Anda di halaman 1dari 31

1

ANGIOFIBROMA NASOFARING PADA WANITA


Novirianty, Yoan Levia Magdi
Bagian IKTHT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/
Departemen KTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang
Abstrak
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang relatif jarang ditemukan secara
histopatologis jinak, secara klinis bersifat seperti tumor ganas. Biasanya
ditemukan pada laki-laki usia remaja, sangat jarang ditemukan pada wanita.
Gejala dan tanda klinis berupa epistaksis masif berulang, obstruksi hidung dan
massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya angiofibroma.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologis.
Penatalaksanaan angiofibroma nasofaring dapat berupa pembedahan, radioterapi
dan terapi hormonal.
Dilaporkan dua kasus angiofibroma nasofaring pada perempuan usia 20
tahun telah ditatalaksana dengan ekstirpasi massa transoral
Kata Kunci : Angiofibroma nasofaring, wanita, pembedahan
Abstract
Nasopharyngeal angiofibroma is rare tumour histologically benign but as
clinically is malignat. These tumors are usually found in teenage boys, rare case
in female. Clinical symptoms and signs was a massive recurrent epistaxis, nasal
obstruction and a mass in the nasopharynx strongly support the suspicion of
angiofibroma. Diagnosis based on history, physical examination and investigation
examination. The definitive diagnosis is made based on histopathological
examination. Management of nasopharyngeal angiofibroma can be surgical,
radiotherapy and hormonal therapy
We reported two case nasopharyngeal angiofibroma of 20-year-old female
patient with a who performed with ekstirpation the mass by transoral
Key words : nasopharyngeal angiofibroma, female, operatif

PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring (AFN) merupakan tumor yang relatif jarang
ditemukan. Secara histopatologis tumor mengandung 2 unsur, yaitu unsur jaringan
ikat fibrosa dan unsur pembuluh darah dimana dinding pembuluh darah tersebut
tidak mempunyai jaringan ikat elastis maupun otot. Oleh karena itu jika disentuh
mudah terjadi perdarahan hebat. Meskipun secara histopatologis jinak, secara
klinis tumor ini bersifat seperti tumor ganas. Diperkirakan tumor tumbuh dari
dinding posterolateral kavum nasi, proksimal posterior foramen sfenopalatina.
Tumor ini tumbuh relatif cepat dan dapat mendestruksi tulang disekitarnya dan
meluas ke sinus paranasal, fossa infra temporal, fossa pterigomaksila, pipi, rongga
mata, dasar tengkorak, dan rongga intrakranial. Tumor ini jarang ditemukan,
merupakan 0,05% dari tumor kepala dan leher, dan biasanya ditemukan pada lakilaki usia remaja usia 14-25 tahun. Jarang ditemukan pada laki-laki usia diatas 25
tahun dan sangat jarang ditemukan pada wanita.1-4
Hipokrates pada abad 4 pertama kali menggambarkan sebagai polip
hidung yang keras dan lunak. Chelius pada tahun 1847, mengemukakan sebagai
polip hidung fibrosa sering ditemukan pada laki-laki dalam masa remaja. Sebileau
1922 menyebut tumor ini sebagai fibroma nasofaring. Friedberg mengemukaan
istilah angiofibroma pada tahun 1940, dan istilah itu sering digunakan sampai
sekarang. Shaker pada tahun 1930 pertamakali melaporkan angiofibroma
nasofaring pada wanita.5-6
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Biopsi merupakan kontra indikasi pada angiofibroma
nasofaring karena dapat menyebabkan perdarahan hebat yang sulit dihentikan.
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologis jaringan yang
didapat sesudah operasi.

Pilihan utama untuk penanganan tumor ini adalah

pembedahan dengan penyulit utama adalah perdarahan hebat saat pembedahan.


Pengobatan lain berupa pemberian hormonal, radiasi atau sitostatika bila tumor
tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan terapi bedah atau diberikan sebelum
operasi untuk mengecilkan tumor dan mengurangi pendarahan durante operasi.7-9

KEKERAPAN
Tumor ini jarang dijumpai dan diperkirakan hanya 0,05 % dari semua
tumor kepala dan leher. Angiofibroma nasofaring lebih sering ditemukan pada
remaja laki-laki pada usia 14-25 tahun, jarang pada usia di atas 25 tahun dan
sangat jarang pada wanita. Insiden tumor ini diperkirakan antara 1 : 5000 sampai
1 : 60000 dari seluruh pasien THT di berbagai negara.2-6.
Di RS Dr Muhammad Hoesin Palembang, Affandi R

10

pada tahun 2007

melaporkan 1 kasus angiofibroma nasofaring pada wanita usia 43 tahun. Agoeng


HP11 melaporkan 4 kasus di RSMH palembang dari Januari 2009 - Oktober 2011
semua penderita laki-laki, Asroel HA 12 melaporkan di RS.H. Adam Malik Medan
dari Januari 2001 - Nopember 2002 didapati 11 kasus Angiofibroma nasofaring.
Unagkanott dkk

13

dalam penelitiannya selama 38 tahun menemukan 43 kasus

angiofibroma nasofaring terdiri atas 42 pasien laki-laki, dan 1 perempuan dengan


rata-rata berumur 16 tahun. Nirmal MR

14

melaporkan 1 kasus AFN pada wanita

usia 45 tahun. Patrocino JA15 mendapati 1 penderita AFN pada usia 64 tahun.
Tang IP di RS Malaya Malaysia melaporkan 13 pasien angiofibroma nasorafaring
sejak tahun 1995-2005 yang semua berjenis kelamin laki-laki dengan rentang usia
14-28 tahun.1 Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin dari Juni 2011 sampai Februari
2014 ditemukan 8 kasus angiofibroma nasofaring, dengan perbandingan laki-laki:
wanita = 7:1

ANATOMI
Nasofaring dibentuk di sebelah atas oleh korpus sfenoid dan prosesus
basiler os oksipitalis, sebelah bawah nasofaring diteruskan oleh orofaring melalui
bagian bawah nasofaring yang menyempit yang disebut istmus faring, sebelah
depan oleh kavum nasi posterior atau koana dan palatum mole, dinding depan
merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan dengan kavum nasi
dan dipisahkan oleh garis tengah berupa septum nasi. Sebelah belakang oleh
vertebra servikalis, sebelah bawah dilanjutkan oleh orofaring.16-18
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan
lateral. Ke depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Tuba

Eustachius terdapat pada dinding lateral. Dinding lateral ini dibentuk oleh lamina
faringobasilaris dan faringealis dan otot konstriktor faringeus superior. Ke arah
belakang dinding melengkung ke atas. Secara anatomik, nasofaring merupakan
bagian dari faring, meskipun secara morfologik ataupun fungsional lebih
merupakan bagian dari hidung, oleh karena itu epitel nasofaring juga di sebut
stratified squmous epithelium. Bagian bawah rongga nasofaring berhubungan
dengan orofaring, sehingga dengan demikian dasarnya dibentuk oleh permukaan
dorsal palatum mole yang merupakan satu-satunya batas yang dapat bergerak.16-18
Fossa pterigopalatina merupakan lekukan medial fissura pterigomaksilaris
yang terletak tepat di bawah puncak orbita antara prosessus pterigoideus dan
posterior maksila. Batas medialnya adalah pelat tegak lurus dari tulang palatina.
Fossa pterigopalatina berhubungan ke superior dengan orbita melalui bagian
posterior dari fissura orbitalis inferior. Di sisi lateral, fossa pterigopalatina
berhubungan secara bebas dengan fossa infratemporalis. Disisi medial fossa
pterigopalatina

berhubungan

dengan

rongga

hidung

melalui

sfenopalatina, dengan rongga mulut melalui kanalis palatina mayor. 16-18

Gambar 1. Anatomi Nasofaring18


PERDARAHAN

foramen

Perdarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna


yaitu arteri faringeal ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden, dan
cabang faringeal arteri spenopalatina. Pleksus vena terletak dibawah selaput lendir
nasofaring dan berhubungan dengan pleksus pterigoid diatas dan vena jugularis
interna dibawah.19-20
Suplai darah pada angiofibroma bersifat ipsilateral. Arteri pemasok utama
biasanya berasal dari arteri maksilaris interna. Pada tumor yang lebih besar
sumber perdarahannya berasal dari arteri faringeal asenden, palatina mayor, arteri
meningeal rekuren dan arteri oksipital, sebagian besar arteri pemasok tumor ini
merupakan cabang dari arteri karotis eksterna.

Pada tumor yang tumbuh ke

intrakranial sumber perdarahan yang utama, didapat dari sistem a. karotis interna.
Bila tumor tumbuh melawati garis tengah biasanya perdarahan berasal dari
pembuluh darah karotis bilateral.19-20

Gambar 2. Perdarahan nasofaring21


Kesulitan utama dalam pembedahan tumor ini adalah perdarahan hebat,
yang dapat terjadi sebanyak 2000-3000 cc dalam waktu singkat. Perdarahan saat
operasi disebabkan hanya sebagian tumor yang terangkat. Perdarahan hebat dapat
menggangu jalannya operasi sehingga sulit untuk melihat asal tumor juga bisa

menyebabkan syok hipovolemik dan menyebabkan kematian. Untuk mengurangi


perdarahan hebat, beberapa upaya untuk mengurangi perdarahan, antara lain :
ligasi a. karotis eksterna, terapi hormonal, radiasi, atau dengan tindakan
embolisasi praoperasi.11,19,20
ETIOLOGI
Penyebab timbulnya angiofibroma

nasofaring belum diketahui secara

jelas, berbagai macam teori telah diajukan yaitu berdasarkan teori jaringan asal
tumbuh dan hormonal. Teori jaringan asal tumbuh berdasarkan asal tumbuh tumor
yang diduga tumor terjadi akibat pertumbuhan abnormal pada jaringan
fibrokartilago embrional di daerah oksipitalis os sfenoidalis. Pendapat lain bahwa
jaringan asal tumbuh tumor pada perlekatan dinding postero-lateral atap rongga
hidung, tempat processus sfenoid palatum bertemu dengan ala horizontal dari
vomer dan akar prosesus pterigoideus tulang sfenoid.3,7,11,22
Teori hormonal, bahwa angiofibroma nasofaring merupakan hasil
ketidakseimbagan hormonal yaitu kekurangan estrogen atau kelebihan androgen.
Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis
kelamin dan umur serta pada observasi terhadap tumor angiofibroma nasofaring
didapatinya reseptor estrogen. Banyak bukti memperlihatkan adanya reseptor sekhormon seperti reseptor androgen, reseptor estrogen dan reseptor progesteron
pada angiofibroma nasofaring.3,7,11,22
Adanya hubungan genetik dengan menggunakan teknik molekular genetik
comparative genomic hybridazion (CGH) pernah di teliti oleh Schick. Pada 3
pasien angiofibroma nasofaring yang di telitinya dia menemukan adanya
kromosom X tambahan dan hilangnya kromosom Y pada 2 pasien pria dari 3
pasien angiofibroma nasofaring yang dia teliti. Dia juga menemukan hilangnya
kromosom 17, 19p dan 22q dan ditemukan adanya kromosom 3q, 4q, 5q, 6q, 7q,
8q, 12p, 12q, 13q, 14q, 18q dan 21q. Brunner juga melakukan penelitian dengan
menggunakan CGH pada 7 kasus dengan angiofibroma nasofaring. Dia
menemukan variasi abnormal pada 18 kromosom pada 6 kasus. Hubungan genetik
pada angiofibroma nasofaring juga masih kontroversi.3

PATOFISIOLOGI
Tumor ini berwarna kemerahan, sering menimbulkan epistaksis dan bila
tidak di terapi, dapat meluas ke dalam rongga orbita dan rongga tengkorak. Asal
mula angiofibroma nasofaring terletak di sepanjang dinding posterior-lateral di
atap nasofaring biasanya di daerah margin superior sfenopalatina. Tumor akan
meluas ke bawah mukosa sepanjang atap nasofaring mencapai tepi posterior
septum dan meluas ke arah bawah, membentuk tonjolan massa di atap rongga
hidung posterior. Perluasan ke anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong
septum kesisi kontra lateral dan memipihkan konka.5,22-24
Perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke arah foramen sfenopalatina.
Melalui foramen tersebut, tumor masuk ke fossa pterigomaksila, kemudian akan
mendesak dinding posterior sinus maksila. Tumor akan meluas terus melalui
fissura pterigomaksila masuk ke dalam fossa infratemporal yang akan
menimbulkan benjolan dipipi dan rasa penuh di wajah. Apabila tumor telah
mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak gejala yang khas pada
wajah yang disebut muka kodok. 5,22-24
Bila tumor cukup besar akan menonjol ke bagian bawah fossa temporal
dan menimbulkan pembengkakan di daerah zigoma. Tumor akan berkembang
terus masuk fissura orbitalis inferior, membuka bagian antero-posterior fossa
pterigomaksila dan masuk ke ujung bawah fissura orbitalis superior. Bila tumor
meluas ke daerah ini, akan menghancurkan ala magna tulang sfenoid dan
membentuk pelebaran yang khas sepanjang tepi bawah lateral fissura orbitalis
superior sehingga terjadi proptosis. 5,22-24
Perluasan intrakranial dapat terjadi melalui beberapa kemungkinan yaitu
pembesaran

tumor

di

fossa

infratemporal

dan

pterigomaksila

akan

menghancurkan tulang yang membentuk pangkal tulang pterigoideus. Daerah ini


tempat bertemunya korpus dan ala magna tulang sfenoid, sehingga tumor akan
terletak disebelah dura di fossa cerebri media, lateral dari sinus kavernosus dan
anterior foramen laserum. Kemungkinan lainnya tumor berkembang dari sinus
sfenoid melalui destruksi dinding superiornya masuk ke sinus kavernosus dan

atau fossa hipofise. Tumor akan mendorong kelenjar hipofisis ke satu sisi dan
timbul di sella tursika. Ini akan menyebabkan kebutaan karena penekanan kiasma
optikum. Bisa juga tumor berkembang dari sinus ethmoid melalui erosi dinding
superiornya masuk ke fossa serebri anterior. 5,11,22-24
MANIFESTASI KLINIS
Keluhan yang sering dijumpai adalah hidung tersumbat yang terdapat pada
80-90% kasus, sering menyebabkan rinore kronik, epistaksis biasanya hebat dan
jarang berhenti spontan, biasanya mimisan terjadi pada satu sisi hidung yang
terkadang menyebabkan anemia pada penderita. Sumbatan ostium sinus
menyebabkan sinusitis dan kadang disertai keluhan sakit kepala. Sumbatan pada
Tuba eustachius menyebabkan tuli konduktif dan otalgia. Diplopia terjadi
sekunder akibat erosi tumor ke rongga intrakranial. Sumbatan ke orofaring
menyebabkan disfagia dan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. Bila tumor
masuk kedalam fissura orbitalis superior timbul proptosis dan dapat disertai
gangguan visus serta deformitas wajah penderita. Dari nasofaring tumor dapat
meluas ke fossa pterigopalatina, lalu ke fossa infra temporal, kemudian menyusuri
rahang atas bagian belakang dan terus masuk ke jaringan lunak antara otot
maseter dan businator. Hal ini menyebabkan pembengkakan pipi dan trismus.
Perluasan

tumor

ke

rongga

intrakranial

akan

menimbulkan

gejala

neurologis.6,22,23,25,26
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak massa merah keabu-abuan di
sekitar nasofaring atau di cavum nasi jika tumor sudah meluas ke anterior.
Permukaan tumor licin, kadang berlobus. Bisa didapati sekret yang mukopurulen
pada kavum nasi. Pada pemeriksaan rongga mulut terkadang didapati palatum
mole terdesak ke inferior.5,6,24

HISTOPATOLOGIS
Secara makroskopis merupakan tumor yang konsistensinya kenyal keras,
warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Tumor tampak sebagai

massa yang tidak teratur. Terdapat banyak pembuluh darah pada mukosa dan tak
jarang dijumpai adanya ulserasi. Pada potongan melintang, tampak tumor tidak
berkapsul, berlobus-lobus, tepinya berbatas tegas dan mudah dibedakan dengan
jaringan sekitarnya.5,9
Secara mikroskopik gambaran daerah vaskuler bervariasi, baik bentuk
maupun ukurannya dalam jaringan fibrosa yang matur yang terdiri dari berbagai
ukuran pembuluh darah dengan dinding yang tipis. Pembuluh darah tersebut
dibatasi endotelium tetapi pada dinding pembuluh darahnya sedikit mengandung
elemen kontraktil otot yang normal. Hal inilah yang menyebabkan angiofibroma
nasofaring mudah berdarah. Sebagian terdiri dari jaringan pembuluh darah dengan
dinding yang tipis dalam stroma kolagen yang lebih seluler. Sebagian lagi terdiri
dari pembuluh darah yang agak tebal dindingnya, terletak dalam stroma yang
kurang seluler. Stroma terbuat dari fibril kolagen yang halus dan kasar yang
memiliki ciri-ciri jaringan ikat berbentuk bintang pada daerah tertentu. Jaringan
angiomatous cenderung surut seiring dengan waktu.5,9
DIAGNOSIS
Angiofibroma nasofaring dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan meliputi
tomografi komputer, Magnetik Resonance Imaging (MRI) dan angiografi.
Diagnosis pasti ditegakan berdasarkan pemeriksaan histopatologis jaringan tumor
pascaoperasi. Tindakan biopsi sebaiknya dihindari atau dilakukan dalam kamar
operasi dengan peralatan siap operasi, mengingat bahaya perdarahan biasanya
sulit dikontrol.1,2,5,24
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan radiologi memegang peranan penting dalam diagnosis,
penentuan stadium dan penatalaksanaan. Pemeriksaan radiologi berperan dalam
mengetahui perluasan tumor primer, khususnya dalam menilai invasi sfenoid
karena merupakan tempat utama terjadinya kekambuhan dan sering merupakan
asal dari angofibroma. Pada pemeriksaan radiologik konvensional akan terlihat

10

gambaran klasik angiofibroma nasofaring dini. Gambaran ini disebut sebagai


tanda Holman Miller, yaitu pendorongan kedepan dinding posterior sinus maksila
dan pendorongan ke belakang prosesus pterigoideus, sehingga fissura pterigo
palatina melebar. Dari pemeriksaan ini juga akan terlihat adanya massa jaringan
lunak di daerah nasofaring.5,20,22,23,27
Tomografi komputer (TK) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
menunjukkan massa inhomogen yang timbul dari ruang mukosa dan submukosa
nasofaring dengan penyangatan yang kuat dan homogen disertai erosi basis kranii
dan perluasan ke intra kranial. Pada pemeriksaan Tomografi Komputer (TK)
dengan potongan koronal dan aksial, akan memberikan gambaran yang lebih jelas.
Dengan pemeriksaan ini diketahui lokasi tumor dan perluasan ke struktur
sekitarnya serta melihat adanya invasi ke tulang. Pemeriksaan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) dapat dilakukan dan bermanfaat untuk melihat
perluasan tumor ke intrakranial dan hubungannya dengan pembuluh darah utama
serta struktur neurologik disekitarnya. 5,20,22,23
Arteriografi mempunyai nilai diagnostik dan terapetik. Identifikasi suplai
darah preoperatif merupakan hal yang penting untuk menentukan strategi
pembedahan yang tepat. Arteriografi sebelum pembedahan di indikasikan untuk
menentukan luasnya lesi dan jumah vaskularisasi. Pada pemeriksaan arteriografi
arteri karotis akan memberikan gambaran yang khas yaitu pendorongan arteri
maksila interna ke depan sebagai pertumbuhan tumor dari nasofaring ke arah
fossa pterigomaksila, massa tumor terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan
mencapai maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikan. Pemeriksaan
angiografi

bertujuan

untuk

melihat

pembuluh

darah

pemasok

utama,

mengevaluasi besar dan perluasan serta residu tumor. 5,20,22,23

STADIUM TUMOR.5,25,28,29
Tempat asal angiofibroma pertama kali tumbuh adalah bagian posterior
atap nasofaring. Dari tempat ini tumor dapat meluas ke kavum nasi, sinus

11

paranasal, fossa pterigopalatina, kavum orbita, fossa infra temporal, pipi, dasar
tengkorak. Untuk menentukan perluasan tumor dibuat sistem staging. Klasifikasi
pertama kali diperkenalkan oleh Session pada tahun 1981, kemudian di modifikasi
oleh Fish 1983, Chandler

pada tahun 1984 dan klasifikasi terakhir oleh

Radkowski pada tahun1996.


Klasifikasi menurut Session sebagai berikut :
Stadium IA : tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaring voult
Stadium IB : tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaring voult dengan
meluas sedikitnya 1 sinus paranasal
Stadium IIA : tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila
Stadium IIB : tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi tulang
orbita
Stadium IIIA : tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke
intrakranii
Stadium IIIB : tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa meluas
ke sinus kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut :
Stadium I

: tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa mendestruksi


tulang

Stadium II

: tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal dengan


destruksi tulang

StadiumIII

: tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan atau regio


paraselar

Stadium IV : tumor menginvasi sinus kavernosus, regio chiasma optik dan atau
fossa Pituitari
Klasifikasi menurut Chandler yaitu:
Stadium I

: Tumor terbatas di nasofaring

Stadium II : Tumor ke kavum nasi atau sinus sfenoidalis

12

Stadium III: Tumor ke satu atau lebih tempat seperti sinus etmoidalis, fossa
pterigomaksilaris, infra temporal, kavum orbita.
Stadium IV: Meluas ke intra kranial.
Klasifikasi menurut Radkowski yaitu:
Stadium IA : Tumor terbatsa pada hidung atau nasofaring
Stadium IIB : Tumor menginvasi sedikitnya satu sinus paranasal
Sadium IIA : Tumor dengan ekstensi melalui foramen sfenopalatina termasuk
bagian medial fossa pterigopalatina
Stadium IIB : Mengisi penuh Fossa pterigopalatina dengan Holman Miller, Erosi
ke superior dengan mengerosi tulang orbita
Stadium IIC : Ekstensi melalui fossa pterigopalatina ke pipi, fossa temporal atau
posterior ka pterigoid
Stadium IIIA: Erosi dasar tengkorak dengan ekstensi minimal ke intrakranial
Stadium IIIB: Erosi dasar tengkorak dengan ekstensi ke intrakranial dan atau
sinus kavernosus
DIAGNOSIS BANDING
Angiofibroma nasofaring dapat di diagnosis banding dengan polip
antrokoana, hipertrofi adenoid, limfoma dan karsinoma nasofaring.5,6,9,20
PENATALAKSANAAN
Berbagai jenis pengobatan dikembangkan sejak ditemukannya tumor ini.
Penatalaksanaan tumor ini yaitu operasi merupakan pilihan utama. Pemilihan
operasi pada angiofibroma nasofaring dapat dilakukan dengan operasi terbuka,
operasi dengan panduan endoskopi atau kombinasi keduanya. Pendekatan yang
dipilih untuk operasi hendaknya memperhatikan pertimbangan adanya pemaparan
yang baik pada massa tumor, mampu mengendalikan perdarahan, tidak
meninggalkan parut wajah, mencegah deformitas wajah. Efektifitas operasi
tergantung dari lengkapnya pengangkatan massa tumor. Beberapa pendekatan
yang digunakan tergantung dari lokasi dan perluasan angiofibroma nasofaring

13

yaitu rinotomi lateral, transpalatal, transmaksila, atau sphenoethmoidal yang


digunakan untuk tumor-tumor yang kecil, pendekatan fossa infratemporal
digunakan ketika tumor telah meluas ke lateral, pendekatan midfacial degloving,
dengan atau tanpa osteotomi LeFort, memperbaiki akses posterior terhadap tumor,
dan Intranasal endoscopic surgery dipersiapkan untuk tumor yang terbatas pada
rongga hidung dan sinus paranasal.2,5,8,9,19,30
Penggunaan radioterapi untuk pengobatan angiofibroma diberikan pada
tumor yang besar dan tidak mungkin di operasi, tumor yang rekuren dan
pertumbuhan tumor ke intrakranial. Briant dan Cumming melaporkan angka
kesembuhan 80% pada terapi radiasi dengan dosis 30-35 Gy terbagi dalam 15
fraksinasi selama 3 minggu. Penelitian lain melaporkan pada radiasi 3.200 rads
adanya penurunan vaskularisasi tumor tapi tidak adanya pengecilan bermakna dari
ukuran tumor. Radiasi pada usia remaja dapat mengganggu pertumbuhan tulang
wajah, radionekrosis dan perubahan tumor menjadi ganas. Penggunaan gamma
knife surgery (GKS) pada angiofibroma nasofaring yang dikenal sebagai
radiosurgery pernah dilakukan sukses oleh Dare pada 2 kasus sebagai terapi
tambahan pada sisa tumor setelah dilakukan operasi.5,9,19
Angiofibroma nasofaring yang menyerang pada

laki-laki remaja

mengindikasikan adanya hubungan hormonal pada penyakit ini. Pada penelitian


awal difokuskan pada ketidakseimbangan hormon kelamin dan adanya reseptor
hormon kelamin pada tumor ini. Bukti pertama adanya hubungan antara ketidak
seimbangan hormon steroid dengan berkembangnya AFN adalah kurang
berkembang secara seksual pada penderita AFN dan regresi pada AFN baru terjadi
setelah berkembangnya tanda-tanda seks sekunder. Schiff meneliti pada 4
penderita AFN menyatakan bahwa AFN timbul disebabkan kelebihan androgen
dan terjadi pengurangan ukuran tumor setelah pemberian estrogen. Johnsen
meneliti pada 1 kasus dan Johns meneliti pada 6 kasus, mereka juga menemukan
pengurangan ukuran tumor setelah pemberian estrogen. Dengan menggunakan
mikroskop elektron, Kuttner mengamati secara histologis dan sitologi pada
komponen vaskular dan fibroblas pada 4 pasien AFN yang diobati dengan
estrogen, memperlihatkan pengaruh langsung oleh hormon tersebut. Pada tahun

14

1960an dan 1970an pemberian estrogen sebelum pembedahan direkomendasikan


untuk mengecilkan tumor dan mengurangi perdarahan selama operasi meskipun
efektifitasnya belum terbukti.3,9,31
Terapi estrogen sebelum operasi pada saat ini tidak digunakan karena efek
yang bervariasi pada AFN, efek feminisasi dan resiko komplikasi kardiovaskular.
Johnsen pemperlihatkan pertumbuhan tumor setelah pemberian testosteron, yang
menunjukkan bahwa penghambat androgen dapat digunakan untuk menekan
pertumbuhan AFN. Hagen juga juga menyatakan bahwa proliferasi pada tingkat
fibroblas meningkat setelah pemberian testosteron, sedangkan pemberian 2 jenis
anti androgen seperti cyproterone asetat dan flutamide, juga mengurangi
proliferasi AFN. Pada 2 penelitian yang memberikan flutamide terlihat
pengurangan ukuran tumor sebesar 44% hanya pada 4 kasus dari 5 penderita AFN
dan juga pada penelitian lainnya dengan pemberian flutamide hanya terdapat
pengurangan ukuran tumor sebsar 11%.3,9,31
Meskipun mekanisme estrogen eksogen pada AFN sudah diketahui sejak
dulu, beberapa peneliti berusaha menjelaskan pengamatan klinis adanya reseptor
estrogen pada massa tumor AFN. Penelitian Johns pada 6 kasus AFN yang
dibandingkan dengan kontrol pada pasien kanker payudara, menyatakan bahwa
pemberian estrogen eksogen mengurangi ukuran tumor tetapi tidak memberikan
efek langsung pada AFN. Mereka juga menyatakan bahwa estrogen mungkin
menurangi ukuran tumor dengan cara mengurangi Gonadotropic releasing
hormone pada hipotalamus dan karena produksi testosteron. Penelitian Lee pada 8
kasusn AFN, menemukan bahw tidak ada reseptor baik untuk estrogen ataupun
progesteron pada AFN, dan pada 3 dari 8 kasus tersebut ditemukan reseptor
androgen dalam tingkat yang tidak signifkan.3,9,31
Farag mengevaluasi pada 7 kasus AFN dan menemukan bahwa tingkat
serum dihidrotestosteron, testosteron dan 17-estradiol berada dalam rentang
normal. Ia mendapatkan reseptor androgen tapi tidak mendapatkan reseptor
estrogen. Penilitian lain pada 5 penderita AFN tidak ditemukan reseptor estrogen
ataupun eseptor progesteron, tetapi didapati reseptor androgen, menunjukkan
bahwa AFN mungkin androgen dependen.

Saylam melakukan analisis

15

imunohistokimia pada 27 sampel AFN dan menemukan bahwa 7,4% mempunyai


reseptor estrogen, 33,33% mempunyai reseptor progesteron. Dari semua hal
diatas, terlepas dari laporan gangguan hormonal pada pasien AFN dengan adanya
reseptor androgen dan atau reseptor estrogen, bahwa pengaruh hormonal pada
AFN masih kontoversi.3,9,30
Sitostatistika diberikan pada tumor rekuren yang besar, setelah tindakan
pembedahan, tumor dengan pertumbuhan intrakranial dan tumor yang mendapat
perdarahan utama dari pembuluh darah intrakranial.14,32 Penggunaan kemoterapi
pada angiofibroma nasofaring hanya sedikit dilaporkan. Goepfert melaporkan
keberhasilan kemoterapi pada pasien angiofibroma nasofaring pada 2 siklus
dengan menggunakan doksorubisin dan dakarbazin atau vinkristin, daktinomisin
dan siklofosfamid.9,19
Tindakan embolisasi sebelum operasi dilakukan untuk mengurangi
perdarahan dan mencegah komplikasi akibat perdarahan. Untuk melakukan
embolisasi diperlukan angiografi terlebih dahulu untuk mengetahui arteri mana
yang memberi perdarahan pada tumor, sehingga sering disebut angiografi
embolisasi praoperasi. Pada pemeriksaan angiografi secara rutin, arteri karotis
interna, arteri faringeal ascenden, arteri maksilaris interna pada kedua sisi kanan
dan kiri diperiksa. Setelah menentukan target arteri yang akan dilakukan oklusi
kemudian dilakukan embolisasi. Embolisasi praoperasi dapat mengurangi
perdarahan saat operasi. Zat embolan yang biasa digunakan seperti polyvinil
alcohol (PVA) dan geal-foam. Prosedur embolisasi sebaiknya dilakukan 24-72
jam sebelum operasi. Komplikasi embolisasi yang mungkin timbul yaitu kebutaan
yang bersifat sementara, fistula oronasal dan juga stroke.2,9,19
Ligasi arteri karotis eksterna merupakan salah satu cara untuk mengurangi
perdarahan selama operasi yaitu dengan melakukan ligasi arteri karotis eksterna.
Perdarahan utama angiofibroma nasofaring hampir semuanya unilateral, berasal
dari arteri maksilaris interna dan arteri faringeal ascenden, yang merupakan
cabang dari arteri karotis eksterna. Ligasi arteri karotis eksterna dapat mengurangi
perdarahan saat operasi. Ligasi arteri karotis eksterna ipsilateral hanya sedikit
menurunkan perdarahan.2,9,19

16

KEKAMBUHAN
Usia dan stadium tumor merupakan dua hal penting yang berpengaruh
terhadap kekambuhan pada angiofibroma nasofaring. Pada pasien usia muda dan
pada pasien dengan stadium lanjut mempunyai kemungkinan yang tinggi terhadap
kekambuhan. Diagnosis yang lebih awal tidak hanya membantu pada
penatalaksanaan tetapi juga mencegah kekambuhan. Angiofibroma nasofaring
merupakan tumor dengan kekambuhan yang relatif tinggi, rata-rata sebesar 32%
sampai 40-50% pada kasus dengan invasi basis kranii. Angka kekambuhan tinggi
terutama bila sudah mengenai basis kranii seperti sinus sfenoid, basis pterigoid,
klivus, sinus kavernosus dan fossa anterior.11,22,23
Beberapa penelitian menyarankan radioterapi rutin untuk sisa massa
tumor, diharapkan terjadi regresi komplit yang bisa berlangsung selama 3 tahun.
Sisa masa tumor di area sulit yang ditinggalkan saat operasi atau telah mengalami
rekurensi disarankan untuk dilakukan radioterapi. Rekurensi tumor masih diyakini
disebabkan oleh reseksi inkomplit tumor aslinya. Tumor yang rekuren juga dapat
diatasi dengan operasi lanjutan maupun radioterapi lanjutan, atau kombinasi
keduanya.11,22,23
KOMPLIKASI
Bisa terjadi anemia berat akibat epistaksis yang hebat dan berulang. Bila
tumor telah mengadakan ekstensi ke daerah sekitarnya, maka kelainan yang
mungkin timbul adalah eksoptalmus atau ptosis, deformitas tulang pipi dan
hidung. Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial
,perdarahan yang tak terkontrol dan kematian. Komplikasi lainnya meliputi
perdarahan yang banyak. Transformasi keganasan, kebutaan sementara sebagai
hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. Osteoradionekrosis atau kebutaan
karena kerusakan saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi. Mati rasa di pipi
sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson. Tumor yang menyumbat ostium tuba
eustachius dapat menyebabkan otitis media. Perluasan tumor ke rongga hidung

17

dapat menyebabkan sumbatan ostium sinus sehingga timbul sinusitis, tumor yang
meluas ke orofaring menekan palatum molle, dapat menyebabkan disfagia.11,22,23

PROGNOSIS
Prognosis ditentukan beberapa faktor yaitu keadaan umum penderita,
besar dan ekspansi tumor dan bila dengan cara operatif tumor dapat diangkat
seluruhnya tanpa sisa, maka prognosisnya cukup baik. prognosis sangat baik
dengan diagnosis dini Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya
angiofibroma nasofaring adalah keberadaan tumor di fossa pterigoideus dan basis
sfenoid, perluasan intrakranial, usia muda dan ada tidaknya sisa tumor. Embolisasi
praoperatip

menurunkan

angka

morbiditas

dan

kekambuhan.

Rata-rata

kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100% dengan reseksi lengkap


dari angiofibroma nasofaring ekstrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial.
Rata-rata kesembuhan 90% berhubungan dengan pembedahan kedua jika terjadi
kekambuhan. Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma dapat terus
tumbuh. Terdapat angka rekurensi yang cukup tinggi setelah operasi sekitar 624%.11,22,23

LAPORAN KASUS
Seorang perempuan usia 20 tahun, belum menikah, alamat luar kota, pada
7 Juli 2012 datang ke IGD RSMH dengan keluhan keluar darah dari lubang
hidung kanan dan mulut sejak 2 hari yang lalu. Banyaknya gelas belimbing.
Riwayat hidung buntu sejak 2 tahun. Riwayat keluar darah dari hidung sejak 2
tahun yang lalu, hilang timbul, riwayat ingus kental di jumpai, gangguan
penciuman tidak dijumpai. Muncul daging tumbuh di mulut sejak 1 tahun yang
lalu, sering keluar darah dari mulut terutama ketika pasien makan makanan keras
dan makanan tersebut menyenggol daging tumbuh di dalam mulut. Pendengaran

18

telinga kanan menurun sejak 1 tahun yang lalu, riwayat keluar cairan dari telinga
tidak dijumpai, sakit kepala tidak di jumpai, pandangan ganda tidak dijumpai.

Gambar 3. Gambar pasien dan tele nasoendoskopi rinoskopi anterior KND

Dari pemeriksaan fisik status generalis, didapatkan tanda-tanda vital dalam


batas normal. Pemeriksaan THT didapatkan telinga kanan lapang, membran
timpani intak, reflek cahaya berpendar. Telinga kiri lapang, membran timpani
intak, reflek cahaya baik. Pada kavum nasi kanan lapang, konka inferior dan
media eutrofi, tidak hiperemis, septum deviasi tidak di jumpai, tampak massa
pada kavum nasi kanan, massa putih kemerahan, permukaan rata, mudah
berdarah, kavum nasi kiri lapang, konka inferior dan media eutrofi, tidak
hiperemis, septum deviasi tidak di jumpai, tidak tampak massa, pasase hidung
kanan sedikit dan hidung kiri baik. Rinoskopi posterior tampak massa putih
kemerahan di belakang uvula, nasofaring, fossa Rossenmuller dan muara tuba
eustachius sulit di nilai. Pemeriksaan tenggorok arkusfaring simetris, uvula di
tengah terdorong ke depan dan bawah, tonsil T1-T1 tenang, tampak massa agak
keputihan di belakang uvula. Dinding faring posterior tenang,

laringoskopi

indirek dalam batas normal.


Dilakukan pemasangan tampon antibiotik 5 pada kavum nasi kanan dan 2
pada kavum nasi kiri. Kemudian pasien di rawat inap. Dilakukan pemeriksaan
laboratorium darah, pada tanggal 7 Juli 2012 didapatkan hasil Hb 11 g/dL, Ht 33

19

vol%, leukosit 6000/mm3, trombosit 228.000/mm3 diberikan terapi cairan ringer


laktat intra vena 20 tetes/menit, seftriakson intra vena 2x1gram, asam traneksamat
intra vena 3x500mg, ranitidin intra vena 2x1 ampul, parasetamol oral 3x500mg,
pemeriksaan rontgen sinus paranasal pada tanggal tanggal 7 Juli 2012 suspek
massa pada sinus maksilaris dan cavum nasi kanan. Pada hari kedua perawatan
muncul ruam kemerahan di kulit badan dan ekstremitas, gatal dan terasa panas.
Pasien di konsulkan ke kulit kelamin dengan kesan suspek erupsi obat-obat tipe
makulo papular et causa suspek seftriakson, siprofloksasin, Asam traneksamat.
Disarankan untuk menghentikan pemakaian obat yang diduga sebagai penyebab.
Terapi loratadin oral 1x10mg, losio calamin 2 kali / hari. Seftriakson intra vena di
hentikan dan diganti siprofloksasin drip 2x200mg per hari terapi lain di lanjutkan.
Pada hari keempat perawatan tampon hidung dilepas, evaluasi perdarahan tidak di
temukan. Pada hari kelima perawatan pasien perbolehkan pulang dengan terapi
siprofloksasin oral 2x500 mg, parasetamol oral 3x500 mg, dan disarankan kontrol
setelah ada hasil Tomografi Komputer (TK) Nasofaring. Pada tanggal 20 Juli
2012 pasien kontrol ke poli THT dengan membawa hasil Tomografi Komputer
(TK) nasofaring tertanggal 11 Juli 2012 didapatkan

Tampak massa dengan

densitas antara 25-45 HU dan pada pemberian kontras terjadi peningkatan


densitas. Massa terletak di daerah nasofaring kanan kiri, kavum nasi terutama
sebelah kanan, sinus maksilaris kanan kiri, sinus sfenoidalis kanan kiri. Kesan
angiofibroma nasofaring dengan perluasan tersebut di atas.

20

Gambar 4. CT Scan nasofaring potongan axial

Pasien di rawat inap untuk persiapan operasi. Dilakukan pemeriksaan


laboratorium darah 20 Juli 2012 didapat hasil Hb 10,2 g/dl, Ht 31 vol%, leukosit
10.700/mm3, waktu pembekuan 8 menit, waktu pendarahan 2 menit, gula darah
sewaktu 81 mg/dL. Pemeriksaan rotgen torak postero-anterior pada tanggal 20 juli
2012 didapat kesan cor dan pulmo normal. Tanggal 21 Juli 2012 pasien dirawat
inap untuk persiapan operasi. Kemudian pasien direncanakan untuk mendapatkan
tranfusi PRC 450cc, di dapatkan setelah tranfusi Hb 13,3 g/dL.
Pasien di konsulkan ke penyakit dalam dan anestesi untuk persiapan
operasi. Penyakit dalam dengan kesan kor dan pulmo fungsional kompensata,
anestesi ASA 1 setuju tindakan anestesi, puasa 6 jam sebelum operasi, infus ringer
laktat 20 tetes/menit, clobazam 2x10mg.
Pada tanggal 25 Juli 2012 dilakukan operasi massa kavum nasi dektra dan
rongga mulut. Operasi berlangsung 1 jam 15 menit dan pendarahan 300 cc.
Evaluasi massa dengan tele endoskopi, secara rinoskopi anterior dan posterior.
Anestesi lokal dengan lidokain 2% di konka media konka inferior dan massa.
Melalui intra oral massa di luksir dari nasofaring secara tumpul. Massa di jepit
dengan klem bengkok panjang dan dilakukan ekstraksi massa secara perlahanlahan sambil di lakukan rotasi kanan kiri ke arah rongga mulut. Didapati massa
3x2x1 cm. Perdarahan yang ada di hisap dan di tampon kering melalui kedua
rongga, evaluasi perdarahan minimal. Dilakukan antrostomi di meatus inferior,
evaluasi sinus maksilaris dekstra, massa dan pus tidak dijumpai. Irigasi rongga
sinus dengan menggunakan cairan NaCl 0.9%. Dilakukan pemasangan tampon
kassa gulung pada kedua rongga hidung.

21

Gambar 5. Massa dari nasofaring yang berhasil di ekstraksi

Terapi medikamentosa antibiotik intravena sifrofloksasin drip

2x200 mg,

deksametason intravena 3x5 mg dan analgetik ketorolak 2x30mg dalam cairan


ringer laktat.
Pada tanggal 26 Juli 2013 hari kedua setelah operasi tampon kassa gulung
dilepas, darah masih mengalir sedikit, dilakukan tampon efedrin pada kavum nasi
kanan dan kiri, evaluasi 10 menit, tampon efedrin di lepas, perdarahan berhenti,
darah aktif tidak dijumpai. Kavum nasi dektra lapang, sekret tidak dijumpai,
dijumpai bekuan darah, perdarahan aktif tidak dijumpai, terapi dilanjutkan.
Tanggal 27 Juli 2013 hari ketiga setelah operasi pasien di perbolehkan pulang
dengan terapi siprofloksasin tablet 2x500mg, asam traneksamat tablet 3x500 mg,
NaCl fisiologis cuci hidung. Disarankan kontrol satu minggu kemudian ke klinik
THT RSMH Palembang.
Pada tanggal 3 Agustus 2012 didapatkan hasil pemeriksaan histopatologi
secara mikroskopik sediaan dari nasofaring terdiri dari jaringan dengan mukosa
dilapisi sediaan epitel pseudostratified yang pada satu tempat mengalami
hiperplastik dan struktur yang terdiri dari kapsul dengan pembuluh-pembuluh
darah yang mengalami hiperplasi, hiperemi dengan lumen penuh RBC. Tampak
bentukan pembuluh-pembuluh kecil, struktur fibroma, tampak fibrokolagen yang

22

mengalami miksomatous. Tanda-tanda ganas tidak dijumpai pada sediaan ini


dengan kesan angiofibroma.
Pada tanggal 3 Agustus 2012 pasien kontrol ke poli THT RSMH keluhan
tidak ada. Kavum nasi dektra lapang, sekret tidak dijumpai, bekuan darah dan
perdarahan aktif tidak dijumpai, massa tidak dijumpai, pasase hidung lancar,
perdarahan dari mulut tidak ada. Rinoskopi posterior koana lapang, massa tidak
dijumpai. Pasien disarankan kontrol 6 bulan lagi, tapi pasien tidak datang.

DISKUSI
Angiofibroma

nasofaring

merupakan

tumor

jinak

yang

jarang,

diperkirakan hanya 0,05% dari semua tumor yang tumbuh di kepala dan leher.
Pada kasus ini, pasien berjenis kelamin perempuan usia 20 tahun \ dari
kepustakaan kebanyakan penderita angiofibroma nasofaring terbayak pada lakilaki usia dewasa muda di bandingkan perempuan. Jika didapati angiofibroma
nasofaring pada wanita, disarankan
tersebut. Eloy dkk

29

pemeriksan kromosom terhadap pasien

dalam penelitiannya melaporkan dari tahun 1996-2003

didapati 6 pasien angiofibroma nasofaring rentang usia 11-23 tahun, semua jenis
kelamin laki-laki. Di RS Dr Muhammad Hoesin Palembang, Affandi R

10

pada

tahun 2007 melaporkan 1 kasus angiofibroma nasofaring pada wanita usia 43


tahun. Agoeng HP11 melaporkan 4 kasus di RSMH palembang dari Januari 2009 Oktober 2011 semua penderita laki-laki, Asroel HA 12 melaporkan di RS.H. Adam
Malik Medan dari Januari 2001 - Nopember 2002 didapati 11 kasus Angiofibroma
nasofaring. Unagkanott dkk

13

dalam penelitiannya selama 38 tahun menemukan

43 kasus angiofibroma nasofaring terdiri atas 42 pasien laki-laki, dan 1


perempuan dengan rata-rata berumur 16 tahun. Nirmal MR 14 melaporkan 1 kasus
AFN pada wanita usia 45 tahun. Patrocino JA15 mendapati 1 penderita AFN pada
usia 64 tahun. Tang IP di RS Malaya Malaysia melaporkan 13 pasien
angiofibroma nasorafaring sejak tahun 1995-2005 yang semua berjenis kelamin

23

laki-laki dengan rentang usia 14-28 tahun.1 Gaillard pada penelitiaanya


mendapatkan 16 pasien angiofibroma nasofaring semua pada laki-laki dengan
kisaran usia 9-23 tahun. Ungkanont dkk dalam penelitiannya melaporkan 43
pasien terdiri dari 42 pasien berjenis kelamin laki-laki dan 1 orang perempuan.
Szymanska melaporkan 1 kasus AFN pada wanita usia 57 tahun yang berhasil di
angkat melalui operasi dan di follow-up selama 6 tahun tanpa rekurensiDi RSUP
Dr. Mohammad Hoesin dari Juni 2011 sampai Februari 2014 ditemukan 8 kasus
angiofibroma nasofaring, dengan perbandingan laki-laki: wanita = 7:1
Gejala klinis pada pasien ini riwayat epistaksis yang berulang dan hilang
timbul, hidung tersumbat, ingus kental dan belum disertai gangguan penciuman.
Pada pemeriksaan fisik kasus pertama kavum nasi dektra masih lapang, massa
tampak di nasofaring tapi belum ke kavum nasi, massa tampak di orofaring. Pada
kasus kedua epistaksis berulang, hidung buntu, keluar sekret dari hidung. Pada
pemeriksaan hidung, tampak massa di kavum nasi. Dalam kepustakaan, gejala
angiofibroma antara lain obstruksi nasal, sering mimisan, keluar ingus dari
hidung, pembengkakan di wajah, sakit kepala. Tindakan biopsi merupakan kontra
indikasi mengingat resiko perdarahan yang mungkin terjadi dan sulit dihentikan.
Pemeriksaan tomografi komputer dengan potongan koronal dan aksial dilakukan
untuk mengetahui lokasi tumor dan perluasan tumor. 6,22,23,25,26
Pembedahan adalah pilihan utama untuk angiofibroma nasofaring. Pada
teknik pembedahan ditentukan dulu lokasi tumor, perluasan tumor dan tergantung
kemampuan ahli bedahnya. Beberapa pendekatan operasi yaitu pendekatan
transpalatal, transzygomatik, transmandibular, transhioid, transantral: rinotomi
lateral, midfacial degloving, pendekatan nasoendoskopi dan kraniotomi. Pada
pasien ini di lakukan ekstraksi massa dengan ekstraksi transoral. 2,5,8,9,19,30
Perdarahan intra operatif adalah hal yang paling di khawatirkan pada saat
tindakan operatif pada angiofibroma nasofaring. Beberapa upaya yang dapat
digunakan untuk mengatasi perdarahan intra operatif antara lain ligasi A.carotis
eksterna, terapi hormonal, radiasi atau tindakan embolisasi preoperatif. Sebelum

24

tindakan embolisasi diperlukan angiografi terlebih dahulu untuk mengetahui arteri


mana yang memberikan vaskularisasi pada tumor. 11,19,20
Vaskularisasi angiofibroma bersifat homolateral, sebagian besar arteri
pemasok tumor ini merupakan cabang arteri karotis eksterna. Bila tumor melewati
garis tengah biasanya perdarahan berasal dari pembuluh darah karotis bilateral.
Pada tumor yang tumbuh intrakranial sumber perdarahan utama juga didapat dari
sistem arteri karotis interna. Kesulitan utama dalam pembedahan tumor ini adalah
perdarahan hebat yang dapat mencapai 2000 cc sampai 3000 cc dalam waktu
singkat yang dapat disebabkan oleh hanya sebagian tumor yang terangkat. Pada
pasien ini perdarahan 300cc 11,19,20
Terapi hormonal sebelum pembedahan juga dapat mengecilkan ukuran dan
mengurangi vaskularisasi tumor. Penggunaan estrogen dilaporkan dapat
mengecilkan ukuran tumor. Penelitian Gates pada pasien angiofibroma nasofaring
yang diberikan nonsteroid androgen reseptor bloker seperti flutamide terjadi
penyusutan tumor 44%. Efek samping seperti mual, ginekomasti dan breast
tenderness biasanya hanya bersifat sementara dan akan hilang jika pemberian obat
dihentikan. Terapi hormonal diberikan pada angiofibroma nasofaring yang luas
dan dengan penyebaran ke intrakranial. Penelitian Labra, pada 7 pasien
angiofibroma nasofaring stadium IV, diberikan terapi hormonal, didapati
penyusutan massa tumor 7,5% dan hal ini dianggap tidak signifikan. Terapi
hormonal pada angiofibroma nasofaring bertujuan untuk mengecilkan massa
tumor dan mengurangi perdarahan Pada kasus ini tidak diberika terapi hormonal.
3,9,31

Radioterapi pada angiofibroma nasofaring dapat sebagai terapi primer pada


pasien yang tidak mungkin dlakukan operasi atau sebagai terapi tambahan
sebelum operasi. Briant dan Cumming melaporkan angka kesembuhan 80% pada
terapi radiasi dengan dosis 30-35 Gy terbagi dalam 15 fraksinasi selama 3
minggu. Penelitian lain melaporkan pada radiasi 3.200 rads adanya penurunan
vaskularisasi tumor tapi tidak adanya pengecilan bermakna dari ukuran tumor.
Radiasi pada usia remaja dapat mengganggu pertumbuhan tulang wajah,

25

radionekrosis dan perubahan tumor menjadi ganas. Penggunaan gamma knife


surgery (GKS) pada angiofibroma nasofaring yang dikenal sebagai radiosurgery
pernah dilakukan sukses oleh Dare pada 2 kasus sebagai terapi tambahan pada
sisa tumor setelah dilakukan operasi. Pada kedua kasus ini tidak dilakukan
radioterapi. 5,9,19

DAFTAR PUSTAKA
1. Tang IP, Shashinder S, Gopala KG, Narayanan P. Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma in A tertiary centre: ten-year experience. Singapore Med J
2. Hauptman G. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Grand Round
Presentation,UTMB, Dept.of Otolaryngology. 2007. p.1-5.
3. Coutinho-Cmillo CM, Brentani M, Nagai MA. Genetic alteration in
juvenile

nasopharyngeal

angiofibromas,

Basic

Science

Review,

DOI:10.1002/head.20775,2008,p 1-6
4. Daulay ER. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma In Kumpulan naskah
ilmiah KONAS XVI Medan, Juni 2013.p.91-95.
5. Pham V, Mukerji S. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma Evaluation
and

Treatment,

Grand

rounds

presentation,

Departement

of

26

Otolaryngology

The

University

of

Texas

Medical

Branch

(UTMB),Desember 2012,p 1-10


6. Mishra S, Praveera NM, Panigrahi RG, Gupta M. Imaging In the
Diagnosis of Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma, case report, Journal
of clinical imaging science,Vol 3,Issue1,dental suppl 1,Jan-Mar 2013,p 1-3
7. Hajar TS, Hafni. Angiofibroma Nasofaring Belia, Departemen Ilmu
Penyakit THT-KL, Fakultas Kedokteran USU/RSUP H.Adam Malik
Medan, Hal 1-3
8. Mair EA, Battiata A, Caslerdo JD. Laser Assisted Excission of Juvenile
Nasophryngeal Angiofibroma. Arch Otolaryngol Head Neck Surg/vol 129,
Apr 2003.p 1-6
9. Garca M, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyngeal angiofibroma.
European Journal of General Medicine. Turkey. 2010. p.419-425.
10. Affandi R, angiofbroma nasofaring pada wanita, Laporan Kasus, Laporan
kasus,

Departemen

THT-KL

UNSRI/RS.Dr

Mohammad

Hoesin,

Palembang, 2007, hal 1-17.


11. Agung HP. Penatalaksanaan angiofibroma nasofaring dengan pendekatan
rinotomi lateral. Laporan kasus, Departemen THT-KL UNSRI/RS.Dr
Mohammad Hoesin, Palembang, 2011, hal 1-16.
12. Asroel HA. Angiofibroma nasofaring belia. Laporan Kasus. Medan.2002.
hal 1-5
13. Unkanot K, byers RM, Weber RS, Callender DL, et al. Juvenile
nasofaringeal angiofibroma: an update of theraupetic management. Head
and Neck 1996;18:60-6
14. Nirmal RM. Unusual

presentation

of

nasopharyngeal

(juvenile)

angiofibroma in a 45 year old female. Indian J dent Res.2004 Octdec;15(4):145-8


15. Patrocinio JA,. Nasopharyngeal angiofbroma in an elderly woman.
American Journal of Otolaryngology head and neck medicine and surgery
26 (2005) 198-200
16. Roezin A, Dharmabakti US. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam:
soepardi EA, Iskandar N, editor. Hidung dan tenggorok, edisi ke-5,
Jakarta, Balai Penerbit FKUI,2001;151-2
17. Ballenger JJ. Tumor dan kista di muka, faring dan nasofaring dalam
Penyakit telinga,hidung, tenggorok kepala dan leher, jilid 1, Alih Bahasa

27

staf Ahli bagian THT RSCM FK-UI, Indonesia. Binarupa aksara publisher,
hal 359-396.
18. Karsinoma nasofaring

cited

2012

feb

10].

Available

from

http://venasaphenamagna.blogspot.com/2012/07/karsinomanasofaring.html
19. Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenile angiofibroma Evolution of
Management,

Review

article,

Hindawi

publishing

corporation,

International Journal of pediatic, volume 2012, artticle 10,412545,p 1-11


20. Atalar M, Solak O, Muderris S. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma:
Radiologic

Evaluation

and

Pre-Operative

Embolization.

Case

Report.Turkey. 2005.p. 58-61


21. Dissection a human head through anatomical illustration available
from:http://science.wonderhowto.com/inspiration/dissecting-human-headthrough-anatomical-illustrations-0127729/
22. Tewfik TL. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. In: [cited 2011 Oct
10].

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/872580-

treatment#showall
23. Babasubramania T. Juvenile nasopharyngeal angofibroma an overview,
Otolarynology online available from www.artbalu.com.
24. Mendenhall WM, Werning JW, Hinerman RW, Amdur RJ, Villaret DB.
Juvenille Nasopharyngeal angiofibroma. Review Article. J HK Coll radiol
2003;6:15-19
25. Glesson M.Juvenile angiofibroma in Head and neck tumor part 17,p 24372444
26. Sennes LU, Butugan O, Sanchez TG, Bento RF, Tsuji D. Juvenile
nasopharyngeal angiofibroma the routes of invasion, Otolaryngology
Departement of the University of Sao Paulo School of Medicine, Brazil.
Rhynology,41,235-240,2003,p 1-6
27. Castillo FM, Ramos AJ, Rodrigue FB, Acosta FD, Vilarejo PL.
Endoscopic surgery of nasopharyngeal angiofibroma.Clinical research,
Acta otorhinilaryngol Esp 2004; 55: 369-375
28. Bales C, Kotapka M, Loevner LA, Al-Rawi M, Weinstein G, Hurst R,
weber RS. Craniofacial Resection of Advanced Juvenile nasopharyngeal
Angiofibroma. Arch Otolaryngol Head Neck surgery.2002; 128: 10711078.

28

29. Eloy Ph, Watelet JB, Hakert AS, Wispelaere J, Bertrand B. Endonasal
endoscopic

resection

of

juvenile

nasipharyngeal

angiofibroma.

Departement of otorhynolaryngology head and neck surgery, university


hospital of Mont-Godinne, Rhynology.45,24-30,2007,p.24-30
30. Wardani RS, Mayangsari ID, Lisnawati, Pandelaki J, Prameswari K,
Mangunkusumo E. Bedah sinonaal endoskopik angiofibroma nasofaring
belia:laporan seri kasus berbasis bukti ( evidence based), Laporan kasus,
Departemen ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok bedah kepala leher,
Fakutas kedokteran universitas Indonesia-RS Dr.Cipto Mangunkusumo,
Jakarta, ORLI vol.42 tahun 2012, hal 133-141
31. Anggraeni L, Adham M, Musa Z, Lisnawati, Bardosono S. Gambaran
ekspresi reseptor estrogen pada angiofbroma nasofaring belia dengan
menggunakan

pemeriksaan

imunohistokimia,

Laporan

penelitian,

Departemen ilmu penyakit telinga hidung tenggorok fakultas kedokteran


universitas indonesia, Jakarta, Indonesia, hal 1-14

29

32. Kania RE, Sauvaget E, Guichard JP, Chapot R, Huy PTB, herman P. Early
Post Operative CT scanning for juvenile nasopharyngeal angiofibroma:
Detection of Residual Disease. ANJR Am Neuroradiol 26: 2005. P. 82-88
33. Guillard AL, Anastacio VM, Piatto VB, Maniglia JV, Malina FD. A server
year experience with patient with juvenile nasopharyngeal angiofibroma,
Original article, Braz J Ororhinolaryngol,2010;76 (2):p 245-50
34. Twu CW, Hsu CY, Jiang RS. Surgical Treatment of Nasopharyngeal
Angiofibroma. Mid Taiwan J Med 2002;7:71-5.
35. Brado RA, Muranjan SN , Nerurkan NK, Joshi AA, Achar PA. Endoscopic
Excision of Juvenile Nasopharyngeal angiofibroma-A Comprehensive
approach. Indian Journal of Otolaryngology and Hjead and Neck Surgery
vol. 55 India. 2003.p 1-8
36. Montag AG, Tretiakova M, Richarson M. Steroid hormone receptor
expression in nasopharyngeal angiofibromas consistent exprssion of
estrogen rceptor , American society for clinical pathology, Am J Clin
pathol 2006;125:832-837
37. Renkonen S, hangstrom J, Vuola J, Niemela M, Porras M, Kivivuori SM et
al. The Changing surgical management of juvenile nasopharyngeal
angiofibroma. Eur Arch Otorhinolaryngol(2011) 268:599-607
38. Alborno T, Hofma T, Stamberger H, Koelle W, Reittner P, Klein E.
Endoscopic resection of juvenile angiofibromas long term result,
Departement of ORL head and Neck Surgery, University medical school
Graz, Austria, 2005, 12(2);18-24
39. Boghani , Husai Q, Kanumuri VV, Khan MN, Sangvhi S, Liu JK, Eloy JA.
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma: A systematic review and
comparison of endoscopic, endoscopic-assisted and open resection in 1047
cases, Contemporary review, The American Laryngological, Rhinological
and Otoloical Society, Inc 2013, p 859-869.

30

40. Marshall AH, Bradley PJ. Management dillemas in the treatment and
follow-up advanced juvenile nasopharyngeal angiofibroma,review, ORL
2006;68:273-278
41. Park CK, Kim DG78, Paek SH, Ghung HT, Jung HW. Recurrent Juvenile
nasopharyngeal angiofibroma treated with gamma knife surgery, J Korean
Med Sci 2006; 21;773-7

31

Ketidakseimbangan hormonal dapat merangsang pertumbuhan tumor ini.


Diduga pada tumor ini terjadi karena ketidakseimbangan androgen-estrogen,
aktivitas berlebihan pada kelenjar hipotalamus serta respon yang berlebihan dari
jaringan pembuluh darah tersebut. Estrogen pernah dilaporkan menyebabkan
penyusutan tumor pada beberapa kasus angiofibroma nasofaring dengan hasil
yang bervariasi tanpa menyebabkan komplikasi berupa munculnya tanda-tanda
seks sekunder pada anak laki-laki. Penelitian Gates pada pasien angiofibroma
nasofaring yang diberikan nonsteroid androgen reseptor bloker seperti flutamide
terjadi penyusutan tumor 44%. Efek samping seperti mual, ginekomasti dan
breast tenderness biasanya hanya bersifat sementara dan akan hilang jika
pemberian obat dihentikan. Terapi hormonal diberikan pada angiofibroma
nasofaring yang luas dan dengan penyebaran ke intrakranial. Penelitian Labra,
pada 7 pasien angiofibroma nasofaring stadium IV, diberikan terapi hormonal,
didapati penyusutan massa tumor 7,5% dan hal ini dianggap tidak signifikan.
Terapi hormonal pada angiofibroma nasofaring bertujuan untuk mengecilkan
massa tumor dan mengurangi perdarahan.14,31

Anda mungkin juga menyukai