Disusun Oleh :
DWI HASANAH BIMASTARI AVIYANTI
09310046
Pembimbing :
Dr.Poppy Sartika, Sp.THT-KL
Dr.Azwan Mandai, Sp.THT-KL
Dr.Deddy Eko Susilo, Sp.THT-KL
Dr.Sri Utami Wulandari, Sp.THT-KL
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG..
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
anugrah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan refarat yang berjudul Angiofibroma yang
diberikan guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan Rumah Sakit Dr.RM. Djoelham Binjai.
Dalam kesempatan ini penyusun juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Dr.Poppy Sartika,Sp. THT-KL, Dr.Azwan Mandai,Sp.THT-KL, Dr.Deddy Eko Susilo, Sp.THTKL dan Dr. Sri Utami Wulandari,Sp.THT-KL yang telah memberikan bimbingan selama saya
melaksanakan KKS di bagian THT Rumah Sakit RM. Djoelham Binjai.
Penyusun menyadari bahwa makalah yang berisi Angiofibroma ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar
refarat ini dapat lebih bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologi jinak
namun secara klinis bersifat ganas karena mendestuksi tulang dan meluas kejaringan sekitarnya
seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak serta sangat mudah berdarah yang sulit
dihentikan. Sebutan lain untuk angiofibroma antara lain : juvenile angiofibroma, juvenile
nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal cavity tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose
tumor), nasopharyngeal tumor,angiofibroma nasofaring belia. Jinak tetapi merupakan tumor
pembuluh darah lokal yang agresif dari anak atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada
perempuan tapi sangat jarang.1
Umumnya terdapat pada rentang usia 7-21 tahun dengan insiden terbanyak antara usia
14-18 tahun dan jarang pada usia 25 tahun. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga agiofibroma
nasofaring belia (juvenile nasopharyngeal angiofibroma).
nasofaring terbanyak dan 0.05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Dilaporkan insidennya
antara 1:5000- 1:60.000 pada pasien THT.2
Insiden angiofibroma tinggi di berbagai belahan dunia, seperti pada timur tengah dan
amerika. Martiin, Elich dan Abdels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari 1 atau 2
pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada head and neck service of the memoriam hospital,
New York. Di London, mencatat status dari satu per 15.000 pasien pada royal national throat,
nose, and ear hospitak dimana satu kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London di
banding di New York. Dilaporkan insiden terjadinya angiofibroma banyak terjadi di Mesir dan
India.3
Etiologi angiofibroma nasofaring belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan.
Diantaranya jaringan asal dan faktor ketidakseimbangan hormonal. Secara histopatologi tumor
ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif.dan mempunyai
kemampuan mendestrksi tulang. Tumor yang kaya akan pembuluh darah ini memperoleh aliran
darah dari a.Faringealis ascendence atau a.maxilaris interna.4
BAB II
PEMBAHASAN
Hipofaring terbuka ke arah depan masuk introitus laring. Epiglottis dilekatkan pada dasar
lidah oleh dua frenulum lateral dan satu frenulum di garis tengah. Hal ini menyebabkan
terbentuknya dua valekula di setiap sisi. Di bawah valekula adalah permukaan laryngeal dari
epiglottis. Di bawah muara glottis bagian medial dan lateral terdapat ruangan yang disebut sinus
piriformis yaitu di antara lipatan ariepiglotika dan katilago tiroid. Lebih ke bawah lagi terdapat
otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara esophagus.5
Faring mempunyai beberapa fungsi yaitu , fungsi menelan, fungsi dalam prosen bicara,
dan fungsi respirasi. Faring merupakan daerah dimana udara melaluinya dari hidung ke laring
juga dilalui oleh makanan dari rongga mulut ke esophagus. Oleh karena itu, kegagalan dari otototot faringeal, terutama yang menyusun ketiga otot konstriktor faringis, akan menyebabkan
kesulitan dalam menelan dan biasanya juga terjadi aspirasi air liur dan makanan ke dalam cabang
trakeobronkial.5
2.3. ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak diajukan. Salah satu
diantaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik
angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor ketidakseimbangan
hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab adanya kekurangan androgen atau
kelebihan estrogen. Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan
jenis kelamin dan umur. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia.6
Beberapa pendapat dari para ahli telah dikemukakan pada dasarnya dapat dibagi menjadi
dua kelompok yaitu berdasarkan jaringan tempat asal tumbuh tumor dan adanya gangguan
hormonal. Pada teori jaringan asal tumbuh, diduga tumor terjadi karena pertumbuhan abnormal
jaringan fibrokartilago embrional di daerah oksipital os spenoidalis.
Sedangkan teori hormonal menerangkan bahwa tumbuhnya angiofibroma diduga karena
tidak keseimbangan hormonal, terutama androgen. Banyak bukti memperlihatkan secara
langsung adanya reseptor sex hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik
sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan reseptor
tersebut. Angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi
imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada reseptor androgen (RA), reseptor
progesterone (RP), dan reseptor estrogen (RE). stromal positif dan nucleus endotelial
immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus 8,3% positif antibodi RP
dan negatif antibodi RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama adanya antibodi dari
reseptor androgen pada angiofibroma. Anggapan ini didasarkan juga atas adanya hubungan erat
antara tumor dengan jenis kelamin dan umur. Banyak ditemukan pada anak atau remaja lakilaki.
2.4. PATOFISIOLOGI
Menurut Mansfield (2006), asal mula JNA trletak di sepanjang dinding posterior lateral
atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina dan aspek posterior
dari middle turbinate. Histologi janin mengkonfirmasikannya luas area jaringan endotel di
daerah ini. Bukannya menyerbu jaringan sekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah
menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak dan menekan
melalui perbatasan yang banyak tulangnya. Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intracranial.8
Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh di dekat foramen sfenopalatina. Tumortumoe yang besar sering kalimemeiliki dua lobus (bilobed) atau dumbbell-shaped, dengan satu
bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina.
Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya ke anterior
dan inferior menuju ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada satu sisinya, dan
septumnya berdeviasi (bengkok) ke sisi lainnya.8
Tumor pertama kali tumbuh dibawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana
di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah mukosa, sepanjang atap
nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan
massa di atap rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior mengisi rongga hidung,
mendorong septum ke sisi kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan ke arah lateral,
tumor melebar kea rah foramen sfenopalatina, masuk kefissura pterigomaksila dan akan
mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal
yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan rasa penuh di wajah. Apabila tumor telah
mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak gejala yang khas pada wajah, yang
disebut muka kodok.6
bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.4
2.6. STADIUM
Untuk menentukan stadium atau derajat tumor umumnya saat ini menggunakan
klasifikasi Session dan Fisch.6
sedikit ke intrakranial.
6) Stadium IIIB
: Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa
meluas ke sinus kavernosus.
2) Stadium II
2. Penyakit-penyakit lain dari epistaksis, baik oleh karena sebab sitemik maupun lokal.
3. Penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan proptosis atau oedem orbital.5
2.9. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan angiofibroma adalah pembedahan yang dilakukan melalui paparan yang
baik. Tindakan operasi ini merupakan pilihan utama selain terapi hormonal, radioterapi.5,6,9
Berbagai pendekatan operasi sebelum operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor
dan perluasannya, seperti melalui transpalatal,rinotomi lateral, rinotomi sublabial, atau
kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke intrakranial. Selain itu
operasi melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat dilakukan dengan dipandu CT scan 3
dimensi dan pengangkatan tumor dapat dibantu dengan laser.6
Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor selain embolisasi untuk mengurangi
pendarahan yang banyak dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna dan anastesi dengan teknik
hipotensi.6
Pengobatan hormonal diberikan kepada pasien dengan stadium I dan II dengan preparat
testosterone reseptor bloker (flutamid).6
Pengobatan radioterapi dapat dilakukan dengan stereotaktik radioterapi (Gama knife)
atau jika tumor meluas ke intrakranial dengan radioterapi konformal 3 dimensi. Radioterapi
efeknya terbatas, tetapi dapat digunakan untuk tumor yang sudah invasive ke orbita atau
intracranial. Penutupan arteri yang mendarahi tumor (embolisasi) dapat diperoleh dengan
memberikan gulungan kawat halus (koil) secara selektif melalui kateter arteri.6,9
Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak
sebaiknya diberikan radioterapi prabedah atau dapat pula diberikan terapi hormonal dengan
preparat testosterone reseptor bloker (flutamid) 6 minggu sebelum operasi, meskipun hasilnya
tidak sebaik radioterapi.6
2.10. KOMPLIKASI
2.11. PROGNOSIS
Meskipun tidak bersifat kanker, tetapi angiofibroma dapat terus menyebar dan merusak
daerah yang berdekatan. Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan
kekambuhan (reccurence). Rata-rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100%
dengan reseksi lengkap dari JNA ektrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial.
BAB III
KESIMPULAN
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secra histologist jinak
namun secara klinis tumor ini bersifat ganas karena mempunyai kemampuan mendestruksi
tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya.
Penyebab dari angiofibroma nasofaring masih belum jelas diketahui, ada dua teori yaitu
teori factor keseimbangan hormonal (kekurangan hormone androgen atau kelebihan estrogen)
dan teori asal jaringan.
Gejala yang paling sering ditemukan (lebih dari 80%) ialah hidung tersumbat yang
progresif dan epistaksis (45-60%) berulang yang masif kebanyakan unilateral. Tumor yang
konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian tumor
yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lender berwarna keunguan, sedangkan
bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik (rhinoskopi posterior) dan pemeriksaan penunjang.
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau radioterapi
dimana operasi harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas yang cukup oleh karena adanya
risiko perdarahan yang hebat.