Anda di halaman 1dari 72

TRAUMA

MAKSILOFASIAL

Pembimbing:
dr. Aryanto Z Habibie, Sp. BP-RE Presentan :
Ahmad Fauzi
Ilmu Laboratorium Bedah Plastik
RSUD R SYAMSUDIN SH SUKABUMI JAWA BARAT
DEFINISI

Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial
adalah fraktur yang terjadi pada tulang tulang wajah yaitu tulang nasoorbitoetmoid, tulang
zigomatikomaksila, tulang nasal, tulang maksila, dan juga tulang mandibula

Etiologi

•Kecelakaan lalu lintas


•Penganiayaan atau berkelahi
•Olahraga  anak-anak paling sering
•Jatuh
•Lain-lain
ANATOMI
Sepertiga atas
•Os. Frontalis
•Regio supra orbita
•Rima orbita
•Sinus frontalis

Sepertiga tengah
•Os. Maksila
•Os. Zigomatikus
Sepertiga bawah •Os. Nasal
•Mandibula •Sistem lakrimasi
•Palatina
•Tulang vomer
•Konka inferior
klasifikasi

Maxillofacial
trauma

Soft tissue Facial bone


injury fracture

Orbital
Laceration Contusion Abration Nasal Zygoma Maxillary Mandibullar
blowout
PRIMARY SURVEY
Airway
•Bebasksan jalan nafas dan patensi jalan nafas
•Cek darah, muntahan, gigi, benda asing  bersihkan
•Berikan O2  intubasi atau trakeostomi
•Stabilisasi cervical

Breathing
•Inspeksi dan palpasi kelainan dinding dada
•Auskultasi
Circulation
•Bleeding  direct pressure
•Nasal bleeding  tampon anterior dan posterior
•Cek other injuries  menyebabkan syok

Disabilities  GCS

Exposure control  hipotermia


SECONDARY SURVEY

Scalp Telinga Mata Hidung Neurologis Abdomen

•Laserasi, •Cek pinna, •Cek pupil, •Cek posisi •Motorik  N •Nyeri tekan
hematoma, canalis pergerakan septum, VII •Jejas
pendarahan akustikus bola mata, pasase udara •Sensorik  N
eksternus, fundus •Krepitasi pada V (wajah) & N
membran •Cek nasal bridge VII (lidah)
timpani ketajaman •Rhinorrhea 
•Otorhea  penglihatan darah, CSF
darah, CSF
•Cek fungsi
pendengaran
PRINSIP PENATALAKSANAAN

Airway Management
Oropharyngeal Nasopharyngeal Supraglottic Rapid sequence
Chin lift Jaw thrust Surgical airway
airway airway devices intubation

Ventilation

Oxygenation
SOFT TISSUE INJURY

 Vulnus scissum (Bandingkan sisi kanan dan


kiri)
 Vulnus laceratum  Palpasi tulang wajah
 Vulnus punctum  Inspeksi mulut dan gigi
 Combustio  Palpasi struktur gigi
 Vulnus sclopetorum  Evaluasi fungsi saraf wajah
(CN V dan CN VII)
 Periksa gerakan otot wajah
dan gerakan extraokuler
 Periksa struktur dan fungsi
bola mata (darah, benda
asing, laserasi kornea,
ketajaman penglihatan,
double vision, retina
dengan funduskopi)

Pemeriksaan fisik
 Evaluasi kesimetrisan dan
deformitas
 Inspeksi wajah
TREATMENT

Hentikan perdarahan

Bersihkan kotoran-kotoran

Lakukan penutupan luka

•Bila terjadi luka sayat, luka robek atau luka bacok, jahit luka dengan menggunakan benang yang halus. Jahitan primer luka di wajah dapat
dikerjakan sampai 36 jam pasca trauma kecuali akibat gigitan. Ini disebabkan karena pendarahan di daerah wajah yang sangat baik.
•Luka di depan sudut mata mutlak dijahit
•Bila luka lebar dan tidak dapat ditutup langsung, jahit situasi terlebih dahulu

Tutuplah luka dengan kain kassa steril dan basah/lembab agar mudah menyerap darah yang keluar dan bila sudah
kotor diganti minimal 2 kali sehari.
FRAKTUR MANDIBULA

 40% - 62% dari seluruh fraktur wajah


 1/3 fraktur mandibula terjadi di daerah
kondilar-subkondilar,
 1/3 terjadi di daerah angulus, dan
 1/3 lainnya terjadi di daerah korpus,
simfisis, dan parasimfisis.
 Fraktur subkondilar banyak ditemukan
pada anak-anak, sedangkan fraktur
angulus lebih sering pada remaja dan
dewasa muda.
Etiologi
 anterior force: fraktur bilateral
 lateral force: fraktur pada ipsilateral subkondilar dan sudut kontralateral
TANDA DAN GEJALA
 Nyeri, dapat dirasakan saat pasien mencoba menggerakkan rahang untuk berbicara,
mengunyah atau menelan.
 Perdarahan dari rongga mulut.
 Maloklusi. Keadaan dimana rahang tak dapat dikatupkan.
 Trismus. Ketidakmampuan membuka mulut lebih dari 35 mm, batas terendah nilai normal
adalah 40 mm.
 deviasi dagu ke arah kondilus yang fraktur
 Ketidakmampuan menutup rahang = menandakan fraktur pada prosessus alveolar,
angulus, ramus dari simfisis.
 Krepitasi tulang.
 Mati rasa pada bibir dan pipi. (perjalanan Nervus V 3)
 Oedem daerah fraktur dan wajah tidak simetris.
 Kerusakan dan kehilangan gigi
PEMERIKSAAN KLINIS

EXTRAORAL INTRAORAL
•Ekimosis dan edema • Perdarahan
Inspeksi •Laserasi
•Maloklusi
•Trismus
Inspeksi • Ekimosis sulkus bukal dan lingual
• Serpihan gigi

•Krepitasi

Palpasi •Nyeri tekan


•Hipoestesi/anestesi
•Batas inferior mandibula & preaurikula  ireguler
Palpasi • mobilisasi  tidak wajar
Pasien dengan deviasi
mandibula ke kanan saat
mencoba membuka mulut
(A). Pasien ini memiliki
fraktur kondilar (panah)
seperti yang ditunjukan pada
radiografi panoramik (B)
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Pemeriksaan radiografik defenitif terdiri dari fotopolos mandibula PA, oblik lateral.

CT Scan baik untuk fraktur kondilar yang sulit dilihat dengan panoramic

Foto panoramic dapat memperlihatkan keseluruhan mandibula dalam satu foto. Pemerikasaan
ini memerlukan kerjasama pasien, dan sulit dilakukan pada pasien trauma, selain itu kurang
memperlihatkan TMJ, pergeseran kondilus medial dan fraktur prosessus alveolar.
Treatment

 maxillary and mandibular arch bars wired secara bersamaan


(intramaxillary fixation) or ORIF
 Antibiotik untuk S aureus dan untuk anaerob jika fraktur terbuka sampai
ke dalam rongga mulut
TREATMENT

 Closed reduction dan fiksasi intermaksilaris


 Open reduction dan rigid internal fixation
Mandibullar dislocation

Tanda dan gejala


Nyeri
Etiologi:
 Ketidakmampuan
 Trauma tumpulmenutup mulut
 Pembukaan
 Edema wajah mulut berlebih

 Arah dislokasi mandibula


Pemeriksaan fisik common)
 Anterior (most
 Depresi
 Posterior
periauricular
 Lateral
 Deviasi rahang pada dislokasi unilateral
 Superiorpada dislokasi bilateral
 Prognathia

 Dislokasi sebagian besar terjadi bilateral


MANDIBULLAR RELOCATION
SEPERTIGA TENGAH WAJAH
anatomy
• Two Maxillae
• Two zygomatic bones
• Two zygomatic processes of the
temporal bones
• Two palatine bones
• Two nasal bones
• Two lacrimal bones
• The vomer
• The ethmoid and attached
conchae Figure 5. Bones of the middle third of the facial skeleton
• Two inferior conchae
• The pterygoid plates of the
Le fort fracture
EPIDEMIOLOGI
•Kecelakaan mobil (30.8%)
•Kecelakaan motor (23.2%)
Penyebab •Pertengkaran (9.7%)

•Olahraga (6.3%)

•Le Fort I (24.2%)


Distribusi •Le Fort II (54.6%)
•Le Fort III (12.1%)

Usia dan •11 – 20 thn ( 20%) ~ 21 – 30 thn (43%) ~ 31 – 40


thn (20%)
Jenis kelamin •Pria (83.1%) ~ Wanita (16.9%)
FRAKTUR LE FORT I
 Fraktur horizontal bagian bawah
antara maxilla dan palatum/arkus
alveolar kompleks
 Menyebabkan terpisahnya prosesus
alveolaris dan palatum durum
 Terdapat keterlibatan pterygoid
palate dan bagian lateral tulang dari
external nares
 Garis fraktur berjalan ke belakang
melalui lamina pterigoid. Dapat
unilateral atau bilateral
Manifestasi klinis
 Edema fasial
 Maloklusi gigi
 Pergerakkan dari maksilla dengan
os nasal tetap stabil.

PENCITRAAN :
• X- Ray :
Garis fraktur pada os. Nasal,
inferior maksilla dan dinding lateral
maksilla
• CT – Scan
FRAKTUR LE FORT II

• Trauma pada bagian bawah atau


tengah maksilla.
• Fraktur piramidal
• Nasal bridge  prosesus frontalis
maksilla  os.lacrimal dan inferior os
orbita (inferolateral)  sinus
maksillaris anterior (inferior) 
zygoma
• Terdapat pergerakkan dari palatum
durum dan nasal, namun tidak pada
mata.
Manifestasi klinis

• Edema fascial yang nyata


• Nasal flattening
• Talechantus traumatik
• Epistaksis
• Rinnorhea CSF
• Pergerakkan dari rahang atas dan
hidung
Pencitraan

• X- Ray :
 Fraktur pada os.nasal, orbita medial,
sinus maksillaris, dan bagian frontal
os. Maksilla.
• CT – Scan pada bagian wajah dan
kepala.
 FIGURE 256-16. Bilateral Le Fort II
fractures. Face CT with three-
dimensional
 reconstructions demonstrating
bilateral Le Fort II in a panfacial
fracture patient
 (arrows).
Le fort III

• Fraktur transverse – craniofacial


dysjunction
• Fraktur ini menyebabkan seluruh
wajah terpisahkan dari tulang
tengkorak akibat terjadinya fraktur
pada sutura frontozygomatikus
melalui orbita, pangkal hidung dan
ethmoid.
Manifestasi klinis

 Dish faced deformity (konkav)


 Epistaksis
 CSF rhinorrhea
 Pergerakkan dari os maxilla, os
nasalis, and os zygoma
 Obstruksi jalan nafas berat.
Pencitraan

• X-Ray , ditemukan fraktur pada


 Zygomaticfrontal suture
 Zygoma
 Dinding orbita medial
 Os. Nasal.
• CT – Scan kepala dan fasial.
PRIMARY SURVEY
Airway Maintenance
Primary Survey
Breathing and Ventilation
Circulation
Degree of Conciousness
Exposure
Pemeriksaan fisis
• Cidera jaringan lunak
• Laserasi  debridemen
• Pemeriksaan terhadap struktur vital nervus fasialis atau duktus parotis.
• Mata
• Untuk evaluasi sistem neurologis dan adanya kerusakkan okular.
• Kesimetrisan wajah
• Palpasi tulang wajah
• Supraorbita  lateral orbita  infraorbbita, eminesia malar  arkus
zygomatikus dan os. Nasal.
• Irregularitas tulang  fraktur
Pemeriksaan fisis
• Kavitas oral
• Lepasnya gigi  hati-hati aspirasi !
• Leher
• Apakah ada cidera atau tidak
• Udara pada jaringan subkutan atau jarigan lunak  cidera pada
trakea
• Edema atau hematoma  jalan nafas tidak adekuat
• Palpasi  apakah posisi trakea terletak ditengah.
TATALAKSANA
Amankan jalan nafas

Kontrol Perdarahan
Elevasi kepala 40 – 60 derajat
Pada kasus CSF rinorrhea
Antibiotik (broad spectrum)
Ex. rocephine

Reduksi terbuka dan fiksasi internal


Treatment of Lefort I Fractures
– Reduksi dan anatomic
realignment dari maxillary
buttresses dengan tujuan
mengembalikan projeksi
anterior, oklusi, dan transverse
width
– Restorasi oklusi menggunakan
IMF
– Fiksasi internal menggunakan
miniplate
TATALAKSANA LE FORT I
TATALAKSANA Lefort II and III

• Intubasi tidak boleh menghalangi penggunaan IMF


• Visualisasi dari semua fraktur, dapat dilakukan dengan
pendekatan melalui
 Rima orbita inferior
 Infraorbital
 Subciliary
 Transconjunctival
 Mid lower lid
 Koronal
 Insisi gingivobuccal
Treatment of Lefort II and III

 Fraktur komunutif yang berat  wire


 Reposisi dari tulang naso ethmoid
 Memperbaiki jarin intercantus
 Fiksasi rima infra orbita
 Rekonstruksi orbita
 IMF (intermaxilary Fixation)
REKONSTRUKSI Lefort II & III
REKONSTRUKSI Lefort II & III
Fraktur os. Zygomatikus

Isolated • Fraktur arkus zygomatikus tanpa keterlibatan


tulang lainnya.

• Terlepasnya zygoma dari artikulasionya (os.

Complex Frontal, os.temporal, os.sphenoid, dan os.


Maksillaris)
Fraktur os. Zygomatikus

Figure 13. Zygomatic complex fracture Figure 14. Zygomatic isolated fracture
MANIFESTASI KLINIS

Non – displaced fragments Displaced fragments


• Nyeri • Asimetri wajah
• Ekimosis • Depresi eminensia malar dan
infraorbital rim
• Edema periorbita dengan • Medial  spasme m. masseter,
perdarahan subkonjungtiva mandibular trismus

• Kerusakkan nervus zygomaticotemporal dan infraorbital  paresthesia pada


pipi, hidung lateral, atas bibir dan gigi anterior pada regio maksilla.
• Epistaksis dan diplopia
• Fraktur dinding orbita  limitasi pergerakkan otot ekstraokular, enopthalmus,
dan exopthalmus.
Tatalaksana

• Bergantung pada derajat


displacement, estetik, dan defisit
fungsional.
• Pada fraktur zygomatikus tipe isolated
dan kompleks fraktur dengan
displacement minimal atau tanpa
displacement tidak perlu dilakukan
tindakkan operasi.
• Standart reduksi pada tipe isolated 
Gillies technique
Figure 15. Gillies approach to zygomatic arch
TATALAKSANA

• Tipe fraktur kompleks  reduksi


terbuka dan fiksasi internal dengan
menggunakan mini plates dan
• Transcutaneous Carroll–Girard
screw
 in the malar region

Figure 16. Useof Carroll-Girard screw


Fraktur os nasal

Manifestasi Klinis
 Depresi atau angulasi
 Epistaksis
 Nyeri tekan
 Krepitasi
 Deviasi septum
 Hematoma septum
TATALAKSANA
 Bersihkan klot dengan
menggunakan suction untuk
mencegah nekrosis septum.
 Reduksi tertutup pada fraktur
simpel
 Reduksi terbuka pada kasus
fraktur berat.
Fraktur orbita
• Tipe isolated  jarang
• Melibatkan fraktur midfasial  Le Fort II, Le Fort III, nao-orbito-ethmoid, dan kompleks
zygomaticomaxillary.
• Pada isolated orbita fracture :
•Disebabkan karena trauma tumpul langsung yang mengenai tulang
•2 tipe :
 Blow – out
- Anteroinferomedial aspek dari kavitas orbita
- Displace orbita globe posteromedial inferior
- Peningkatan volume yang signifikan pada kavitas orbita  enopthalmos
- Herniasi menuju sinus maksilaris
Blow – in
- Orbital roof
- Anteroinferior globe displacement
• Low energy force
 Fraktur linear
FrAKTUR ORBITA
• Tipe fraktur kompleks :
 Melibatkan dua atau lebih dinding orbita
Pada fraktur kompleks yang mengenai bagian orbita internal  kanal
optik dapat terlibat.
• Tatalaksana :
 Cidera linear pada dinding dasar orbita  tidak membutuhkan
intervensi terkecuali bila terdapat soft tissue entrapment
 Fraktur blow-out atau blow-in  reduksi dan rekonstruksi
 Grafting
Fraktur Naso-orbito-ethmoidal
 Penyebab : focused high-energy transfer to the intercanthal area

Tipe I • Tendon kantus medial menempel pada satu atau


fragmen sentral yang besar

• Tendon kantus medial menempel pada fragmen

Tipe II sentral (comminuted but manageable)


• Tendon kantus masih menempel pada fragmen
yang masih dapat terjadi osteosynthethis.

• Tendon kantus medial menempel pada fragmen

Tipe III sentral (comminuted and unmanageable), fragmen


terlalu kecil untuk osteosynthesis dan telepas
sepenuhnya.
Manifestasi klinis
• Periorbital ecchymoses
• Perdarahan subkonjungtiva
• Nyeri
• Laserasi kulit dan mukosa
• Epistaksis
• Obstruksi nasal
• Edema
• Exophthalmos, proptosis, or ptosis.
• Nasal bone mobility, traumatic telecanthus, crepitus, and depressibility
of the area
Pemeriksaan fisis
• BOWSTRING TEST
• Untuk menilai perlekatan tendon kantus medial

Figure 21. Bowstring test


TATALAKSANA
 Tujuan :
1. Penetapann Projeksi nasal yang sesuai
2. Mempersempit jarak intercanthal
3. Penetapan rute sekresi lakrimal dan bagian nasofrontal
 Type I  reduksi tertutup, jika tidak berhasil lakukan reduksi
terbuka.
 Type II dan III  reduksi terbuka
Sistem lakrimal

 Cidera sistem lakrimal


 Terjadi ketika canthal ligament mengalami cidera atau
displaced
 Duktus nasolakrimal biasanya cidera akibat terkena bagian
tulang yang megalami fraktur
 Epiphora
 Evaluasi patensi duktus nasolakrimal
Fraktur Sepertiga Atas Wajah

 Fraktur orbital
 Pure blowout fracture/ orbital floor fracture  fraktur pada tulang internal
orbita
 Impure blowout fracture  fraktur pada rima orbita
 Fraktur orbital dengan fraktur fasial lainnya
 Fraktur apex orbital  foramen optik
Pure blowout fracture

 Orbital floor fracture with intact orbital rim


 Etiologi: direct blunt force  fraktur pada regio posteromedial (paling
tipis) dari orbital floor
 Patofisiologi: teori Buckling & teori Hydraulic
Clinical findings

 Periorbital tenderness
 Impaire ocular motility/ inability to move the eye  nyeri
 Periorbital edema
 Subkonjunctiva haemorrhage
 Diplopia
 Infraorbital nerve hypesthesia
 Epistaksis
Imaging

Plain X-ray (Caldwell): CT-scan


Hanging tear drop sign
Tatalaksana

Blowout tanpa enophtalmus  konservatif


Antibiotik jika fraktur sampai sinus maksilaris

Indikasi bedah: Diplopia persisten


Enophtalmus ≥ 2 mm
Extraocular muscle entrapment
Fraktur tulang frontalis
Fraktur tulang frontalis

 Umumnya bersifat depressed ke dalam atau hanya mempunyai garis fraktur


linier yang dapat meluas ke daerah wajah yang lain.
 Ditandai dengan :
 Inspeksi  permukaan irreguler, hematoma, epistaksis, rhinorea
 Palpasi Destruksi atau krepitasi pada supraorbital rims, nyeri tekan, parestesi
pada supraorbital nerve
Fraktur tulang frontalis
imaging
Fraktur tulang frontalis

Tatalaksana Komplikasi
 Sedang-berat  obliterasi sinus / kranialisasi  Sinusitis kronik
sinus
*Obliterasi: pengangkatan seluruh mukosa  Meningitis
sinus obliterasi dengan material autolog  Abses otak
(abdominal fat, tulang, otot, perikranium)
*Kranialisasi: pembebasan dura; pengangkatan
sisa tabula posterior; rekontruksi tabula anterior
& resesus frontalis

 Ringan  observasi; repair; ORIF


1. Georgiade GS, Riefkohl R., Levin LS (1997). Georgiade Plastic, Maxillofacial and Reconstructive Surgery (3rd edition). Baltimore:
Williams andWilkins.
2. Reconstructive Surgery Essentials for Students. Arlington Heights, IL: Plastic Surgery Educational Foundation; 2007.
3. Smith OJ, Brown AS, Cruse CW et aII1987j. Plastic and reconstructive surge,,!. Chicago: Plastic Surgery Educational Foundation.
4. Japardi, I., 2004. Trauma Maksilofasial. In: Cedera Kepala: Memahami Aspek -Aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita
Cedera Kepala
5. Bedah Kepala Leher XI. Simposia-Vol 7 No 1.
6. Thaib Roesli, Satoto, Syamsudin. 1985. Masalah Anestesia Pada Trauma Maksilo Fasial. Jakarta.
7. R. Sjamsuhidajat. 2005. Trauma Kepala. Dalam: Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal 337-341.
8. Mansjoer, Arief, dkk. 2000. Trauma Muka. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius. Hal 371-
373.
9. Fraktur Maksilofasial. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Bedah. Surabaya: FK Unair. Hal: 21-23.
10. Oetomo Koernia Swa. 2009. Trauma Maxillofascial. Dalam: Bedah Gawat Darurat. Surabaya: RSUD Haji. Hal: 69.
11. Johnson JT, Rosen CA, Bailey BJ. Bailey’s head and neck surgery--otolaryngology [Internet]. 2014 [cited 2016 Nov 28].
12. American College of Surgeons, editor. Advanced trauma life support: ATLS ; student course manual. 9. ed. Chicago, Ill: American
College of Surgeons; 2012. 366 p.
13. Aktop S, Gonul O, Satilmis T, Garip H, Goker K. Management of Midfascial Fracture. Chapter 15. A Textbook of Advanced Oral
and Maxillofacial Surgery. 2013.
14. Tintinalli JE. Tintinalli’s Emergency Medicine – A Comprehensive Study Guide 7th ed. McGraw Hill. 2011.
15. Moe KS, Narayan D. Maxillary and Le Fort Fractures. 2016. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1283568-
overview#showall

Anda mungkin juga menyukai