Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

LETHAL MIDLINE GRANULOMA

Pembimbing :
dr. Dumasari Siregar, Sp.THT-KL

Disusun oleh :
Nadia Firyal
030.14.133

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PERIODE 26 MARET 2018 – 28 APRIL 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

i
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul


“Lethal Midline Granuloma”

Penyusun:
Nadia Firyal
030.14.133

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk


menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit THT di RSUD Budhi Asih
Jakarta
Periode 26 Maret 2018 – 28 April 2018

Jakarta, April 2018

dr. Dumasari Siregar, Sp.THT-KL

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
segala nikmat sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul
“Lethal Midline Granuloma”. Adapun penulisan referat ini dibuat dengan tujuan
untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit THT di Rumah Sakit
Umum Daerah Budhi Asih Jakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.
Dumasari Siregar, Sp.THT-KL, selaku pembimbing yang telah membantu dan
memberikan bimbingan dalam penyusunan laporan kasus ini. Ucapan terima kasih
juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang turut serta membantu penyusunan
referat ini yang tidak mungkin diselesaikan tepat waktu jika tidak mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak.
Demikian kata pengantar ini penulis buat. Untuk segala kekurangan dalam
penulisan ini, penulis memohon maaf dan juga mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat konstruktif bagi perbaikan penulisan ini.

Jakarta, April 2018

Nadia Firyal

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
KATA PENGANTAR............................................................................................. iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................v
DAFTAR TABEL .................................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................3
2.1 Anatomi hidung ......................................................................................3
2.1.1 Perdarahan hidung .......................................................................5
2.1.2 Persarafan hidung ........................................................................6
2.2 Anatomi sinus paranasal ........................................................................7
2.3 Lethal midline granuloma ......................................................................9
2.3.1 Definisi ........................................................................................9
2.3.2 Epidemiologi ................................................................................9
2.3.3 Faktor risiko .................................................................................9
2.3.4 Patofisiologi ...............................................................................10
2.3.5 Gejala klinis ................................................................................10
2.3.6 Histologi dan imunohistokimia ..................................................12
2.3.7 Stadium klinis .............................................................................13
2.3.8 Diagnosis ...................................................................................14
2.3.9 Tatalaksana ................................................................................15
BAB III KESIMPULAN......................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................17

iv
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Anatomi hidung luar .............................................................................3
Gambar 2.2 Anatomi rongga hidung ........................................................................5
Gambar 2.3 Kompleks osteomeatal (KOM) ............................................................5
Gambar 2.4 Perdarahan hidung................................................................................6
Gambar 2.5 Persarafan hidung .................................................................................7
Gambar 2.6 Sinus paranasal .....................................................................................8
Gambar 2.7 Lesi nekrotik di area nasofacial ........................................................12
Gambar 2.8 Destruksi palatum ..............................................................................12
Gambar 2.9 Zona nekrosis .....................................................................................12
Gambar 2.10 Sel plasma, histiosit, eosinofil, limfosit ...........................................12
Gambar 2.11 Pemeriksaan IHC positif pada CD56 dan CD3 ................................13
Gambar 2.12 Potongan coronal dan aksial CT scan kepala dan sinus paranasal ...15

v
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi stadium sistem Ann Arbor ...................................................13

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Lethal midline granuloma didefinisikan sebagai lesi nekrosis di bagian


tengah dari wajah/ midfacial yang ditandai dengan adanya lesi pada mukosa saluran
aerodigestif bagian atas.(1) Gejala klinis dari lethal midline granuloma biasanya
berupa rinorea, epistaksis, nyeri, dan hidung tersumbat dengan atau tanpa sekret (2)
yang pada akhirnya akan menyebabkan gangguan pada fungsi dan tampilan/
kosmetik.(3)
Terminologi “lethal midline granuloma” pertama dipaparkan oleh McBride
pada tahun 1897 dan selanjutnya Stewart melakukan penelitian komprehensif
tentang gambaran histopatologis dan gejala klinisnya,(4) sehingga penyakit ini juga
disebut dengan Stewart’s granuloma. Penyakit ini juga memiliki beberapa nama
lain, yaitu nasofacial natural killer (NK)/ T cell lymphoma, idiopathic midline
granuloma, idiopathic midline destructive disease, midline non-healing
granuloma, polymorphic reticulosis, dan lymphomatoid granulomatosis.(1)
Penyakit ini merupakan penyakit yang sangat jarang dan sangat sulit
didiagnosis dikarenakan gejala klinis yang kurang spesifik, terutama pada stadium
awal penyakit, juga banyaknya penyakit lain dengan gejala yang serupa.(3) Menurut
Journal of Oral and Maxillofacial Pathology, insiden penyakit ini di Amerika
Serikat sangat kecil yaitu sekitar 1,5% dari seluruh limfoma.(5) Lethal midline
granuloma merupakan salah satu jenis dari limfona non-Hodgkin tipe limfoma NK
cell/ T cell.(6) Limfoma NK cell/ T cell dapat mengenai beberapa organ target, seperti
kulit, usus, testis, ginjal, saluran napas, dan mata. Hidung dan kulit merupakan
lokasi yang paling umum dari penyakit ini.(7) Limfoma NK cell/ T cell di hidung 7-
10% dari seluruh limfoma non-Hodgkin. Insiden terseringnya adalah di daerah Asia
dan Amerika Latin pada usia diatas 50 tahun. Rasio kejadian antara laki-laki dan
perempuan berkisar 8:1 dan menunjukkan adanya hubungan yang erat dengan
infeksi virus Epstein Barr.(4)
Menurut Indian Dermatology Online Journal, lethal midline granuloma
merupakan penyakit yang bersifat kronis progresif. Apabila tidak diterapi, penyakit

1
ini memiliki angka mortalitas yang tinggi, yaitu hampir mencapai 100% akibat dari
septikemia, infiltrasi pembuluh darah, dan penetrasi ke otak yang selanjutnya akan
berakibat menjadi abses.(2)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi hidung


Hidung terbagi menjadi 2 bagian, yaitu hidung bagian luar (nasi externus) dan
rongga hidung (cavum nasi). Bagian-bagian hidung luar dari atas ke bawah, yaitu
pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi,
kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Lubang hidung berbentuk lonjong di
kanan dan kiri yang dipisahkan oleh septum nasi. Rangka hidung bagian luar dibentuk
oleh os nasal, processus frontalis maxillaris, dan pars nasalis os frontalis. Di bawah,
rangka hidung dibentuk oleh tulang rawan hialin yang mudah digerakkan, yaitu
kartilago nasal lateral, kartilago ala mayor, kartilago ala minor dan tepi anterior
kartilago septum nasi.

Gambar 1. Anatomi hidung luar

Rongga hidung berbentuk terowongan yang terbentang dari nares anterior di


depan hingga ke choana di belakang, yang selanjutnya akan bermuara di nasofaring.(8)
Bagian dari kavum nasi di belakang nares anterior, disebut dengan vestibulum.

3
Vestibulum dilapisi oleh kulit yang memiliki banyak kelenjar sebasea dan rambut
hidung yang disebut dengan vibrise.
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulangnya meliputi lamina perpendikularis os ethmoidalis,
vomer, krista nasalis os maxilla dan krista nasalis os palatina, sedangkan bagian tulang
rawannya adalah kartilago septum dan kolumela. Pada dinding lateral terdapat 4 buah
konka, yaitu konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema. Namun,
konka suprema biasanya tidak berkembang. Diantara konka terdapat rongga sempit
yang disebut dengan meatus. Terdapat 3 buah meatus sesuai dengan letaknya, yaitu
meatus inferior, meatus media, dan meatus superior. Meatus inferior terletak diantara
konka inferior dan dasar hidung, yang merupakan muara dari duktus nasolakrimalis.
Meatus media terletak diantara konka media dan konka inferior. Meatus media
merupakan muara dari sinus-sinus anterior, yaitu sinus frontalis, sinus maksila, dan
sinus ethmoidalis anterior. Meatus superior merupakan rongga yang terletak diantara
konka superior dan konka media. Sinus posterior bermuara pada meatus ini, yaitu sinus
ethmoid posterior dan sinus sphenoid.
Dinding inferior dari rongga hidung dibentuk oleh os maxilla dan os palatum,
dan dinding superiornya dibatasi oleh lamina kribiformis os ethmoid. Tulang ini
berlubang-lubang tempat keluarnya saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga
hidung dibentuk oleh os sphenoid.

4
Gambar 2. Anatomi rongga hidung

Pada rongga hidung terdapat kompleks osteomeatal (KOM), yaitu suatu celah
pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media. Struktur anatomi yang
membentuk KOM adalah prosesus uncinatus, infundibulum ethmoid, hiatus
semilunaris, bulla ethmoid, dan resesus frontalis. KOM merupakan lokasi ventilasi dan
drainase dari sinus-sinus anterior.(9)

Gambar 3. Kompleks osteomeatal (KOM)

2.1.1 Perdarahan hidung


Kulit hidung bagian luar mendapat perdarahan dari cabang a. opthalmica dan a.
maxillaris. Kulit ala nasi dan bagian bawah septum mendapat suplai darah dari cabang
a. fascialis.(8) Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. ethmoid anterior

5
dan posterior yang merupakan cabang dari a. ophtalmica. Bagian bawah rongga hidung
mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris interna, yaitu a. palatina mayor, dan a.
sphenopalatina.
Pada bagian septum nasi, terdapat anastomosis dari cabang a. sphenopalatina,
a. ethmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor yang kemudian disebut
dengan Pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah
cedera oleh trauma, sehingga menjadi sumber epistaksis anterior, terutama pada anak-
anak.
Vena pada hidung memiliki nama yang sama dan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara pada v. ophtalmica
yang kemudian akan berhubungan dengan sinus cavernosus. Vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi dari penyebaran infeksi ke
intrakranial.(9)

Gambar 4. Perdarahan hidung

2.1.2 Persarafan hidung


Persarafan sensoris kulit hidung bagian luar diinervasi oleh n. infratrochlearis
dan rami nasalis externa dari N.V-1 dan ramus infraorbitalis dari N. V-2.(8) Bagian
depan dan atas dari rongga hidung dipersarafi oleh n. ethmoidalis anterior, cabang dari
n. nasosiliaris yang berasal dari N. V-1. Sebagian besar bagian rongga hidung lainnya

6
mendapat persarafan sensoris dari n. maxilla melalui ganglion sphenopalatina. Selain
dari persarafan sensoris, ganglion sphenopalatina juga memberikan persarafan otonom
pada mukosa hidung. Ganglion sphenopalatina terletak di belakang dan sedikit diatas
ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari n. olfactorius. Saraf ini berjalan keluar melalui
lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius yang kemudian berakhir
pada sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.(9)

Gambar 5. Persarafan hidung

2.2 Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan rongga di dalam os cranium dan os facial yang
berdekatan dengan rongga hidung. Sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang
kemudian bersatu dengan mukosa rongga hidung. Sekret yang dihasilkan oleh
membran mukosa sinus paranasal akan bermuara di rongga hidung.(10) Secara
embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus
frontal. Sinus ethmoid dan maxilla telah ada sejak lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari sinus ethmodalis anterior pada anak usia 8 tahun.

7
Tulang tengkorak yang memiliki sinus antara lain os frontal, os sphenoid, os
ethmoid, dan os maxilla, sehingga memiliki sinus sesuai dengan namanya. Sinus
mengurangi massa dari tulang tengkorak dan meningkatkan luas permukaan dari
mukosa hidung, yang kemudian akan meningkatkan produksi mucus untuk membantu
melembabkan dan membersihkan udara inspirasi. Sinus juga memiliki fungsi sebagai
penahan suhu panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang
berubah-ubah. Sinus juga membantu resonansi suara dan menentukan kualitas suara.(11)

Gambar 6. Sinus paranasal

8
2.3 Lethal midline granuloma
2.3.1 Definisi
Lethal midline granuloma termasuk salah satu jenis dari limfoma non Hodgkin.
Limfoma adalah sekumpulan keganasan primer pada kelenjar getah bening dan
jaringan limfoid.(12) Perbedaan antara limfoma Hodgkin dan limfoma non Hodgkin
didasari pada pemeriksaan patologi anatomi. Pada limfoma non Hodgkin tidak ditemui
adanya sel abnormal Reed-Stenberg. World Health Organization (WHO)
mengklasifikasikan 2 derivat dari neoplasma NK cell, yaitu aggressive NK cell
leukaemia, dan NK/T cell lymphoma. Lethal midline granuloma termasuk pada
klasifikasi NK/T cell lymphoma.(13)

2.3.2 Epidemiologi
Lethal midline granuloma merupakan penyakit yang sangat jarang ditemui.
Penyakit ini memiliki keterkaitan dengan virus Epstein Barr (EBV). Mayoritas
penderitanya adalah laki-laki dewasa usia lebih dari 50 tahun, perempuan sangat sedikit
menderita penyakit ini. Rasio antara laki-laki dan perempuan sekitar 8:1.(4)
Menurut Journal of Hematology & Oncology, insiden dari penyakit ini di Asia
Tenggara dan Amerika Latin secara berturut adalah 5,2% dan 3%, angka ini sangat
tinggi jika dibandingkan dengan insidennya di bagian dunia lain, yaitu Amerika Utara
dan Eropa, yaitu hanya sebesar 0,3%.(14) Dilaporkan juga prevalensinya pada ras kulit
putih hanya sebesar 0,17- 1,5%.(6)

2.3.3 Faktor risiko


Terdapat berbagai macam faktor risiko pada lethal midline granuloma, diantaranya
yaitu:(6)
1. Kondisi imunodefisiensi yang diturunkan
Contohnya seperti Sindrom Klinifelter, Sindrom Chediak-Higashi, Sindrom
ataksia telangiektasia, dan Sindrom Wiscott-Aldrich.
2. Kondisi imunodefisiensi yang didapat

9
Contohnya pada imunosupresi iatrogenik, infeksi HIV,
hipogammaglobulinemia.
3. Penyakit autoimun
Contohnya yaitu Sindrom Sjorgen, rheumatoid artritis, dan lupus eritematosus
sistemik.
4. Paparan radiasi dan zat kimia
Seperti fenitoin, dioksin, herbisida fenoksi, dan riwayat kemoterapi atau
radioterapi.
5. Terkait agen infeksi
Seperti virus Epstein Barr (EBV), human T-cell leukemia/lymphoma virus-I,
dan sindrom ataksia telangiektasia
Pada Radiologia Brasilia Journal dipaparkan bahwa terdapat faktor risiko
lainnya untuk lethal midline granuloma mencakup beberapa hal, yaitu kebiasaan
merokok dan konsumsi alkohol, paparan radiasi dan ultraviolet, dan adanya ulserasi
dan fistula kronik.(15)

2.3.4. Patofisiologi
Nasal NK/ T Cell Lymphoma bermanifestasi di kavum nasi. Penyakit ini hampir
selalu (>95% kasus) terkait dengan virus Epstein Barr (EBV). Mekanisme pasti
munculnya dari keganasan akibat dari infeksi EBV belum diketahui secara jelas.
Hipotesis dari adanya NKTCL adalah keterkaitannya dengan marker CD56. CD56
merepresentasikan neural celll adhesion molecule (NCAM) yang memiliki komponen
keterikatan homofilik.(6) Namun, marker terhadap surface CD3 dan gen T cell receptor
(TCR) akan bernilai negatif dikarenakan NK cell tidak memiliki surface CD3 dan gen
T cell receptor (TCR), namun memiliki CD3 sitoplasmik,(13) hal inilah yang juga akan
menjadi salah satu dasar diagnosis pada penyakit ini.

2.3.5 Gejala klinis


Lokasi predileksi dari penyakit ini adalah rongga hidung, nasofaring, sinus

10
paranasal, hipofaring, dan laring. Gejala umum yang dirasakan berupa hidung
tersumbat, epistaksis, dan bengkak pada wajah. Jika mengenai organ mata, akan
menimbulkan eksoftalmus, dan gangguan gerak bola mata. Perluasan dari lokasi lesi di
hidung dapat menyebabkan destruksi palatum, sehingga disebut dengan perforasi
midline.(13)
Selain itu, juga adanya ulserasi pada hidung atau mulut. Ulserasi ditandai
dengan adanya jaringan nekrotik yang disertai dengan krusta.(1) Ulserasi dan destruksi
dari hidung dan sinus paranasal, meliputi bagian tulang, tulang rawan, dan mukosa.(3)
Gejala lainnya juga dapat terjadi, seperti perforasi septum nasi dan konjungtivitis.
Menurut Komite Penanggulangan Kanker Nasional, gejala yang sering
ditemukan pada penderita limfoma pada umumnya non-spesifik, diantaranya:(12)
1. Penurunan berat badan >10% dalam 6 bulan
2. Demam 38 derajat C >1 minggu tanpa sebab yang jelas
3. Keringat malam banyak
4. Cepat lelah
5. Penurunan nafsu makan
6. Pembesaran kelenjar getah bening yang terlibat
7. Dapat pula ditemukan adanya benjolan yang tidak nyeri di leher, ketiak atau
pangkal paha (terutama bila berukuran diatas 2 cm); atau sesak napas akibat
pembesaran kelenjar getah bening mediastinum maupun splenomegali.
Tiga gejala pertama harus diwaspadai karena terkait dengan prognosis yang kurang
baik, begitu pula bila terdapatnya Bulky Disease (KGB berukuran > 6-10 cm atau
mediastinum >33% rongga toraks).

11
Gambar 7. Lesi nekrotik di area nasofacial Gambar 8. Destruksi palatum

2.3.6 Histopatologi dan imunohistokimia


Pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya zona nekrosis yang ditandai
dengan adanya infiltrasi sel limfoid yang tidak teratur dan memiliki nulekus yang
hiperkromatik.(13) Sel limfoid tersusun secara difus dengan pola angiosentris dan
angiodestruktif. Pada lokasi lesi juga didapatkan adanya infiltrasi sel plasma, histiosit,
eosinofil, dan limfosit.(1)

Gambar 9. Zona nekrosis Gambar 10. Sel plasma, histiosit, eosinofil, limfosit

12
Pada pemeriksaan imunohistokimia (IHC) didapatkan adanya sel limfoid
abnormal, yaitu CD2+, CD3, CD4, CD4-, CD5-, CD15-, CD56+, dan imunofenotip
yang paling sering yaitu CD56+. CD2+, dan surface CD2-.(1)

Gambar 11. Pemeriksaan IHC positif pada CD56 dan CD3

2.3.7 Stadium klinis


Penentuan stadium klinis yang standar untuk lethal midline granuloma belum
ditemukan, maka menurut Advances in Hematology Journal, dapat dipakai standar
penentuan stadium klinis dari limfoma Hodgkin, yaitu sistem Ann Arbor, sebagai
berikut: (12)
Tabel 1. Klasifikasi stadium sistem Ann Arbor

13
2.3.8 Diagnosis
Penegakkan diagnosis definitif penyakit ini didasari pada pemeriksaan
histopatologi, imunofenotip dari sel limfoid, dan analisis dari gen T cell receptor
(TCR),(1) namun juga dapat dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya, yaitu:(12)
1. Biopsi
Biopsi KGB dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representatif,
superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenjar superfisial/perifer yang paling
representatif, maka tidak perlu biopsi intraabdominal atau intratorakal.
Kelenjar getah bening yang disarankan adalah dari leher dan
supraclavicular, pilihan kedua adalah aksila dan pilihan terakhir adalah
inguinal. Spesimen kelenjar diperiksa:
- Histopatologi
- Imunohistokimia
- Molekuler EBV

2. Laboratorium
- Darah perifer lengkap (DPL): Hb, Ht, leukosit, trombosit, LED, hitung
jenis
Pada pemeriksaan darah, mungkin dijumpai anemia, limfositopenia,
dan meningkatnya LED.
- Fungsi hati: laktat dihidrogenase (LDH)
Peningkatan kadar LDH dihubungkan dengan prognosis penyakit yang
lebih buruk

3. Radiologi
Pada lethal midline granuloma, ada beberapa jenis pemeriksaan yaitu
foto Rontgen, CT scan, MRI, atau PET scan untuk menilai metastasis dari
keganasan.(14) Pada CT scan dan MRI menunjukkan batas yang tidak
teratur, destruksi tulang, dan peningkatan kontras heterogen.(1)

14
Gambar 12. Potongan coronal dan aksial CT scan kepala dan sinus paranasal

2.3.9 Tatalaksana
Serupa dengan limfoma lainnya, modalitas terapi untuk NK/ T cell lymphoma
adalah radioterapi, kemoterapi, atau kombinasi keduanya. NKTCL bersifat
radiosensitif, maka terapi ini dijadikan sebagai terapi lini pertama pada NKTCL stage.
Angka keberhasilan pada terapi ini mencapai 79,2 % - 88,8%, dengan 18,8% angka
kejadian relaps yang dilaporkan. Dosis yang diberikan pada terapi radioterapi adalah
sebesar 50 Gy.
Selanjutnya, kemoterapi juga dapat dilakukan, namun menurut Journal of
Hematology & Oncology regimen baku sebelumnya yang telah digunakan, yaitu
kemoterapi mengandung antrasiklin dengan menggunakan regimen CHOP
(Cyclophosphamide, Doxorubicin hydrochloride, Vinicristine sulfate, Prednisone)
tidak lagi direkomendasikan dalam kemoterapi dikarenakan dinilai kurang efektif.
Maka, regimen ini diganti dengan regimen yang tidak mengandung antrasiklin, salah
satunya adalah L-asparaginase. Namun, hal ini masih memerlukan penelitian lebih
lanjut.(14)

15
BAB III
KESIMPULAN

Lethal midline granuloma didefinisikan sebagai lesi nekrosis di bagian tengah


dari wajah/ midfacial yang ditandai dengan adanya lesi pada mukosa saluran
aerodigestif bagian atas. Gejala klinis dari lethal midline granuloma biasanya berupa
rinorea, epistaksis, nyeri, dan hidung tersumbat dengan atau tanpa sekret yang pada
akhirnya akan menyebabkan gangguan pada fungsi dan tampilan/ kosmetik.
Terminologi “lethal midline granuloma” pertama dipaparkan oleh McBride
pada tahun 1897 dan selanjutnya Stewart melakukan penelitian komprehensif tentang
gambaran histopatologis dan gejala klinisnya, sehingga penyakit ini juga disebut
dengan Stewart’s granuloma.
Lethal midline granuloma merupakan penyakit yang sangat jarang ditemui.
Penyakit ini memiliki keterkaitan dengan virus Epstein Barr (EBV). Mayoritas
penderitanya adalah laki-laki dewasa usia lebih dari 50 tahun, perempuan sangat sedikit
menderita penyakit ini. Rasio antara laki-laki dan perempuan sekitar 8:1. Menurut
Journal of Hematology & Oncology, insiden dari penyakit ini di Asia Tenggara dan
Amerika Latin secara berturut adalah 5,2% dan 3%, angka ini sangat tinggi jika
dibandingkan dengan insidennya di bagian dunia lain, yaitu Amerika Utara dan Eropa,
yaitu hanya sebesar 0,3%. Dilaporkan juga prevalensinya pada ras kulit putih hanya
sebesar 0,17- 1,5%.
Serupa dengan limfoma lainnya, modalitas terapi untuk NK/ T cell lymphoma
adalah radioterapi, kemoterapi, atau kombinasi keduanya.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Swain SK, Sahu MC. An unusual presentation of nasofacial NK/T-cell


lymphoma – A case report. Egyptian Journal of Ear, Nose, Throat and
Allied Sciences. 2017; 18: 299-302.
2. Mallya V, Singh A, Pahwa M. Lethal midline granuloma. Indian Dermatol
Online J. 2012; 4(1): 37-9.
3. Mangrioa SA, Dhanania R, Ikrama M, Tariqb MU. Lethal midline
granuloma: a case report. Egypt J Otolaryngol. 2017; 33(1): 131-3.
4. Mittal P, Singh I, Gupta D. Lethal midline granuloma: a diagnostic
dilemma. Otorhinolaryngology Clinics: An International Journal. 2016;
8(2): 60-1.
5. Metgud RS, Doshi JJ, Gaurkhede S, Dongre R, Karle R. Extranodal NK/T-
cell lymphoma, nasal type (angiocentric T-cell lymphoma): A review
about the terminology. J Oral Maxillofac Pathol. 2011; 15(1): 96-100.
6. Liess BD. NK-Cell Lymphomas of the Head and Neck. 2016. Tersedia di
https://emedicine.medscape.com/article/871609-overview#showall.
Diakses pada 10 April 2018.
7. Bhatkule MA, Dhawle MS, Kumbhakarna NR, Bindu RS. Nasal Natural
Killer/T Cell Lymphoma. Indian J Hematol Blood Transfus. 2014; 30:
292-3.
8. Snell RS. Saluran Pernapasan Atas dan Bawah Serta Struktur Yang
Terkait. Dalam: Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC; 2011:
35-9.
9. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi 7.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2014: 96-8.
10. Tortora GJ. Derrickson B. The Skeletal System: The Axial Skeleton.
Dalam: Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 12. Massachusetts:
John Wiley & Sons, Inc.; 2009: 215.
11. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi 7. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2014: 122-5.
12. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Panduan Penatalaksanaan
Limfoma Non-Hodgkin. Jakarta; 2011.
13. Gill H, Liang RHS, Tse E. Extranodal Natural-Killer/T-Cell Lymphoma,
Nasal Type. Adv Hematol. 2010: 1-5.
14. Tse E, Kwong YL. The diagnosis and management of NK/T-cell
lymphomas. J Hematol Oncol. 2017; 10(85):1-13.

17
15. Ribeiro BNF, Bahia PRV, Oliveira ALVS, Júnior JLM. Lethal midline
granuloma syndrome: a diagnostic dilemma. Radiol Bras. 2012;
45(6):353-3.

18

Anda mungkin juga menyukai