Anda di halaman 1dari 24

Bagian THT-KL Refarat

Fakultas Kedokteran Mei 2020


Universitas Halu Oleo

SINUSITIS DENTOGEN

Oleh:
Ade Ratna Dewi
K1A1 14 002

Pembimbing:
dr. Ied Rakhma M.Kes Sp. THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN THT-KL
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNOVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal.
Penyakit sinusitis selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks ostiomeatal
(KOM) oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi, dan oleh karena penyebaran
infeksi gigi.2
Secara anatomis apeks gigi-gigi rahang atas (kecuali insisivus) sangat dekat
dengan dasar sinus, terutama sinus maksilaris. Gigi yang berlubang (karies) atau
adanya abses/infeksi di sekitar gigi harus diobati, sebab masalah gigi di rahang atas
itu dapat menjalar sampai ke sinus.11
Mukosa sinus terdiri atas epitel toraks berlapis semu bersilia dan diantaranya
ada sel-sel goblet serta kelenjar submukosa yang menghasilkan suatu selaput lendir
yang bersifat melindungi. selaput lendir mukosa ini akan menjerat bakteri dan bahan
berbahaya yang dibawa oleh silia, kemudian mengeluarkannya melalui ostium ke
dalam hidung untuk dibuang.2
Sejak ditemukannya kompleks osteomeatal sebagai faktor yang sangat
berperan dalam patofisiologi sinusitis kronis, diperlukan tomografi komputer yang
dapat memberikan gambaran yang sangat baik dari sinus paranasal dan kompleks
osteomeatal. Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas
yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina papirasea. KOM dibatasi oleh
bula etmoid, prosesus unsinatus, dan konka media. Isi KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum, sel ager nasi, resesus frontal, dan bula etmoid.16
Harus curiga adanya sinusistis dentogen pada sinusistis maksila kronik yang
mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas yang berbau busuk. Untuk
mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan
pemberian antibiotic yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga perlu dilakukan
irigasi sinus maksila.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI SINUS PARANASAL

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid kanan dan kiri, dan sinus sfenoid. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulag-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.1
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali
sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi
lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak
yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia
8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus
ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.1

SINUS MAKSILA
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.1
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga
hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah
prossesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum
etmoid.1,2
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan adalah:
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring
(C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke
dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan
sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase
hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui
infundibulum yang sempit.
4. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan
akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalang drenase sinus
maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.1

SINUS FRONTAL
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.1
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang
lebih 15% orang dewasa hanya mempuyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%
sinus frontalnya tidak berkembang.1 Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm
tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm.
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak
adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto
rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus
frontal mudah menjalar ke daerah ini.1 Sinus frontal berdrenase melalui
ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan
infundibulum etmoid.1,3
SINUS ETMOID
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian
posterior.1 Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya
bervariasi.
Berdasarkan letaknya sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior
yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di
meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media
dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior
biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari
lamina basalis.1
Di bagian terdepan sinus etmoid aterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan
atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.1 Atap sinus
etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding
lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi snus etmoid
dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan
sinus sfenoid.1
SINUS SFENOID
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
ukuranya adalah 2 cm, tingginya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya
bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di
bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.1
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisis, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna dan di sebelah posteriornya
berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.1

Gambar 1: Anatomi sinus paranasal (potongan koronal)10


Gambar 2: Anatomi sinus paranasal (potongan melintang)10

Gambar 3: Anatomi sinus paranasal (potongan sagital)10


KOMPLEKS OSTEOMEATAL
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara- muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM), terdiri
dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus
frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium
sinus maksila.1

Gambar 4: Kompleks osteomeatal10

B. DEFINISI
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab
utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya diikuti oleh infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis. Sinusitis dentogen merupakan suatu peradangan membran mukosa
yang dapat mengenai satu ataupun beberapa sinus paranasal yang biasanya di
sebabkan oleh infeksi pada gigi. Adapun sinus maksila disebut juga antrum
Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah
menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen.1,7
Sinusitis dibagi menjadi kelompok akut dan kronik. Secara anatomi, sinus
maksilaris, berada di pertengahan antara hidung dan rongga mulut dan merupakan
lokasi yang rentan terinvasi oleh organisme patogen lewat ostium sinus maupun
lewat rongga mulut.12

C. ETIOLOGI
Sinusitis maksilaris akut dapat disebabkan oleh rhinitis akut, infeksi faring
seperti faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut, infeksi gigi rahang atas P1, P2, serta
Ml, M2, M3 (dentogen). Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab
penting sinusitis.12
Adapun etiologi dari sinusitis dentogen adalah:6
1. Penjalaran infeksi gigi, infeksi periapikal gigi maksila dari kaninus sampai
gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus
akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun
kadang-kadang ada juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang
yang tebal.
2. Prosedur ekstraksi gigi, misalnya terdorong gigi ataupun akar gigi sewaktu
akan diusahakan mencabutnya, atau terbukanya dasar sinus sewaktu dilakukan
pencabutan gigi.
3. Penjalaran penyakit periodontal yaitu adanya penjalaran infeksi dari membran
periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus.
4. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan
sinus maksila.
5. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista
radikuler dan folikuler.
6. Neoplasma yang mengadakan infiltrasi ke dalam sinus maksila.
Tabel 1. The Most Common Dental Etiological Factors in Various Investigation6

Tabel 2. The Distribution of Involved Teeth of Odontogenic Sinusitis15

Distribusi gigi yang terlibat di rahang atas adalah sebagai berikut: molar 2
dalam 11 kasus (40,8%), molar 1 dari 9 kasus (33,3%), molar 2 dan molar 1
dalam 3 kasus (11,1%); molar 1 dan molar 2 dalam 2 kasus (7,4%), premolar 2
dalam 1 kasus (3,7%), dan molar 3 dalam 1 kasus (3,7%).15

D. EPIDEMIOLOGI

Di Eropa, sinusitis diperkirakan mengenai 10-30% populasi. Di Amerika,


lebih dari 30 juta penduduk per tahun menderita sinusitis. Wald di Amerika
menjumpai insiden pada orang dewasa antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis
yang berasal dari infeksi gigi. Ramalinggam di Madras, India mendapatkan
bahwa sinusitis maksila tipe dentogen sebanyak 10% kasus yang disebabkan oleh
abses gigi dan abses apikal. Becker et al. dari Bonn, Jerman menyatakan 10%
infeksi pada sinus maksila disebabkan oleh penyakit pada akar gigi.13
Granuloma dental, khususnya pada premolar kedua dan molar pertama
sebagai penyebab sinusitis maksila dentogen. Highler dari Minnesota, Amerika
Serikat menyatakan 10% kasus sinusitis maksila yang terjadi setelah gangguan
pada gigi. Data dari sub bagian Rinologi THT FKUI RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo menunjukkan angka kejadian sinusitis yang tinggi yaitu 248
pasien (50%) dari 496 pasien 10 rawat jalan. Farhat di Medan mendapatkan
insiden sinusitis dentogen di Departemen THT-KL/RSUP H. Adam Malik sebesar
13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal yaitu sebanyak 71.43%.
Hasil dari penelitian melaporkan bahwa insiden sinusitis dentogen lebih tinggi
pada wanita dan angka kejadian tertinggi pada usia dekade ketiga dan keempat.13

E. MIKROBIOLOGI

Tabel 3. The Bacteriological Distribution of Odontogenic Maxillary Sinusitis6

Tabel 4. Microbiology of Odontogenic Maxillary Sinusitis6

Bakteriologi sinusitis odontogenik jelas berbeda dengan kasus sinusitis non-


odontogenik. Infeksi Sinus odontogenik umumnya oleh polymicrobial dan
dominan organism anaerob, biasanya termasuk Peptostreptococcus, Prevotella,
dan Fusobacterium. Zirk et al. meninjau 121 kasus odontogenik sinusitis dan
mencatat bahwa 70% menunjukkan anaerob dan 30% menunjukkan aerob.
Kerentanan tertinggi tingkat diamati dengan piperasilin (93,9%) dan ampisilin lin
(80%) dikombinasikan dengan inhibitor b-laktamase, diikuti oleh cefotaxime
(78%), cefuroxime (69%), dan clindamycin (50%). Fluoroquinolon, khususnya
moksifloksasin (86%) dan siprofloksasin (62%), dan tetrasiklin (63%) diubah.
pilihan pengobatan asli pada pasien alergi penisilin.6

F. PATOFISIOLOGI

Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan


faktor utama berkembangnya sinusitis. Sinusitis dentogen dapat terjadi melalui
dua cara, yaitu: Infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di
dalam mukosa sinus maksilaris, hal ini akan menghambat gerakan silia ke arah
ostium dan berarti menghalangi drainase sinus. Gangguan drainase ini akan
mengakibatkan sinus mudah mengalami infeksi. Kuman dapat menyebar secara
langsung, hematogen atau limfogen dari granuloma apikal atau kantong
periodontal gigi ke sinus maksila.2,7
Patofisiologi sinusitis adalah sebagai berikut: Inflamasi mukosa hidung
menyebabkan pembengkakan (udem) dan eksudasi, yang mengakibatkan
obstruksi ostium sinus. Obstruksi ini menyebabkan gangguan ventilasi dan
drainase, resorbsi oksigen yang ada di rongga sinus, kemudian terjadi hipoksia
(oksigen menurun, pH menurun, tekanan negatif), selanjutnya diikuti
permeabilitas kapiler meningkat, sekresi kelenjar meningkat kemudian transudasi,
peningkatan eksudasi serous, penurunan fungsi silia, akhirnya terjadi retensi
sekresi di sinus ataupun pertumbuhan kuman.7
Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang
atas, sehingga rongga sinus maksila hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan
akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas
seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah
menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe.12
Kejadian sinusitis akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi
bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan
lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan
mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi
ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan
iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini
kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses
alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu
inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas
sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya
sinusitis.11

G. GEJALA KLINIS
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa
tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post
nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri
atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan cirri khas sinusitis akut,
serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri di
antara atau di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di
dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis maksila
kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.1
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmial/anosmia, halitosis, post-nasal drip
yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitik kronik tidak
khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala
dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip. Batuk kronik, gangguan
tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius,
gangguan ke paru seperti bronchitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang
penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak,
mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.1

H. DIAGNOSIS
Diagnosis sinusitis dentogen adalah berdasarkan pemeriksaan lengkap pada gigi
serta pemeriksaan fisik lainnya. Ini mencakup evaluasi gejala klinis pasien sesuai
dengan kriteria American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery
(AAO-HNS), yang mana diagnosis sinusitis membutuhkan setidaknya 2 faktor
mayor atau setidaknya 1 faktor mayor dan 2 faktor minor dari serangkaian gejala
dan tanda klinis, riwayat penyakit gigi geligi, serta temuan radiologi sinus
paranasal dan CT Scan. Selain itu, kadang diperlukan konsultasi dengan
departemen kedokteran gigi untuk mendukung dan membuat diagnosis sinusitis
dentogen serta penatalaksanaannya.5

Sinusitis Akut
Ditegakkan berdasarkan kriteria di bawah ini:
Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari, merupakan
keluhan yang paling sering dan paling menonjol pada sinusitis akut. Keluhan ini
dapat disertai keluhan lain seperti sumbatan hidung, nyeri/rasa tekanan pada
muka, nyeri kepala, demam, ingus belakang hidung, batuk, anosmia/hiposmia,
nyeri periorbital, nyeri gigi, nyeri telinga dan serangan mengi (wheezing) yang
meningkat pada penderita asma.16
Rinoskopi Anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda
patognomonis, yaitu sekret purulen di meatus medius atau superior; atau pada
rinoskopi posterior tampak adanya sekret purulen di nasofaring (post nasal drip).2
Nasoendoskopi Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan untuk menilai
kondisi kavum nasi hingga ke nasofaring. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan
dengan jelas keadaan dinding lateral hidung. Foto polos sinus paranasal
Pemeriksaan foto polos sinus bukan prosedur rutin, hanya dianjurkan pada kasus
tertentu, misalnya:
a. Rinosinusitis akut dengan tanda dan gejala berat.
b. Tidak ada perbaikan setelah terapi medikamentosa optimal
c. Diduga ada cairan dalam sinus maksila yang memerlukan tindakan
irigasi
d. Evaluasi terapi
e. Alasan medikolegal.6,7

Tomografi Komputer dan MRI Pemeriksaan tomografi komputer tidak


dianjurkan pada rinosinusitis akut, kecuali ada kecurigaan komplikasi orbita atau
intrakranial. Pemeriksaan MRI hanya dilakukan pada kecurigaan komplikasi
intrakranial.

Sinusitis Kronik
Ditegakkan berdasarkan kriteria di bawah ini:
Anamnesis Riwayat gejala sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria
mayor ditambah 2 kriteria minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut
International Consensus on Sinus Disease, tahun 1993 dan 2004.5
Kriteria mayor terdiri dari: sumbatan atau kongesti hidung, sekret hidung
purulen, sakit kepala, nyeri atau rasa tertekan pada wajah. Kriteria minornya
adalah demam dan halitosis.
Pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan
kelainan yang tidak dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret
purulen minimal di meatus medius atau superior, polip kecil, ostium asesorius,
edema prosesus unsinatus, konka bulosa, konka paradoksikal, spina septum dan
lain-lain.2
Pemeriksaan foto polos sinus dapat dilakukan mengingat biayanya murah,
cepat dan tidak invasif. Pemeriksaan CT Scan dianjurkan dibuat untuk pasien
sinusitis kronik yang tidak ada perbaikan dengan terapi medikamentosa. Untuk
menghemat biaya, cukup potongan koronal tanpa kontras.14
Dengan potongan ini sudah dapat diketahui dengan jelas perluasan
penyakit di dalam rongga sinus dan adanya kelainan di KOM (kompleks
ostiomeatal). Sebaiknya pemeriksaan CT scan dilakukan setelah pemberian terapi
antibiotik yang adekuat, agar proses inflamasi pada mukosa dieliminasi sehingga
kelainan anatomis dapat terlihat dengan jelas.14

Gambar 5: periapical osteoperiatitis14

Gambar 6: sinus obstruction14

I. DIAGNOSIS BANDING
Kelainan pada sinus maksilaris lainnya yang berkaitan dengan penyakit
odontogenik:12
a. Kista yang terbentuk dari mukosa sinus termasuk pseudokista, mukokel, dan
yang paling sering yaitu kista retensi.
b. Hanya pseudokista yang berhubungan dengan penyakit periapikal/periodontal
yang disebabkan pengobatan gigi yang bisa mencapai resolusi pseudokista.
c. Tumor-tumor jinak atau lesi seperti tumor dapat menyebabkan penyimpangan,
ekspansi, atau erosi dinding sinus. Ini termasuk ameloblastoma, odontoma,
cementoma, fibromas ossifying, tumor epitelial odontogenik, tumor skuamosa
odontogenik, dan tumor adenomatoid.
d. Tumor ganas termasuk keganasan gingiva, kistik adenoid dan sarkoma.1,5

J. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi sinusistis ialah
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan kronik
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan
ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.1
Penatalaksanaan yang bersamaan dari asal gigi dan sinusitis terkait akan
memastikan penyelesaian infeksi yang lengkap dan dapat mencegah kekambuhan
dan komplikasi. Kombinasi pendekatan medis dan bedah umumnya diperlukan
untuk pengobatan sinusitis odontogenik. Sumber infeksi harus dihilangkan untuk
mencegah kekambuhan sinusitis. Pencabutan akar gigi asing dari sinus, atau
perawatan gigi yang terinfeksi dengan ekstraksi atau terapi saluran akar,
diperlukan untuk menghilangkan sumber infeksi.15

Prinsip penatalaksanan sinusitis dentogen:


a. Atasi masalah gigi
b. Konservatif, diberikan obat-obatan: antibiotika, dekongestan, antihistamin,
kortikosteroid dan irigasi sinus.
c. Operatif. Beberapa macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus
inferior, Caldwell-Luc, etmoidektomi intra dan ekstra nasal, trepanasi sinus
frontal, dan bedah sinus endoskopik fungsional.7

Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik


yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau kotrimoksazol dan terapi
tambahan yakni obat dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk
memperlancar drainase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada
pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika diperkirakan
kuman telah resisiten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan
amoksisilin-klavulanat atau jenis cephalosporin generasi ke-2. Jika ada perbaikan
maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.1,3
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen foto polos atau CT Scan
dan atau nasoendoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka
dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi
diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus. Terapi
pembedahaan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada
sekret tertahan oleh sumbatan. Juga bisa diberi terapi tambahan berupa :8
a. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut
lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan,
diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan
diteruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan, evaluasi
kembali dengan pemeriksaan nasoendoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5x tidak
membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan
bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka
evaluasi diagnosis.
c. Daerah sinus yang sakit bisa dilakukan diatermi gelombang pendek.
d. Jika ada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis
ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan Radikal: - Sinus maksila dengan operasi Caldwell-luc. - Sinus
ethmoid dengan ethmoidektomi - Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi
Killian Non Radikal: Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Bedah
sinus endoskopi fungsional merupakan perkembangan pesat dalam bedah
sinus. Teknik bedah ini pertama kali diajukan oleh Messerklinger dan
dipopulerkan oleh Stamm-berger dan Kennedy.

BSEF adalah operasi pada hidung dan sinus yang menggunakan endoskopi
dengan tujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan transpor mukosilier.
Prinsip BSEF ialah membuka dan membersihkan KOM sehingga drainase dan
ventilasi sinus lancar secara alami.4,8

K. KOMPLIKASI
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan
derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan
ini harus rutin dilakukan pada sinusitis rekuren, kronis atau berkomplikasi.16

Komplikasi Orbita2,16
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi dari ethmoidalis akut, namun
sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat
menimbulkan infeksi isi orbita. Terdapat lima tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada
anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis
seringkali merekah pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi
isi orbita namun pus belum terbentuk.9
c. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang
tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga
proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena ke dalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik.

Komplikasi Intra Kranial dari sinus paranasalis 2,16


a. Komplikasi Intra Kranial dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang
saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding
posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel
udara ethmoidalis.
b. Abses dural, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intrakranial.
c. Abses subdural, adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
d. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi
komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara
bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran
infeksi.
e. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat yang mana
infeksi.

Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa: Osteomielitis dan abses
subperiosteal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan
pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapt timbul fistula oroantral atau
fistula pada pipi. Kelainan paru, seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis. Adanya
kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis.
Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya ama bronchial yang sukar dihilangkan
sebelum sinusitis ditemukan.1

L. PROGNOSIS
Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan
pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus
membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai
prognosis yang baik.7
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sinusitis dentogen adalah peradangan mukosa hidung dan satu atau lebih
mukosa sinus paranasal yang disebabkan oleh penyebaran infeksi gigi. 10% kasus
sinusitis dengan sumber odontogenik adalah disebabkan oleh rahang atas.
Meskipun sinusitis dentogen adalah kondisi yang relatif umum, patogenesisnya
masih belum jelas serta masih kurangnya konsensus mengenai gejala klinis,
pengobatan, dan pencegahan. Terjadinya sinusitis dentogen dapat terjadi melalui
dua cara, yaitu infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di
dalam mukosa sinus maksila, penyebaran secara langsung, hematogen atau
limfogen dari granuloma apikal atau kantong periodontal gigi ke sinus maksila.
Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan rinoskopi
anterior dan rinoskopi posterior, nasoendoskopi, disertai pemeriksaan penunjang
berupa transluminasi, foto rontgen, CT-Scan dan MRI. Bila sinusitis disebabkan
faktor gigi biasanya pasien mengeluhkan hidung berbau.
Penatalaksanaannya adalah mengatasi masalah gigi, konservatif, diberikan
obat-obatan; antibiotika, dekongestan, antihistamin, kortikosteroid dan irigasi
sinus serta operatif. Beberapa macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi
meatus inferior, Caldwell-Luc, etmoidektomi intra dan ekstra nasal, trepanasi
sinus frontal dan bedah sinus endoskopik fungsional.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto Damayanti, Endang Mangunkusumo. Sinus Paranasal. Buku Ajar


Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok, Kepala Leher. Edisi VI. Jakarta,
Balai Penerbit FKUI, 2008; 145-53. 21
2. Fokkens W., Lund V., Mullol J. European position paper on rhinosinusitis and
nasal polyps. Rhinology. 2005 45(20):1-139. Tersedia dari:
www.ncbi.nlm.nih.gov.
3. Rokas, dkk. 2018. Treatment options for odontogenic maxillary sinusitis: a
review. Stomatologija, Baltic Dental and Maxillofacial Journal, 20: 22-6
4. Min Kim Soung. 2019. Definition and management of odontogenic maxillary
sinusitis. Kim Maxillofacial Plastic and Reconstructive Surgery (2019) 41:13.
5. Kennnedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ. Diseases Of The Sinuses Diagnosis
And Management. Decker ; 2001.
6. Akhlaghi F, Mohammad E, Pooria . 2015. Etiologies and Treatments of
Odontogenic Maxillary Sinusitis: A Systematic Review. Iran Red Crescent
Med J. 2015 December; 17(12): e25536.
7. Little Ryan, dkk. 2018. Odontogenic Sinusitis: A Review of the Current
Literature. The Authors Laryngoscope Investigative Otolaryngology, Wiley
Periodicals, Inc. on behalf of The Triological Society.
8. Jiam NT, Goldberg AN, Murr AH, Pletcher SD. Surgical treatment of chronic
rhinosinusitis after sinus lift. Am J Rhinol Allergy 2017;31:271– 275.
9. W Ah-See K, Andrew. 2007. Sinusitis and its management. Department of
Otolaryngology, Head, and Neck Surgery, Aberdeen BMJ 2007:334:358-61
10. Netter’s Atlas of Human Anatomy.
11. DOUGLASS AB, dkk. 2003. Common Dental Emergencies. AMERICAN
FAMILY PHYSICIAN : University of Connecticut School of Dental
Medicine, Farmington VOLUME 67, NUMBER 3.
12. Augesti G, dkk. 2016. Sinusitis Maksilaris Sinistra Akut Et Causa Dentogen.
Fakultas Kedokteran: Universitas Lampung. JPM Ruwa Jurai vol 2 no 1.
13. Romadhona S, dkk. 2016. Prevalensi suspek sinusitis maksilaris odontogenik
ditinjau dari radiograf panoramik di instalasi radiologi RSGM UNPAD.
Fakultas kedokteran Gigi, Universitas Padjadjaran. 28(3);155-159.
14. AEE. 2018. Maxillary sinusitis of endodontic origin. AEE position steatment.
15. Kyung Chul Lee and Sung Jin Lee. 2010. Clinical Features and Treatments of
Odontogenic Sinusitis. Sungkyunkwan University School of Medicine Seoul
Korea. Yonsei Med J 51(6):932-937.
16. Vidal F, dkk. 2017. Odontogenic sinusitis. Estacio de Sa University, Rio de
Janeiro, Brazil. Acta Odontologica Scandinavica.

Anda mungkin juga menyukai