Oleh :
I. PENDAHULUAN
Plika vokalis adalah dua buah serat elastis yang terbuat dari jaringan otot
yang terletak di laring, tepat diatas trakea. Ketika bernapas plika vokalis
akan terbuka dan tertutup rapat saat menelan. Pada parese atau paralisis
plika vokalis, udara dari paru-paru akan menggetarkan plika vokalis dalam
kondisi setengah terbuka dan setengah tertutup ketika bersuara.1 Paralisis
plika vokalis akan menyebabkan terganggunya pergerakan salah satu
ataupun kedua plika vokalis dimana plika vokalis tidak dapat membuka dan
menutup dengan semestinya. Paralisis pita suara dapat mengakibatkan
masalah dalam mengeluarkan suara jika yang terjadi gangguan adalah otot
adduktor serta gangguan dalam bernapas dan menelan jika yang terganggu
otot abduktor. 2
Paralisis ini dapat terjadi pada semua umur, jenis kelamin, dan banyak
macam penyebab. Efek dari parese/paralisis ini bervariasi dari ringan sampai
sangat berat dan mengancam jiwa, tergantung dari pemakaian suara orang
tersebut. 1 Paralisis plika vokalis sendiri hingga kini masih menjadi masalah
yang serius dalam bidang THT-KL. Hal ini dikarenakan kerusakan yang
terjadi terhadap sarafnya bersifat permanen. Berbagai tindakan intervensi
pun mulai dikembangkan untuk meminimalkan kerusakan yang terjadi.3
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi Laring
II.1.1 Struktur Laring
Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah
batas kaudal kartilago krikoid. Kerangka laring tersusun dari satu tulang,
yaitu tulang hioid dan beberapa tulang rawan. Tulang hioid berbentuk huruf
U, dimana bagian atasnya berhubungan dengan lidah, mandibula, tengkorak
oleh tendon dan otot otot. 4
2
disebut artikulasi krikoaritenoid. Kartilago aritenoid berada di bagian superior
dari kartilago krikoid yang berbentuk seperti piramida. Sepasang kartilago
kornikulata melekat pada kartilago aritenoid di daerah apeks, sedangkan
sepasang kartilago kuneiformis terdapat di dalam lipatan ariepiglotik dan
kartilago tritisea terletak didalam ligamentum hiotiroid lateral.5
3
b. Infrahioid yang terletak di bawah tulang hioid, berfungsi untuk
menarik laring ke atas. Otot-otot ekstrinsik infrahioid ialah muskulus
sternohioid, muskulus omohioid dan muskulus tirohioid.
4
II.1.3 Persarafan dan Perdarahan Laring
5
- Arteri laringeus inferior cabang dari arteri tiroid inferior yang
mempendarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan arteri
laringeus superior.
Pada laring terdapat plika vokalis dan plika ventrikularis yang terbentuk
oleh lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum ventrikulare.
Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan disebut rima glotis, sedangkan
bidang antara plika ventrikularis kiri dan kanan disebut rima vestibuli. Plika
vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu :
vestibulum laring atau supraglotik, glotik dan infraglotik atau subglotik. 4,5
Laring memiliki fungsi sebagai proteksi jalan nafas, respirasi, menelan dan
fonasi. 10
- Fungsi laring sebagai proteksi jalan nafas adalah mencegah makanan dan
benda asing masuk ke dalam trakea dengan jalan menutup aditus laring
dan rima glotis secara bersamaan.
- Fungsi respirasi dari laring adalah dengan mengatur besar kecilnya rima
glotis. Bila otot krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan
prosesus vokalis kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima
glotis terbuka dan terjadilah inspirasi. Pada saat ekspirasi tekanan udara
dari paru menyebabkan plika vokalis bergerak ke lateral sehingga udara
dapat keluar.
- Fungsi laring dalam proses menelan adalah dengan 3 mekanisme, yaitu
gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laringis dan
6
mendorong bolus makanan turun ke hipofaring sehingga tidak masuk ke
dalam laring.
- Fungsi laring untuk fonasi dengan membuat suara serta menentukan
tinggi rendahnya nada dengan mengatur peregangan plika vokalis. Bila
plika vokalis dalam keadaan aduksi maka otot krikotiroid akan
merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan ke depan menjauhi kartilago
aritenoid. Pada saat bersamaan otot krikoaritenoid posterior akan
menahan atau menarik kartilago aritenoid ke belakang. Pada saat ini plika
vokalis dalam keadaan paling efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya
kontraksi otot krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke
depan sehingga plika vokalis relaksasi. Kontraksi dan relaksasinya plika
vokalis akan menentukan tingi rendahnya nada.
Selama pernapasan normal, plika akan terbuka lebar agar aliran udara
mudah lewat. Selama fonasi, plika akan menutup bersama-sama sehingga
aliran udara diantara mereka akan menghasilkan getaran (vibrasi). Kuatnya
getaran terutama ditentukan oleh derajat peregangan plika, juga oleh
bagaimana kerapatan plika satu sama lain dan oleh massa pada tepinya. Tepat
di sebelah dalam setiap plika terdapat ligamen elastik yang kuat dan disebut
ligamen vokalis. Ligamen ini melekat pada anterior dari kartilago tiroid yang
besar, yaitu kartilago yang menonjol dari permukaan anterior leher dan
(Adam’s Apple”). Di posterior, ligamen vokalis terlekat pada prosessus
vokalis dari kedua kartilago aritenoid. Kartilago tiroid dan kartilago aritenoid
ini kemudian berartikulasi pada bagian bawah dengan kartilago lain, yaitu
kartilago krikoid.9
Plika vokalis dapat diregangkan oleh rotasi kartilago tiroid ke anterior atau
oleh rotasi kartilago aritenoid ke posterior, yang diaktivasi oleh otot- otot dari
kartilago tiroid dan kartilago aritenoid menuju kartilago krikoid. Otot-otot
yang terletak di dalam plika vokalis di sebelah lateral ligament vokalis, yaitu
otot tiroaritenoid, dapat mendorong kartilago aritenoid ke arah kartilago tiroid
dan karena itu dapat melonggarkan plika vokalis. Pemisahan otot-otot ini juga
dapat mengubah bentuk dan massa pada tepi plika vokalis, menajamkannya
7
untuk menghasilkan bunyi dengan nada tinggi dan menumpulkannya untuk
suara yang lebih rendah (bass). Masih terdapat beberapa rangkaian lain dari
otot laringeal kecil yang terletak di antara kartilago aritenoid dan kartilago
krikoid, yang dapat merotasikan kartilago ini ke arah dalam atau ke arah luar
atau mendorong dasarnya bersama-sama atau memisahkannya, untuk
menghasilkan berbagai konfigurasi plika vokalis. 10
8
II.4.2 Etiologi
II.4.3 Klasifikasi
9
1. Paralisis Plika vokalis Bilateral
II.4.4 Patofisiologi
Secara anatomis pada daerah laring terdapat nervus vagus dan cabangnya
yaitu nervus laringeus superior dan nervus laringeus inferior atau rekurens
yang mempersarafi plika vokalis. Apabila terdapat penekanan ataupun
kerusakan terhadap nervus ini maka akan terjadi paralisis plika vokalis,
dimana plika vokalis tidak dapat beradduksi maupun berabduksi. Secara
normal saat fonasi kedua plika vokalis beradduksi, namun apabila terjadi
paralisis pada salah satu atau kedua plika vokalis, maka vibrasi yang
dihasilkan oleh plika vokalis tidak maksimal dan muncul keluhan suara serak,
10
sebaliknya secara normal saat respirasi plika vokalis akan berabduksi, jika
terjadi paralisis pada salah satu atau kedua plika vokalis, maka fungsi respirasi
akan terganggu sehingga menyebabkan sesak nafas.
Pergerakan plika vokalis disebabkan oleh adanya kontraksi dari otot-otot
intrinsik laring seperti kontraksi otot interaritenoid yang dapat menyebabkan
kartilago aritenoid bergerak ke tengah dan menyebabkan aduksi plika vokalis.
Pergerakan otot krikoaritenoid posterior dapat memutar aritenoid ke arah luar
yang akan menyebabkan abduksi plika vokalis. Hal ini berlawanan dengan
muskulus krikoaritenoid lateral yang akan memutar plika vokalis ke arah
dalam sehingga menyebabkan aduksi plika vokalis. Muskulus krikotiroid
memiliki fungsi secara pasif memutar aritenoid ke arah medial sehingga
muskulus krikotiroid juga dikatakan dapat menyebabkan aduksi plika vokalis.
Adanya kelainan yang mengganggu proses pergerakan dari plika vokalis akan
menyebabkan terjadinya paralisis plika vokalis unilateral maupun bilateral.17
Gejala klinis dari paralisis plika vokalis bervariasi bergantung dari posisi plika
vokalis. Terdapat 5 posisi plika vokalis berdasarkan derajat ostium laringeus
yakni : 1. Median (midline), 2. Paramedian (1,5mm), 3. Intermediate/ cadaveric
(3,5mm atau posisi netral), 4. Abduksi parsial (7mm) dan 5. Abduksi penuh
(9.5mm).
11
a. Posisi Median
Kelumpuhan plika vokalis pada posisi median sangat jarang terjadi dan
menandakan paralisis nervus laringeus rekuren yang telah berlangsung lama.
Pada pemeriksaan biasanya didapatkan pita suara yang lumpuh mengalami atrofi
dan letaknya sedikit lebih rendah daripada plika vokalis yang normal, tetapi pada
fonasi tampaknya hampir normal. Aritenoid pada sisi yang lumpuh lebih condong
kedepan. Gejala yang muncul biasanya tidak jelas, pada pembicaraan suara akan
normal, namun pada yang memerlukan perubahan tinggi nada yang luas,
misalnya saat bernyanyi suara akan terganggu.
b. Posisi Paramedian
Kelumpuhan plika vokalis pada posisi paramedian adalah yang paling sering
terjadi. Kelumpuhan unilateral pada posisi paramedian terjadi akibat kelumpuhan
nervus laringeus rekuren yang baru. Derajat disfungsi sangat dipengaruhi oleh
derajat kompensasi yang dicapai. Pada pemeriksaan biasanya didapatkan pita
12
suara bagian membran agak melengkung dan letaknya lebih rendah daripada pita
suara yang normal. Plika vokalis yang lumpuh tampak menggelembung ke atas
pada fonasi dan bentuk glotis tetap agak lonjong. Aritenoid tampak melewati
garis tengah dan bergerak dibelakang atau didepan aritenoid yang lumpuh, bila
paralisis telah beberapa hari. Gejala pada kasus yang tidak mengalami
kompensasi pada paralisis paramedian antara lain suara mendesah, parau, waktu
fonasi memendek, volume suara dan tingkat nada berkurang, serta diplofonia.
Bila terjadi kompensasi, maka gejalanya berkurang dan pada beberapa kasus suara
akan menjadi normal kembali. Biasanya terdapat sedikit disfonia, dan pada
beberapa kasus tinggi nada meninggi abnormal (falsetto), oleh karena usaha
kompensasi untuk glotis yang lonjong. Biasanya pada orang tua tidak terjadi
kompensasi pada posisi plika vokalis ini.
c. Posisi Intermedian
13
d. Posisi Abduksi Parsial
Paralisis plika vokalis dalam posisi abduksi parsial jarang sekali
ditemukan. Hal ini dapat terjadi oleh karena lesi korteks difus yang
disebabkan oleh trauma. Kelumpuhan yang di timbulkan cenderung bilateral
dan gejalanya sama dengan kelumpuhan pada posisi intermedian tetapi lebih
jelas.
II.4.6 Diagnosis
14
mengeluarkan suara.
c. Elektromiografi ( Laryngeal EMG)
Pada pemeriksaan elektromiografi dapat ditegakkan ada tidaknya kelainan
gerakan laring, intregitas nervus laringeus, denervasi saraf dan prognosis
dari plika vokalis yang mengalami paralasis dengan meletakkan elektrode
di lokasi muskulus tiroaritenoid dan muskulus krikotiroid.
d. Radiologi
Pemeriksaan radiologi berupa CT scan dapat dilakukan bila dicurigai
adanya kelainan disekitar foramen magnum di basis tengkorak, leher dan
mediastinum. Pemeriksaan MRI dapat dilakukan untuk mendeteksi
kelainan di otak.
II.4.7 Penatalaksanaan
Tujuan terapi yang ideal adalah selain membebaskan jalan napas juga
mempertahankan fungsi bicara. Indikasi pengobatan dari gejala tersebut sangat
individual tergantung pada lamanya gejala, umur pasien, derajat keluhan,
status sosial pasien dan keinginan pasien. Dua strategi yang biasanya
digunakan adalah konservatif dan operatif.19
a. Konservatif
Terapi konservatif pada penderita paralisis plika vokalis unilateral berupa
Voice Theraphy oleh ahli terapi wicara (speech therapy) dan
medikamentosa dengan obat-obatan neurotropik.
Voice therapy dilakukan terlebih dahulu, sambil melihat
perkembangan kondisi pasien. Pemilihan terapi wicara ini sebagai terapi
sendiri karena dalam beberapa kasus suara dapat kembali normal tanpa
terapi pada tahun pertama terjadinya kerusakan sehingga tidak
memerlukan pembedahan, jika pasien tidak bisa atau menolak
pembedahan. Apabila rehabilitasi gagal menghasilkan perbaikan kualitas
suara pasien, maka dipertimbangkan untuk dilakukan phonosurgery.
Pasien-pasien yang akan menjalankan operasi diharapkan
menghentikan kegiatan merokok. Selain itu juga pasien-pasien denga
Chronic Obstructive Pulmonary Disease, Gastroesophageal Reflux
Disease, dan Diabetes Mellitus harus diberikan manajemen yang baik
sebelum menjalani proses operasi, karena merupakan faktor pemicu
15
gagalnya operasi.
Terapi dengan medikasi biasanya dipakai saat ada kelainan
penyerta seperti refluks gastroesofagus dengan menggunakan antasida,
proton pump inhibitor, sinonasal alergi dengan antihistamin. 16
b. Operatif
Gejala utama pada paralisis abduktor bilateral adalah sesak napas
dengan kemungkinan terjadinya asfiksia. Oleh karena itu, tindakan yang
pertama adalah menghilangkan sesak napas dengan melakukan
trakeostomi. Trakeostomi dapat merupakan tindakan permanen dengan
menggunakan kanul yang berkatup, sehingga pasien dapat bersuara. Selain
trakeostomi permanen tindakan yang lain adalah melebarkan rima glotis,
tetapi akibatnya suara dapat bertambah jelek, oleh karena itu sebaiknya
ditunggu 6-12 bulan dengan harapan kelumpuhan yang bukan karena
terpotongnya saraf rekuren akan pulih kembali fungsinya.15
Narcy dkk merekomendasikan lateralisasi dini antara 6-9 bulan
setelah diagnosis. Dengan tindakan aritenoidektomi dan aritenoidepeksi,
mereka dapat mendekanulasi 68% pasien trakeostomi.19
Menurut kepustakaan, ada beberapa macam teknik operasi yang
dikemukakan para ahli, antara lain:16
- Aritenoidopeksi, yaitu mobilisasi tulang rawan aritenoid dan
memfiksasinya ke tepi dorsal lamina tiroid.
- Aritenoidektomi, tulang aritenoid diangkat dan plika vokalis difiksasi ke
tepi dorsal lamina tiroid.
- Kordektomi, pengangkatan plika vokalis dengan teknik intralaring
menggunakan laser CO2 oleh Ossof. Teknik ini mempunyai kelebihan,
yaitu lebih teliti dan tepat, hemostasis lebih baik, edema
intraoperatif/pascaoperatif kurang dan hanya sedikit mempengaruhi
fungsi fonasi.
II.4.8 Prognosis
Hasil dari terapi pada paralisis plika vokalis adalah sangat baik.
Kebanyakan pasien dapat kembali berbicara hampir normal dan bahkan
normal dan dengan minimal atau tanpa limitasi dari fungsi berbicara untuk
16
kebutuhan berbicara sehari hari. Tetapi untuk bernyanyi, kemungkinan tidak
akan bisa dengan sempurna, karena kemampuan plika vokalis sudah
terbatas.20
II.4.9 Komplikasi
Komplikasi dari terapi pembedahan adalah suara yang kurang baik. Pada
saat pembedahan yang mencakup manipulasi dari saluran nafas, faktor seperti
hematoma, edema dapat menyebabkan kesulitan bernafas, dan untuk
mencegah dari komplikasi ini maka pada saat operasi harus dilakukan dengan
tepat dan sangat hati-hati serta dengan pemberian kortikosteroid pre dan post
operatif, dan resiko akan lebih besar jika proses pembedahan adalah bilateral.
Pada beberapa kasus ditemukan komplikasi post operatif berupa
tumbuhnya jaringan granulasi pada plika vokalis yang telah di eksisi,dapat
dihindari dengan teknik operasi mencakup hingga bagian intramuskular.
II.5 Kordektomi
17
a. Tipe I (Kordektomi Subepitelial)
Kordektomi dengan reseksi pada epitelium plika vokalis lalu melewati lapisan
superfisial dari lamina propria. Teknik ini digunakan pada kasus lesi pada plika
vokalis yang dicurigai adanya transformasi malignansi. Pada kebanyakan kasus
didapatkan secara umum bagian dari epitelum akan terdampak, maka harus
dilakukan reseksi secara komplit, hal ini dilakukan untuk mencegah adanya area
karsinoma yang tertinggal.
Kordektomi dengan reseksi diantara ligamen plika vokalis dan otot plika vokalis,
reseksi dapat diperluas hingga komisura anterior. Pada level diagnostik, prosedur
ini diindikasikan pada kasus leukoplakia berat ketika lesi diperlihatkan sebagai
tanda klinis dari dari transformasi neoplastik. Pada level terapeutik, diindikasikan
pada kasus mikroinvasif karsinoma.
18
Kordektomi dengan reseksi pada epitelium, lamina propria hingga bagian dari otot
plika vokalis, dapat diperluas hingga komisura anterior. Untuk melihat seluruh
plika vokalis, reseksi parsial pada plika ventrikularis dapat dilakukan.pada level
terapeutik, teknik ini diindikasikan untuk kasus keganasan dimana sel kanker
sudah sampai pada otot plika vokalis.
19
Kordektomi total dapat diperluas ketika diperlukan pengangkatan secara
parsial maupun total dari plika ventrikular ipsilateral.
20
Teknik ini diindikasikan untuk keganasan ventrikular atau kanker
transglotik yang meluas dari plika vokalis menuju plika ventrikularis.
Reseksi mencakup plika ventrikularis dan ventrikel Morgagni.
Reseksi ini dapat dilakukan hingga sedalam 1 cm dibawah glotis untuk dapat
melihat kartilago krikoid, namun teknik ini masih menjadi beberapa
perdebatan. Pada beberapa kasus kordektomi yang diperluas cocok untuk
karsinoma T2.
21
Pasien GAMS, perempuan, umur 50 tahun, beralamat di Tabanan datang
ke Poli THT-KL RSUP Sanglah pada tanggal 26 Agustus 2020 dengan keluhan
suara serak yang semakin memberat sejak kurang lebih 1 bulan, Pasien dengan
riwayat operasi tiroid pada umur 13 tahun dimana sejak saat itu suara pasien
berubah menjadi sedikit serak namun karena tidak menganggu aktivitas, pasien
tidak pernah periksa untuk keluhan tersebut, lalu pada tahun 2016 terdapat
keluhan sesak nafas dan telah dilakukan trakeostomi dan LD biopsi didapatkan
hasil tidak tampak ada keganasan, terpasang trakeostomi selama 3 bulan karena
sudah tidak ada keluhan maka di dekanulasi, setelah itu tidak ada keluhan sesak
hingga pada tanggal 16 Agustus 2020 muncul keluhan sesak sejak 1 minggu
sebelumnya yang semakin memberat hingga pasien dilakukan tindakan
trakeostomi kembali.
c. Plika vokalis : posisi median, tidak bergerak dengan celah ± 1 mm pada saat
inspirasi dan massa tumor tidak ada
22
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan
diagnosis kerja pasien ini adalah paralisis plika vokalis abduktor bilateral post
trakeostomi, pasien direncanakan tindakan kordektomi. Sebagai persiapan
dilakukan pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil WBC : 7,46 10µ/µL, HGB
: 10,32 g/dL, HCT : 35,30 %, PLT : 349 10µ/µL, glukosa acak : 83 mg/dL, BT 2
menit, APTT 29,2 detik, INR 0,89. Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan
hasil cor dan pulmo tak tampak kelainan.
23
Pada tanggal 2 September 2020 pasien masih mendapatkan terapi
antibiotika seftriakson 2 x 1 gr intravena, metilprednisolon 2 x 62,5 mg
intravena, asam traneksamat 3 x 500 mg intravena, ketorolak 3 x 30 mg intravena
ditambah dengan ambroksol 3 x 30 mg intraoral. Pada tanggal 3 September 2020
pasien sudah tidak ada keluhan sehingga dipulangkan.
c. Plika vokalis : bagian sinistra posisi paramedian tampak beregerak pada saat
inspirasi, bagian dekstra posisi median, tidak bergerak saat inspirasi
24
trakeostomi namun gagal karena pasien sesak saat kanul trakeostomi dilepaskan.
Dilakukan endoskopi dengan serat fiber optik dengan hasil evaluasi :
c. Plika vokalis : tampak perlengketan sebagian mukosa plika vokalis dekstra dan
sinistra, bagian sinistra posisi median tampak bergerak pada saat inspirasi, bagian
dekstra posisi median, tidak bergerak saat inspirasi
25
Pada tanggal 9 Oktober 2020, pasien kontrol ke Poliklinik THT-KL
RSUP Sanglah, dengan keluhan batuk mengeluarkan dahak masih ada sedikit-
sedikit, sesak tidak ada, suara ada sedikit. Dilakukan endoskopi dengan serat fiber
optik dengan hasil evaluasi :
26
d. Aritenoid : mukosa merah muda
IV. PEMBAHASAN
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan endoskopi serat
optik dapat ditegakkan diagnosis paralisis plika vokalis abduktor bilateral. Pada
anamnesis didapatkan keluhan sesak yang dialami oleh pasien yang memberat
sejak satu hari sebelum masuk RS, pasien riwayat dilakukan operasi tiroid pada
usia 13 tahun, perubahan suara sejak operasi tersebut mengarahkan kita
kemungkinan adanya cedera nervus laringeus rekuren pada saat operasi atau
terjadi penekanan pascaoperasi. Hal ini sesuai dengan menurut laporan Ballenger
yang menyebutkan 40% kelumpuhan abduktor bilateral akibat tindakan
tiroidektomi, pada kebanyakan kasus paralisis terbatas pada nervus laringeus
eksterna.10 Lo dkk melaporkan gejala-gejala suara seperti suara serak, suara yang
melemah dan nada suara yang abnormal adalah gejala umum yang terjadi setelah
operasi tiroid rata-rata sebesar 0 sampai 87%. Hazem dkk melaporkan angka
kejadian paralisis plika vokalis bilateral setelah post tiroidektomi sebesar 58%.
Pada kasus ini pasien adalah wanita usia 50 tahun hal ini sesuai dengan
Rahmawati dkk melaporkan paralisis plika vokalis bilateral dapat terjadi pada
golongan umur dewasa muda dan usia lanjut dengan frekuensi terbanyak pada
27
golongan usia dekade 4-5. Lebih sering dijumpai pada wanita dengan
perbandingan 2:1.15
Pada pasien didapatkan bekas jaringan parut pada leher kanan dan kiri
post operasi pengangkatan tiroid saat usia pasien masih 13 tahun, dan munculnya
keluhan sesak nafas saat tahun 2016 dan segera di trakeostomi saat itu juga, dan
kemudian berulang lagi pada tahun 2020. Pasca operasi tiroidektomi dapat timbul
jaringan parut yang menekan nervus laringeus rekuren. Penekanan nervus
laringeus rekuren lama-kelamaan menimbulkan atrofi, fibrosis dan degenerasi
hialin pada serat otot-otot intrinsik. Menurut Jose dkk, paralisis plika vokalis
bilateral merupakan salah satu kekhawatiran terbesar dari para ahli bedah setelah
tindakan tiroidektomi total. Hal ini menyangkut keselamatan pasien karena dapat
membahayakan jalan nafas yang dapat membutuhkan tindakan reintubasi bahkan
trakeostomi emergensi.17
28
terpasang trakeostomi di leher dan pasien sudah dijelaskan kemungkinan
komplikasi suara yang berkurang bahkan menghilang setelah dilakukan tindakan
kordektomi. Pada kasus yang sudah berlangsung lama, pilihan yang dapat dipilih
adalah antara trakeostomi permanen atau dengan prosedur operasi untuk
lateralisasi plika vokalis. Untuk tindakan trakeostomi permanen berfungsi untuk
menghilangkan stridor, mempertahankan suara yang baik tetapi mempunyai
kekurangan yaitu adanya lubang trakeostomi di leher. Pilihan operasi dengan
teknik lateralisasi plika vokalis dapat menghilangkan obstruksi jalan nafas
permanen tetapi dapat mengorbankan suara, akan tetapi tak ada lagi stoma
trakeostomi di leher.18
29
Pada pasien ini memang tidak dilakukan voice theraphy lebih awal
dikarenakan pasien yang merasa tidak merasa terganggu untuk keluhan suara
serak yang dirasakannya sejak muda dan kurangnya informasi mengenai paralisis
plika vokalis. Watt-Boolsen dkk melaporkan, bahwa voice therapy lebih awal
untuk melatih plika vokalis dapat mengurangi angka kejadian voice problem
pada pasien dengan keluhan paresis/paralisis plika vokalis permanen atau
sementara.16
V. KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang pasien wanita 50 tahun dengan diagnosis
paralisis plika vokalis abduktor bilateral. Pada pemeriksaan endoskopi dengan
serat fiber optik, ditemukan plika vokalis : posisi midline, tidak bergerak dengan
celah ± 1 mm pada saat inspirasi dan tidak ada massa. Bilateral midline paralysis
dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas atas bila plika vokalis gagal abduksi
dan membutuhkan penanganan jalan nafas atas segera. Pada kasus ini dilakukan
tindakan trakeostomi emergensi.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia. Sobotta. Jilid 1. Edisi 21. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2003. p; 127-34
2. Ballenger, JJ. Penyakit Teling, Hidung, Tenggorakan, Kepala dan Leher, Jilid
1. Alih Bahasa Staf Ahli Bagian THT, RSCM – FKUI. Binarupa aksara
3. Faiz, Omar dan Moffat, David; alih bahasa Annisa Rahmalia.2004. At a
Glance Series ANATOMY. Jakarta: Penerbit Erlangga
4. Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and Physiology of The Larynx. In: Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed. Hamilton: BC Decker
Inc; 2003. p.1090-107.
5. Sulica L. Voice: Anatomy, Physiology, and Clinical Evaluation. In: Bailey’s
Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2005. p. 945-57.
6. George L. Adams, Lawrence R. Boeis, Peter A. Highler. Dalam BOEIS Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG; 1997.
Hal 369- 396
7. James B. Snow, John Jacob Ballenger. In Ballenger’s Otorhinolaryngology
Head and Neck Surgery. 16th Edition. Spain: BC Decker Inc; 2003. Page
1090-1236 4. John T. Hansen, David R. Lambert. In Netter’s Clinical
Anatomy. 1 st Edition. USA: Medimedia; 2005. Chapter 8
8. Thomas R. Van De Water, Hinrich Staecker. In Otolaryngology Basic
Science and Clinical Review. 1 st Edition. New York: Thieme Medical
Publisher; 2005. Page 505-523
9. Charles W. Cummings, Paul W. Flint, Bruce H. Haughey, K.Thomas
Robbins, J. Regan Thomas, Lee A. Harker, Mark A. Richardson, and David
E. Schuller. In Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. 4 th
Edition. USA: Mosby Inc; 2005. Part 7
10. John T. Hansen, David R. Lambert. In Netter’s Clinical Anatomy. 1 st Edition.
USA: Medimedia; 2005. Chapter 8
11. Young VN, Simpson CB. Treatment of Vocal Fold Paralysis. In : Bailey’s
Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2005. p. 1004-1023.
31
12. Grant JR, Hartemink DA, Merati AL. Acute and Subacute Awake Injection
Laryngoplasty for Thoracic Surgery Patients. Laryngoscope.
2010;120(8):1582-90
13. Rahmawati, Kuhuwael FG. Aritenoidektomi-aritenoidopeksi pada bilateral
abduktor paralisis plika vokalis. Naskah lengkap Indonesian ORL-HNS
Society Annual Meeting. Bali, 2005
14. R. S. Dhillon, C. A. East. In Ear, Nose, and Throat and Head and Neck
Surgery. 2nd Edition. UK ; Harcourt Publishers; 2000. Page 56-60
15. Thomas R. Van De Water, Hinrich Staecker. In Otolaryngology Basic
Science and Clinical Review. 1st Edition. New York: Thieme Medical
Publisher; 2005. Page 505-523
16. Anil K. Lalwani. Vocal Cord Paralysis. In Current Diagnosis and Treatment
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2nd Edition. New York: Mc Graw
Hill Lange; 2007. p. 456 – 461.
17. Ludlow CI, Mann EA. Neurogenic and Functional Disorders of The Larynx.
In: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed.
Hamilton: BC Decker Inc; 2003. p.1218-54.
18. Efianty A., Nurbaity Iskandar, Jenny B, Ratna D, Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Hal 241-2
19. Permata Sari D, Wiratno. Aritenoidektomi dan parsial hemikordektomi
intralaring pada kelumpuhan abduktor bilateral plika vokalis. Dalam:
Kumpulan Naskah Konas Perhati V. Semarang, 1999. h. 276-82.
20. Mayo Foundation for Medical Education and Research.In Vocal Cord
Paralysis.[online] Available from:
http://www.entnet.org/HealthInformation/vocalChordParalysis.cfm. [Cited
Feb, 5 2019]
21. Greater Baltimore Medical Center. In Vocal Cord Paralysis.[Online]. Tersedia
dari: http://www.nidcd.nih.gov/health/voice/vocalparal.htm#1. [Cited Apr,5
2011]
22. Altuna, X., Zulueta, A., & Algaba, J. (2005). CO2 laser cordectomy as a day-
case procedure. The Journal of Laryngology & Otology, 119(10), 770-773.
doi:10.1258/002221505774481200
32