Anda di halaman 1dari 9

ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILE

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal angiofibroma) adalah
suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas
karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis,
pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi
merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif dari anak atau remaja laki-laki, pernah
juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang.
Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (Juvenile
nasopharyngealangiofibroma). Tetapi istilah juvenile ini kurang tepat karena neoplasma ini
terdapat juga pada pasien yang lebih tua.
Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak
antara usia 14-18 tahun4 dan jarang pada usia diatas 25 tahun2. Tumor ini
merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak5 dan 0,05% dari seluruh tumor kepala
dan leher1,2. Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 1 : 60.000 pada pasien THT.
Di RSUP. H. Adam Malik dari Januari 2001 Nopember 2002 dijumpai 11 kasus
angiofibroma nasofaring.
Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur
Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya
dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The
Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per
15000 pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan
bahwa lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.
Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada nasofaring, tetapi
jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher. Sekarang ada kesepakatan
bersama bahwa ini semata-mata penyakit dari laki-laki dan umur rata-rata yang terkena
sekitar 14 tahun (Harrison, 1976). Jaraknya, bagaimanapun bervariasi antara umur 7 dan 19
tahun (Martin, Ehrlich dan Abela, 1948). Angiofibroma Nasofaring jarang pada pasien lebih
dari 25 tahun.
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan.
Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal. Secara
histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat
ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya
pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau
arteri maksilaris interna.

I.2. Tujuan Penulisan


Mengetahui pengertian Angiofobroma, etiologi, anatomi, patologi, gejala klinis, diagnostic,
komplikasi, diagnose banding, terapi dan prognosis dari Juvenille Nasofaring Angiofobroma.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) merupakan tumor jinak pembuluh darah di
nasofaring yang secara histologis jinak namun secara klinis bersifat ganas karena
berkemampuan merusak tulang dan meluas ke jaringan di sekitarnya, misalnya: ke sinus
paranasal, pipi, rongga mata atau tengkorak (cranial vault), sangat mudah berdarah dan sulit
dihentikan.
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile angiofibroma,
juvenile nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal cavity tumor, nasal tumor, benign nasal
tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor, angiofibroma nasofaring belia.

2. Anatomi
Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat dengan
beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus, yang
dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba eustachii yang
berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu jari ke dinding lateral
nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.
4. Koana pada posterior rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari
penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial
glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori.
6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus petrosus
inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan arteri faringea
asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus.
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian lateral
atap nasofaring.
8. Ostium dari sinus-sinus sfenoid.
Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar nasofaring
atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya muncul dari bagian
posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen sphenopalatina. Dari sini tumor
bertumbuh masuk kedalam kavum nasi, nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina,
berjalan dibelakang dinding posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari
pertumbuhan tumor.

3. Epidemiologi
JNA banyak dialami terutama remaja putra berusia 14-18 tahun. Jika remaja putri didiagnosis
JNA, maka sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus
dipertanyakan. Umumnya JNA terjadi pada dekade kedua kehidupan, tepatnya pada rentang
usia 7-19 tahun. JNA jarang terjadi setelah usia 25 tahun.
Insiden JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT dan dilaporkan 0,5% dari semua tumor
kepala dan leher. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India.
Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur
Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya
dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The
Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per
15000 pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan
bahwa lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.

4. Etiologi
Penyebab pastinya belum dapat ditentukan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah
bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di
turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa
beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty).
Teori lainnya yang diajukan adalah tumor berasal dari embryonal chondrocartilage yang
berada di occipital plate.
Selain itu, ada juga teori tentang respon desmoplastic dari nasopharyngeal periosteum atau
embryonic fibrocartilage antara basiocciput dan basisphenoid.
Teori tentang penyebab dari sel-sel paraganglionik nonkromafin dari cabang terminal arteri
maksilaris juga dipostulasikan.
Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil mengungkapkan
delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor gene p53 sama seperti Her-
2/neu oncogene.
Berbagai macam teori banyak dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori jaringan
asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding
posterolateral atap rongga hidung.
Faktor hormonaldikemukakan sebagai penyebabnya. Banyak bukti memperlihatkan secara
langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen
(RE), dan reseptor progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung
memperlihatkan bahwa reseptor seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan
menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana
memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan
penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan
RE. Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada
75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil
menetapkan bukti langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada
angiofibroma.
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi agresif
sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor
pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah
untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1
mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif
diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada
semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.

5. Patofisiologi
Menurut Mansfield E (2006), asal mula JNA terletak di sepanjang dinding posterior-lateral di
atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina dan aspek
posterior dari middle turbinate. Histologi janin mengkonfirmasikan luasnya area jaringan
endotel di daerah ini.
Bukannya menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah
menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak dan
menekan melalui perbatasan yang banyak tulangnya.
Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial. Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai
tumbuh di dekat foramen sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua
lobus (bilobed) atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan
bagian yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina.
Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya ke
anterior dan inferior menuju ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada
satu sisinya, dan septumnya berdeviasi (bengkok) ke sisi lainnya.
Pertumbuhan superior langsung menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded).
Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat diserbu atau diinvasi juga jika tumor berkembang
lebih lanjut.
Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding posterior sinus
maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.
Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid) dapat ter-
erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus optikus jika fissura
orbita didesak oleh tumor.
Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi pada pasien
yang lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih sedikit melibatkan
pembuluh darah (less vascular) dan kurang agresif (less aggressive) jika dibandingkan
dengan JNA.
Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai keras, berlobulasi membengkak agak
lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari merah muda
sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu dibungkus oleh membran
mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian yang keluar ke daerah yang
berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau abu-abu. Secara histologik,
angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa padat menyisipkan dengan pembuluh
darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi. Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan
dilapisi oleh lapisan tunggal dari endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik
dan lapisan otot halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika
terjadi trauma, menyebabkan perdarahan yang berlimpah.
Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid, jadi
batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara lainnya terjadi
trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan seluler. Sel stromal, yang
melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas, mengelilingi pada nukleus stellata dan
kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan
karakteristik dari granula kromatin padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan merusak struktur
sekitarnya. Dapat meluas kedalam :
a. Cavum nasi menyebabkan obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan hidung.
b. Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales semua dapat
diserang.
c. Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.
d. Orbita memberikan gejala prodtosis dan deformitas face-frog. Masuk melalui fissura
orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat juga masuk ke orbita melalui
fissura orbitalis superior.
e. Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering.
Ada 2 jalan masuknya :
i. Dengan pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen lacerum. Tumor
berada dilateral dari arteri karotis dan sinus kavernosus.
ii. Melalui sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada dimedial dari arteri karotikus.

6. Gejala Klinik
Gejala
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling sering,
terutama pada permulaan penyakit.
2. Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna darah (blood-
tinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi (unilateral)
dan berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.
6. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga kranial
dan tekanan pada kiasma optik.
7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi (unilateral
rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya sensitivitas terhadap bau
(hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain), tuli (deafness), nyeri telinga
(otalgia), pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk pipi
(deformity of the cheek), dan rhinolalia.
Tanda
1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior;
nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai (sessile) atau
bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.
2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging palate),
terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa mass), massa di pipi (cheek
mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya disertai dengan perluasan setempat). Angka
kejadian massa di rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian
untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.
3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius, pembengkakan
zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang merupakan tanda bahwa tumor telah
menyebar ke fossa infratemporal. Juga terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan
optic nerve tenting, namun hal ini jarang terjadi.

7. Diagnosis
Penemuan Histologis
Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah dewasa/matang (mature
fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam pembuluh darah yang berdinding tipis.
Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan endothelium, namun mereka kekurangan
elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan
tentang kecenderungan terjadi perdarahan.

Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.
Biopsi
Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi
sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang klasik,
bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika
gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor
direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di
ruang operasi.
Pemeriksaan Radiologis

FOTO SINAR-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring. Holman
dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yang tergantung
pada lokasi tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini dikenal sebagai tanda antral dan
terdiri dari tulang Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang
besar, atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.

MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)


Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada
kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial.

ANGIOGRAFI
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi ini
terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna.
Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran intrakranial
atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya gagal.

8. Stadium
Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang terlibat
adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging System
mengeluarkan untuk angiofibroma nasofaring, Chandler dan kawan-kawan
merekomendasikan berdasarkan sistem stadium pada usulan sistem untuk kanker nasofaring
oleh AJC :
Stadium I : Tumor di nasofaring.
Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.
Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa pterygomaksillaris, fossa
infratemporalis. Orbita dan atau pipi.
Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.
Klasifikasi Menurut Sessions
Stadium IA Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.
Stadium IB Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring dengan keterlibatan
sedikitnya satu sinus paranasal.
Stadium IIA Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary fossa.
Stadium IIB Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa erosi superior
dari tulang-tulang orbita.
Stadium IIIA Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial fossa/pterygoid
base); perluasan intrakranial minimal.
Stadium IIIB Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke sinus
kavernosus.
Klasifikasi Menurut Fisch
Stadium I Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa kerusakan tulang.
Stadium II Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus paranasal dengan kerusakan
tulang.
Stadium III Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio parasellar;
sisanya di lateral sinus kavernosus.
Stadium IV Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik, dan atau fossa
pituitari.
9. Diagnosis Banding
1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal, teratoma,
encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel skumous).
2. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal.
3. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita.
4. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).
5. Polip koanal (choanal polyp).
6. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).
7. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).
8. Kordoma (chordoma).
9. Karsinoma (carcinoma).
10. Penyebab lain dari nasal obstruction, (seperti: nasal polyps, antrochoanal polyp, teratoma,
encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, squamous cell carcinoma)
11. Penyebab lain dari mimisen (epistaxis), baik sistemik maupun lokal.
12. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan rongga mata (orbital swellings).

10. Penatalaksanaan
A. Terapi Medis
HORMONAL
Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II
sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan secara
rutin.
Flutamide hormonal, suatu nonsteroidal androgen blocker atau testosterone receptor
blocker, efektif untuk mengurangi ukuran tumor pada stadium I dan II hingga 44%.
Terapi hormonal dengan diethylstilbestrol (5 mg PO tid untuk 6 minggu) sebelum eksisi
dapat mengurangi vascularity JNA namun terkait dengan efek samping memiliki sifat
kewanitaan (feminizing side effects).
Doxorubicin dan dacarbazine disiapkan jika JNA berulang atau kambuh.
Schuon, et.al. (2006) melaporkan analisis immunohistochemical dari mekanisme
pertumbuhan JNA. Mereka berkesimpulan bahwa pertumbuhan dan vaskularisasi JNA
dikendalikan oleh faktor-faktor yang dibebaskan dari stromal fibroblasts. Oleh karena itu,
dihambatnya faktor-faktor ini dapat bermanfaat untuk terapi JNA yang tidak dapat dioperasi
(inoperable).

RADIOTERAPI
Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi.
Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi radiasi
modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus. Radioterapi stereotaktik (seperti sinar
Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi ke jaringan sekitarnya. Bagaimanapun,
kebanyakan penulis menyiapkan radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren.
Beberapa center telah melaporkan rata-rata kesembuhan 80% dengan terapi radiasi.
Radioterapi stereotactic (yakni: pisau Gamma) mengirimkan dosis radiasi yang lebih rendah
ke jaringan di sekitarnya. Para ahli telah menyediakan radioterapi untuk penyakit intrakranial
atau kasus yang berulang.
Radioterapi three-dimensional conformal untuk JNA yang luas (extensive) atau penyebaran
hingga intrakranial memberikan suatu alternatif yang baik untuk radioterapi konvensional
berkaitan dengan pengendalian penyakit dan morbiditas akibat radiasi (radiation morbidity).
External beam irradiation, paling sering digunakan untuk penyakit intrakranial yang tidak
dapat dibedah (unresectable), atau kambuhan (recurrent). Digunakan dosis yang bervariasi
dari 30-46 Gy. Sisa tumor seringkali muncul dua tahun setelah terapi. Perhatian utama
termasuk kulit sekunder, tulang, jaringan lunak, keganasan tiroid, dan hambatan
perkembangan tulang wajah.

EMBOLISASI
Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi jaringan parut dan
menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat dalam
pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Dengan embolisasi saja cukup untuk
menghentikan perdarahan hidung, atau dapat diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat
tumor.

B. Terapi Pembedahan
Beberapa pendekatan yang digunakan tergantung dari lokasi dan perluasan JNA.
Rute rinotomi lateral, transpalatal, transmaksila, atau sphenoethmoidal digunakan untuk
tumor-tumor yang kecil (Klasifikasi Fisch stadium I atau II).
Pendekatan fossa infratemporal digunakan ketika tumor telah meluas ke lateral.
Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa osteotomi LeFort, memperbaiki akses
posterior terhadap tumor.
Pendekatan translokasi wajah dikombinasikan dengan insisi Weber-Ferguson dan perluasan
koronal untuk kraniotomi frontotemporal dengan midface osteotomies untuk jalan masuk.
Pendekatan extended anterior subcranial memudahkan pemotongan tumor sekaligus (en
bloc), dekompresi saraf mata, dan pembukaan sinus kavernosus.
Intranasal endoscopic surgery dipersiapkan untuk tumor yang terbatas pada rongga hidung
dan sinus paranasal.

11. Komplikasi
Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium IV),
perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap struktur vital, dan
transfusi perioperative.
Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding). Transformasi
keganasan (malignant transformation). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai
hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena
kerusakan saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the
cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson.

12. Prognosis
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah: keberadaan tumor di
fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan intrakranial, suplai makanan dari
arteri karotid interna, usia muda, dan ada tidaknya sisa tumor.
Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan (recurrence). Rata-
rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100% dengan reseksi lengkap dari
JNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial. Rerata kesembuhan 90% berhubungan
dengan pembedahan kedua jika terjadi kekambuhan.
Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma dapat terus menyebar. Dapat hilang
sendiri. Terdapat angka rekurensi yang cukup tinggi setelah operasi, sekitar 6-24 %.
BAB III
KESIMPULAN

Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) merupakan tumor jinak pembuluh darah di


nasofaring yang secara histologis jinak namun secara klinis bersifat ganas karena
berkemampuan merusak tulang dan meluas ke jaringan di sekitarnya, misalnya: ke sinus
paranasal, pipi, rongga mata atau tengkorak (cranial vault), sangat mudah berdarah dan sulit
dihentikan.
Tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (Juvenile
nasopharyngealangiofibroma). Tetapi istilah juvenile ini kurang tepat karena neoplasma ini
terdapat juga pada pasien yang lebih tua.
Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak
antara usia 14-18 tahun4 dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini
merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak5 dan 0,05% dari seluruh tumor kepala
dan leher.
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan.
Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal. Secara
histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat
ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya
pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau
arteri maksilaris interna.
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah: keberadaan tumor di
fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan intrakranial, suplai makanan dari
arteri karotid interna, usia muda, dan ada tidaknya sisa tumor.

DAFTAR PUSTAKA
Fauci, et.al. (Ed.) Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition. McGraw-Hill
Companies, Inc. USA. 2008; Part 6: Chapter 79.
Goodenberger J, Ross PJ. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Radiol Technol. Jul-Aug
2000;71(6):595-8.
Mansfield, E. Angiofibroma. In: eMedicine Specialties > Vascular Surgery > Medical
Topics. Jun 26, 2006.
Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi Keenam. Editor:
Soepardi EA, dkk. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007:188-190.
Schick B, Veldung B, Wemmert S, et al. p53 and Her-2/neu in juvenile angiofibromas.
Oncol Rep. Mar 2005;13(3):453-7.
Posted by kirei.himee at 2:45 AM
Labels: angiofibroma nasofaring juvenile, koas, referat, THT

Anda mungkin juga menyukai