UNIVERSITAS HASANUDDIN
MENINGOENSEFALITIS
Disusun Oleh:
Residen Pembimbing :
DEPARTEMEN NEUROLOGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
A. DEFINISI
Meningitis didefinisikan sebagai adanya inflamasi pada meninges yang
merupakan selaput pembungkus otak, didapatkan adanya sel darah putih pada
cairan cerebrospinal. Ensefalitis adalah adanya inflamasi pada parenkim otak
yang berlangsung secara progresif.
Meningoensefalitis merupakan peradangan yang terjadi pada meninges
dan parenkim otak, atau terjadinya mengitis dan ensefalitis secara bersamaan.
Inflamasi yang terjadi menyebabkan terjadinya edema pada daerah yang
terkenan yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial. Peningkatan tekanan intrackanial dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan permanen pada fungsi system saraf dan jaringan otak.
Ensefalitis dapat menyebabkan terjadinya gangguan status mental tanpa
adanya tanda rangsang meningeal, sedangkan pada meningitis terdapat
adanya rangsang meningeal tanpa ada gejala fokal. Meningitis dan ensefalitis
dapat dibagi menjadi menjadi akut yaitu perlangsungan kurang dari 4 minggu
dan kronik yang perlangsungannya lebih dari 4 minggu.1
c. Meningitis Virus
-
Human Herpes Simplex Virus, Mumps Virus
-
Ebstein Bar Virus
-
Human Immunodeficiency Virus
- Cytomegalovirus.
- West Nile Virus
- Mumps virus
d. Meningitis Jamur
Meningitis jamur lebih dominan ditemukan pada pasien dengan
immunocompromised Cryptococcus neoformans merupakan penyebab
paling sering dari meningitis. Jamur seperti Candida, Histoplasma,
Coccidiodes, Blastomyces, dan Aspergillus dapat menyebabkan
mengingoensefalitis.
e. Meningoensefalitis Aseptik
Penyebab meningoensefalitis aseptic/neoplastic dapat dibagi menjadi ,
penyebab tumor, leukemia, limfoma non hodgkin, dan tumor otak primer.
- Angka kejadian meningeal karsinoma sebanyak 8% kejadian
disebabkan adanya tumor pada penyakit sistemik. Sebanyak 90%
penyebab adalah tumor metastasis yaitu kanker payudara dan kanker
paru.
- Meningeal leukemia terjadi pada anak-anak dilaporkan sebanyak 30%
sebelum diberikan terapi prophylaksis. Pada akut myeloblastik
leukemia, sebanyak 1% pasien dengan manifestasi meningoensefalitis.
- Sebanyak 20% pasien dengan limfoma non-hodgkin bermetastase
menjadi menjadi meningitis.
C. PATOFISIOLOGI
Meningitis bakteri terjadi ketika faktor virulensi bakteri menyerang
mekanisme pertahanan host yang biasanya melindungi terhadap infeksi
sistem saraf pusat di ruang subarahnoid.
Bakteri yang paling sering menyebabkan meningitis saat ini adalah H.
Influenzae, N. Meningitidis, dan S. Pneumoniae. Awalnya menyerang
nasofaring dengan melekat pada sel-sel epitel mukosa. Untuk melekat pada
sel-sel epitel mukosa, H. Influenzae, N. Meningitidis, dan S. Pneumoniae
mengeluarkan protease IgA yang menghancurkan penghalang mukosa yang
memungkinkan terjadinya perlekatan bakteri ke epitelium. Organisme
tersebut kemudian menempel pada sel epitel nasofaring melalui interaksi
antara struktur permukaan bakteri, seperti pili dan reseptor permukaan sel
host. Setelah bakteri berhasil menempel pada sel epitel nasofaring, sel ini
dibawa melintasi sel di vakuola yang terikat dengan membran ke ruang
intravaskuler atau seperti pada kasus H. Influenzae, membuat pemisah di
apical tight juctions epitel kolumnar dan menyerang terutama oleh rute
interseluler.
Setelah bakteri mendapatkan akses ke aliran darah, mereka berhasil
menghindari fagositosis oleh neutrofil karena adanya kapul polisakarida.
Selain itu, kapsul polisakarida memungkinkan organisme untuk menghindari
jalur pertahanan utama awal melawan bakteremia. Bakteri yang mampu
bertahan hidup dalam sirkulasi kemudian memasuki cairan serebrospinal
melalui pleksus koroid dari ventrikel lateral, dan daerah lain dari
permeabilitas sawar darah otak yang berubah. Sel-sel di pleksus koroid dan
kapiler serebral memiliki reseptor untuk melekatkan patogen meningeal.
Setelah patogen meningeal mendapatkan akses ke cairan serebrospinal,
terdapat insufisiensi komponen komplemen, konsentrasi immunoglobulin dan
neutrofil di ruang subarahnoid untuk memperlambat multiplikasinya. Cairan
serebrospinal normal yang tidak terinfeksi tidak mengandung sel fagositik,
memiliki konsentrasi protein yang rendah, tidak mengandung IgM, dan
memiliki tingkat C3 dan C4 yang rendah. Opsonisasi bakteri oleh komplemen
dan immunoglobulin adalah langkah penting untuk fagositosis oleh neutrofil.
Namun, aktivitas opsonik hampir tidak terdeteksi dalam cairan serebrospinal
normal, dan tidak cukup dalam cairan serebrospinal dari pasien dengan
meningitis untuk lisis bakteri atau opsonisasi. Seperti komplemen,
konsentrasi imunoglobulim rendah pada cairan serebrospinal pada individu
yang tidak terinfeksi, dan hanya sedikit meningkat selama meningitis
bakterial. Ini biasanya terjadi terlambat dalam proses penyakit. Sebagai akibat
dari kurangnya opsonisasi bakteri oleh leukosit tidak efisien, dan akibatnya
perbanyakan bakteri di ruang subarahnoid dengan cepat mengganggu
mekanisme pembersihan cairan serebrospinal.
Mekanisme dimana peradangan meningeal berkembang sekarang sudah
dapat dipahami. Hal ini bukan hanya kehadiran bakteri di ruang subarahnoid
yang menginduksi terajdinya respon inflamasi, melainkan kehadiran
komponen dinding sel bakteri karena lisisnya bakteri yang menginduksi
respon inflamasi. Komponen lipoogliosakarida (LOS) dari dinding sel H.
Influenza tipe B (Hib), dan komponen dinding sel dari pneumokokus,
khususnya asam lipoteikoat, telah menunjukkan dalam model ekrperimental
meningitis menginduksi peradangan meningeal. Ini adalah patogen yang
dienkapsulasi, tetapi polisakarida kapsular tampaknya tidak berkontribusi
pada kemampuan organisme ini untuk menghasilkan peradangan mengingeal.
Bakteri gram negative memiliki molekul lipopolisakarida (LPS) endotoksin
yang menempel pada membrane luarnya. Endotoksin H. Influenzae memiliki
rantai sakarida yang lebih pendek.
Molekul LPS atau endotoksin juga tampaknya memainkan peran penting
dalam perubahan permeabilitas sawar darah otak.
Efek terapi antimikroba pada cairan serebrospinal tingkat endotoksik
diukur pada anak dengan meningitis H. Influenzae. Adanya peningkatan
signifikan dalam kadar endotoksin bebas dalam cairan serebrospinal setelah
terapi dengan antibiotik bakteriolitik. Peningkatan endotoksin bebas dalam
cairan serebrospinal ini diserai dengan peningkatan yang signifikan dalam
tingkat laktat dan LDH, dan penurunan kadar glukosa cairan serebrospinal
yang menunjukkan pergeseran ke glikolisis anaerob oleh otak.
Komponen dinding sel bakteri mengstimulasi produksi sitokin inflamasi
seperti, IL-1 dan TNF, yang menginduksi terjadinya inflamasi meningeal.
Adanya TNF pada cairan serebrospinal spesifik pada meningitis bakteri.
Aktivitas TNF dapat berkontribusi untuk aktivitas kejang melalui efek
metabolik dan vaskular lokal.
Interleukin-1 mungkin memiliki peran dalam tingkat kesadaran yang
berubah dan produksi demam pada meningitis bakterial. Sitokin inflamasi
lainnya memiliki peran dalam peradangan meningeal. TNF alfa dan IL-1
adalah penginduksi kuat dari sintesis dan pelepasan platelet activating factor
dari berbagai sel termasuk leukosit PMN, makrofag/monosit, sel endotel, dan
sel neural.
Peningkatan tekanan intrakranial pada meningitis bakterial disebabkan
oleh kombinasi edema serebral, peningkatan volume cairan serebrospinal, dan
peningkatan volume darah otak. Edema serebral yang berkembang dalam
perjalanan meningitis bakterial disebabkan oleh kombinasi edema vasogenik,
sitotoksik, dan interstisial. Edema vasogenik terutama merupakan
konsekuensi dari peningkatan permeabilitas sawar darah otak. Edema
interstisial terjadi karena resorpsi cairan serebrospinal yang berkurang pada
tingkat granulasi arahnoid pada sinus dural. Eksudat fibrinosa di ruang
subarachnoid mengganggu fungsi resorptif granulasi arahnoid. Ketika
resorpsi terhambat, dinamika cairan serebrospinal berubah, dan ada gerakan
trans-ependimal cairan dari sistem ventrikel ke parenkim otak.2
D. DIAGNOSIS
Meningoensefalitis merupakan terjadinya meningitis dan ensefalitis
secara bersamaan. Untuk mendiagnosis meningioencephalitis maka
diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1) Anamnesis
Gejala dimiliki oleh penderita seperti:
Muncul secara akut, gejala prodromal selama 1-4 hari seperti
demam, sakit kepala, muntah, fotopobia, pada anak biasanya iritabel.
Keterlibatan parenkim otak dapat menimbulkan tanda berupa
penurunan kesadaran (delirium, apatis, somnolen atau koma) atau
pada anak justru agresif.
Gejala neurologis yang ditemukan dapat berupa ataksia, kejang,
defisit neurologis fokal seperti kelemahan ekstremitas, kejang fokal,
paresis saraf kranial atau afasia, serta tanda peningkatan tekanan
intrakranial.
Dapat pula ditemukan kelainan kulit berupa muncul ruam sebelum
atau bersamaan dengan gejala neurologis apabila penyebabnya
disebabkan oleh virus.3,4
2) Pemeriksaan Fisik
Pada penyakit ini dapat ditemukan meningismus yang ditandai dengan
pemeriksaan kaku kuduk positif, kernig sign positif dan brudzinski
positif. Adapun cara pemeriksaannya adalah sebagai berikut :
a. Kaku kuduk
1. Pemeriksa berada di sebelah kanan pasien. Mintalah pasien
berbaring telentang tanpa bantal
2. Tempatkan tangan kiri di bawah kepala pasien yang sedang
berbaring, tangan kanan di atas dada pasien
3. Rotasikan kepala pasien ke kiri dan ke kanan untuk memastikan
pasien dalam keadaan rileks
4. Tekukkan (fleksikan) kepala pasien secara pasif dan usahakan
agar dagu mencapai dada
5. Interpretasi
Kaku kuduk negatif (normal)
Kaku kuduk positif (abnormal) bila terdapat tahanan atau dagu
tidak mencapai dada.
Meningismus apabila pada saat kepala dirotasikan ke kiri, ke
kanan, dan di-fleksi-kan, terdapat tahanan
Gambar 2. Pemeriksaan Kaku Kuduk
b. Kernig sign
1. Pasien berbaring telentang. Pemeriksa berada di sebelah kanan pasien
2. Fleksikan salah satu paha pasien pada persendian panggul sampai
membuat sudut 90 derajat
3. Ekstensikan tungkai bawah sisi yang sama pada persendian lutut
sampai membuat sudut 135 derajat atau lebih
4. Lakukan Interpretasi:
Kernig’s sign: negatif (= Normal, apabila ektensi lutut mencapai
minimal 135 derajat)
Kernig’s sign positif (= Abnormal, yaitu apabila tidak dapat
mencapai 135 derajat atau terdapat rasa nyeri)
5. Lakukan hal yang sama untuk tungkai sebelahnya dan interpretasikan
hasilnya
Gambar 3. Pemeriksaan Kernig Sign
c. Brudzinski
1. Brudzinski 1
Pasien berbaring telentang tanpa bantal kepala. Pemeriksa berada
di sebelah kanan pasien
Letakkan tangan kiri di bawah kepala, tangan kanan di atas dada
kemudian lakukan fleksi kepala dengan cepat kearah dada pasien
sejauh mungkin
Lakukan Interpretasi :
Brudzinski I negatif (Normal) bila pada saat fleksi kepala, tidak
terjadi fleksi involunter kedua tungkai pada sendi lutut
Brudzinski I positif (abnormal) bila terjadi fleksi involunter kedua
tungkai pada sendi lutut
3. Brudzinski 3
4. Brudzinski 4
6. Perhatikan apakah mata klien dapat mengikuti gerakan itu dan tanyakan
apakah klien melihat ganda (diplopia).4,6
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Darah rutin dan kimia darah
Cairan serebrospinal
b. Radiologi
1. Foto Skull X-Ray
Pada pemeriksaan Skull X-Ray dapat ditemukan adanya
tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial berupa :
Diastasis sella
Erosi sella
Pendorongan pineal
Copper beaten skull
2. Pemeriksaan CT-Scan
Pada fase awal meningitis, pemeriksaan CT-Scan sebagian
besar normal. Pemeriksaan CT-Scan tidak sebaik MRI untuk
menilai parenkim otak.
3. Pemeriksaan MRI
(A) Contrast-enhanced axial CT image of the brain in a patient
with herpes encephalitis demonstrate low attenuation in the
left temporal lobe (arrow).
(B) A corresponding T2-weighted axial MR image from the
samepatient demonstrates high signal intensity in both medial
temporal lobes (arrows) consistent with the diagnosis.4,5
Gambar 6. Pemeriksaan MRI Kepala
E. DIAGNOSIS BANDING
b. Khusus :
1. Meningioensefalitis TB
Pengobatan meningioensefalitis TB mengikuti model pengobatan
TB paru namun dengan durasi yang lebih lama. Isonazid dan
Rifampisin merupakan komponen utama dalam pengobatan.
Isonazid sangat baik dalam menembus sawar darah otak. Regimen
pengobatannya yaitu isoniazd padaa anak 10-20 mg/kg (max 500
mg) / dewasa 300 mg per oral selama 12 bulan, rifampisin pada
anak 10-20 mg/kg (max 600 mg) /dewasa 450 mg (<50 kg) / 600
mg (>50 kg) per oral selama 12 bulan, pyrazinamide pada anak
30-35 mg/kg (max 2 g) / dewasa 1.5 g (<50 kg) / 2 g (>50kg) per
oral selama 2 bulan, ethambutol pada anak 15-20 mg/kg (max 1 g)
/ dewasa 15 mg/kg per oral selama 2 bulan (8)
2. Meningioensefalitis Bakterial
Neonatus, bakteri penyebab streptokokkus group B, listeria
monocytogenes, E Coli; antibiotika: Ampicillin + cefotaxime
2 bulan - 18 tahun, bakteri penyebab N. meningitides, S.
pneumonia, H. Influenza; antibiotika Ceftriaxon atau
cefotaxime, dapat ditambahkan vankomisin
18-50 tahun, bakteri penyebab S, Pneumonia, N. Meningitidis;
antibiotika Ceftriaxone dapat ditambahkan Vancomicyn
50 tahun, bakteri penyebab S. Pneumonia, L. Monocytogenes,
bakteri gram negative; Antibiotika Vancomicyn + ampicillin, +
Ceftriaxone (9)
Dosis yang biasa dipakai
Ampicillin – 100 mg/kg/8 jam
Cefotaxime – 2 gram IV/6 jam., atau 50 mg/kg IV/6 jam untuk
usia < 18 tahun
Ceftriaxone – 2 gram IV/12 jam. Atau 50 - 100 mg/kg IV/12
jam
Ceftazidime – 2 gram IV/8 jam
Vancomycin – 500 mg/ 6 jam
Penicillin G – 20 – 24 juta U/hari IV dibagi dalam 6 dosis
3. Meningioensefalitis Virus
Acyclovir intravena (10mg/kgBB/8 jam) harus diberikan jika hasil
cairan serebrospinal menunjukkan meningioensefalitis virus
bahkan ketika 6 jam tidak ada hasil maka langsung diberikan atau
keadaan pasien tidak baik atau memburuk selama 14-21 hari. (11)
4. Meningioensefalitis Jamur
Pengobatan pada meningioensefalitis jamur menggunakan obat
antijamur yang sesuai terhadap spesies jamurnya.
Aspergillus : Voriconazole 6mg/kgBB/12jam/IV lalu diturunkan
4mg/kgBB/12 jam
Blastomyces : Amfoterisin B 5mg/kgBB/24 jam selama 4 minggu
lalu diikuti fluconazole 800mg/24jam per oral / IV
Candida : Amfoterisin B 3-5mg/kgBB/24jam selama 3 minggu
lalu diikuti fluconazole 400-800mg/24jam per oral / IV
Coccidioides : fluconazole 400mg/kgBB/24jam per oral / IV
maksimal 1000mg/24jam
Cryptococcus : Amfoterisin B 0,7-1,0 mg/kgBB/24 jam/IV +
flucytosine 25mg/kgBB/oral selama 2 minggu diikuti fluconazole
400mg/24jam per oral/IV
Exserobilum : Voriconazole 6mg/kgBB/12jam/IV selama 3-6
bulan
Histoplasma : Amfoterisin B 5mg/kg/24jam/IV selama 4-6
minggu diikuti oleh itraconazole 200mg selama 1 tahun (12)
2) Non Farmakologi
Dilatasi progresif dari ventrikel dapat mengganggu kesadaran maka
dibutuhkan drainage cairan serebrospinal dengan menggunakan
ventricular kateter. Kemudian pada bedah dapat dipertimbangkan jika
terdapat absen tuberkulous jika dalam pengobatan tidak membaik.
Sebagai pencegahan sebelum terjadinya penyakit dapat dilakukan
vaksinasi untuk Neisseria meningitidis , Streptococcus pneumonia, Hib,
Mycobacterium tuberculosis (12)
G. KOMPLIKASI
Berikut adalah beberapa penyakit yang menjadi komplikasi dari
Meningoencephalitis :
1. Kejang
Kejang pada meningoencephalitis merupakan hasil dari eksudat,
toksin bakteri, dan perubahan dalam korteks. Dan terjadi pada 15-30%
pasien dewasa dengan meningitis bakteri.
2. Hidrocephalus
Hidrocephalus terjadi pada 3-21% pasien terutama meningitis bakteri
akibat infeksi yang memengaruhi menings dan menyebabkan blockade
penyerapan CSF oleh peradangan leptomeningeal.
3. Altered Mental Status (AMS) dan Peningkatan Tekanan Intrakranial
AMS dan peningkatan TIK terjadi pada 80% kasus
meningoencephalitis. akibat peningkatan volume cairan hingga
menyebabkan edema cerebral. Beberapa faktor penyebabnya termasuk
faktor sitotoksik yang dihasilkan oleh bakteri dan neutrophil, edema
vasogenik karena peningkatan permeabilitas blood-brain barrier, dan
reabsorbsi CSF yang kurang baik akibat arachnoiditis.
4. Komplikasi Cerebrovaskular
Komplikasi cerebrovascular yang dapat terjadi yaitu infark arteri,
infark vena, dan stroke hemoragik. Infark arteri terjadi pada 8-25% kasus
meningitis bakteri. Infark vena umumnya pada pneumokokkus meningitis.
Stroke hemoragik lebih jarang terjadi dibanding stroke iskemik dan terjadi
pada 2-9% dari pasien meningitis bakteri.
5. Neuropathy vestibulocochlear
Nervus vestibulocochlear sering dipengaruhi oleh meningitis bakteri.
Komplikasi hearing loss terjadi pada 22-54% pasien dewasa dengan
meningitis pneumokokkus. 23-47% diantaranya menderita gangguan
pendengaran sedang sampai berat.13
H. PROGNOSIS
Prognosis dari meningoencephalitis bervariasi tergantung umur dan
etiologi dari meningitis.
1. Scheld M, Whitley RJ, Marra CM. Infections of The Central Nervous System
Fourth Edition. 2009.Wolters Kluwer
2. Dhamija RM, Bansal Jaideep. Bacterial Meningitis (Meningioencephalitis).
2006
3. Venkatesan,A. Romergryko. Diagnosis and Management Of Acute
Encephalitis. 2014
4. Lilihata G, Handryastusi S. Ensefalitis Virus dan Meningitis Aseptik.
2014.p95-98
5. Cunha, Burke. Infectius Disease In Critical Care Medicine Third Edition.
USA. 2010
6. Modul Clinical Skill Lab Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
7. Siddiq E, Qazi G.(2012). Role of Dexamethasone in Meningitis.Aga Khan
University Hospital Pakistan
8. Journal of Infection.(2009).British Infectio Society Guidelines for the
Diagnosis and Treatment of Tuberculosis of The Cental Nervous System in
Adults and Children
9. Perdossi.(2016).Panduan Praktis Klinis Neurologi.Perdossi
10. Journal Indian Academy of Clinical Medicine _ Vol. 7, No. 3 _2006
11. The Encephalitis Society.(2012).Management of Suspected Viral Encephalitis
in Adults.Association of British Neurologist and British Infection Association
National Guidelines
12. W. Michael S,Richard J,Christina M.(2014).Infections of the central nervous
system.Wolters Kluwer Health
13. Julayanont P, Ruthirago D, dan De Toledo JC. Bacterial Meningitis dan
Neurological Complications in Adults. The Southwest Respiratory and
Critical Care Chronicles. Vol. 4(4). 2016
14. Mount H, dan Boyle SD. Aseptic and Bacterial Meningitis: Evaluation,
Treatment, Prevention. American Family Physician. Vol. 96(5), 1 September
2017