Anda di halaman 1dari 15

PRE TEST

SEPTUM KOREKSI

Oleh :

Yosi Oktarina

Pembimbing :
Dr. Anna Mailasari KD, Sp.THT-KL(K),Msi.Med.

DEPARTEMEN IK THT-KL/FK UNIVERSITAS DIPONEGORO KSM


KTHT-KL RSUP DR. KARIADI SEMARANG
2018

1
PENDAHULUAN

Deformitas septum nasi merupakan salah satu kelainan di hidung. Kelainan ini
dapat menimbulkan gangguan kosmetik hidung atau menyebabkan obstruksi jalan nafas.(1)
Deformitas septum nasi dapat disebabkan oleh karena trauma yang disadari atau tidak
disadari, serta kemungkinan akibat perbedaan kecepatan perkembangan septum nasi pada
masa pertumbuhan.(1,2,3,4) Banyak dijumpai pada orang kulit putih, laki-laki lebih banyak
dari wanita dan manifestasi klinik lebih banyak pada orang dewasa.(1,2)
Usaha meluruskan septum dengan operasi (septum koreksi) telah dilakukan oleh
Freer, Mosher, Yankuer, Metzebaum dan Klaff, dengan perasat Killian, perasat Cottle dan
berbagai modifikasi Cottle.(5) Prasat Killian dilakukan pada deformitas yang tidak sampai
ke bagian kaudal septum, sedangkan prasat Cottle dilakukan terhadap semua deformitas
septum dan terutama yang mengenai bagian kaudal septum nasi. (1,6) Operasi ini meliputi
reseksi submukosa septum dengan membuang sebagian septum atau tanpa membuang
sebagian dari septum yaitu dengan cara mengiris atau mencacahnya. Tindakan septum
koreksi berguna untuk mengatasi gangguan fungsi hidung yang disebabkan deformitas dari
septum nasi tanpa mengabaikan segi kosmetiknya.(1)
Masalah : Bagaimana melakukan septum koreksi dengan berbagai metode sesuai
dengan letak kelainannya secara baik dan benar.
Maksud : Menguraikan masalah deformitas septum nasi dan berbagai macam tindakan
koreksinya.
Tujuan : Memberi informasi bagi para klinisi supaya melakukan septum koreksi
tanpa komplikasi.

ANATOMI SEPTUM NASI

Hidung berbentuk piramid dengan rangka tulang dan tulang rawan yang dihubungkan
dengan jaringan fibrous.(7,8)
Piramid tulang terdiri atas : sepasang os nasal, prosesus nasalis os frontalis, krista
nasalis os maksilaris.
Piramid kartilago terdiri atas : kartilago 'upper lateral' dan 'lower lateral'.
Daerah pertemuan antara kartilago 'upper lateral' dengan os nasal dan kartilago septum
nasi disebut Cottle sebagai Keystone area (K area). Pada K area sering terjadi kerusakan

2
akibat trauma, kesalahan pada operasi hidung yang dapat menyebabkan perubahan bentuk
hidung.(7)
Rongga hidung terbagi 2 oleh septum nasi. Septum nasi terbagi atas 3 bagian yaitu :
- bagian membranosa
- bagian kartilago
- bagian tulang.

Bagian membranosa
Bagian ini terletak di depan disebut kolumela, terdiri atas krus medial kartilago lobuler;
bagian ini mudah digerakkan. Kartilago ini menjadi kaku apabila mengalami trauma
setelah rinoplasti.
Bagian kartilago
Kartilago sifatnya keras dan fleksibel. Kartilago septum nasi bersendi dengan :
- spina nasalis anterior os maksila
- rostrum dan krista nasalis
- os sfenoidalis
- krista nasalis os maksila
- spina nasalis os frontalis
- krista nasalis os palatina
Pada trauma hidung sering terjadi subluksasi bagian belakang; kadang-kadang
ujung kaudal berbentuk U. Tebalnya bervariasi dan sering terdiri lebih dari satu lapis
kartilago. Septum deviasi dapat menyeluruh atau sebagian saja sebagai spina atau krista.
Bagian tulang
Bagian tulang merupakan bagian yang tak bergerak, dapat terjadi perubahan seperti bagian
kartilago.
Bagian tulang terdiri atas :
- lamina perpendikularis os etmoid.
- vomer.
Tulang vomer dan rostrum sfenoid sering terjadi kelainan kongenital.

3
Gambar 1. Anatomi septum nasi

Mukosa septum nasi merupakan kelanjutan mukosa dari atap dan dasar kavum nasi dan
sukar dilepas. Di bawah mukosa septum bagian tulang rawan adalah perikondrium, di
bawah mukosa septum bagian tulang adalah periosteum.
Pada joint area antara premaksila dan tulang rawan septum, serabut-serabut
jaringan ikat periosteum dan perikondrium saling bersilangan, dan dengan adanya jaringan
tulang rawan septum-perikondrium dan jaringan periosteum yang membungkus tulang
premaksila yang saling bersilangan ini; keduanya sulit untuk dipisahkan.
Hubungan antara periosteum tulang vomer dan lamina perpendikularis os
etmoidalis dan perikondrium tulang rawan septum nasi mudah dilepaskan dengan menekan
tulang rawan pada sambungannya dengan tulang, dengan menggunakan elevator tumpul.

SUPLAI DARAH DAN PERSYARAFAN SEPTUM NASI


Septum nasi mendapat suplai darah dari cabang arteri (a) karotis interna dan
cabang a. karotis eksterna.(7,9,10)
Cabang arteri karotis eksterna :
1. A. sfenopalatina cabang dari a. maksilaris interna untuk konka, meatus nasi dan
sebagian besar septum nasi
2. A. palatina mayor cabang dari a. maksilaris eksterna untuk bagian depan septum nasi
dan dinding lateral kavum nasi

4
3. A. labialis superior cabang dari a. fasialis untuk bagian atas septum nasi dan ala nasi.

Cabang arteri karotis interna :


- Arteri etmoidalis anterior dan posterior cabang dari arteri optalmika untuk atap
kavum nasi dan bagian depan septum nasi dan dinding lateral kavum nasi.

Gambar 2. Perdarahan septum nasi

Pada bagian depan septum nasi terdapat pleksus Kisselbach yang merupakan anastomose
dari a. etmoidalis anterior, a. labialis superior, a. palatina mayor, a. spenopalatina. Daerah
tersebut sering mengalami epistaksis.(8,10)
Septum nasi disarafi oleh nervus (n) etmoidalis cabang dari n. optalmikus dan n.
nasopalatinus cabang dari n.maksilaris, keduanya merupakan cabang dari n.trigeminus.(9)

FISIOLOGI HIDUNG

Hidung mempunyai fungsi utama yaitu :(8,9,10)


 Sebagai lokasi epitel olfaktorius, maka hidung berfungsi sebagi organ penghidu
 Saluran udara yang kokoh menuju traktus respiratorius bagian bawah
Hidung sebagai organ untuk jalan nafas, aliran udara (mengatur resistensi udara) dan
mengatur kecepatan aliran udara. Bentuk dan besarnya organ bagian dalam hidung
dapat mempengaruhi volume udara respirasi

5
 Organ yang mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru dengan
cara mengatur kondisi udara yaitu mengatur suhu, kelembaban udara dan
membersihkan udara
 Sebagai organ yang mampu membersihkan diri sendiri secara kimia maupun mekanis.
- Secara kimia hidung mempunyai silia pada bagian depan (vestibulum) yang dapat
menangkap partikel besar dalam udara dan palut lendir pada seluruh mukosa yang
mengandung IgA. Palut lendir beserta materi-materi asing yang terperangkap di
dalamnya digerakkan oleh silia secara berkesinambungan kearah faring dan esofagus
yang kemudian ditelan atau dibatukkan.
- Secara mekanis dengan reflek bersin.
 Kosmetik

FISIOLOGI SEPTUM NASI

1. Septum nasi membagi kavum nasi menjadi 2 bagian, memungkinkan satu kavum nasi
istirahat sementara kavum yang lain mengambil alih fungsi pengambilan udara.
2. Menunjang fungsi tahanan terhadap udara pernafasan
3. Ikut membentuk punggung hidung dan menyangga atap hidung
4. Membatasi bagian medial pembengkaan ritmik konka dalam rangka membantu
mengatur kecepatan arus udara
5. Memperluas permukaan mukosa hidung yang berguna dalam pengaturan suhu udara
pernafasan.
6. Membentuk katup hidung bersama kartilago nasi lateralis
7. Melokalisir proses penyakit atau kelainan pada satu kavum nasi saja sehingga tidak
mengganggu fungsi hidung secara keseluruhan.

DEFORMITAS SEPTUM NASI


Deformitas septum dapat terjadi sendiri-sendiri atau kombinasi. Septum deviasi
dapat terjadi saat pertumbuhan karena tak seimbangnya pertumbuhan kartilago dan tulang
septum nasi, atau karena trauma sehubungan dengan fraktur wajah, fraktur hidung atau
septum, atau trauma saat kelahiran. Bagian-bagian dari septum kemudian menjadi terlalu
besar atau mengalami dislokasi dan menyembuh dengan posisi tidak baik. Pada keadaan
ini deviasi, spina dan krista menyebabkan penurunan patensi rongga hidung dan sumbatan.

6
Bentuk-bentuk deformitas yang dapat dijumpai pada septum nasi :(5)
1. Krista septi, biasanya terjadi pada pertemuan pars perpendikularis, vomer dan dapat
meluas ke arah pertemuan tulang rawan dengan vomer dan premaksila
2. Krista palatini terjadi antara pertemuan krista maksilaris, krista palatini dengan vomer
yang dapat meluas ke premaksila
3. Spina septi umumnya terjadi pada pertemuan vomer dan pars perpendikularis (di
daerah pertemuan tulang rawan )
4. Deviasi septum dapat mengenai vomer dan pars perpendikularis saja, tulang saja atau
keduanya sekaligus. Yang lebih sering mengalami deviasi septum adalah kartilago
septi (quadrangularis)

DIAGNOSIS
Gejala berupa gangguan fungsi hidung, terutama sumbatan hidung satu sisi atau sisi
yang lain akibat kompensasi. Sering disertai sakit kepala. Pada pemeriksaan sering terlihat
rongga hidung tidak sama besarnya antara kanan dan kiri. Terlihat tulang rawan septum
cembung kearah satu sisi dan cekung dari sisi lainnya. Pada septum tulang dapat terlihat
krista yaitu penonjolan tulang septum dari depan ke belakang dan atau spina septum
berupa taji yang tajam.(3)
Untuk membantu diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan foto rontgen os nasal
anteroposterior.

INDIKASI
Indikasi koreksi septum nasi antara lain :
- Deviasi kartilago dan tulang dengan sumbatan hidung
- Sumbatan hidung karena septum deviasi, subluksasi atau spina, khususnya yang
menyebabkan sakit di organ-organ sekitar (sinusitis, faringitis dan laringitis kronik,
gangguan patensi tuba eusthacius, dan penyakit saluran nafas bawah kronik )
- Fraktur, hematoma dan abses septum
- Saddle nose dimana fungsi pendukung septum harus diperbaiki
- Epistaksis berulang untuk memberikan relaksasi mukosa rongga hidung
KONTRA INDIKASI
Secara umum tak ada kontra indikasi operasi septum koreksi asalkan memenuhi
syarat-syarat seperti tindakan operasi pada umumnya.

7
Pada penderita usia muda di mana tulang-tulang masih dalam pertumbuhan perlu
dipertimbangkan penundaan operasi mengingat dapat terjadi gangguan pada proses
pertumbuhannya.

PERSIAPAN OPERASI
1. Persiapan operator
2. Persiapan penderita
3. Persiapan alat-alat dan bahan
ad 1. Persiapan operator
- operator dan asisten operator
- asisten peralatan
- dokter anestesi dan asisten
- pembantu umum
ad 2. Persiapan penderita
- Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan ke-
benaran indikasi dan kontra indikasi bila ada. Menjelaskan pada penderita dan
keluarganya mengenai operasi yang akan dikerjakan serta kemungkinan yang
terjadi pasca operasi tersebut.
- Menandatangani persetujuan operasi
ad 3. Persiapan alat-alat dan bahan yang digunakan :
Alat-alat :
- lampu kepala - nasal dressing forceps
- kocher tang - knee pinset
- spatel lidah - spuit dengan jarum panjang
- suction - spekulum Hartman
- klem kolumella Cottle - mukoperikondrium knife (pisau disposible)
- elevator tajam - elevator Freer
- spekulum Killian - pisau septum
- swivel Ballenger - nasal scissor Heyman (lurus) dan Bechman
(bengkok)
- hak kulit (fine skin hook)
- chisel : septum chisel freer, septum gouge Killian, Ballenger dan Mallet hammer
- jarum dan pemegang jarum serta benang no 00

8
- septa strightening forcep ACSH

Gambar 3. Alat-alat septum koreksi

Bahan-bahan :
- obat anestesi lokal infiltrasi (lidocain cum adrenalin)
- obat vasokontriktor (efedrin 0,1%)
- desinfektan : povidone iodin (Betadin)
- larutan NaCl 0,9%
- nasal tampon dengan levertran/ sofratulle/ vasenol

TEHNIK OPERASI
Tehnik operasinya adalah sebagai berikut :
- Operasi dapat dilakukan dalam posisi duduk atau berbaring.
- Anestesi dapat dilakukan secara lokal atau general
- Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine .
- Pasang klem Cottle ( kollumela klem ).
- Infiltrasi di subperikondrium septum nasi dengan NaCl 0,9 % + adrenalin kanan dan
kiri, atau infiltrasi dengan lidokain cum adrenalin.
- Insisi mukoperikondrium septum nasi dengan "mucusknife" Freer, lokasi insisi sesuai
dengan sifat dan lokasi kelainan :
a. Insisi Hayek dilakukan pada tepi depan kartilago septum nasi.
b. Insisi Killian dilakukan pada  1 mm di depan kelainan septum yang tidak sampai ke
bagian kaudal.

9
c. Insisi Cottle  3 mm di belakang tepi depan kartilago septum, dilakukan pada semua
deformitas septum, terutama bagian kaudal septum. Insisi biasanya dilakukan pada
sisi kanan dari septum nasi dan ujung jari telunjuk tangan kiri operator menekan dari
sisi kiri septum nasi. Insisi ini hanya memotong mukosa dan perikondrium.
- Mukoperikondrium kanan dipisahkan dari kartilago (membuat tunnel anterior) dengan
mengggunakan elevator tajam/ setengah tajam. Tulang rawan terlihat berwarna putih
mengkilat.
- Mukoperikondrium di depan tempat insisi juga dilepas sampai tepi depan kartilago
septum nasi dan dilanjutkan dengan elevasi muko-perikondrium sisi kiri.
- Masukkan spekulum hidung Killian di sisi kanan kiri tulang rawan, baru dilakukan insisi
pada kartilago.
- Kartilago septi diinsisi tergantung letak kelainan, atau kurang lebih 0,5 cm di depan
kelainan tersebut, diinsisi dengan septum knife dan dilandasi dengan spekulum Killian
(membuat pilar).
- Spekulum hidung Killian dimasukkan disisi kiri dan kanan kondrium lewat pilar,
dievaluasi keadaan septum nasi.
Apabila terjadi deviasi di kartilago septum nasi, diambil dengan "swivel knife".
Bisa juga sebelumnya dengan gunting lurus dipotong tulang rawan dari tepi pilar sampai
tulang perpendikularis  2 cm dari dorsal tulang rawan.
Apabila kelainan mengenai bagian kaudal/ bawah septum (di premaksila atau vomer)
maka dapat dilakukan :
a. Perasat Cottle .
b. Modifikasi perasat Cottle (tanpa membuat tunnel inferior).

PERASAT COTTLE
Dilakukan dalam dua tahap :
1. Tahap hemitransfiksi untuk membuat tunnel anterior
2. Tahap maksila-premaksila untuk membuat tunnel inferior

1. Tahap hemitransfiksi

10
Pada prinsipnya elevasi perikondrium hanya pada sebelah kiri atau kanan saja,
yang dimulai dari tepi depan tulang rawan septi. Untuk itu "pars membranasea septi"
dijepit dengan klem kolumela Cottle, lalu ditarik ke sisi kanan penderita dan irisan
dibuat ±3mm proksimal dari tepi depan tulang rawan.
Irisan diperdalam sampai subperikondrium (permukaan tulang rawan), lalu
dilebarkan dengan cara dikerok/digosok-gosok dengan elevator tajam (pada tepi depan
tulang rawan). Cara ini mungkin karena tepi depan pada orang kulit putih tebalnya
3-4 cm. Kalau sudah terasa licin dan terlihat permukaan tulang rawan yang berwarna
putih kebiruan berarti pelebaran sudah dapat untuk melanjutkan elevasi perikondrium
ke belakang. Elevasi dilanjutkan ke arah vomer dan pars perpendikularis, sehingga
terbentuklah tunnel anterior. Perikondrium kanan tidak dielevasi makanya tehnik ini
disebut hemitransfiksi.

Gambar 4. Tahap hemitransfiksi menurut Cottle

2. Tahap maksila-premaksila
Pada tahap ini dibuat tunnel inferior dengan cara mengelevasi basis kavum nasi
(maksila) ke arah pre-maksila kanan dan kiri. Elevasi ini dapat diteruskan ke krista
nasalis sampai ke vomer dan pars perpendikularis. Di bagian 2/3 belakang septum,
elevasi ini dapat dilakukan dengan mudah, tetapi di daerah premaksila karena tidak ada
hubungan langsung tulang rawan premaksila, maka elevasi terhenti di daerah "joint
area".
Di bawah ini diuraikan tindakan tahap maksila-premaksila :
2.1. Gunting tumpul bengkok (Knapp) dimasukkan posterior dari irisan semula dan
dengan membuka dan menutup gunting, pars membranasea septi tulang rawan di
"undermining". Gerakan gunting ini diteruskan sampai setengah tinggi bibir dan

11
atau dilanjutkan dengan gerakan ke kanan dan ke kiri (undermining). Spekulum
hidung (2 inci) dimasukkan ke rongga yang baru dibuat dan lidah spekulum
dibuka di daerah midline. Jaringan ikat dan fascia yang ada di permulaan spina
nasalis anterior - apertura piriformis disisihkan dengan elevator. Kemudian
periosteum diiris ("midline") dan dengan elevator tajam dielevasi ke kanan ke
arah basis kavum nasi untuk selanjutnya periosteum basis kavum nasi (maksila)
dielevasi dan baru setelah itu elevasi ke arah premaksila kanan.
Elevasi itu dilanjutkan ke arah krista nasalis, vomer dan pars perpendikularis
sedapatnya. Dengan ini tunnel inferior sudah terbentuk.
2.2. Dengan cara yang sama tunnel inferior kiri dibuat.
2.3. Langkah-langkah berikutnya yaitu memutuskan pemisah antara tulang rawan
dengan premaksila (perikondrium, jaringan ikat yang bersifat perikondrial dan
periosteal yang jalan bersilangan serta periosteum) dengan cara sebagai berikut:
2.3.1. Dengan melindungi tulang rawan dan perikondrium yang sudah dielevasi,
pisau no.15 / elevator tajam dimasukkan ke tunnel anterior dan ditekankan
pada premaksila lalu diiris kemudian dielevasi ke kiri, sehingga terjadi
hubungan tunnel anterior dan tunnel inferior kiri.
2.3.2. Kemudian baru dilakukan elevasi ke kanan. Sekarang tunnel inferior kanan
dan kiri dengan tunnel anterior sudah dihubungkan, tahap maksila-
premaksila selesai.

Setelah tahap hemitransfiksi dan tahap maksila-premaksila selesai, selanjutnya


tinggal melepaskan sambungan tulang rawan dengan pars perpendikularis-vomer. Ada 2
cara (Cottle,1960 ) :
a. Hubungan tersebut dilepaskan langsung pada sambungan tulang rawan dan kedua
tulang septum tersebut dengan menekan tulang rawan ke kanan pada sambungan dan
selanjutnya periosteum kanan dielevasi.
b. Tulang rawan diiris tegak lurus kaudal dari sambungan tulang rawan-tulang dengan
hati-hati, kemudian dilanjutkan dengan mengelevasi perikondrium dan periosteum.
Hubungan tulang rawan dan semua bagian tulang dari septum sudah terlepas se-
hingga deformitas dari semua bagian septum dapat dikoreksi dengan cara mengambil
sebagian atau semua bagian tulang termasuk premaksila.
MODIFIKASI PERASAT COTTLE

12
Tehnik membuat tunnel anterior sama dengan cara Cottle (1960). Hanya karena
tidak adanya klem kolumela Cottle untuk fiksasi pars membranasea septi, maka digunakan
spekulum hidung bayi di kiri tepi kaudal septum, lalu diregangkan dan dilakukan irisan
tepat pada tepi kaudal tulang rawan, bukan 3 mm proksimal tepi kaudal, (dengan menekan
spekulum ke kiri, otomatis mukosa ikut tertarik ke kiri). Submukosa kiri dielevasi sedikit
dan spekulum pindah ke sub mukosa kiri tadi. Jaringan ikat disisihkan sampai telihat
perikondrium dan dengan elevator tajam perikondrium di samping kiri tepi kaudal dikerok
sampai ditemukan permukaan tulang rawan dan dengan elevator tumpul, elevasi
perikondrium dilanjutkan sampai dengan elevasi periosteum sehingga terbentuk tunnel
anterior.
Di sini tepi kaudal yang tipis tidak dikerok untuk menghindari compang-
campingnya tepi kaudal tersebut (tebalnya 1-1,5 mm). Sesudah terbentuk tunnel anterior,
hubungan tulang rawan dengan vomer-pars perpendikularis langsung dilepaskan dengan
cara tulang rawan pada daerah sambungan ke kanan dengan elevator tumpul/ujung kanul.
Kalau sudah renggang, elevator tumpul digunakan untuk elevasi periosteum kanan
(melepas sambungan dengan cara Cottle, 1960) .
Saat ini sudah dapat dilakukan koreksi terhadap pars perpendikularis dan vomer
dan tergantung pandangan untuk melakukan koreksi terhadap krista nasalis.
Sekarang yang belum lepas adalah "joint area" yang memisahkan tulang rawan
dengan premaksila. Untuk memutuskannya dilakukan secara langsung saja tanpa membuat
tunnel inferior (tahap maksila-premaksila), yaitu pisau no.15/elevator tajam dalam tunnel
anterior diiriskan langsung ke arah premaksila, lalu periosteum premaksila dielevasi
seperlunya ke arah premaksila atau bagian septum yang memerlukan koreksi, terutama
antara krista nasalis-vomer.
Setelah selesai koreksi septum, luka irisan dijahit. Dilakukan pemasangan tampon
(roll) yang mengandung levertran atau sofratule.

KONKOTOMI
Dilakukan bila ada hipertropi konka inferior, agar lapangan pandang lebih luas.
Konkotomi umumnya cukup parsial.
Tata laksana konkotomi :
- Konka yang hipertropi diluksasi ke medial.
- Dipasang spekulum hidung berdaun panjang.

13
- Konka bagian kaudal yang telah diluksasi, dipotong dengan gunting konka.
- Konka yang tidak dipotong dikembalikan ke posisi semula.
- Pasang tampon anterior.

PERAWATAN PASKA OPERASI


a. Umum : • diawasi keadaan umum dan tanda-tanda vital.
• istirahat
• obat-obatan : - analgetik, anti inflamasi, antibiotika
b. Khusus : • Tampon diambil beberapa hari post operasi. Pembersihan perlu dilakukan
terhadap sekret dan jendalan darah setiap 1-2 hari.
• Adesi atau sinekia dapat terjadi paska operasi, untuk itu diperlukan
pengamatan yang cermat dan pemberian penyangga untuk tidak terjadinya
sinekia dan dievaluasi setiap 1-2 hari sampai luka operasi baik.

KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi pada koreksi sekat hidung adalah :
1. Perdarahan, merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pembedahan.
2. Hematom intraseptal, kalau besar perlu dilakukan drainase. Bila hematom terinfeksi
akan timbul abses maka perlu segera dilakukan drainase dan diberikan antibiotika
dosis tinggi.
3. Perforasi, terjadi apabila mukoperikondrium atau mukosa periosteum robek (kedua
sisi).
4. Atropi, dapat mengenai seluruh bagian sekat.
5. Gangguan fungsi hidung (pembauan dan lain-lain).
6. Sinekia, atresia dan stenosis.
7. Kelainan bentuk hidung : saddle nose, tip drop, nose drop.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ . Koreksi bedah kelainan septum obstruktif. Dalam : Ballenger JJ.


Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Bahasa Indonesia,
alih bahasa : Staf ahli Bagian THT RSCM-FKUI, edisi ke 13. Jakarta. Binarupa
Aksara , 1994 : 99 - 108.
2. Brain D. The Nasal Septum. in : Kerr AG, Mackay IS. eds. Scott Browns
Otolaringology. Philadelphia. Butterworths, 1987 : 154 - 69.
3. Nizar.NW. Kelainan Septum. Dalam : Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan
Telinga Hidung Tenggorok, FKUI Jakarta. Gaya Baru, 1992 : 120 - 1.
4. Asmara S. Operasi Koreksi Septum Nasi dengan Perasat Cottle tanpa membuat
Inferior Tunnel. Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS VIII PERHATI. Ujung
Pandang, 1986 : 557-64.
5. Sunarto. Operasi Septum Nasi dengan “Maxilla - Premaxilla Aproach”.
Otorhinolaringo-logica Indonesiana 1, 1972 : 31 - 48.
6. Cottle H. Corrective surgery, nasal septum and external pyramid, study notes
and laboratory manual. American Rhinology Society, Chicago, Illinois, 1960.
7. Walter CL,DMD : The nasal septum. In. Paparela and Shumrick. Otolaringology.
volume III. Head and Neck. Philadelphia, WB Sounders Co. 1980 : 2051 - 77.
8. Hilger P. Hidung : Anatomi dan fisiologi terapan. Dalam. Boeis. Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi Bahasa Indonesia, alih bahasa : Carolin Wijaya, edisi ke 6.
Jakarta. EGC, 1996 : 173 -89.
9. Ballenger JJ . Hidung Dan Sinus Paranasalis. Dalam. Ballenger JJ. Penyakit
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Bahasa Indonesia, alih
bahasa : Staf ahli Bagian THT RSCM-FKUI, edisi ke 13. Jakarta. Binarupa Aksara
, 1994 : 1 - 25.
10. Evans PHR. Anatomy of the nose and paranasal. In. Kerr AG, Groves J, eds. Scott
Browns Otolaryngology. Philadelphia. Butterworths, 1988 : 138-61.

15

Anda mungkin juga menyukai