Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Dalam kepustakaan disebut sebagai
offensive odor ' , 'fetid odor' , 'stinkende afscheiding', 'a stench'. Ini merupakan suatu symptom,
bukan diagnosis. Sebagai symptom, sering disertai gejala hidung lainnya, misalnya hidung
tersumbat, keluar cairan dari hidung, yang kadang-kadang disertai dengan darah.(1)
Dalam kenyataan masih sering dijumpai penderita datang ke dokter dengan keluhan
hidung berbau. Yang penting ialah bagaimana menentukan diagnosis secara praktis, apalagi bagi
seorang dokter yang tidak mempunyai alat yang lengkap untuk memeriksa keadaan dalam
hidung.(1)
Meskipun hidung adalah organ pembau, apabila dalam rongga hidung terjadi bau busuk,
bau ini mungkin tidak disadari oleh penderita. Bila penderita sendiri tidak dapat membau, berarti
ia mengalami anosmia. Bila orang lain tidak membau, berarti bau tersebut subyektif. Hal tersebut
perlu sekali ditanyakan pada anamnesis atau heteroanamnesis, hanya saja pada penderita anakanak sering tidak jelas atau meragukan. Tetapi keluhan bau busuk dari hidung anak sering
dikeluhkan oleh orang tua atau pengasuhnya. Pada penderita dewasa adanya foetor ex nasi dapat
berakibat pada kehidupan sosial, dimana penderita makin tersingkir dari pergaulan dan bila
penderita tersebut seorang wanita, dapat terjadi gangguan psikis, misalnya saja rasa rendah diri,
terutama pada wanita dengan emosi yang labil. Setidak-tidaknya orang dewasa yang menderita
foetor ex nasi akan merasa tidak sehat dan ini mendorong penderita pergi ke dokter. Memang ada
penyakit dengan gejala foetor ex nasi yang lebih banyak menyerang wanita daripada pria.(1)

Gejala nasal discharge dengan foetor dapat bersifat unilalateral atau bilateral. Hal ini
perlu sekali ditanyakan dalam anamnesis oleh karena anamnesis yang teliti dan terarah akan
sangat membantu kita dalam mencari kemungkinan diagnosis.(1)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Etiologi Foetor ex Nasi


Berdasarkan adanya macam-macam kelainan/penyakit yang dapat menimbulkan gejala
foetor, dapatlah disusun diagnosis banding sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Corpus alienum
Sinusitis
Rhinitis atrofi
Neoplasma maligna
Nasal difteri
Rhinoliths
Nasofaringitis kronis
Rhinitis caseosa
Radang kronis spesifik : sifilie tertier, tuberculosis.(1)
Pada pembahasan kali ini empat penyakit/kelainan yang akan dibahas lebih lanjut adalah

corpus alienum, sinusitis, rhinitis atrofi, dan neoplasma maligna.

2.1.1. Corpus Alienum


Sering terjadi pada anak-anak 2-4 tahun atau pasien dengan mental yang
terbelakang.(1,3)

Manifestasi Klinik
Hidung tersumbat oleh sekret mukopurulen yang banyak dan berbau busuk di satu
sisi rongga hidung, kanan atau kiri, tempat adanya benda asing. Setelah sekret hidung
dihisap, benda asing akan tampak dalam kavum nasi. Kadang disertai rasa nyeri, demam,
3

epistaksis dan bersin. Pada pemeriksaan tampak edema dengan inflamasi mukosa hidung
unilateral dan dapat terjadi ulserasi.(3)
Bila benda asing tersebut adalah binatang lintah, terdapat epistaksis berulang yang
sulit berhenti meskipun sudah diberikan koagulan. Pada rinoskopi anterior tampak benda
asing berwarna coklat tua, lunak pada perabaan dan melekat erat pada mukosa hidung
atau nasofaring.(3)
Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan pemeriksaan radiologi untuk benda asing radioopak yang tidak jelas
pada rinoskopi anterior.(3)
Penatalaksanaan
Benda asing dengan permukaan kasar dapat dikeluarkan memakai forsep. Bila
benda asing bulat dan licin, misalnya manik-manik, dipergunakan pengait yang ujungnya
tumpul. Bagian pengait yang bengkok dimasukkan ke dalam hidung bagian atas
menyusuri atap kavum nasi, sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu, pengait
diturunkan sedikit, sampai ke belakang objek, kemudian ditarik ke depan. Dapat dipakai
cunam Nortman atau wire loop. Bila tidak ada alat yang sesuai sebaiknya dirujuk ke
rumah sakit atau ahli THT.(3)
Untuk lintah, diteteskan dulu air tembakau agar terlepas dari mukosa hidung atau
nasofaring, kemudian dijepit dengan pinset dan ditarik ke luar.(3)
Pemberian antibiotik sistemik selama 5-7 hari hanya bila ada infeksi hidung dan
sinus.(3)
4

Tidak dianjurkan mendorong ke arah nasofaring dengan tujuan agar masuk ke


mulut karena dapat terus masuk ke laring dan saluran napas bawah sehingga timbul sesak
napas dan kegawatan.(3)
Komplikasi
Usaha mengeluarkan dengan alat yang tidak sesuai dapat mendorong benda asing
ke belakang dan jika masuk ke saluran napas akan membahayakan.(3)

2.1.2. Sinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah
selesma ( common cold ) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti
oleh infeksi bakteri.(1,4)
Prevalensi sinusitis tertinggi pada usia dewasa 18-75 tahun dan kemudian anakanak berusia 15 tahun. Pada anak-anak berusia 5-10 tahun, infeksi saluran pernapasan
atas dihubungkan dengan sinusitis akut. Sinusitis jarang pada anak berusia kurang dari 1
tahun karena sinus belum berkembang dengan baik sebelum usia tersebut.(1)
Sinusitis jarang mengancam kehidupan, tapi kedekatan letak sinus paranasal
dengan sistem saraf pusat, ruangan bawah leher, dan hubungan dengan vena dan saluran
limfa bisa membawa komplikasi yang serius. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena
menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial, serta menyebabkan peningkatan
serangan asma yang sulit diobati.(1)

Etiologi dan Faktor Predisposisi


Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut
adalah Streptococcus pneumonia (30-50%), Hemophylus influenzae (20-40%), dan
Moraxella catarrhalis (4%). Pada sinusitis kronis, lebih condong ke arah bakteri negatif
gram dan anaerob.(1,4)
Penyebab sinusitis akut ialah:
1. Rinitis terutama rinitis alergi, rinitis akut
2. Polip hidung
3. Kelainan anatomi seperti: deviasi septum atau hipertrofi konka
4. Sumbatan kompleks osteo meatal
5. Infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3, P1, P2 (dentogen)
6. Berenang dan menyelam
7. Trauma
8. Barotrauma
Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh potensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimicrobial dan
zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernafasan.(1)
Organ organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edem,
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan
ostium tersumbat.Akibatnya terjadi tekanan negative di dalam rongga sinus yang
6

menyababkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini biasa dianggap


sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa
pengobatan.(1)
Bila kondisi menetap, sekret yang terkumpul merupakan media baik untuk
tumbuhnya dan multiplikasi bakteri.Sekret menjadi purulen.Keadaan ini disebut
rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.(1)
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin
membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya
perubahan mukosa sampai kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan
kista.Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.(1)
Gejala Klinis
Secara umum, gejala sinusitis dibagi menjadi gejala mayor dan gejala minor.
Gejala mayor :
a. Nyeri atau rasa penuh di wajah
b. Hidung tersumbat
c. Sekret purulen di rongga hidung
d. Hiposmia/anosmia
e. Demam ( hanya pada yang akut)

Gejala minor :
a. Sakit kepala
7

b. Demam (di luar yang akut)


c. Napas berbau (halitosis)
d. Lesu (fatique)
e. Nyeri gigi
f. Batuk
g. Nyeri dan rasa penuh di telinga
h. Hidung berbau
Foetor pada sinusitis dapat terjadi pada anak-anak ataupun dewasa, dapat unilateral,
atau bilateral. Pada anak-anak diragukan apakah penderita sendiri membau atau tidak,
jadi penderita sendiri (), orang lain (+). Penderita dewasa sering menyadari adanya
bau yang tidak enak dalam hidungnya, tetapi kadang-kadang hiposmia bila ada
obstruksi dan bersifat temporer. Jadi penderita sendiri (+), orang lain (+).

Klasifikasi
Konsensus Internasional tahun 2004 membagi sinusitis menjadi:
1. Sinusitis akut

: beberapa hari sampai 4 minggu, terdapat tanda-tanda radang akut.

2. Sinusitis subakut : 4 minggu sampai 3 bulan, tanda akut sudah reda dan perubahan
histologis mukosa sinus masih reversibel.
3. Sinusitis kronis

: lebih dari 3 bulan, perubahan histologis mukosa sinus sudah


irreversibel.

Penatalaksanaan

Untuk sinusitis akut biasanya diberikan antibiotik untuk mengendalikan infeksi


bakteri yang diberikan selama 10-14 hari, dekongestan lokal berupa tetes hidung untuk
memperlancar drainase sinus, dan analgetik untuk mengurangi rasa nyeri.Antibiotik yang
digunakan adalah antibiotik spektrum luas seperti amoksisilin, ampisilin, atau eritromisin
ditambah sulfonamid, dengan alternatif lain berupa amoksisilin/klavulanat, sefaklor,
sefuroksim, dan trimetoprim plus sulfonamid. Dekongestan yang digunakan seperti
pseudoefedrin. Kompres hangat pada wajah, dan analgetik seperti aspirin dan
asetaminofen berguna untuk meringankan gejala. Pasien biasanya memperlihatkan tandatanda perbaikan dalam dua hari, dan proses penyakit biasanya menyembuh dalam sepuluh
hari.(1)
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret
tertahan oleh sumbatan. Pembedahan endoskopik merupakan suatu teknik yang
memungkinkan visualisasi yang baik dikenal dengan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BSEF).(1)

Komplikasi
1. Komplikasi lokal

Kista epitelial dari sel mukosa dapat membesar dalam sinus yang secara progresif dapat
berekspansi secara konsentris sehingga dapat menyebabkan erosi tulang dan perluasan
diluar sinus.
9

Osteomielitis merupakan kompliksai lokal yang potensial, paling banyak terjadi pada
sinusitis frontral. Osteomielitis pada tulang frontal disebut Pott puffy tumor dengan
gambaran abses subperiosteal dengan edema lokal di anterior sinus frontal, yang dapat
meluas dan berlanjut menjadi fistula pada palpebra superior dengan sekuestrasi tulang
yang nekrotik.

2. Komplikasi orbita
Merupakan komplikasi yang sering pada sinusitis bakterial akut. Infeksi menyebar
secara langsung melalui tulang tipis yang memisahkan sinus frontal atau sinus etmoid dari
orbita atau melalui tromboflebitis vena ethmoid. Klasifikasi Chandler yang didasarkan pada
pemeriksaan fisik, membagi peradangan pada orbita ini menjadi lima kelompok:
I.
II.
III.

Edem (preseptal selulitis), dengan visus dan pergerakan bola mata normal.
Selulitis orbita dengan edema difus tapi tidak terbentuk abses.
Abses subperiosteal dibawah periosteum lamina papyracea yang menyebabkan
kelainan pergerakan bola mata ke lateral dan bawah.

IV.
V.

Abses orbita dengan kemosis, oftalmoplegia, dan penurunan visus.


Trombosis sinus covernosus dengan kemosis bilateral yang progresif, oftalmoplegia,
kerusakan retina dan visus nol. Mungkin juga dapat disertai tanda meningeal dan
demam yang tinggi.

3. Kompliksi intrakranial
Komplikasi intrakranial dapat terjadi akibat penyebaran infeksi secara langsung
melalui dinding posterior sinus frontal atau melaui tromboflebitis vena oftalmika.
Subdural abses merupakan komplikasi intrakranial yang tersering.
4. Komplikasi sistemik
10

Komplikasi sistemik berupa sepsis dan multiorgan failure.

2.1.3. Rinitis atrofi


Rhinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronis, yang ditandai oleh adanya atrofi
pada mukosa hidung, tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana
epitel pernapasan telah kehilangan silia atau pada pemeriksaan histopatologi tampak
perubahan epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, kemudian
dapat terbentuk krusta kecil serta secret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan
perdarahan.(1,4)
Pada rhinitis atrofi tidak hanya ditandai perubahan pada mukosa saja tetapi
melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga hidung ke
segala jurusan dengan semakin menipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan
menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan
disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang
hidung. (1,4)
Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rhinitis atrofi, antara lain: (1) Trauma
dapat karena kecelakaan ataupun iatrogenic, yaitu efek lanjut dari pembedahan. Terapi
radiasi radiasipada hidungumumnya segera merusakpembuluh darah dan kelenjar
penghasil mucus dan hampir selalu menyebabkan rhinitis atrofi. (2) Infeksi olehkuman
spesifik. Yang tersering adalah spesies Klebsiela, terutama Klebsiella ozaena. Kuman
lainnya yang juga sering ditemukan adalah Stafilokokus, Streptokokus dan Pseudomonas
aeruginosa. (3) Perubahan neurovascular seperti deteriorisasi pembuluh darah akibat
gangguan sisitem saraf otonom. (4) Defisiensi Fe. (5) Defisiensi vitamin A. (6) Sinusitis
11

kronik. (7) Kelainan hormonal. (8) Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.
Mungkinpenyakit ini terjadi karena kombinasi beberapa factor penyebab. (1,4)
Pada perubahan lanjut rhinitis atrofi, dikenal juga ozena, krusta kuning kehijauhijauan yang banyak dan kental dapat disertai bau busuk memualkan biasanya bersifat
bilateral. Sementara orang disekeliling penderita tidak tahan terhadap bau tersebut,pasien
sendiri tidak merasakannya karena anosmia. (1,4)
Pasien akan mengeluh kehilangan indera pengecap dan tidak bias tidur
nyenyakataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi semakin
lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progesif saat bernapas lewat hidung,
terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung dan
menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke system saraf pusat telah bergerak
semakin jauh dari gambaran. (1,4)
Terapi pada rhinitis atrofi hanya bersifat paliatif dikarenakan penyebab yang
multifaktorial. Diberikan antibiotic bersprektum luas atau sesuai dengan uji resisten
kuman, dengan dosis yang adekuat. Lama pengobatan bervariasi tergantung dari
hilangnya tanda klinis berupa secret purulen kehijauan. (1,4)
Obat cuci hidung juga dapat digunakan untuk membantu menghilangkan bau
busuk pada hidung(1,4)
Pengobatan operatif dapat dilakukan apabila dengan pengobatan konservatif tidak
ada perbaikan. Teknik operasi antara lain operasi penutupan lubang hidungatau
penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal.
Tindakan ini diharapkan akan mengurangi turbulensi udara dan pengeringan secret,

12

inflamasi mukosa berkuarang, sehingga mukosa kembali normal. Penutupan rongga


hidung dapat dilakukan pada nares anterior atau pada koana selam 2 tahun. (1,4)

2.1.4. Neoplasma maligna


Tumor hidung dan paranasal pada umumnya jarang ditemukan baik jinak ataupun
ganas. Tumor ganas tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul oleh
karsinoma tanpa diferensiasi dan tumor asal kelenjar.(1)
Sinus maksila adalah yang tersering terkena (65-80%), disusul sinus etmoid (1525%), hidung (24%), sedangkan sinus sphenoid dan frontal jarang terkena. (1)
Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (<5%), karena rongga sinus sangat
miskin dengan sistem limfe, kecuali bila tumor sudah menginfiltrasi jaringan lunak
hidung dan pipi yang kaya dengan sistem limfatik. Metastasis jauh juga jarang ditemukan
(<10%) dan organ yang sering terkena metastasis jauh adalah hati dan paru. (1)
Gejala dan tanda
Gejala tergantung dari asal primer tumor beserta arah dan perluasannya.
Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea.
Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat
mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor
ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
2. Gejala orbita. Perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan gejala diplopia,
proptosis, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.

13

3. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau


ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris.
4. Gejala fasial. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi,
disertai nyeri, anestesia atau parastesia muka jika mengenai n. trigeminus.
5. Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala
hebat oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea. Jika perluasan
sampai ke fossa kranii media maka saraf-saraf kranial lainnya juga terkena. Jika
tumor meluas ke belakang, terjadi trismus disertai anestesia dan parastesi daerah
yang dipersarafi n. maksilaris dan mandibularis. (1)
Stadium
Berdasarkan klasifikasi UICC dan AJCC, penenutan stadium karsinoma sinus etmoid,
maksila dan rongga hidung, tumor ganas dibagi atas:

Perluasan tumor primer dibagi dalam T1, T2, T3 dan T4, di mana yang paling
ringan adalah T1 (tumor terbatas di mukosa sinus) dan yang paling berat
adalah T4 (tumor sudah meluas ke orbita, sinus sfenoid dan frontal dan / atau
rongga intrakranial.

Metastasis ke kelenjar limfe leher regional dikategorikan dengan:


N0: tidak ditemukan metastasis ke kelenjar limfe leher regional
N1: metastasis ke kelenjar limfe leher dengan ukuran diameter terbesar
kurang atau sama dengan 3 cm
N2: diameter terbesar lebih dari 3 cm dan kurang dari 6 cm
N3: diameter terbesar lebih dari 6 cm

Metastasis jauh dikategorikan sebagai:


14

M0: tidak ada metastasis


M1: terdapat metastasis
Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadium, yaitu stadium dini (stadium 1 dan
2), stadium lanjut (stadium 3 dan 4). (1)

Penatalaksanaan
Pembedahan atau lebih sering bersama modalitas terapi lainnya seperti radiasi dan
kemoterapi sebagai adjuvan sampai saat ini masih merupakan pengobatan utama
pada keganasan di hidung dan sinus paranasal. (1)
Kemoterapi bermanfaat pada tumor ganas dengan metastasis atau residif atau
jenis yang sangat baik dengan kemoterapi, misalnya limfoma malignum. (1)
Untuk tumor ganas, tindakan operasi harus seradikal mungkin. Biasanya
dilakukan maksilektomi, dapat berupa maksilektomi medial, total atau radikal.
Maksilektomi radikal dilakukan misalnya pada tumor yang sudah mengenai seluruh
dinding sinus maksila dan sering juga masuk ke rongga orbita, sehingga
pengangkatan maksila dilakukan dengan cara en bloc disertai eksenterasi orbita. Jika
tumor sudah masuk rongga intrakranial dilakukan reseksi kraniofasial atau kalau
perlu kraniotomi. Tindakan dilakukan dalam tim bersama dokter bedah saraf. (1)

2.2. Patogenesis Foetor ex Nasi


Menurut BOIES adanya foetor dalam hidung berarti terjadinya nekrosis daripada mukosa
dan adanya organisme saprofit. Dikatakan pula bahwa pus yang kronis dan berbau dalam sinus
maxillaris mungkin berasal dari gigi. Menurut BOYD, nekrosis dapat disebabkan oleh:
15

kurangnya aliran darah (blood supply), toxin bakteri, dan iritasi secara fisik maupun kimiawi.
Dikatakan pula bahwa sel-sel yang mati akan mengalami pembusukan oleh aksi organism
saprofit.(1,4,5)
Berdasar pendapat tersebut di atas, kiranya foetor ex nasi dapat disebabkan oleh :
1. Pembusukan sel-sel mati (benda-benda organik) atau corpus alienum oleh kuman saprofit.
2. Pembusukan sel-sel jaringan yang nekrotis, sebagai akibat dari
Trauma, mengakibatkan kerusakan jaringan sampai matinya jaringan karena tidak
mendapat blood supply. Terjadilah nekrosis dan infeksi sekunder sehingga timbul
foetor.
Radang oleh irritasi fisik atau kimiawi.
Toxin bakteri
Neoplasma maligna dengan bagian-bagian yang nekrotis. (1,4,5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarjatni.Bagian T.H.T. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/R.S. dr. Kariadi


Semarang : Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977. Foetor ex Nasi. Hal 21-24.
2. Averdi Roezin, Armiyanto : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher, Edisi ke-6. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hal 178-181, 2001.
3. Kapita Selekta Kedokteran. Editor Mansjoer Arif (et al.) Ed. III, cet. 2. Jakarta : Media
Aesculapius. 1999.

16

4. Boies LR : Fundamentals of otolaryngology. A textbook of ear, nose and throat diseases,ed.


Philadelphia. WB Saunders Co:, 1964, pp 246480
5. Boyd W : Textbook of pathology, 7- ed. Philadelphia. Lea & Febiger, 1961, pp 2533.

17

Anda mungkin juga menyukai