 2 September 2020 pasien masih mendapatkan terapi
antibiotika seftriakson 2 x 1 gr intravena, metilprednisolon 2 x 62,5 mg
intravena, asam traneksamat 3 x 500 mg intravena, ketorolak 3 x 30 mg intravena
ditambah dengan ambroksol 3 x 30 mg intraoral. Pada tanggal 3 September 2020
pasien sudah tidak ada keluhan sehingga dipulangkan.

Pada tanggal 11 September 2020, pasien kontrol ke Poliklinik THT-KL


RSUP Sanglah, dengan keluhan batuk mengeluarkan dahak masih ada, sesak
tidak ada, suara ada sedikit. Dilakukan endoskopi dengan serat fiber optik dengan
hasil evaluasi :

a. Epiglotis : mukosa tampak edema


b. Vallekula : tidak nampak adanya massa tumor

c. Plika vokalis : bagian sinistra posisi paramedian tampak beregerak pada saat
inspirasi, bagian dekstra posisi median, tidak bergerak saat inspirasi

d. Aritenoid : mukosa tampak edema

e. Mukosa : ditemukan banyak sekret mukoid

diberikan obat pulang yaitu metilprednisolon 2 x 8 mg intraoral, sefiksim 2 x 200


mg intraoral, ambroksol 3 x 30 mg intraoral serta lansoprazol 1 x 30 mg intraoral.

Pada tanggal 25 September 2020, pasien kontrol lagi ke Poliklinik THT-


KL RSUP Sanglah, dengan keluhan batuk mengeluarkan dahak masih ada
sedikit-sedikit, sesak tidak ada, suara ada sedikit. Pasien dicoba untuk dekanulasi

24
trakeostomi namun gagal karena pasien sesak saat kanul trakeostomi dilepaskan.
Dilakukan endoskopi dengan serat fiber optik dengan hasil evaluasi :

a. Epiglotis : mukosa merah muda, tidak edema


b. Vallekula : tidak nampak adanya massa tumor

c. Plika vokalis : tampak perlengketan sebagian mukosa plika vokalis dekstra dan
sinistra, bagian sinistra posisi median tampak bergerak pada saat inspirasi, bagian
dekstra posisi median, tidak bergerak saat inspirasi

d. Aritenoid : mukosa merah muda, tidak edema

Pasien direncanakan kembali tindakan kordektomi plika vokalis bilateral


pada tanggal 2 Oktober 2020. Dengan laporan operasi sebagai berikut :

a. Pasien tidur terlentang diatas meja operasi dibawah pengaruh General


Anastesi
b. Desinfeksi lapangan operasi, persempit dengan doek steril
c. Dimasukan laringoskopi, kemudian dilakukan pemisahan mukosa plika
vokalis yang lengket lalu dilakukan pemotongan plika vokalis dekstra
sinistra hingga mencapai otot plika vokalis dan dilakukan rawat
perdarahan
d. Temuan operasi : tampak paralisis plika vokalis bilateral, tidak tampak
massa
e. Evaluasi perdarahan : perdarahan tidak ada
f. Operasi selesai.

25
Pada tanggal 9 Oktober 2020, pasien kontrol ke Poliklinik THT-KL
RSUP Sanglah, dengan keluhan batuk mengeluarkan dahak masih ada sedikit-
sedikit, sesak tidak ada, suara ada sedikit. Dilakukan endoskopi dengan serat fiber
optik dengan hasil evaluasi :

a. Epiglotis : mukosa tampak edema

b. Vallekula : tidak nampak adanya massa tumor


c. Plika vokalis : bagian dekstra dan sinistra posisi paramedian tampak
beregerak pada saat inspirasi
d. Aritenoid : mukosa tampak edema
e. Mukosa : ditemukan sekret mukoid

diberikan obat pulang yaitu metilprednisolon 2 x 8 mg intraoral, sefiksim 2


x 200 mg intraoral, ambroksol 3 x 30 mg intraoral serta lansoprazol 1 x 30 mg
intraoral.

Pada tanggal 2 November 2020, pasien kontrol ke Poliklinik THT-KL


RSUP Sanglah, dengan keluhan batuk mengeluarkan dahak masih ada sedikit-
sedikit, sesak tidak ada, suara ada sedikit. Dilakukan endoskopi dengan serat fiber
optik dengan hasil evaluasi :

a. Epiglotis : mukosa merah muda

b. Vallekula : tidak nampak adanya massa tumor


c. Plika vokalis : bagian dekstra dan sinistra posisi paramedian tampak
beregerak pada saat inspirasi

26
d. Aritenoid : mukosa merah muda

Pasien dilakukan tindakan dekanulasi trakeostomi, dan saat dicoba


dilepaskan pasien tidak ada keluhan sesak nafas, dilakukan penutupan lubang di
leher post trakeostomi dengan kassa steril, suara pasien ada muncul sedikit-
sedikit, pasien di KIE.

IV. PEMBAHASAN
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan endoskopi serat
optik dapat ditegakkan diagnosis paralisis plika vokalis abduktor bilateral. Pada
anamnesis didapatkan keluhan sesak yang dialami oleh pasien yang memberat
sejak satu hari sebelum masuk RS, pasien riwayat dilakukan operasi tiroid pada
usia 13 tahun, perubahan suara sejak operasi tersebut mengarahkan kita
kemungkinan adanya cedera nervus laringeus rekuren pada saat operasi atau
terjadi penekanan pascaoperasi. Hal ini sesuai dengan menurut laporan Ballenger
yang menyebutkan 40% kelumpuhan abduktor bilateral akibat tindakan
tiroidektomi, pada kebanyakan kasus paralisis terbatas pada nervus laringeus
eksterna.10 Lo dkk melaporkan gejala-gejala suara seperti suara serak, suara yang
melemah dan nada suara yang abnormal adalah gejala umum yang terjadi setelah
operasi tiroid rata-rata sebesar 0 sampai 87%. Hazem dkk melaporkan angka
kejadian paralisis plika vokalis bilateral setelah post tiroidektomi sebesar 58%.

Pada kasus ini pasien adalah wanita usia 50 tahun hal ini sesuai dengan
Rahmawati dkk melaporkan paralisis plika vokalis bilateral dapat terjadi pada
golongan umur dewasa muda dan usia lanjut dengan frekuensi terbanyak pada

27
golongan usia dekade 4-5. Lebih sering dijumpai pada wanita dengan
perbandingan 2:1.15

Pasien mengeluhkan adanya perubahan suara menjadi lebih serak sejak


dilakukannya operasi tiroid, untuk keluhan sesak napas mulai dirasakan beberapa
tahun setelah operasi dan makin lama bertambah berat disebabkan oleh karena
pada awalnya plika vokalis yang berada pada posisi paramedian berubah menjadi
posisi median, hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Ballenger bahwa plika
vokalis yang paralisis dapat berubah posisi setelah sekian lama, pada mulanya
plika vokalis terletak pada posisi paramedian atau intermediate yang
menyebabkan gejala disfonia. Setelah periode waktu tertentu secara perlahan-
lahan bergerak ke posisi median, sehingga suara bertambah baik tetapi sesak
nafas dan stridor inspiratoir akan bertambah berat pada waktu beraktivitas atau
stress dan bila terjadi infeksi saluran nafas atas.16

Pasien sempat dilakukan tindakan trakeostomi pada tahun 2016 karena


keluhan sesak nafas yang semakin memberat. Gejala utama pada paralisis
abduktor bilateral adalah sesak napas dengan kemungkinan terjadinya asfiksia.
Oleh karena itu, sesuai yang dikatakan Narcy dkk tindakan yang pertama adalah
menghilangkan sesak napas dengan melakukan trakeostomi.19

Pada pasien didapatkan bekas jaringan parut pada leher kanan dan kiri
post operasi pengangkatan tiroid saat usia pasien masih 13 tahun, dan munculnya
keluhan sesak nafas saat tahun 2016 dan segera di trakeostomi saat itu juga, dan
kemudian berulang lagi pada tahun 2020. Pasca operasi tiroidektomi dapat timbul
jaringan parut yang menekan nervus laringeus rekuren. Penekanan nervus
laringeus rekuren lama-kelamaan menimbulkan atrofi, fibrosis dan degenerasi
hialin pada serat otot-otot intrinsik. Menurut Jose dkk, paralisis plika vokalis
bilateral merupakan salah satu kekhawatiran terbesar dari para ahli bedah setelah
tindakan tiroidektomi total. Hal ini menyangkut keselamatan pasien karena dapat
membahayakan jalan nafas yang dapat membutuhkan tindakan reintubasi bahkan
trakeostomi emergensi.17

Pada kasus ini setelah di lakukan trakeostomi emergensi direncakan untuk


tindakan lateralisasi dengan metode kordektomi, pasien tidak memilih pilihan
trakeostomi permanen karena merasa kurang nyaman jika terus-menerus

28
terpasang trakeostomi di leher dan pasien sudah dijelaskan kemungkinan
komplikasi suara yang berkurang bahkan menghilang setelah dilakukan tindakan
kordektomi. Pada kasus yang sudah berlangsung lama, pilihan yang dapat dipilih
adalah antara trakeostomi permanen atau dengan prosedur operasi untuk
lateralisasi plika vokalis. Untuk tindakan trakeostomi permanen berfungsi untuk
menghilangkan stridor, mempertahankan suara yang baik tetapi mempunyai
kekurangan yaitu adanya lubang trakeostomi di leher. Pilihan operasi dengan
teknik lateralisasi plika vokalis dapat menghilangkan obstruksi jalan nafas
permanen tetapi dapat mengorbankan suara, akan tetapi tak ada lagi stoma
trakeostomi di leher.18

Pasien akhirnya dilakukan tidakan kordektomi namun didapatkan hasil


yang kurang baik, karena saat di endoskopi 2 minggu paska operasi kordektomi
bagian mukosa dari plika vokalis sebelah sinistra mulai tumbuh kembali dan
menempel ke plika vokalis yang dekstra sehingga ketika dilakukan dekanulasi
trakeostomi pasien kembali sesak, pasien akhirnya dilakukan kordektomi kembali
namun pada kedua sisi dekstra sinistra dengan melakukan pemisahan pada
mukosa yang menempel dan memotong hingga bagian otot dari plika vokalis.
Wicker dan Devine menjelaskan, melalui laringoskop dengan bantuan mikroskop
dilakukan kordektomi submukosa 2/3 posterior dengan tujuan memperbaiki
fungsi pernapasan dan mempertahankan fungsi bicara. Teknik ini mempunyai
kelebihan, yaitu lebih teliti dan tepat, hemostasis lebih baik, edema
intraoperatif/pascaoperatif kurang dan hanya sedikit mempengaruhi fungsi fonasi,
namun komplikasi dari teknik lateralisasi dengan kordektomi jika hanya
memotong bagian hingga mukosa plika vokalis, mukosa dapat tumbuh lagi
sehingga posisi plika vokalis dapat menuju ke arah median kembali.

Pada pasien setelah 1 bulan paska operasi dilakukan pemeriksaan


menggunakan endoskopi dan diapatkan hasil plika vokalis dekstra dan sinistra
berada di posisi paramedian dengan posisi yang bergerak saat berfonasi dan
respirasi, lalu dicoba untuk dilakukan dekanulasi trakeostomi, dan berhasil karena
pasien tidak sesak dan suara yang mulai muncul suara sedikit-sedikit. Hal imi
sesuai dengan yang dikatakan Narcy dkk dengan tindakan kordektomi, 68%
pasien dapat didekanulasi 1 hingga 3 bulan paska trakeostomi.19

29
Pada pasien ini memang tidak dilakukan voice theraphy lebih awal
dikarenakan pasien yang merasa tidak merasa terganggu untuk keluhan suara
serak yang dirasakannya sejak muda dan kurangnya informasi mengenai paralisis
plika vokalis. Watt-Boolsen dkk melaporkan, bahwa voice therapy lebih awal
untuk melatih plika vokalis dapat mengurangi angka kejadian voice problem
pada pasien dengan keluhan paresis/paralisis plika vokalis permanen atau
sementara.16

Untuk menghindari berbagai komplikasi yang dapat ditimbulkan dari


tindakan kordektomi dipengaruhi oleh keahlian operator bedah, pengalaman dan
teknik ahli bedah yang didukung oleh fasilitas dan alat-alat yang memadai.19

V. KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang pasien wanita 50 tahun dengan diagnosis
paralisis plika vokalis abduktor bilateral. Pada pemeriksaan endoskopi dengan
serat fiber optik, ditemukan plika vokalis : posisi midline, tidak bergerak dengan
celah ± 1 mm pada saat inspirasi dan tidak ada massa. Bilateral midline paralysis
dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas atas bila plika vokalis gagal abduksi
dan membutuhkan penanganan jalan nafas atas segera. Pada kasus ini dilakukan
tindakan trakeostomi emergensi.

Untuk mencegah berulangnya terjadi keluhan sesak nafas pada pasien


maka dilakukan tindakan kordektomi, dengan menggunakan laringoskopi,
kemudian dilakukan pemotongan plika vokalis deksstra sinistra hingga mencapai
otot dan rawat perdarahan. Dari hasil kontrol didapatkan hasil yang baik dengan
tidak adanya keluhan sesak, suara masih keluar walau kecil dan pada hasil
endoskopi 1 minggu paska operasi didapatkan plika vokalis bagian dekstra dan
sinistra posisi paramedian tampak beregerak pada saat inspirasi, mukosa epiglotis
dan aritenoid masih didapatkan edema. 1 bulan paska operasi pasien dilakukan
dekanulasi trakeostomi.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia. Sobotta. Jilid 1. Edisi 21. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2003. p; 127-34
2. Ballenger, JJ. Penyakit Teling, Hidung, Tenggorakan, Kepala dan Leher, Jilid
1. Alih Bahasa Staf Ahli Bagian THT, RSCM – FKUI. Binarupa aksara
3. Faiz, Omar dan Moffat, David; alih bahasa Annisa Rahmalia.2004. At a
Glance Series ANATOMY. Jakarta: Penerbit Erlangga
4. Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and Physiology of The Larynx. In: Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed. Hamilton: BC Decker
Inc; 2003. p.1090-107.
5. Sulica L. Voice: Anatomy, Physiology, and Clinical Evaluation. In: Bailey’s
Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2005. p. 945-57.
6. George L. Adams, Lawrence R. Boeis, Peter A. Highler. Dalam BOEIS Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG; 1997.
Hal 369- 396
7. James B. Snow, John Jacob Ballenger. In Ballenger’s Otorhinolaryngology
Head and Neck Surgery. 16th Edition. Spain: BC Decker Inc; 2003. Page
1090-1236 4. John T. Hansen, David R. Lambert. In Netter’s Clinical
Anatomy. 1 st Edition. USA: Medimedia; 2005. Chapter 8
8. Thomas R. Van De Water, Hinrich Staecker. In Otolaryngology Basic
Science and Clinical Review. 1 st Edition. New York: Thieme Medical
Publisher; 2005. Page 505-523
9. Charles W. Cummings, Paul W. Flint, Bruce H. Haughey, K.Thomas
Robbins, J. Regan Thomas, Lee A. Harker, Mark A. Richardson, and David
E. Schuller. In Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. 4 th
Edition. USA: Mosby Inc; 2005. Part 7
10. John T. Hansen, David R. Lambert. In Netter’s Clinical Anatomy. 1 st Edition.
USA: Medimedia; 2005. Chapter 8
11. Young VN, Simpson CB. Treatment of Vocal Fold Paralysis. In : Bailey’s
Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2005. p. 1004-1023.

31
12. Grant JR, Hartemink DA, Merati AL. Acute and Subacute Awake Injection
Laryngoplasty for Thoracic Surgery Patients. Laryngoscope.
2010;120(8):1582-90
13. Rahmawati, Kuhuwael FG. Aritenoidektomi-aritenoidopeksi pada bilateral
abduktor paralisis plika vokalis. Naskah lengkap Indonesian ORL-HNS
Society Annual Meeting. Bali, 2005
14. R. S. Dhillon, C. A. East. In Ear, Nose, and Throat and Head and Neck
Surgery. 2nd Edition. UK ; Harcourt Publishers; 2000. Page 56-60
15. Thomas R. Van De Water, Hinrich Staecker. In Otolaryngology Basic
Science and Clinical Review. 1st Edition. New York: Thieme Medical
Publisher; 2005. Page 505-523
16. Anil K. Lalwani. Vocal Cord Paralysis. In Current Diagnosis and Treatment
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2nd Edition. New York: Mc Graw
Hill Lange; 2007. p. 456 – 461.
17. Ludlow CI, Mann EA. Neurogenic and Functional Disorders of The Larynx.
In: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed.
Hamilton: BC Decker Inc; 2003. p.1218-54.
18. Efianty A., Nurbaity Iskandar, Jenny B, Ratna D, Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Hal 241-2
19. Permata Sari D, Wiratno. Aritenoidektomi dan parsial hemikordektomi
intralaring pada kelumpuhan abduktor bilateral plika vokalis. Dalam:
Kumpulan Naskah Konas Perhati V. Semarang, 1999. h. 276-82.
20. Mayo Foundation for Medical Education and Research.In Vocal Cord
Paralysis.[online] Available from:
http://www.entnet.org/HealthInformation/vocalChordParalysis.cfm. [Cited
Feb, 5 2019]
21. Greater Baltimore Medical Center. In Vocal Cord Paralysis.[Online]. Tersedia
dari: http://www.nidcd.nih.gov/health/voice/vocalparal.htm#1. [Cited Apr,5
2011]
22. Altuna, X., Zulueta, A., & Algaba, J. (2005). CO2 laser cordectomy as a day-
case procedure. The Journal of Laryngology & Otology, 119(10), 770-773.
doi:10.1258/002221505774481200

32

Anda mungkin juga menyukai