PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring (AFN) merupakan tumor yang relatif jarang
ditemukan. Secara histopatologis tumor mengandung 2 unsur, yaitu unsur jaringan
ikat fibrosa dan unsur pembuluh darah dimana dinding pembuluh darah tersebut
tidak mempunyai jaringan ikat elastis maupun otot. Oleh karena itu jika disentuh
mudah terjadi perdarahan hebat. Meskipun secara histopatologis jinak, secara
klinis tumor ini bersifat seperti tumor ganas. Diperkirakan tumor tumbuh dari
dinding posterolateral kavum nasi, proksimal posterior foramen sfenopalatina.
Tumor ini tumbuh relatif cepat dan dapat mendestruksi tulang disekitarnya dan
meluas ke sinus paranasal, fossa infra temporal, fossa pterigomaksila, pipi, rongga
mata, dasar tengkorak, dan rongga intrakranial. Tumor ini jarang ditemukan,
merupakan 0,05% dari tumor kepala dan leher, dan biasanya ditemukan pada lakilaki usia remaja usia 14-25 tahun. Jarang ditemukan pada laki-laki usia diatas 25
tahun dan sangat jarang ditemukan pada wanita.1-4
Hipokrates pada abad 4 pertama kali menggambarkan sebagai polip
hidung yang keras dan lunak. Chelius pada tahun 1847, mengemukakan sebagai
polip hidung fibrosa sering ditemukan pada laki-laki dalam masa remaja. Sebileau
1922 menyebut tumor ini sebagai fibroma nasofaring. Friedberg mengemukaan
istilah angiofibroma pada tahun 1940, dan istilah itu sering digunakan sampai
sekarang. Shaker pada tahun 1930 pertamakali melaporkan angiofibroma
nasofaring pada wanita.5-6
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Biopsi merupakan kontra indikasi pada angiofibroma
nasofaring karena dapat menyebabkan perdarahan hebat yang sulit dihentikan.
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologis jaringan yang
didapat sesudah operasi.
KEKERAPAN
Tumor ini jarang dijumpai dan diperkirakan hanya 0,05 % dari semua
tumor kepala dan leher. Angiofibroma nasofaring lebih sering ditemukan pada
remaja laki-laki pada usia 14-25 tahun, jarang pada usia di atas 25 tahun dan
sangat jarang pada wanita. Insiden tumor ini diperkirakan antara 1 : 5000 sampai
1 : 60000 dari seluruh pasien THT di berbagai negara.2-6.
Di RS Dr Muhammad Hoesin Palembang, Affandi R
10
13
14
usia 45 tahun. Patrocino JA15 mendapati 1 penderita AFN pada usia 64 tahun.
Tang IP di RS Malaya Malaysia melaporkan 13 pasien angiofibroma nasorafaring
sejak tahun 1995-2005 yang semua berjenis kelamin laki-laki dengan rentang usia
14-28 tahun.1 Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin dari Juni 2011 sampai Februari
2014 ditemukan 8 kasus angiofibroma nasofaring, dengan perbandingan laki-laki:
wanita = 7:1
ANATOMI
Nasofaring dibentuk di sebelah atas oleh korpus sfenoid dan prosesus
basiler os oksipitalis, sebelah bawah nasofaring diteruskan oleh orofaring melalui
bagian bawah nasofaring yang menyempit yang disebut istmus faring, sebelah
depan oleh kavum nasi posterior atau koana dan palatum mole, dinding depan
merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan dengan kavum nasi
dan dipisahkan oleh garis tengah berupa septum nasi. Sebelah belakang oleh
vertebra servikalis, sebelah bawah dilanjutkan oleh orofaring.16-18
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan
lateral. Ke depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Tuba
Eustachius terdapat pada dinding lateral. Dinding lateral ini dibentuk oleh lamina
faringobasilaris dan faringealis dan otot konstriktor faringeus superior. Ke arah
belakang dinding melengkung ke atas. Secara anatomik, nasofaring merupakan
bagian dari faring, meskipun secara morfologik ataupun fungsional lebih
merupakan bagian dari hidung, oleh karena itu epitel nasofaring juga di sebut
stratified squmous epithelium. Bagian bawah rongga nasofaring berhubungan
dengan orofaring, sehingga dengan demikian dasarnya dibentuk oleh permukaan
dorsal palatum mole yang merupakan satu-satunya batas yang dapat bergerak.16-18
Fossa pterigopalatina merupakan lekukan medial fissura pterigomaksilaris
yang terletak tepat di bawah puncak orbita antara prosessus pterigoideus dan
posterior maksila. Batas medialnya adalah pelat tegak lurus dari tulang palatina.
Fossa pterigopalatina berhubungan ke superior dengan orbita melalui bagian
posterior dari fissura orbitalis inferior. Di sisi lateral, fossa pterigopalatina
berhubungan secara bebas dengan fossa infratemporalis. Disisi medial fossa
pterigopalatina
berhubungan
dengan
rongga
hidung
melalui
foramen
intrakranial sumber perdarahan yang utama, didapat dari sistem a. karotis interna.
Bila tumor tumbuh melawati garis tengah biasanya perdarahan berasal dari
pembuluh darah karotis bilateral.19-20
jelas, berbagai macam teori telah diajukan yaitu berdasarkan teori jaringan asal
tumbuh dan hormonal. Teori jaringan asal tumbuh berdasarkan asal tumbuh tumor
yang diduga tumor terjadi akibat pertumbuhan abnormal pada jaringan
fibrokartilago embrional di daerah oksipitalis os sfenoidalis. Pendapat lain bahwa
jaringan asal tumbuh tumor pada perlekatan dinding postero-lateral atap rongga
hidung, tempat processus sfenoid palatum bertemu dengan ala horizontal dari
vomer dan akar prosesus pterigoideus tulang sfenoid.3,7,11,22
Teori hormonal, bahwa angiofibroma nasofaring merupakan hasil
ketidakseimbagan hormonal yaitu kekurangan estrogen atau kelebihan androgen.
Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis
kelamin dan umur serta pada observasi terhadap tumor angiofibroma nasofaring
didapatinya reseptor estrogen. Banyak bukti memperlihatkan adanya reseptor sekhormon seperti reseptor androgen, reseptor estrogen dan reseptor progesteron
pada angiofibroma nasofaring.3,7,11,22
Adanya hubungan genetik dengan menggunakan teknik molekular genetik
comparative genomic hybridazion (CGH) pernah di teliti oleh Schick. Pada 3
pasien angiofibroma nasofaring yang di telitinya dia menemukan adanya
kromosom X tambahan dan hilangnya kromosom Y pada 2 pasien pria dari 3
pasien angiofibroma nasofaring yang dia teliti. Dia juga menemukan hilangnya
kromosom 17, 19p dan 22q dan ditemukan adanya kromosom 3q, 4q, 5q, 6q, 7q,
8q, 12p, 12q, 13q, 14q, 18q dan 21q. Brunner juga melakukan penelitian dengan
menggunakan CGH pada 7 kasus dengan angiofibroma nasofaring. Dia
menemukan variasi abnormal pada 18 kromosom pada 6 kasus. Hubungan genetik
pada angiofibroma nasofaring juga masih kontroversi.3
PATOFISIOLOGI
Tumor ini berwarna kemerahan, sering menimbulkan epistaksis dan bila
tidak di terapi, dapat meluas ke dalam rongga orbita dan rongga tengkorak. Asal
mula angiofibroma nasofaring terletak di sepanjang dinding posterior-lateral di
atap nasofaring biasanya di daerah margin superior sfenopalatina. Tumor akan
meluas ke bawah mukosa sepanjang atap nasofaring mencapai tepi posterior
septum dan meluas ke arah bawah, membentuk tonjolan massa di atap rongga
hidung posterior. Perluasan ke anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong
septum kesisi kontra lateral dan memipihkan konka.5,22-24
Perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke arah foramen sfenopalatina.
Melalui foramen tersebut, tumor masuk ke fossa pterigomaksila, kemudian akan
mendesak dinding posterior sinus maksila. Tumor akan meluas terus melalui
fissura pterigomaksila masuk ke dalam fossa infratemporal yang akan
menimbulkan benjolan dipipi dan rasa penuh di wajah. Apabila tumor telah
mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak gejala yang khas pada
wajah yang disebut muka kodok. 5,22-24
Bila tumor cukup besar akan menonjol ke bagian bawah fossa temporal
dan menimbulkan pembengkakan di daerah zigoma. Tumor akan berkembang
terus masuk fissura orbitalis inferior, membuka bagian antero-posterior fossa
pterigomaksila dan masuk ke ujung bawah fissura orbitalis superior. Bila tumor
meluas ke daerah ini, akan menghancurkan ala magna tulang sfenoid dan
membentuk pelebaran yang khas sepanjang tepi bawah lateral fissura orbitalis
superior sehingga terjadi proptosis. 5,22-24
Perluasan intrakranial dapat terjadi melalui beberapa kemungkinan yaitu
pembesaran
tumor
di
fossa
infratemporal
dan
pterigomaksila
akan
atau fossa hipofise. Tumor akan mendorong kelenjar hipofisis ke satu sisi dan
timbul di sella tursika. Ini akan menyebabkan kebutaan karena penekanan kiasma
optikum. Bisa juga tumor berkembang dari sinus ethmoid melalui erosi dinding
superiornya masuk ke fossa serebri anterior. 5,11,22-24
MANIFESTASI KLINIS
Keluhan yang sering dijumpai adalah hidung tersumbat yang terdapat pada
80-90% kasus, sering menyebabkan rinore kronik, epistaksis biasanya hebat dan
jarang berhenti spontan, biasanya mimisan terjadi pada satu sisi hidung yang
terkadang menyebabkan anemia pada penderita. Sumbatan ostium sinus
menyebabkan sinusitis dan kadang disertai keluhan sakit kepala. Sumbatan pada
Tuba eustachius menyebabkan tuli konduktif dan otalgia. Diplopia terjadi
sekunder akibat erosi tumor ke rongga intrakranial. Sumbatan ke orofaring
menyebabkan disfagia dan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. Bila tumor
masuk kedalam fissura orbitalis superior timbul proptosis dan dapat disertai
gangguan visus serta deformitas wajah penderita. Dari nasofaring tumor dapat
meluas ke fossa pterigopalatina, lalu ke fossa infra temporal, kemudian menyusuri
rahang atas bagian belakang dan terus masuk ke jaringan lunak antara otot
maseter dan businator. Hal ini menyebabkan pembengkakan pipi dan trismus.
Perluasan
tumor
ke
rongga
intrakranial
akan
menimbulkan
gejala
neurologis.6,22,23,25,26
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak massa merah keabu-abuan di
sekitar nasofaring atau di cavum nasi jika tumor sudah meluas ke anterior.
Permukaan tumor licin, kadang berlobus. Bisa didapati sekret yang mukopurulen
pada kavum nasi. Pada pemeriksaan rongga mulut terkadang didapati palatum
mole terdesak ke inferior.5,6,24
HISTOPATOLOGIS
Secara makroskopis merupakan tumor yang konsistensinya kenyal keras,
warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Tumor tampak sebagai
massa yang tidak teratur. Terdapat banyak pembuluh darah pada mukosa dan tak
jarang dijumpai adanya ulserasi. Pada potongan melintang, tampak tumor tidak
berkapsul, berlobus-lobus, tepinya berbatas tegas dan mudah dibedakan dengan
jaringan sekitarnya.5,9
Secara mikroskopik gambaran daerah vaskuler bervariasi, baik bentuk
maupun ukurannya dalam jaringan fibrosa yang matur yang terdiri dari berbagai
ukuran pembuluh darah dengan dinding yang tipis. Pembuluh darah tersebut
dibatasi endotelium tetapi pada dinding pembuluh darahnya sedikit mengandung
elemen kontraktil otot yang normal. Hal inilah yang menyebabkan angiofibroma
nasofaring mudah berdarah. Sebagian terdiri dari jaringan pembuluh darah dengan
dinding yang tipis dalam stroma kolagen yang lebih seluler. Sebagian lagi terdiri
dari pembuluh darah yang agak tebal dindingnya, terletak dalam stroma yang
kurang seluler. Stroma terbuat dari fibril kolagen yang halus dan kasar yang
memiliki ciri-ciri jaringan ikat berbentuk bintang pada daerah tertentu. Jaringan
angiomatous cenderung surut seiring dengan waktu.5,9
DIAGNOSIS
Angiofibroma nasofaring dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan meliputi
tomografi komputer, Magnetik Resonance Imaging (MRI) dan angiografi.
Diagnosis pasti ditegakan berdasarkan pemeriksaan histopatologis jaringan tumor
pascaoperasi. Tindakan biopsi sebaiknya dihindari atau dilakukan dalam kamar
operasi dengan peralatan siap operasi, mengingat bahaya perdarahan biasanya
sulit dikontrol.1,2,5,24
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan radiologi memegang peranan penting dalam diagnosis,
penentuan stadium dan penatalaksanaan. Pemeriksaan radiologi berperan dalam
mengetahui perluasan tumor primer, khususnya dalam menilai invasi sfenoid
karena merupakan tempat utama terjadinya kekambuhan dan sering merupakan
asal dari angofibroma. Pada pemeriksaan radiologik konvensional akan terlihat
10
bertujuan
untuk
melihat
pembuluh
darah
pemasok
utama,
STADIUM TUMOR.5,25,28,29
Tempat asal angiofibroma pertama kali tumbuh adalah bagian posterior
atap nasofaring. Dari tempat ini tumor dapat meluas ke kavum nasi, sinus
11
paranasal, fossa pterigopalatina, kavum orbita, fossa infra temporal, pipi, dasar
tengkorak. Untuk menentukan perluasan tumor dibuat sistem staging. Klasifikasi
pertama kali diperkenalkan oleh Session pada tahun 1981, kemudian di modifikasi
oleh Fish 1983, Chandler
Stadium II
StadiumIII
Stadium IV : tumor menginvasi sinus kavernosus, regio chiasma optik dan atau
fossa Pituitari
Klasifikasi menurut Chandler yaitu:
Stadium I
12
Stadium III: Tumor ke satu atau lebih tempat seperti sinus etmoidalis, fossa
pterigomaksilaris, infra temporal, kavum orbita.
Stadium IV: Meluas ke intra kranial.
Klasifikasi menurut Radkowski yaitu:
Stadium IA : Tumor terbatsa pada hidung atau nasofaring
Stadium IIB : Tumor menginvasi sedikitnya satu sinus paranasal
Sadium IIA : Tumor dengan ekstensi melalui foramen sfenopalatina termasuk
bagian medial fossa pterigopalatina
Stadium IIB : Mengisi penuh Fossa pterigopalatina dengan Holman Miller, Erosi
ke superior dengan mengerosi tulang orbita
Stadium IIC : Ekstensi melalui fossa pterigopalatina ke pipi, fossa temporal atau
posterior ka pterigoid
Stadium IIIA: Erosi dasar tengkorak dengan ekstensi minimal ke intrakranial
Stadium IIIB: Erosi dasar tengkorak dengan ekstensi ke intrakranial dan atau
sinus kavernosus
DIAGNOSIS BANDING
Angiofibroma nasofaring dapat di diagnosis banding dengan polip
antrokoana, hipertrofi adenoid, limfoma dan karsinoma nasofaring.5,6,9,20
PENATALAKSANAAN
Berbagai jenis pengobatan dikembangkan sejak ditemukannya tumor ini.
Penatalaksanaan tumor ini yaitu operasi merupakan pilihan utama. Pemilihan
operasi pada angiofibroma nasofaring dapat dilakukan dengan operasi terbuka,
operasi dengan panduan endoskopi atau kombinasi keduanya. Pendekatan yang
dipilih untuk operasi hendaknya memperhatikan pertimbangan adanya pemaparan
yang baik pada massa tumor, mampu mengendalikan perdarahan, tidak
meninggalkan parut wajah, mencegah deformitas wajah. Efektifitas operasi
tergantung dari lengkapnya pengangkatan massa tumor. Beberapa pendekatan
yang digunakan tergantung dari lokasi dan perluasan angiofibroma nasofaring
13
laki-laki remaja
14
15
16
KEKAMBUHAN
Usia dan stadium tumor merupakan dua hal penting yang berpengaruh
terhadap kekambuhan pada angiofibroma nasofaring. Pada pasien usia muda dan
pada pasien dengan stadium lanjut mempunyai kemungkinan yang tinggi terhadap
kekambuhan. Diagnosis yang lebih awal tidak hanya membantu pada
penatalaksanaan tetapi juga mencegah kekambuhan. Angiofibroma nasofaring
merupakan tumor dengan kekambuhan yang relatif tinggi, rata-rata sebesar 32%
sampai 40-50% pada kasus dengan invasi basis kranii. Angka kekambuhan tinggi
terutama bila sudah mengenai basis kranii seperti sinus sfenoid, basis pterigoid,
klivus, sinus kavernosus dan fossa anterior.11,22,23
Beberapa penelitian menyarankan radioterapi rutin untuk sisa massa
tumor, diharapkan terjadi regresi komplit yang bisa berlangsung selama 3 tahun.
Sisa masa tumor di area sulit yang ditinggalkan saat operasi atau telah mengalami
rekurensi disarankan untuk dilakukan radioterapi. Rekurensi tumor masih diyakini
disebabkan oleh reseksi inkomplit tumor aslinya. Tumor yang rekuren juga dapat
diatasi dengan operasi lanjutan maupun radioterapi lanjutan, atau kombinasi
keduanya.11,22,23
KOMPLIKASI
Bisa terjadi anemia berat akibat epistaksis yang hebat dan berulang. Bila
tumor telah mengadakan ekstensi ke daerah sekitarnya, maka kelainan yang
mungkin timbul adalah eksoptalmus atau ptosis, deformitas tulang pipi dan
hidung. Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial
,perdarahan yang tak terkontrol dan kematian. Komplikasi lainnya meliputi
perdarahan yang banyak. Transformasi keganasan, kebutaan sementara sebagai
hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. Osteoradionekrosis atau kebutaan
karena kerusakan saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi. Mati rasa di pipi
sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson. Tumor yang menyumbat ostium tuba
eustachius dapat menyebabkan otitis media. Perluasan tumor ke rongga hidung
17
dapat menyebabkan sumbatan ostium sinus sehingga timbul sinusitis, tumor yang
meluas ke orofaring menekan palatum molle, dapat menyebabkan disfagia.11,22,23
PROGNOSIS
Prognosis ditentukan beberapa faktor yaitu keadaan umum penderita,
besar dan ekspansi tumor dan bila dengan cara operatif tumor dapat diangkat
seluruhnya tanpa sisa, maka prognosisnya cukup baik. prognosis sangat baik
dengan diagnosis dini Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya
angiofibroma nasofaring adalah keberadaan tumor di fossa pterigoideus dan basis
sfenoid, perluasan intrakranial, usia muda dan ada tidaknya sisa tumor. Embolisasi
praoperatip
menurunkan
angka
morbiditas
dan
kekambuhan.
Rata-rata
LAPORAN KASUS
Seorang perempuan usia 20 tahun, belum menikah, alamat luar kota, pada
7 Juli 2012 datang ke IGD RSMH dengan keluhan keluar darah dari lubang
hidung kanan dan mulut sejak 2 hari yang lalu. Banyaknya gelas belimbing.
Riwayat hidung buntu sejak 2 tahun. Riwayat keluar darah dari hidung sejak 2
tahun yang lalu, hilang timbul, riwayat ingus kental di jumpai, gangguan
penciuman tidak dijumpai. Muncul daging tumbuh di mulut sejak 1 tahun yang
lalu, sering keluar darah dari mulut terutama ketika pasien makan makanan keras
dan makanan tersebut menyenggol daging tumbuh di dalam mulut. Pendengaran
18
telinga kanan menurun sejak 1 tahun yang lalu, riwayat keluar cairan dari telinga
tidak dijumpai, sakit kepala tidak di jumpai, pandangan ganda tidak dijumpai.
laringoskopi
19
20
21
2x200 mg,
22
DISKUSI
Angiofibroma
nasofaring
merupakan
tumor
jinak
yang
jarang,
diperkirakan hanya 0,05% dari semua tumor yang tumbuh di kepala dan leher.
Pada kasus ini, pasien berjenis kelamin perempuan usia 20 tahun \ dari
kepustakaan kebanyakan penderita angiofibroma nasofaring terbayak pada lakilaki usia dewasa muda di bandingkan perempuan. Jika didapati angiofibroma
nasofaring pada wanita, disarankan
tersebut. Eloy dkk
29
didapati 6 pasien angiofibroma nasofaring rentang usia 11-23 tahun, semua jenis
kelamin laki-laki. Di RS Dr Muhammad Hoesin Palembang, Affandi R
10
pada
13
23
24
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Tang IP, Shashinder S, Gopala KG, Narayanan P. Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma in A tertiary centre: ten-year experience. Singapore Med J
2. Hauptman G. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Grand Round
Presentation,UTMB, Dept.of Otolaryngology. 2007. p.1-5.
3. Coutinho-Cmillo CM, Brentani M, Nagai MA. Genetic alteration in
juvenile
nasopharyngeal
angiofibromas,
Basic
Science
Review,
DOI:10.1002/head.20775,2008,p 1-6
4. Daulay ER. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma In Kumpulan naskah
ilmiah KONAS XVI Medan, Juni 2013.p.91-95.
5. Pham V, Mukerji S. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma Evaluation
and
Treatment,
Grand
rounds
presentation,
Departement
of
26
Otolaryngology
The
University
of
Texas
Medical
Branch
Departemen
THT-KL
UNSRI/RS.Dr
Mohammad
Hoesin,
presentation
of
nasopharyngeal
(juvenile)
27
staf Ahli bagian THT RSCM FK-UI, Indonesia. Binarupa aksara publisher,
hal 359-396.
18. Karsinoma nasofaring
cited
2012
feb
10].
Available
from
http://venasaphenamagna.blogspot.com/2012/07/karsinomanasofaring.html
19. Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenile angiofibroma Evolution of
Management,
Review
article,
Hindawi
publishing
corporation,
Evaluation
and
Pre-Operative
Embolization.
Case
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/872580-
treatment#showall
23. Babasubramania T. Juvenile nasopharyngeal angofibroma an overview,
Otolarynology online available from www.artbalu.com.
24. Mendenhall WM, Werning JW, Hinerman RW, Amdur RJ, Villaret DB.
Juvenille Nasopharyngeal angiofibroma. Review Article. J HK Coll radiol
2003;6:15-19
25. Glesson M.Juvenile angiofibroma in Head and neck tumor part 17,p 24372444
26. Sennes LU, Butugan O, Sanchez TG, Bento RF, Tsuji D. Juvenile
nasopharyngeal angiofibroma the routes of invasion, Otolaryngology
Departement of the University of Sao Paulo School of Medicine, Brazil.
Rhynology,41,235-240,2003,p 1-6
27. Castillo FM, Ramos AJ, Rodrigue FB, Acosta FD, Vilarejo PL.
Endoscopic surgery of nasopharyngeal angiofibroma.Clinical research,
Acta otorhinilaryngol Esp 2004; 55: 369-375
28. Bales C, Kotapka M, Loevner LA, Al-Rawi M, Weinstein G, Hurst R,
weber RS. Craniofacial Resection of Advanced Juvenile nasopharyngeal
Angiofibroma. Arch Otolaryngol Head Neck surgery.2002; 128: 10711078.
28
29. Eloy Ph, Watelet JB, Hakert AS, Wispelaere J, Bertrand B. Endonasal
endoscopic
resection
of
juvenile
nasipharyngeal
angiofibroma.
pemeriksaan
imunohistokimia,
Laporan
penelitian,
29
32. Kania RE, Sauvaget E, Guichard JP, Chapot R, Huy PTB, herman P. Early
Post Operative CT scanning for juvenile nasopharyngeal angiofibroma:
Detection of Residual Disease. ANJR Am Neuroradiol 26: 2005. P. 82-88
33. Guillard AL, Anastacio VM, Piatto VB, Maniglia JV, Malina FD. A server
year experience with patient with juvenile nasopharyngeal angiofibroma,
Original article, Braz J Ororhinolaryngol,2010;76 (2):p 245-50
34. Twu CW, Hsu CY, Jiang RS. Surgical Treatment of Nasopharyngeal
Angiofibroma. Mid Taiwan J Med 2002;7:71-5.
35. Brado RA, Muranjan SN , Nerurkan NK, Joshi AA, Achar PA. Endoscopic
Excision of Juvenile Nasopharyngeal angiofibroma-A Comprehensive
approach. Indian Journal of Otolaryngology and Hjead and Neck Surgery
vol. 55 India. 2003.p 1-8
36. Montag AG, Tretiakova M, Richarson M. Steroid hormone receptor
expression in nasopharyngeal angiofibromas consistent exprssion of
estrogen rceptor , American society for clinical pathology, Am J Clin
pathol 2006;125:832-837
37. Renkonen S, hangstrom J, Vuola J, Niemela M, Porras M, Kivivuori SM et
al. The Changing surgical management of juvenile nasopharyngeal
angiofibroma. Eur Arch Otorhinolaryngol(2011) 268:599-607
38. Alborno T, Hofma T, Stamberger H, Koelle W, Reittner P, Klein E.
Endoscopic resection of juvenile angiofibromas long term result,
Departement of ORL head and Neck Surgery, University medical school
Graz, Austria, 2005, 12(2);18-24
39. Boghani , Husai Q, Kanumuri VV, Khan MN, Sangvhi S, Liu JK, Eloy JA.
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma: A systematic review and
comparison of endoscopic, endoscopic-assisted and open resection in 1047
cases, Contemporary review, The American Laryngological, Rhinological
and Otoloical Society, Inc 2013, p 859-869.
30
40. Marshall AH, Bradley PJ. Management dillemas in the treatment and
follow-up advanced juvenile nasopharyngeal angiofibroma,review, ORL
2006;68:273-278
41. Park CK, Kim DG78, Paek SH, Ghung HT, Jung HW. Recurrent Juvenile
nasopharyngeal angiofibroma treated with gamma knife surgery, J Korean
Med Sci 2006; 21;773-7
31