Abstrak: Insidensi infeksi jamur pada pasien yang dalam keadaan sakit kritis atau
dalam keadaan imunosupresi semakin meningkat pada populasi manusia selama
1-2 dekade terakhir. Terdapat beberapa kemajuan dalam terapi antifungal dan,
hingga saat ini, terdapat beberapa pilihan yang dapat dipilih sebagai
penatalaksanaan untuk mikosis sistemik. Namun, dalam dekade terakhir, telah
terdapat beberapa perkembangan dalam area ini. Agen antifungal cukup beragam
dalam hal aktivitas, toksisitas, dan potensi interaksi obatnya. Azole merupakan
senyawa sintetis dan semi-sintetis. Obat ini memiliki spektrum kerja yang luas.
Antifungal triazole bersifat aktif untuk mengobati berbagai jamur patogen,
sedangkan imidazole digunakan hampir secara eksklusif dalam penatalaksanaan
mikosis superfisialis dan kandidiasis vaginalis. Meskipun telah terdapat kemajuan,
infeksi jamur yang serius masih sulit untuk diobati, dan resistensi terhadap obat-
obatan yang tersedia mulai muncul. Penggunaan azole yang tersedia saat ini
dalam kombinasi dengan agen antifungal lainnya dengan mekanisme kerja yang
berbeda kemungkinan dapat meningkatkan efektivitasnya. Tinjauan ini bertujuan
untuk menggali farmakologi, farmakokinetik, spektrum kerja, keamanan,
toksisitas dan potensi interaksi obat-obat agen antifungal golongan azole.
1
obat yang ditujukan untuk mengganggu pembelahan sel dan memiliki kegunaan
yang terbatas.
Namun, dalam dekade terakhir, telah terdapat beberapa perkembangan dalam
kemajuan terapi antifungal yang dapat dipilih untuk penatalaksanaan terhadap
mikosis sistemik. Suatu kelas agen antifungal yang baru (echinocandins) telah
dikembangkan, sediaan itrakonazol dan amfoterisin B yang lebih aman dan/atau
lebih tinggi bioavailabilitasnya telah dipasarkan, dan senyawa vorikonazole
lainnya telah ditambahkan pada kelas agen triazole. Agen antifungal cukup
beragam dalam hal aktivitas kerjanya, toksisitas, dan potensi interaksi obatnya
yang memungkinkan para dokter untuk membedakan masing-masing agen
berdasarkan karakteristik ini ketika menyesuaikan terapi untuk memenuhi
kebutuhan pasien tertentu.
Tinjauan ini berfokus pada farmakologi, farmakokinetik, keamanan dan
potensi interaksi obat-obat agen antifungal.1-4 Azole merupakan senyawa sintetis
dan semisintetis sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 1. Golongan obat ini
memiliki spektrum kerja yang luas.
Farmakologi Azole:
Mekanisme kerja: Azol yang bekerja secara sistemik terdiri atas flukonazole,
itrakonazole, ketokonazole, posakonazole, dan vorikonazole. Azole
memperlihatkan efek fungistatik dengan aktivitas yang bergantung pada dosis
untuk penghambatan CYP-dependen 14α-demethylase yang dibutuhkan untuk
konversi lanosterol menjadi ergosterol. Ergosterol penting untuk stabilitas
membran sel, dan penghambatan sintesisnya melemahkan integritas membran sel.2
Triazol juga secara sekunder menjadikan tahap-tahap lainnya dalam jalur
biosintesis ergosterol sebagai sasaran.
2
Sebagai contohnya, pada C. albicans yang sensitif terhadap flukonazol,
flukonazole hanya menghambat ergosterol secara sebagian dan sepenuhnya
menghambat sintesis obtusifoliol, sementara vorikonazole sepenuhnya
menghambat baik sintesis ergosterol maupun obtusifoliol.5 Itrakonazole dan
flukonazole juga dapat menghambat 3-ketoreduktase, yang mengkatalisis reduksi
3-ketosteroid obtusifolione menjadi obtusifoliol pada C.neoformans6.
Semua golongan azole bekerja jauh lebih lambat dibandingkan polien. Oleh
karena itu golongan ini lebih jarang digunakan dibandingkan poliens dalam
menatalaksana infeksi jamur yang fulminan. Beberapa azol yang penting bersama
dengan indikasinya, nama dagang dan sediaannya yang tersedia disajikan dalam
Tabel 2.
Tabel 2.Azole Sebagai Agen Antifungal
Sediaan
Nama
Agen Indikasi yang
Dagang
tersedia
Kandidiasis Vaginalis, kandidiasis orofaring, and
IV,
kandidiasis esofagus; meningitis kriptokokus;
Diflucan suspensi
Fluconazole profilaksis untuk mengurangi insidensi kandidiasis
(Pfizer) oral,
pada pasien yang menjalani BMT yang mendapatkan
tablet oral
kemoterapi dan/atau radiasi sitotoksik.
I.V., kapsul oral: Blastomikosis paru dan
blastomikosis ekstraparu; histoplasmosis, mencakup
penyakit paru dengan pembentukan kavitas kronis dan
histoplasmosis diseminata nonmeningeal; aspergillosis
pada patien yang bersifat refrakter atau intoleransi
terhadap penatalaksanaan dengan amfoterisin B
Sporanox, IV, kapsul
Hanya kapsul oral: Pasien yang tidak dalam keadaan
(Janssen/ oral,
Itraconazole imunokompromais: penatalaksanaan onikomikosis
Ortho- larutan
pada kuku jari kaki dengan atau tanpa keterlibatan
McNeil) oral
kuku jari tangan, atau kuku jari tangan saja,
diakibatkan dermatofita (tinea unguium).
I.V., hanya solusio oral: Terapi empiris terhadap
pasien dengan demam neutropenia dengan kecurigaan
infeksi jamur.
Solusio oral saja: Kandidiasis orofaring dan esofagus.
Kandidiasis, kandidiasis mucocutaneous kronis, oral
thrush, kandiduria, blastomikosis, coccidioidomikosis,
Nizoral
histoplasmosis, kromoblastomikosis, dan
(Janssen/
paracoccidioidomikosis; infeksi dermtofita kutaneus Tablet
Ketokonazole Ortho-
rekalsitran berat yang belum memberikan respon oral
McNeil;
terhadap terapi topikal atau griseovulvin oral, atau
various)
pada pasien yang tidak mampu untuk mengonsumsi
griseovulvin.
Voriconazole Aspergilosis invasif; Kandidemia pada pasien non- Vfend, IV, tablet
3
neutropenia dan infeksi Kandida yang mengikutinya,
infeksi yang menyebar di kulit dan infeksi di
abdomen, ginjal, dinding kandung kemih, dan luka;
kandidiasis esofagus; infeksi jamur serius yang
(Pfizer) oral
disebabkan oleh Scedosporium apiospermum (bentuk
aseksual dari Pseudallescheria boydii) dan Fusarium
spp, termasuk F.solani, pada pasien yang intoleran
atau refrakter terhadap terapi lainnya
Spektrum kerja: Azole memiliki spektrum kerja yang luas terhadap ragi dan
jamur. Namun, sejalan dengan perkembangan kelas terapeutik ini, telah muncul
perbedaan spektrum kerja masing-masing agen. Perbedaan spektrum kerja yang
diperlihatkan diantara azole yang berbeda dapat dikaitkan dengan variasi dalam
penghambatan 14α-demetilase dan target sekunder pada spesies yang dituju. Tabel
3 menyajikan spektrum kerja berbagai azole.
4
Voriconazole 6-9, 11 Bekerja sebagai fungisida terhadap sebagian besar ragi dan jamur
opoturnistik tertentu, dan bekerja sebagai fungisida terhadap beberapa
Candida non-albicans dan C.neoformans.
Spektrum kerja yang sangat luas terhadap dermatofita, ragi dan jamur
Aktif terhadap semua Candida spp, termasuk C.albicans, C.glabrata,
dan C.krusei yang resisten terhadap flukonazole,
Lebih aktif daripada flukonazol terhadap candida spp yang penting
secara medis (kecuali C.tropicalis)
Sangat aktif terhadap ragi lainnya, termasuk C.neoformans dan
sebagian besar Tricosporon spp, mencakup T.Asahii, namun tidak
begitu aktif terhadap T.Beigelii/T.Cutaneum
Kerja secara in vitro yang sangat baik terhadap Aspergillus spp dan
sangat aktif terhadap A.Fumigatus, A.flavus dan A.terreus
Aktif terhadap banyak jamur yang resisten terhadap amfoterisin,
termasuk strain Scedosporium apiospermum tertentu
Sama dengan flukonazole, vorikonazole memiliki aktivitas yang buruk
atau tidak ada afinitas sama sekali terhadap agen penyebab zigomikosis.
Posaconazole 13-16 Bekerja sebagai fungisida terhadap spesies Candida non-albicans
termasuk C.krusei, C.Incopspicua, dan C.lusitaniae, namun bersifat
fungistatik terhadap C.albicans, C.glabrata, C.tropicalis,
C.Guilliermondii dan C.parapsilosis.
Seperti vorikonazole, posakonazole memperlihatkan kerja sebagai
fungisida secara in vitro terhadap Aspergillus spp dan C.neoformans
Lebih aktif daripada itrakonazole dan flukonazole terhadap semua
Candida spp dan C.neoformans.
Pada penelitian in vitro, posakonazole merupakan azole yang paling
aktif terhadap Aspergillus spp, dan sangat aktif terhadap A.fumigatus,
A.flavus, dan A.terreus.
Aktivitas yang sangat kuat terhadap jamur dimorfik termasuk
C.Immitis, H.capsulatum, B.Dermatitidis, dan S.schenckii.
Aktivitas yang berbeda-beda terhadap banyak jamur yang resisten
terhadap amfoterisin, termasuk strain Scedosporiumapiospermum dan
P.Boydi tertentu, namun tidak aktif terhadap Fusarium spp.
Aktivita yang berbeda-beda terhadap agen penyebab zigomikosis.
Farmakokinetik Azole: Secara kimia, azol merupakan basa lemah yang bersifat
lipofilik. Semua azole memiliki bioavailabilitas relatif atau absolut yang baik
setelah pemberian oral (kecuali bentuk kapsul itrakonazole). Peleburan
ketokonazole dan itrakonazole di lambung, yang diberikan sebagai bentuk sediaan
oral padat secara signifikan dipengaruhi oleh peningkatan pH lambung. 17, 18 Azole
(kecuali posakonazole) membutuhkan metabolisme oksidatif yang besar (CYP)
untuk dapat dieliminasi dari tubuh.19,20 Tidak seperti triazole lainnya,
posakonazole mengalami metabolisme CYP yang minimal (2%); sebagian besar
5
metabolitnya merupakan konjugat glukoronida yang dibentuk melalui jalur uridin
difosfat glukoronosiltransferase (UGT), terutama UGR1A4.21,22
Flukonazole bersifat kurang lipofilik, dan oleh karena itu membutuhkan
metabolisme oksidatif (CYP) yang lebih sedikit pula. Azole merupakan
penghambat CYP3A4, enzim yang memetabolisme oksidatif oba yang utama pada
manusia.23,24 Namun, semua azole berbeda dalam hal afinitasnya terhadap enzim
ini. Flukonazole dan vorikonazole juga menghambat CYP2C9/19, dan
flukonazole menghambat jalur UGT (UGT2B7)23, 25 Signifikansi dari interaksi ini
belum diketahui.
Disposisi obat dipermudah oleh berbagai protein pengangkut yang
diekspresikan dalam jaringan di seluruh tubuh manusia. Azole dan echinocandin
berbeda-beda dalam hal interaksinya dengan protein pengangkut.26-28
Itrakonazole, ketokonazole, dan posakonazole berinteraksi dengan
glikoprotein-P, protein pengangkut untuk proses efluks yang paling dikenal
dengan baik.28 Ketokonazole dan itrakonazole berinteraksi dengan protein
pengangkut lainnya, yang dikenal sebagai protein resistensi kanker payudara
(BRCP)28 Signifikansi interaksi dengan BCRP ini belum sepenuhnya dijelaskan,
namun interaksi ini dapat secara sebagian menjelaskan interaksi tertentu yang
sebelumnya tidak dapat dijelaskan secara adekuat melalui interaksi dengan CYP.
6
dipertimbangkan dengan serius.
Ketoconazole Menyebabkan kelainan endokrin yang menyebabkan ginekomastia dan
insufisiensi korteks adrenal (karena kekurangan selektivitas untuk CYP
jamur)
Mekanisme yang mendasari efek samping diatas belum diuraikan dengan lengkap,
namun keadaan tersebut diyakini merupakan efek samping yang terkait
konsentrasi atau dosis obat.
7
CNS: Pusing (jarang), halusinasi (jarang) nyeri kepala, kejang (jarang)
Dermatologi/hipersensitifitas: Anafilaksis, eosinofilia, pruritus, ruam
Gangguan elektrolit: Hipokalemia (jarang)
Endokrin: Insufisiensi korteks adrenal (jarang), perubahan kadar hormon
(tidak diketahui), ginekomastia (tidak diketahui), penghambatan sintesis
kortisol (tidak diketahui)
Gastrointestinal: nyeri abdomen/dispepsia, diare, disgeusia (tidak diketahui),
kentut (jarang), mual/muntah
Hematologi: Anemia (jarang), mielosupresi (jarang), trombositopenia (tidak
diketahui)
Hepatik: LFT; nekrosis hepar/hepatitis/kolestasis
Lain-lain: Alopesia (tidak diketahui), demam (jarang), nyeri otot/sendi
(jarang)
8
Resistensi terhadap Azole: Semenjak telah terjadi kemajuan dalam
perkembangan kelompok senyawa antifungal azole untuk penatalaksanaan infeksi
jamur, obat ini telah digunakan secara luas. Sebagai akibatnya, dengan
penggunaan yang semakin luas telah dilaporkan adanya resistensi terhadap agen
ini, terutama terhadap flukonazole.38-41 Resistensi azole pada Candida yang paling
banyak teramati dan telah dipelajari adalah resistensi terhadap flukonazole.
Resistensi terhadap azole dikaitkan dengan modifikasi kuantitatif atau kualitatif
dari enzim target, dengan penurunan akses obat terhadap enzim target atau dengan
kombinasi dari kedua mekanisme ini.
Modifikasi kualitatif dalam enzim target diakibatkan oleh mutasi titik pada
ERG11, gen yang bertanggung jawab untuk menghasilkan 14α-demetilase, yang
merupakan target utama azole.
Selain mekanisme yang disebutkan di atas, struktur kimia azole yang
berbeda juga dapat berkontribusi terhadap aktivitas yang berbeda ini. Modifikasi
kuantitatif dalam enzim target juga terjadi akibat mutasi pada ERG11. Ekspresi
gen ini yang berlebihan menyebabkan produksi enzim target yang berlebihan pula,
yang kemudian membutuhkan konsentrasi azole intraseluler yang lebih tinggi
untuk menghambat semua enzim target.43-43