Anda di halaman 1dari 79

BAB I

PENDAHULUAN

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks vermiformis.

Appendisitis merupakan penyebab abdomen akut yang dapat mengenai semua

kelompok usia. Insidens tertinggi appendisitis yakni pada kelompok umur 10 atau 20

tahun hingga 30 tahun, dan didapatkan kasus yang lebih tinggi di negara maju dari

pada di negara berkembang. Appendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi

yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja. Periapendikular infiltrate

adalah suatu keadaan menutupnya appendiks vermiformis oleh omentum, usus halus,

atau adneksa pada keadaan appendisitis sehingga terbentuk massa periapendikuler. 1,2

Appendisitis disebabkan oleh karena adanya obstruksi pada lumen appendiks

sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik, dan infeksi yang kemudian memicu

timbulnya peradangan. Appendisitis umumnya terjadi oleh karena infeksi bakteri.

Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecalith. Penyebab lain dari adanya

obstruksi lumen appendiks meliputi hyperplasia jaringan limfe, tumor appendiks, dan

cacing ascaris. 1,2

Semua kasus appendisitis memerlukan tindakan pengangkatan appendiks yang

terinflamasi (appendectomy). Pada appendiks yang tertutup oleh omentum, usus halus

dan adneksa (periapendikuler infiltrate) pada pasien dewasa sebaiknya dirawat

terlebih dahulu dan diberi antibiotik kombinasi aerob dan anerob sambil dilakukan

pemantauan terhadap suhu tubuh, dan ukuran massa dan perencanaan appendectomy

elektif 2-3 bulan (6-8 minggu) kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat

ditekan sekecil mungkin. Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka

1
1,2
kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena perforasi, peritonitis dan shock.

Pada laporan kasus ini akan dibahas secara komprehensif mengenai appendicitis

terutama dalam segi anestesi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 Anatomi dan fisiologis appendiks

Appendiks vermiformis merupakan organ berbentuk tabung, dengan panjang

kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm). Appendiks berpangkal di sekum. Appendiks

memiliki lumen yang sempit pada bagian proksimal dan melebar di bagian distal.

Namun, pada bayi, appendiks berbentuk kerucut yakni melebar pada bagian

pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Appendiks dapat terletak

intraperitoneal (pada 65% kasus), retroperitoneal, atau di tepi lateral kolon asendens.

Gejala klinis appendisitis ditentukan oleh letak appendiks 1

Gambar 1. Anatomi appendiks

2.1.1 Vaskularisasi

Vaskularisasi appendiks vermiformis berasal dari arteri apendikularis yang

merupakan cabang arteri ileocaecalis. (cabang arteri mesenterica superior). Arteri

3
apendikularis merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya

karena thrombosis pada infeksi, appendiks vermiformis akan mengalami ganggren. 1

Gambar 2. Vaskularisasi appendiks

2.1.2 Innervasi

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti

arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis. Sedangkan persarafan simpatis

berasal dari nervus thoracalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendisitis

bermula di sekitar umbilikus. 1

Appendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari. Secara normal,

lendir akan masuk ke dalam lumen appendiks dan selanjutnya akan mengalir ke

sekum. Adanya hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada

pathogenesis appendisitis. 1

2.2 Appendisitis

2.2.1 Definisi

4
Appendisitis adalah peradangan pada appendiks vermiformis. Periapendikular

infiltrate adalah suatu keadaan menutupnya appendiks vermiformis yang meradang

oleh omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler.

Periapendikular infiltrate merupakan upaya pertahanan tubuh untuk membatasi proses

radang pada appendiks vermiformis. Pada massa periapendikuler dengan

pembentukan dinding yang belum sempurna dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh

rongga peritoneum jika terjadi perforasi yang kemudian diikuti oleh peritonitis

purulenta generalisata. 1

2.2.2 Epidemiologi

Insiden appendisitis di negara maju lebih tinggi dari pada di negara

berkembang. Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, dan jarang dilaporkan

insidens appendisitis yang tinggi pada anak kurang dari satu tahun. Insidens tertinggi

appendisitis yakni pada kelompok umur 10 atau 20 tahun hingga 30 tahun, dan

setelah itu menurun. Insidens appendisitis pada laki-laki dan perempuan umumnya

sebanding. 1,3

2.2.3 Etiologi

Appendisitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri. Berbagai hal berperan

sebagai pencetusnya, yakni antara lain sumbatan lumen appendiks vermiformis yang

dapat disebabkan oleh adanya hiperplasia jaringan limfe, fecalith, tumor appendiks,

dan cacing askaris. Penyebab lain yang diduga sebagai faktor pencetus appendisitis

adalah erosi mukosa appendiks akibat parasit seperti E. histolytica. 1

Selain itu, penelitian epidemiologi menunjukkan peran makan makanan

rendah serat dan pengaruh konstipasi dapat menimbulkan appendisitis. Konstipasi

5
akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional

appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon yang mempermudah

timbulnya appendisitis akut. Appendisitis akut selanjutkan akan melibatkan mukosa

dan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama yang kemudian

merangsang tubuh untuk melakukan upaya pertahanan untuk membatasi radang

dengan cara menutup appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa yang

kemudian menimbulkan periapendikuler infiltrate. 1

2.2.4 Patogenesis

Patogenesis utama pada sebagian besar pasien dengan apendicitis akut

diyakini karena obstruksi luminal. Hal ini disebabkan oleh berbagai penyebab, yang

meliputi fecalith, hiperplasia limfoid, dan oleh tumor primer (carcinoid,

adenocarcinoma, kaposi sarcoma, dan limfoma). Stasis tinja dan fecalith menjadi ciri

penyebab paling umum obstruksi appendiks, diikuti oleh hiperplasia limfoid, sayuran

dan biji buah, dan cacing usus (terutama ascarids). Obstruksi luminal menyebabkan

peningkatan tekanan intraluminal sehingga menyebabkan appendiks mengalami

hipoksia, peradangan lumen appendiks, dan pembesaran appendiks. Hal ini

merangsang serabut saraf aferen viseral yang masuk ke sumsum tulang belakang di

T8-T10 sehingga menyebabkan nyeri epigastrik dan periumbilical. Nyeri selanjutnya

mengalami pergeseran ke kuadran kanan bawah (fossa iliaca dextra). Patogenesis ini

dimulai di mukosa yang kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks

dalam waktu 24-48 jam pertama. Selanjutnya tubuh melakukan upaya pertahanan

untuk membatasi proses radang tersebut melalui penutupan appendiks oleh omentum,

usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler. Appendiks yang

6
tertutup oleh omentum, usus halus, ataupun adneksa akan mengalami nekrosis

jaringan serta terbentuk abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk

abses, appendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan

selanjutnya akan melepaskan atau mengurai diri dari penutupan omentum usus halus

atau adneksa secara lambat. 1,4

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan

terbentuk jaringan parut yang melengket terhadap jaringan sekitarnya. Perlengketan

ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah dan suatu saaat organ

tersebut dapat meradang kembali yang dinyatakan sebagai eksaserbasi akut. 1

2.2.5 Tanda dan gejala klinis

Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh

terjadinya peradangan mendadak pada appendiks yang akan memberikan tanda

setempat, baik disertai maupun tidak diserta dengan rangsang peritoneum lokal. 1

Gejala klasik appendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang

merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilicus. Keluhan ini

sering disertai mual dan terkadang muntah. Umumnya nafsu makan akan menurun.

Dalam beberapa jam (biasanya 12 jam) nyeri akan berpindah ke lokasi perut kanan

bagian bawah yakni di titik Mc-Burney yang diperberat oleh batuk atau berjalan jika

terdapat perangsangan peritoneum. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi

terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Namun,

tindakan memberika obat pencahar dianggap berbahaya karena dapat mempermudah

terjadinya perforasi. 1,3

7
Bila appendiks terletak retrocaecal yakni retroperitoneal atau di pelvic, tanda

nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas karena eksudat inflamasi tidak mengenai

peritoneum parietale oleh karena appendiks terlindungi oleh caecum sehingga tidak

ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri pada appendiks retrocaecal lebih ke arah

perut sisi kanan (ke arah pinggang) atau nyeri timbul saat berjalan karena kontraksi

otot psoas mayor yang menegang di dorsal. 1,2

Radang pada appendiks yang terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan

gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat dan

pengosongan rektum menjadi lebih cepat serta berulang. Jika appendiks tersebut

menempel ke vesica urinaria atau terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis

pada laki-laki, maka dapat terjadi peningkatan frekuensi miksi, atau nyeri testis pada

laki-laki akibat rangsangan appendiks terhadap dinding vesica urinaria, ureter atau

testis.1,2

Gejala appendisitis akut pada anak tidak spesifik. Pada awalnya, anak sering

hanya menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan. Beberapa jam kemudian,

anak akan muntah sehingga menjadi lemah dan letargik. Oleh sebab itu, gejala

appendisitis yang tidak khas tersebut akan baru diketahui setelah terjadi perforasi

(pada bayi sekitar 80-90%). 1

Gambaran klinis appendisitis akut :

1. Tanda awal

- Nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilicus disertai nausea dan

anorexia

8
2. Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan

peritoneum local di titik Mc-Burney

- Nyeri tekan

- Nyeri lepas

- Defans muskuler

3. Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung

- Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (rovsing sign)

- Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg

sign)

- Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak, misalnya saat napas

dalam, berjalan, batuk, mengedan. 1

Pada appendisitis akut, diagnosis dini sangat penting untuk mengurangi risiko

komplikasi (perforasi, oklusi, sepsis) yang dapat meningkatkan mortalitas terutama

pada usia ekstrim. Namun, pada beberapa keadaan, appendisitis agak sulit didiagnosis

sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya pada orang

berusia lanjut, gejalanya sering sama-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita

baru dapat didiagnosis setelah perforasi. 1,5

Pada kehamilan, keluhan utama appendisitis adalah nyeri perut, mual, dan

muntah. Hal ini perlu dicermati karena pada kehamilan trimester pertama sering juga

terjadi mual, dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan appendiks terdorong ke

kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih di

region lumbal kanan. 1

2.2.6 Diagnosis

9
Diagnosis appendisitis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang.

 Anamnesis

Pada anamnesis, keluhan utama appendisitis biasanya adalah nyeri samar-

samar dan tumpul yang dirasakan di daerah epigastrium di sekitar pusat. Nyeri

disertai dengan mual dan kadang muntah, serta nafsu makan menurun. Nyeri

kemudian berpindah ke perut kanan bawah, tepatnya di titik Mc-Burney dan

dirasakan memberat saat berjalan atau batuk. Demam biasanya ringan dengan suhu

sekitar 37,5-38,5°C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa

terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1°C. Selain itu, dapat pula

ditemukan keluhan konstipasi 1,3

 Pemeriksaan Fisik

a) Inspeksi

Penderita appendisitis akan tampak berjalan membungkuk sambil memegangi

bagian perut yang sakit. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi

perforasi. Ketika diminta untuk batuk (Dunphy sign), pasien mungkin dapat secara

tepat melokalisasi daerah yang sakit. 1,3

b) Palpasai

Palpasi abdomen, didapatkan nyeri tekan yang terbatas pada regio iliaka

dextra pada titik Mc-Burney, dan dapat disertai nyeri lepas (rebound tenderness).

Nyeri tekan regio iliaka dextra ini merupakan kunci diagnosis. pada penekanan perut

kiri bawah, pasien akan merasakan adanya nyeri pada perut kanan bawah yang

disebut tanda rovsing (rovsing sign). Bila ditemukan adanya defans muskuler

10
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum pariatale. pada periapendikular infiltrate

teraba penonjolan (benjolan) pada perut kanan bawah.

c) Perkusi

Perkusi ringan juga dapat menimbulkan rasa nyeri pada abdomen. 1,3

Gambar 4. Area Mc-Burney (a) dan Rovsign sign (b)

d) Auskultasi

Pada auskultasi abdomen peristaltik usus sering normal tetapi juga dapat

menghilang akibat adanya ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang

disebabkan oleh appendisitis perforate. 1

 Pemeriksaan tambahan

Pada pemeriksaan rectal touche akan menyebabkan nyeri pada arah jam 9-12

bila daerah infeksi dapat dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada appendisitis

pelvika. Hal ini merupakan kunci diagnosis oleh karena pada appendisitis pelvika

tanya nyeri perut sering meragukan. 1

11
Gambar 5. Rectal touche

Pemeriksaan uji psoas (psoas sign) dilakukan dengan rangsangan otot psoas

lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,

kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di otot

psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan rasa nyeri. Uji obturator

(obturator sign) dilakukan dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada

posis terlentang akan menimbulkan nyeri pada appendisitis pelvika. Uji obturator

digunakan untuk melihat bilamana appendiks yang meradang bersentuhan dengan

otot obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Pemeriksaan uji psoas

dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditunjukkan untuk mengetahui

letak appendiks. 1

12
Gambar 6. Psoas sign (a) dan Obturator sign (b)

 Pemeriksaan Penunjang

a) Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan jumlah leukosit membantu

menegakkan diagnosis appendisitis. Pada kebanyakan kasus, terdapat leukositosis

sedang (10.000–20.000/UL). Peningkatan presentase jumlah neutrophil (shif to the

left) menunjang diagnosis klinis appendisitis. 1,2,3

b) Radiologi

Pemeriksaan radiologi berupa pemeriksaan ultrasonografi (USG) abdomen

dapat membantu dalam diagnosis appendisitis sekaligus membantu dokter ahli bedah

untuk mengambil keputusan yang tepat. Keuntungan ultrasonografi abdomen dalam

diagnosis appendisitis adalah biaya rendah, kurangnya iradiasi, dan kemungkinan

untuk memeriksa dengan hati-hati dan berulang-ulang zona sensibilitas maksimum.

Kerugian utama ultrasonografi abdomen adalah ketergantungan pada operator dan

kesulitan dalam memindai pasien obesitas. Pemeriksaan ultrasonografi abdomen

memiliki sensitivitas tinggi (86% -100%), spesifisitas (88%-95%), dan akurasi (91%-

92%) dalam mendiagnosis apendicitis akut. 5,6

Tabel 1. Alvarado score system 7

Karakteristik Skor
Symptom Migrasi nyeri ke kuadran kanan bawah 1
Anorexia 1
Nause 1
Signs Nyeri tekan abdomen kuadran kanan bawah 2
Nyeri alih 1

13
Febris (suhu antara 37,5-38,5 °C) 1
Labaratory Leukositosis (WBC > 10.000/ ul) 2
Shift to the left of neutrophils (> 75%) 1
Total 10
Interpretasi : 1-4 = sangat tidak mungkin appendisitis akut, tetap observasi

5-6 = bisa jadi appendisitis akut, observasi teratur

7-8 = mungkin appendisitis akut, operatif

9-10 = pasti appendisitis akut, operatif

2.2.7 Differential diagnosis

Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai

diagnosis banding. Beberapa diagnosis banding appendicitis :

1. Gastroenteritis

Pada gastroenteritis, gejala mual, muntah, dan diare mendahului rasa nyeri

perut. Nyeri perut sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai

adanya hiperperistaltik pada gastroenteritis. Sedangkan gejala demam dan adanya

leukositosis kurang menonjol pada gastroenteritis jika dibandingkan dengan

appendisitis.

2. Pelvic Inflamataory Disease (PID)

Pelvic Inflamataory Disease (PID) merupakan infeksi pada alat genital

meliputi endometrium, tuba fallopii, ovarium, dan myometrium. Keluhan yang sering

berupa nyeria abdominopelvik. Keluhan lain adalah keluarnya cairan vagina atau

perdarahan, demam dan menggigil, serta mual dan dysuria.

3. Kehamilan ektopik terganggu (KET)

14
Kehamilan ektopik terganggu (KET) ditandai dengan tanda-tanda kehamilan

muda, nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis, perdarahan pervaginam dan

mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada vagina toucher didapatkan nyeri goyang

portio dan penonjolan cavum douglas. Pada pemeriksaan kudosintesis didapatkan

darah.

4. Kista ovarium

Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.

Nyeri timbul secara mendadak dengan intensitas yang tinggi, dan teraba massa dalam

rongga pelvis pada pemeriksaan abdomen, vagina toucher, atau rectal toucher. Tidak

terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonography dapat menentukan diagnosis.

5. Urolitiasis dextra

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar ke inginal kanan

merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos abdomen

atau urography intravena dapat memastikan penyakit tersebut. 11

2.2.8 Penatalaksanaan

Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-

satunya pilihan yang baik adalah apendectomy. Pada periapendikuler infiltrate, massa

periapendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera dioperasi untuk

mencegah penyulit berupa penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum akibat

perforasi yang diikuti peritonitis purulenta generalisata. Pada anak, operasi dapat

dipersiapkan dalam waktu 2-3 hari. Sedangkan pada pasien dewasa dengan massa

periapendikuler sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi antibiotik kombinasi

aerob dan anerob sambil dilakukan pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran massa

15
serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang,

dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan appendectomy elektif dapat

dikerjakan 2-3 bulan (6-8 minggu) kemudian agar perdarahan akibat perlengketan

dapat ditekan sekecil mungkin.

Pada appendisitis tanpa komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik,

kecuali pada appendisitis ganggrenosa atau appendisitis perforate. Penundaan tindak

bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.

Apendectomy bisa dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi. Bila

apendectomy terbuka, insisi Mc-Burney paling banyak dipilih oleh dokter ahli bedah.

Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih

dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonography dapat dilakukan bila dalam

observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskopi, tindakan laparoskopi

diagnosis pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi

atau tidak.

Bukti yang muncul menunjukkan bahwa terapi antibiotik dapat dianggap

sebagai terapi lini pertama dan mungkin satu-satunya terapi pada pasien dengan

apendicitis tanpa komplikasi. Sebuah meta-analisis dari lima penelitian

membandingkan berbagai pengobatan antibiotik dengan apendektomi pada 980 orang

dewasa yang menderita apendicitis tanpa komplikasi. Terdapat penelitian yang

mencakup 530 orang dewasa berusia 18 hingga 60 tahun yang memiliki apendicitis

tanpa komplikasi melaporkan 73 % tingkat resolusi dengan ertapenem (Invanz), 1 g

per hari secara intravena selama tiga hari, diikuti dengan levofloxacin (Levaquin)

tujuh hari, 500 mg per hari, ditambah metronidazole (Flagyl), 500 mg tiga kali per

16
hari. Sebuah meta-analisis mengidentifikasi lima studi (N = 404) yang

membandingkan antibiotik dengan pembedahan pada anak-anak dengan apendicitis.

Mengingat risiko yang terkait dengan apendektomi, terapi antibiotik harus dianggap

sebagai pilihan pengobatan yang efektif untuk orang dewasa dan anak-anak. 9 10

2.2.9 Prognosis

Angka kematian dari appendisitis tanpa komplikasi sangat rendah. Bahkan

dengan appendisitis perforasi, tingkat kematian pada kebanyakan kelompok hanya

0,2%, meskipun mendekati 15% pada orang tua. 3

2.2.10 Komplikasi

Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi yakni appendisitis

perforate (sekitar 20%). 3

2.3 Appendicitis kronis eksaserbasi akut

Apendicitis kronis terjadi dengan insidensi 1% dan didefinisikan sebagai berikut:

1. Pasien memiliki riwayat nyeri RLQ selama minimal 3 minggu tanpa

diagnosis yang jelas;

2. Setelah dilakukan appendektomi, pasien mengalami gejala yang hilang

sepenuhnya;

3. Secara histopatologi, gejala terbukti merupakan akibat dari inflamasi aktif

kronik pada dinding apendiks atau fibrosis apendiks.12

Meskipun appendicitis kronis adalah kondisi langka, terdapat beberapa

laporan kasus yang menunjukkan adanya apendicitis kronis. Apendicitis kronis

awalnya dilaporkan oleh Crymble dan Forsythe pada tahun 1949 sebagai kondisi

dengan 1 atau lebih serangan apendicitis ringan yang terjadi. Definisi tersebut telah

17
berubah selama bertahun-tahun dan kondisi saat ini paling baik didefinisikan sebagai

peradangan atau fibrosis apendiks yang berlangsung lama yang secara klinis muncul

sebagai nyeri perut berkepanjangan (> 48 jam) atau intermiten. Appendicitis kronis

seringkali merupakan diagnosis yang menantang dan dapat mengakibatkan

komplikasi seperti infeksi intra-abdominal atau obstruksi usus atau perforasi.

Apendicitis kronis harus dicurigai pada pasien dengan nyeri perut kuadran kanan

bawah kronis atau berulang. Keberadaan apendicitis kronis telah menjadi kontroversi

dalam beberapa dekade terakhir. Di satu rumah sakit di Altenburg, Jerman, tingkat

apendektomi meningkat secara signifikan. Dalam satu penelitian, tiga perempat dari

semua pasien dengan nyeri di kuadran kanan bawah tetapi tidak ada tanda-tanda

inflamasi yang serius menunjukkan kriteria histologis untuk apendicitis kronis.

Patofisiologi apendicitis kronis diduga berhubungan dengan obstruksi apendiks

parsial atau kronik, dan diagnosis sering dibuat setelah apendektomi dan berdasarkan

temuan histologis. Diperkirakan bahwa sekitar 14% sampai 30% pasien yang

menjalani apendektomi akan memiliki temuan yang konsisten dengan apendicitis

kronis.13 Meskipun etiologi apendicitis masih kontroversial, pada sebagian besar

pasien diduga dipicu oleh obstruksi lumen apendiks oleh impaksi fekalit, hiperplasia

limfoid, dan tumor. Etiologi utama apendicitis adalah obstruksi akibat fekal pada

orang dewasa dan hiperplasia limfoid pada anak-anak. Hubungan antara apendikolit

dan apendicitis kronis juga diketahui dengan baik, obstruksi parsial lumen

apendikuler yang menghilang secara spontan adalah penyebab utamanya. Kehadiran

fekalit dapat menyebabkan obstruksi dan terkadang perforasi apendiks. Faktor

etiologi lain yang disarankan adalah serat makanan rendah yang menyebabkan

18
kotoran keras dan kering dibandingkan dengan yang berserat tinggi. Prevalensi

kejadian fekalith dan kejadian apendicitis lebih banyak terjadi di negara barat

dibandingkan negara berkembang. Beberapa penelitian telah melaporkan apendikolit

sebagai penyebab apendicitis pada 20-40% kasus. Hal ini biasanya terjadi pada pasien

laki-laki di bawah usia 35 tahun, yang memiliki apendiks retrocecal. Biasanya,

ukuran apendikolit kurang dari 1 cm dan disebut apendikolit raksasa bila ukurannya

lebih dari 2 cm. Kehadiran apendikolit dapat menyebabkan kesulitan diagnostik dan

harus dibedakan dari kondisi lain untuk kalsifikasi pada fosa iliaka kanan seperti

litiasis ginjal, litiasis ureter, kalkulus vesikalis, ileus batu empedu, flebolit, tumor

ovarium, litopedion, kelenjar getah bening terkalsifikasi, dan artefak radiologis.14

Penelitian melaporkan bahwa apendicitis kronis menunjukkan variabilitas

dalam gejala. Pasien paling sering melaporkan nyeri perut yang berlangsung selama

lebih dari 48 jam atau nyeri episodik berulang. Nyeri biasanya digambarkan ringan

sampai sedang, sebagian besar di kuadran kanan bawah, dan dapat berlangsung

hingga berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Nyeri dapat muncul dengan atau

tanpa demam atau gejala sistemik terkait lainnya yang secara klasik terlihat pada

apendicitis akut, dan hasil pemeriksaan laboratorium mungkin menunjukkan jumlah

sel darah putih normal. Dari 44 pasien dengan nyeri perut kuadran kanan bawah

selama 1 bulan yang menjalani eksplorasi laparoskopi dan apendektomi, 28 pasien

diantaranya (63,6%) memiliki histologi abnormal yang teridentifikasi pada

pemeriksaan apendiks dan 14 pasien (31,8%) memiliki kelainan lain. Sebanyak 31

pasien (70,5%) memiliki kesembuhan parsial atau lengkap dari gejala pada 2 tahun.

Dari 112 pasien yang menunjukkan tanda-tanda klinis apendisitis nonakut dan

19
menjalani apendektomi di Munich, Jerman, 42% diantaranya mengalami apendisitis

kronis dan 51% memiliki temuan fibrotik. Pada pasien dengan nyeri kuadran kanan

bawah berulang atau kronis, dengan tidak adanya temuan peritoneal atau temuan

investigasi laboratorium yang abnormal, apendisitis kronis harus dipertimbangkan.

Pemeriksaan pencitraan membantu dalam diagnosis apendisitis kronis. Ultrasonografi

berguna untuk mengidentifikasi diagnosis alternatif seperti apendisitis akut, diagnosis

urogenital, atau kondisi inflamasi pada usus atau mesenterium. Dengan pemeriksaan

ultrasound yang tidak jelas (tidak terdiagnosis atau menunjukkan jaringan normal),

harus mengandalkan pencitraan yang lebih canggih seperti computed tomography,

magnetic resonance imaging, atau endoskopi. Temuan computed tomographic dari

apendisitis kronis termasuk pericecal stranding, dilated appendix, penebalan apikal,

adenopathy, appendicolith, abses, phlegmon, dan fluid collection. Metode manajemen

pilihan untuk apendisitis kronis adalah eksplorasi bedah, paling sering laparoskopi,

diikuti oleh apendektomi jika tidak ada patologi jelas lainnya yang teridentifikasi.

Dalam 2 penelitian dengan total gabungan 43 pasien berusia 5 sampai 17 tahun, 89%

anak-anak melaporkan gejala sembuh total setahun setelah apendektomi.13 15

2.4 Anestesi regional

Teknik anestesi regional pertama yang dilakukan adalah anestesi spinal, dan

operasi pertama dengan anestesi spinal dilakukan pada tahun 1898 di Jerman pada

bulan Agustus. Sebelumnya, teknik anestesi lokal hanya digunakan anestesi topikal

mata dan anestesi infiltrasi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang

belakang. Istilah anestesi neuraksial mengacu pada penempatan anestesi lokal di

dalam atau di sekitar SSP. Anestesi spinal adalah teknik anestesi neuraksial dimana

20
anestesi lokal ditempatkan langsung di ruang intratekal (ruang subarachnoid). Ruang

subarachnoid menampung cairan serebrospinal (CSF), cairan bening yang membasahi

otak dan sumsum tulang belakang. Ada kira-kira 130 hingga 140 mL CSF pada

manusia dewasa yang terus-menerus bersirkulasi sepanjang hari. Sekitar 500 mL CSF

diproduksi setiap hari. Teknik neuraksial lainnya termasuk anestesi epidural dan

kaudal, masing-masing memiliki indikasi tertentu. Anestesi spinal digunakan untuk

prosedur pembedahan yang melibatkan perut bagian bawah, panggul, dan ekstremitas

bawah.16

Pemberian anestesi spinal membutuhkan posisi dan pemahaman yang tepat

tentang anatomi neuraksial. Tujuannya adalah untuk memberikan dosis anestesi yang

tepat ke dalam ruang intratekal (subarachnoid). Tulang belakang terdiri dari tujuh

tulang serviks, 12 toraks, lima lumbal, dan lima tulang vertebral sakral yang menyatu.

Tulang vertebra yang berbeda mendapatkan namanya berdasarkan posisi relatif dan

perbedaan strukturalnya. Vertebra ditumpuk ujung ke ujung dengan sendi dan

ligamen yang mengartikulasikan, dan ruang berongga yang melewatinya disebut

kanal tulang belakang. Kanal ini menampung sumsum tulang belakang. Saraf tulang

belakang keluar dari kanal tulang belakang melalui ruang lateral yang terbentuk

antara pedikel dari vertebra yang berdekatan. Anestesi spinal hanya dilakukan di area

lumbar, khususnya level lumbal tengah hingga rendah untuk menghindari kerusakan

pada sumsum tulang belakang dan juga untuk mencegah obat-obatan yang

disuntikkan secara intratekal agar tidak memiliki aktivitas di daerah dada dan serviks

bagian atas. Ujung ekor dari medulla spinalis adalah konus medullaris dan biasanya

berada di batas bawah badan vertebra lumbal pertama atau kadang-kadang kedua.

21
Pada pasien anak-anak, ini sedikit lebih rendah, umumnya berakhir di sekitar L3.

Pada populasi dewasa, posisi konus rata-rata adalah sepertiga bawah L1 (kisaran:

sepertiga tengah T12 sampai sepertiga atas L3). Variasi posisi konus mengikuti

distribusi normal. Tidak ada perbedaan signifikan dalam posisi konus yang terlihat

antara pasien pria dan wanita atau dengan bertambahnya usia. Memahami anatomi

dermatom sangat penting untuk memahami tingkat blokade struktur target. Misalnya,

untuk operasi caesar perut bagian bawah, sayatan biasanya dibuat di bawah dermatom

T10.16

2.4.1 Anestesi spinal

Anestesi spinal juga disebut spinal analgesia atau sub-arachnoid block (SAB),

adalah bentuk anestesi regional yang melibatkan injeksi agen anestesi lokal ke dalam

ruang subarachnoid, umumnya melalui jarum halus, biasanya sepanjang 9 cm (3,5

inci). Untuk pasien yang sangat gemuk, beberapa ahli anestesi lebih suka jarum yang

panjangnya 12,7 cm (5 inci). Ujung jarum tulang belakang memiliki titik atau bevel

kecil. Terlepas dari agen anestesi yang digunakan, efek yang diinginkan adalah untuk

memblokir transmisi sinyal saraf aferen dari nosiseptor perifer. Sinyal sensorik

diblokir, sehingga menghilangkan rasa sakit. Tingkat blokade neuron tergantung pada

jumlah dan konsentrasi anestesi lokal yang digunakan dan sifat akson. Serabut C tipis

yang yang berhubungan dengan nyeri diblokir terlebih dahulu. Outcome yang

diinginkan adalah mati rasa total. Pemeriksaan sensasi nyeri dilakukan untuk

meninjau apakah blok sudah adekat. Hal ini memungkinkan prosedur bedah

dilakukan tanpa sensasi menyakitkan pada orang yang menjalani prosedur. Anestesi

spinal adalah teknik anestesi regional yang sederhana dan andal yang memberikan

22
sensor blokade motorik dan kualitas tinggi. Pemberian larutan kristaloid yang cepat

sebelum anestesi spinal direkomendasikan oleh banyak ahli anestesi untuk mencegah

hipotensi. Preloading secara rutin dilakukan sebelum pembentukan blok neuraxial.

Sekitar 500 - 1000 ml cairan (10-15 ml / kg kristaloid selama 20 menit) atau koloid

(seperti 6% hidroksietil pati, 4% suksinilasi gelatin) digunakan. Kristaloid dengan

cepat bergerak ke ruang interstisial. Koloid tetap dalam ruang intravaskular untuk

waktu yang lama, oleh karena itu, lebih efektif untuk meningkatkan curah jantung

dan mengurangi kejadian hipotensi. Sayangnya, koloid kurang tersedia, lebih mahal

dan memiliki risiko reaksi alergi berat. Salah satu metode yang menjanjikan adalah

menunda preload sampai setelah spinal block atau bersamaan dengan induksi anestesi

spinal. Posisi yang tepat sangat penting untuk keberhasilan konduksi anestesi spinal.

Hal ini sering dilakukan saat pasien dalam posisi duduk atau lateral. Di lateral, pasien

diposisikan dengan punggung paralel dengan sisi meja operasi. Paha tertekuk ke atas,

dan leher tertekuk ke depan (lihat Gambar 7).17 18

Gambar 7. Posisi lateral untuk anestesi spinal

Dalam posisi duduk, kaki pasien diletakkan di atas bangku sementara pasien

duduk tegak, kepalanya tertekuk, lengan memeluk bantal (lihat Gambar 8). Dalam

23
pemberian anestesi lokal untuk blok subarachnoid, ukuran dan jenis jarum sangat

penting. Jarum yang paling sering digunakan adalah pencil tip. Jarum Quincke

menimbulkan lebih banyak kerusakan pada selubung dural pada titik masuk dan

menyebabkan sakit kepala pasca-dural. Mengikuti protokol aseptik, dosis anestesi

lokal yang telah ditentukan untuk injeksi subarachnoid disusun dan ditandai. Anestesi

lokal yang akan digunakan untuk infiltrasi kulit dimasukkan ke dalam jarum suntik

2ml. Pasien diposisikan dan punggung dibersihkan dengan antiseptik. Introduser

dimasukkan sebagai jarum 25 gauge sering digunakan. Introduser dimasukkan ke

dalam ligamentum flavum sambil menghindari tusukan dural yang tidak disengaja.

Jarum spinal 25 gauge kemudian dilewatkan melalui pengantar dengan bevel

diarahkan ke lateral (jika jarum Quincke digunakan). Saat memajukan jarum,

peningkatan resistensi dirasakan saat jarum memasuki ligamentum flavum, diikuti

oleh hilangnya resistensi saat masuk ke ruang epidural. Anestesi lokal disuntikkan

melalui jarum segera setelah stilet dicabut. Penting untuk menilai ketinggian blok

sebelum dimulainya stimulasi bedah. 17 18

Gambar 8. Sitting position

24
Tidak perlu menguji sensasi dengan jarum tajam. Lebih baik untuk menguji

hilangnya sensasi suhu menggunakan kapas yang direndam dalam alkohol.

Penambahan opioid ke anestesi lokal telah banyak digunakan dalam praktik klinis

selama lebih dari 30 tahun; Namun, efektifitas dan keamanan metode ini masih dalam

perselisihan. Prosedur ini adalah praktik umum untuk menggunakan 2,0 - 2,5 ml

bupivacaine hiperbarik 0,5% saja atau dalam kombinasi dengan opioid untuk

meningkatkan kualitas blok tanpa menghasilkan tingkat analgesia yang lebih tinggi

untuk pinprick dan memberikan analgesia pasca operasi. Untuk membatasi efek

samping, agen anestesi lokal dikombinasikan dengan opioid dosis rendah. Diberikan

secara subarachnoid, opioid dapat mengurangi dosis bupivacaine dan meningkatkan

kualitas analgesia intraoperatif.17 18

2.5 Anestesi epidural

Anestesi epidural adalah bentuk analgesia regional yang melibatkan injeksi

obat melalui kateter yang ditempatkan ke ruang epidural. Suntikan dapat

menyebabkan hilangnya sensasi (anestesi) dan hilangnya rasa sakit (analgesia),

dengan menghalangi transmisi sinyal melalui saraf di atau dekat sumsum tulang

belakang. Anestesi epidural adalah bentuk teknik blok neuraxial untuk operasi caesar.

Penggunaannya pada manusia pertama kali dijelaskan pada tahun 1921 Kemajuan

dalam peralatan, obat-obatan dan teknik telah membuatnya menjadi teknik anestesi

yang populer dan serbaguna, dengan aplikasi dalam kebidanan dan pengendalian

nyeri. Teknik injeksi dan kateter tunggal dapat digunakan. Fleksibilitasnya dapat

digunakan sebagai anestesi, sebagai pembantu analgesik untuk anestesi umum, dan

25
untuk analgesia pasca operasi setelah operasi caesar. Anestesi epidural dapat

digunakan sebagai anestesi tunggal untuk persalinan dan operasi caesar. Keuntungan

epidural dibandingkan anestesi spinal adalah kemampuan untuk mempertahankan

anestesi terus menerus setelah pemasangan kateter epidural, sehingga membuatnya

cocok untuk prosedur dengan durasi lama seperti persalinan. Kerugian dari anestesi

epidural adalah bahwa onset blok membutuhkan waktu lebih lama daripada anestesi

spinal dan penyebaran blok bisa tidak merata. Stabilitas kardiovaskular adalah salah

satu kelebihannya yang menyiratkan bahwa teknik ini dapat ditoleransi oleh ibu

dengan penyakit jantung. Setelah memasukkan kateter epidural, durasi anestesi /

analgesia dapat diperpanjang dengan agen anestesi lokal atau kombinasi agen dan

opioid tersebut melalui pemasangan kateter intratekal. Prosedur standar untuk

pemberian anestesi epidural pada dasarnya sama untuk blok subarachnoid. Asepsis

harus dijaga sepanjang prosedur. Setelah pembersihan yang dilakukan pada punggung

ibu hamil, bagian subkutan di titik tengah (di lokasi tusukan yang direncanakan)

antara dua tulang belakang yang berdekatan ditargetkan untuk anestesi lokal. Daerah

ini diinfiltrasi lebih dalam di garis tengah dan secara parsial untuk membius struktur

posterior. Tusukan di lokasi dilakukan menggunakan jarum 19G. Jarum epidural

dimasukkan ke dalam kulit pada titik ini, dan maju melalui ligamentum supraspinous,

dengan jarum menunjuk ke arah yang agak cephalad kemudian maju ke ligamen

interspinous sampai sensasi berbeda dari peningkatan resistensi dirasakan saat jarum

masuk ke ligamentum flavum. Titik akhir dari prosedur ini adalah hilangnya

resistensi terhadap udara atau cairan. Begitu jarum memasuki ligamentum flavum,

26
biasanya ada sensasi yang berbeda dari peningkatan resistensi, karena ini adalah

ligamen padat dengan konsistensi kasar.17 18

2.5.3 Combines spinal epidural anesthesia

Meskipun teknik CSE telah menjadi semakin populer selama dua dekade

terakhir, teknik ini merupakan teknikyang lebih kompleks yang membutuhkan

pemahaman komprehensif tentang fisiologi dan farmakologi epidural dan tulang

belakang. Teknik ini menggabungkan kecepatan, kepadatan, dan keandalan anestesi

subarachnoid dengan fleksibilitas anestesi epidural terus menerus untuk

memperpanjang durasi analgesia. Modifikasi CSE konvensional adalah teknik CSE

sekuensial, di mana anestesi spinal diinduksi dengan anestesi lokal intratekal dan

opioid dosis kecil untuk menghasilkan anestesi terbatas yang dapat diperpanjang

dengan epidural anestesi lokal atau saline. 18

2.6 Anestesi appendicitis laparotomy

2.6.1 Evaluasi preoperatif

Tujuan evaluasi pra operasi adalah untuk mendapatkan status medis saat ini

dan sebelumnya. Evaluasi preoperasi akan memberi kemampuan manajemen pasien

perioperatif. Karena masalah medis dapat mempengaruhi anestesi, dokter anestesi

harus memiliki pengetahuan dan menanganinya secara perioperatif. Kemudian

kenyamanan perioperatif dapat dicapai. Penilaian risiko pra operasi dilakukan dengan

menggunakan sistem klasifikasi risiko ASA yang dikembangkan pada tahun 1941

(Tabel 2). Sistem ini didasarkan pada kondisi medis pasien sebelum operasi dan baik

jenis anestesi maupun jenis pembedahan tidak dipertimbangkan dalam klasifikasi ini.

Pemeriksaan fisik sebelum operasi harus mencakup tekanan darah, denyut jantung,

27
frekuensi pernapasan, tinggi dan berat badan. BMI bisa dihitung. Evaluasi jalan nafas

meliputi pemeriksaan gigi dan pengukuran panjang dan rentang gerak leher, jarak

tiromental dan klasifikasi Mallampati yang dilakukan dengan meminta pasien

membuka mulut lebar-lebar (Tabel 3). Auskultasi jantung dan paru-paru; mengamati

upaya pasien untuk berjalan, dapat memprediksi kebutuhan untuk pengujian lebih

lanjut. Untuk pasien dengan faktor risiko penyakit arteri koroner, atau yang memiliki

gejala iskemia, EKG diindikasikan. Pasien obesitas memiliki insidensi yang lebih

tinggi untuk intubasi trakea yang sulit, penurunan oksgnenasi, peningkatan volume

lambung, emboli paru dan kematian mendadak. Penyakit jantung, hipertensi dan

Obstructive Sleep Apnea (OSA) lebih sering terjadi pada pasien obesitas. Obesitas,

hipertensi, dan lingkar leher besar (> 60cm) memprediksi OSA. Pengukuran leher ini

juga memprediksi kesulitan ventilasi dan intubasi. Diagnosis pra operasi dan evaluasi

laboratorium tergantung pada status medis pasien dan riwayat serta prosedur

pembedahan. Persyaratan pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal dan

koagulasi, urinanalisis, radiografi dada pada pasien yang menjalani operasi

laparotomy appendektomi sama dengan prosedur bedah lainnya.19 20

28
Tabel 2. Kriteria ASA

Tabel 3. Klasifikasi malampati

Indikasi utama dari puasa pra operasi adalah untuk mengurangi resiko aspirasi

paru. Pedoman ASA mendukung periode puasa 2 jam untuk cairan. Periode puasa 6

jam setelah makan ringan dan 8 jam setelah makan yang termasuk gorengan atau

makanan berlemak dianjurkan. Makanan padat harus dilarang selama 6 jam sebelum

operasi elektif pada orang dewasa dan anak-anak, meskipun pasien tidak boleh

membatalkan atau menunda operasi mereka hanya karena mereka mengunyah permen

karet, menghisap permen atau merokok segera sebelum induksi anestesi.

29
Rekomendasi ini juga berlaku untuk pasien dengan obesitas dan refluks

gastroesofagus. Minuman kaya karbohidrat yang diberikan sebelum operasi dapat

mengurangi ketidaknyamanan selama periode menunggu sebelum operasi elektif

dibandingkan dengan asupan air oral sebelum operasi atau puasa semalam19.

2.6.2 Manajemen intraoperatif

Peran dokter anestesi adalah untuk meminimalkan respon terhadap stres

akibat pembedahan dan oleh karena itu pilihan harus dipertimbangkan. Blokade saraf

dengan anestesi lokal sangat disarankan, karena teknik ini melemahkan respons

metabolik secara signifikan. Blok harus dicapai sebelum operasi dimulai. Blok

sensorik simetris harus diperluas dari dermatom T3 ke S5. Persyaratan untuk anestesi

umum dikurangi, dan opioid dosis besar tidak dianjurkan. Nitrous oksida dapat

dihindari bila ada risiko kembung. Kualitas yang sangat baik dari relaksasi otot yang

diberikan oleh blok epidural dapat dipertahankan dengan infus anestesi lokal secara

terus menerus dimana sejumlah kecil opioid dapat ditambahkan. Seperti pada blok

simpatis yang luas, hipotensi dapat terjadi, dan ini dapat dikelola dengan pemberian

i.v. cairan (kristaloid) dan penggunaan vasopressor phenylephrine dan epinefrin.

Penggunaan obat obatan untuk anesthesia laparotomy berbagai macam seperti yang

dapat dilihat pada tabel 4.21,22

30
Tabel 4. Dosis obat untuk anestesi spinal.

Karena operasi laparotomy membutuhkan waktu yang lama biasa

ditambahkan obat tambahan yaitu epinefrin, fentanyl, morfine, atau clonidine. Van

Zundert et al melaporkan bahwa dosis 70 mg lidokain subarachnoid biasa

menghasilkan kualitas blok spinal yang sama pada berbagai konsentrasi dan volume.

Sheskey et al menunjukkan tingkat sensorik yang serupa dengan 10 mg bupivakain,

pada konsentrasi dan volume yang berbeda. Namun, dosis 15-20 mg bupivakain biasa

menghasilkan tingkat sensorik spinal (tingkat T2-T4) yang lebih tinggi daripada 10

mg (tingkat T5-T8). Ketika larutan hiperbarik bupivakain atau tetrakain digunakan,

tingkat blok spinal yang sama diperoleh pada dosis yang berbeda, ketika

konsentrasinya dijaga konstan. Dalam kasus bupivakain hiperbarik, hal ini berlaku

selama dosisnya lebih tinggi dari 7,5 mg. Secara umum, semakin tinggi penyebaran

semakin pendek durasi blokade sensorik, karena konsentrasi obat menurun dari titik

injeksi.21,22 Penggunaan cairan perioperatif dalam jumlah besar secara tradisional telah

terbukti memperpanjang durasi rawat inap dengan meningkatkan ileus, meningkatkan

31
tingkat komplikasi, dan menyebabkan kerusakan anastomosis. Persepsi tentang

berapa banyak cairan yang hilang selama laparotomi telah dipertanyakan sehingga

saat ini teknik cairan restriktif atau yang menggunakan bolus cairan yang ditargetkan

secara individual terhadap pengukuran output jantung direkomendasikan. Kedua

strategi ini telah terbukti mengurangi total cairan intravena administrasi dan

meningkatkan outcome. Kristaloid adalah cairan yang direkomendasikan.

Pemantauan output jantung dapat berupa aliran (Doppler esofagus), analisis kontur

denyut nadi, atau berbasis bioimpedansi toraks. Tujuan mobilisasi dini dan nutrisi

hanya mungkin dicapai dengan adanya analgesia yang baik 23. Permasalahan

perioperatif laparotomi mencakup :

- Batuk.

Pasien dengan nyeri perut akut yang membutuhkan laparotomi darurat dan yang

mengalami infeksi dada aktif secara bersamaan dapat batuk di meja operasi karena

nyeri perut mereka berkurang dengan anestesi spinal. Pasien yang batuk selama

operasi memerlukan keterampilan ahli bedah yang siap untuk mentolerir target

yang bergerak.24

- Ketidaknyamanan selama operasi

Selama prosedur pembedahan laparotomi biasanya akan terjadi manipulasi organ

organ dalam yang nantinya akan mengakibatkan rasa tidak nyaman. Pasien juga

mungkin mengeluhkan nyeri yang intens.24

- Hipotensi

Hipotensi terjadi pada 20-30% pasien. Hipotensi biasanya terjadi karena blok

simpatis dan kehilangan cairan intraoperatif dapat memperburuk situasi. Perasaan

32
mual dan tidak enak badan dilaporkan selama episode hipotensi tetapi ini membaik

saat hipotensi diobati. Hipotensi dapat diobati dengan cairan intravena, bolus yang

dititrasi atau infus efedrin hidroklorida atau metaraminol.24

- Mual dan muntah

Pemasangan nasogastrik tube memiliki peran terbatas dalam pembedahan modern

kecuali jika ada alasan khusus. Mungkin lebih baik untuk menghindari

pemasangan selang nasogastrik karena dapat meningkatkan kejadian mual dan

muntah. Penyebab lain mual intraoperatif termasuk hipotensi, manipulasi usus

yang berlebihan oleh ahli bedah, dan pemberian opioid intratekal. Pengobatan

hipotensi, penanganan usus halus dan pemberian anti-emetik dapat mengurangi

atau mencegah mual atau muntah intraoperatif.24

- Gatal

Beberapa pasien mengeluhkan gatal-gatal ringan pada hidung dan pada batang

tubuh tetapi mereka jarang membutuhkan pengobatan.24

2.6.3 Prosedur postoperatif

Perawatan yang baik harus dilakukan selama periode ini, dan sering kali

pasien terabaikan dengan risiko komplikasi. Aspek perawatan yang harus

dipertimbangkan dalam kelompok pasien ini berpusat pada pemulihan fungsi usus.

- Pereda nyeri yang optimal

Beberapa penelitian retrospektif, non-acak dan prospektif terkontrol telah dilakukan

pada manfaat metode pereda nyeri yang berbeda. Meskipun semua metode yang

33
tersedia (opioid parenteral, opioid PCA, dan anestesi lokal) dapat meredakan nyeri

dengan kualitas yang wajar, jelas bahwa tindakan pereda nyeri juga harus bertujuan

untuk melanjutkan pelemahan respons stres bedah dan mendorong pemulihan. Dalam

konteks ini, kombinasi epidural opioid dan anestesi lokal telah terbukti memberikan

pereda nyeri yang optimal memungkinkan pasien untuk bergerak segera setelah

operasi dan mencapai pemulihan fungsi GIT yang cepat.21

- Nutrisi

Pasien yang menjalani prosedur elektif tidak harus berpuasa setelah operasi selama

3-4 hari. Pemberian makan tambahan dapat dilakukan dengan aman dari hari

pertama pasca operasi untuk meminimalkan ileus. Penggunaan metoclopromide

atau cisapride untuk mempercepat pengosongan lambung sangat dianjurkan.21

- Mobilisasi

Pasien harus didorong untuk tidak beranjak dari tempat tidur atau berjalan. Namun

untuk mencapainya, pereda nyeri harus optimal. Latihan pernapasan dan

penerapan postur setengah berbaring adalah inisiatif sederhana yang memiliki efek

menguntungkan pada pemulihan. Pasien harus dipulangkan dengan program

latihan harian sederhana.21

- Tindakan lainnya

Terapi oksigen disarankan selama 48 jam setelah operasi, terutama pada pasien

dengan masalah kardiopulmoner. Posisi setengah duduk (45 °) harus

dipertahankan selama periode pasca operasi. Kateter kandung kemih harus

dilepas 24-48 jam setelah operasi dan perhatian harus diberikan oleh staf untuk

menghindari gangguan pola tidur. 21

34
Kombinasi penilaian risiko pra operasi, temuan intraoperatif, dan status

ventilasi dan hemodinamik pasien dapat digunakan untuk menentukan tatalaksana

terbaik dalam perawatan pasca operasi. Idealnya semua harus memiliki periode

pemantauan ketat baik di unit perawatan pasca anestesi atau pengaturan perawatan

kritis. Penilaian ulang secara rutin diperlukan untuk mengenali pasien yang

memburuk pasca operasi untuk memungkinkan intervensi dan pengobatan dini.23

2.1 TERAPI CAIRAN


Terapi cairan adalah salah satu terapi yang sangat menentukan keberhasilan

penanganan pasien kritis. Dalam langkah-langkah resusitasi, langkah D (“drug

and fluid treatment”) dalam bantuan hidup lanjut, merupakan langkah penting

yang dilakukan secara simultan dengan langkah-langkah lainnya. Tindakan ini

seringkali merupakan langkah “life saving” pada pasien yang menderita

kehilangan cairan yang banyak seperti dehidrasi karena muntah mencret dan

syok hipovolemik.1,14 Dengan terapi cairan kebutuhan akan air dan elektrolit akan

terpenuhi.15

2.6.1 Jenis Cairan dan Indikasinya

Secara garis besar, cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid

dan koloid.14

1. Cairan Kristaloid

Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida).

Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas dalam

35
ruang intravaskular dengan waktu paruh kristaloid di intravaskular adalah 20-30

menit. Beberapa peneliti merekomendasikan untuk setiap 1 liter darah, diberikan

3 liter kristaloid isotonik. Kristaloid murah, mudah dibuat, dan tidak

menimbulkan reaksi imun. Larutan kristaloid adalah larutan primer yang

digunakan untuk terapi intravena prehospital. Ada 3 jenis tonisitas kristaloid,

yaitu:15

a. Isotonis

Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia memiliki

konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “isotonik” (iso, sama; tonik;

konsentrasi). Ketika memberikan kristaloid isotonis, tidak terjadi perpindahan

yang signifikan antara cairan di dalam intravaskular dan sel. Dengan

demikian, hampir tidak ada atau minimal osmosis. Keuntungan dari cairan

kristaloid adalah murah, mudah didapat, mudah penyimpanannya, bebas

reaksi, dapat segera dipakai untuk mengatasi defisit volume sirkulasi,

menurunkan viskositas darah, dan dapat digunakan sebagai fluid challenge

test. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah terjadinya edema perifer

dan edema paru pada jumlah pemberian yang besar. Contoh larutan kristaloid

isotonis seperti ringer laktat, normal saline (NaCl 0.9%), dan dextrose 5%

dalam ¼ NS.

b. Hipertonis

Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, lebih terkonsentrasi

maka disebut sebagai “hipertonik” (hiper; tinggi, tonik; konsentrasi).

Administrasi dari kristaloid hipertonik menyebabkan cairan tersebut akan

36
menarik cairan dari sel ke ruang intravaskular. Efek larutan garam hipertonik

lain adalah meningkatkan curah jantung. Efek samping dari pemberian larutan

garam hipertonik adalah hipernatremia dan hiperkloremia. Contoh larutan

kristaloid hipertonis seperti dextrose 5% dalam ½ NS, dextrose 5% dalam NS,

salin 3%, salin 5%, dan dextrose 5% dalam ringer laktat.

c. Hipotonis

Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari plasma dan

kurang terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik” (hipo; rendah, tonik;

konsentrasi). Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan

berpindah dari intravaskular ke sel. Contoh larutan kristaloid hipotonis seperti

dextrose 5% dalam air, ½ normal salin.

Tabel 7. Komposisi Plasma dan Cairan Kristaloid

Osmolaritas Na+ K+ HCO Cl- Glukosa


pH
-
(mosmol/kg) (mmol/l) (mmol/l) 3 (mmol/l) (mmol/l)
Plasma 295 7.40 140 3.6-5.1 30 100 5
Salin 0.9% 308 5.0 154 0 0 154 0
Salin 7.5% 3.5-
2400 1250 0 0 1250 0
7.0
Ringer laktat 274 6.5 130 4 30 110 0
Ringer asetat 270 6.0 130 4 30 110 0
Plasma-lyte A 294 7.4 140 5 27 98 0
Glukosa (5%) 278 5.0 0 0 0 0 278
Glukosa

(2.5%) + 280 6.0 70 0 25 45 139

elektrolit

37
2. Cairan Koloid

Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi

dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak

lama dalam ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada

pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hemorrhagik

sebelum diberikan transfusi darah, pada penderita dengan hipoalbuminemia berat

dan kehilangan protein jumlah besar (misalnya pada luka bakar). Cairan koloid

merupakan turunan dari plasma protein dan sintetik yang dimana koloid memiliki

sifat yaitu plasma expander yang merupakan suatu sediaam larutan steril yang

digunakan untuk menggantikan plasma darah yang hilang akibat perdarahan,

luka bakar dan operasi. Kerugian dari ‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang

mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat

menyebabkan gangguan pada cross match. Berdasarkan jenis pembuatannya,

larutan koloid terdiri dari:15

a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia (5% dan

25%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma 60°C selama 10 jam untuk

membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain

mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta

globulin. Selain albumin, aktivator Prekalikrein (Hageman’s factorfragments)

terdapat dalam fraksi protein plasma dan sering menimbulkan hipotensi dan

kolaps kardiovaskuler.

b. Koloid sintetik

 Dextran

38
Koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah yang besar.

Dextran diproduksi untuk mengganti cairan karena peningkatan berat

molekulnya, sehingga memiliki durasi tindakan yang lebih lama di dalam

ruang intravaskular. Namun, jarang digunakan karena efek samping terkait

yang meliputi gagal ginjal sekunder akibat pengendapan di dalam tubulus

ginjal, gangguan fungsi platelet, koagulopati dan gangguan pada cross-

matching darah. Tersedia dalam bentuk Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan

berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul

60.000-70.000.

 Hydroxylethyl Starch (HES)

Cairan koloid sintetik yang sering digunakan saat ini. Pemberian 500 ml

larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2

hari dan sisanya, yaitu starch yang bermolekul besar, sebesar 64% dalam

waktu 8 hari. Hetastarch nonantigenik dan jarang dilaporkan adanya reaksi

anafilaktoid. Low molecular weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip

Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume

yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai

plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak

mengganggu koagulasi maka Pentastarch dipilih sebagai koloid untuk

resusitasi cairan jumlah besar.

 Gelatin

Merupakan bagian dari koloid sintesis yang terbuat dari gelatin, biasanya

berasal dari collagen bovine serta dapat memberikan reaksi. Larutan gelatin

39
adalah urea atau modifikasi succinylated cross-linked dari kolagen sapi. Berat

molekul gelatin relatif rendah, 30,35 kDa, jika dibandingkan dengan koloid

lain. Tidak ada batasan dosis maksimum untuk gelatin. Gelatin dapat memicu

reaksi hipersensitivitas, lebih sering daripada larutan HES. Meskipun produk

mentahnya bersumber dari sapi, gelatin dipercaya bebas dari resiko

penyebaran infeksi. Kebanyakan gelatin dieskskresi melalui ginjal.

Berdasarkan penggunaannya, cairan intravena dapat digolongkan menjadi

empat kelompok, yaitu:

1. Cairan Pemeliharaan

Terapi cairan intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu pada penyediaan

IV cairan dan elektrolit untuk pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan

mereka dengan rute enteral, namun sebaliknya baik dalam hal keseimbangan

cairan dan elektrolit dan penanganan (yaitu mereka yang pada dasarnya

euvolemik tanpa signifikan defisit elektrolit, kerugian yang abnormal yang

sedang berlangsung atau masalah redistribusi internal yang kompleks). Tujuan

saat memberikan cairan perawatan rutin adalah untuk menyediakan cukup

cairan dan elektrolit untuk memenuhi insensible losses (500-1000 ml),

mempertahankan status normal tubuh kompartemen cairan dan memungkinkan

ekskresi ginjal dari produk-produk limbah (500-1500 ml). Jenis cairan rumatan

yang dapat digunakan seperti NaCl 0,9%, glukosa 5%, glukosa salin, ringer

laktat/asetat, NaCl 0,9% hanya untuk rumatan yang tinggi kandungan NaCl dari

saluran cerna ataupun ginjal, glukosa 5% atau glukosa salin.

40
2. Cairan Pengganti

Banyak pasien yang membutuhkan cairan intravena memiliki kebutuhan

spesifik untuk menutupi penggantian dari defisit cairan atau kehilangan cairan

atau elektrolit serta permasalahan redistribusi cairan internal yang sedang

berlangsung, sehingga harus dihitung untuk pemilihan cairan intravena yang

optimal.

Cairan dan elektrolit intravena pengganti dibutuhkan untuk menangani

defisit yang ada atau kehilangan yang tidak normal yang sedang berlangsung,

biasanya dari saluran pencernaan (ileostomy, fistula, drainase nasogastrium,

dan drainase bedah) atau saluran kencing (saat pemulihan dari gagal ginjal

akut). Secara umum, terapi cairan intravena untuk penggantian harus

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekstra dari cairan dan elektrolit seperti

kebutuhan pemeliharaan, sehingga homeostasis dapat kembali dan terjaga.

Lakukan penilaian cairan dan elektrolit pasien dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik, monitor klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Cari defisit,

kehilangan yang sedang berlangsung, distribusi yang tidak normal atau

permasalahan kompleks lainnya.

Periksa kehilangan cairan yang sedang berlangsung dan perkirakan

jumlahnya dengan mengecek untuk muntah dan kehilangan cairan melalui

nasogastric tube, diare, kehilangan darah yang berlangsung. Periksa

41
redistribusi dan masalah kompleks lainnya dengan memeriksa pembengkakan,

sepsis berat, dan lainnya. Berikan tambahan cairan dari kebutuhan

pemeliharaan rutin, mengatur sumber-sumber cairan dan elektrolit yang lain.

3. Cairan untuk Tujuan Khusus

Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya

natrium bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi khusus

terhadap gangguan keseimbangan elektrolit.

4. Cairan Nutrisi

Cairan nutrisi biasanya digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien

yang tidak mau makan, tidak boleh makan dan tidak bisa makan peroral. Jenis

cairan nutrisi parenteral pada saat ini sudah dalam berbagai komposisi baik

untuk parenteral parsial atau total maupun untuk kasus penyakit tertentu.

Adapun syarat pemberian nutrisi parenteral yaitu berupa:

 Gangguan absorpsi makanan seperti pada fistula enterokutanateus, atresia

intestinal, kolitis infektiosa, obstruksi usus halus.

 Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pankreatitis berat,

status preoperatif dengan malnutrisi berat, angina intestinal, stenosis arteri

mesenterika, diare berulang.

 Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan, pseudo-

obstruksi dan skleroderma.

42
 Kondisi dimana jalur enteral tidak dimungkinkan seperti pada gangguan

makan, muntah terus menerus, gangguan hemodinamik, hiperemesis

gravidarum.

2.6.2 Terapi Cairan Perioperatif

Terapi cairan perioperatif mencakup penggantian kehilangan cairan atau

defisiensi cairan yang ada sebelumnya, dan kehilangan darah pada tindakan

bedah seperti pada sebelum tindakan pembedahan, selama, dan pasca

pembedahan. National Confidential Enquiry into Patient Outcome and Death

menyatakan bahwa pasien dengan hipovolemik yang mendapatkan terapi cairan

perioperatif dengan jumlah tidak adekuat mengalami peningkatan angka

mortalitas 20,5% dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi cairan

dengan jumlah yang adekuat.15

1. Terapi cairan prabedah

Prinsip pemberian cairan prabedah adalah untuk mengganti cairan dan kalori

yang dialami pasien prabedah akibat puasa. Cairan yang digunakan adalah

untuk mengganti puasa diberikan cairan pemeliharaan, untuk koreksi defisit

puasa atau dehidrasi diberikan cairan kristaloid, perdarahan akut diberikan

cairan kristaloid dan koloid atau transfusi.15

2. Terapi cairan selama operasi

Tujuan dari pemberian cairan selama operasi adalah sebagai koreksi

kehilangan cairan melalui luka operasi, mengganti perdarahan dan mengganti

cairan yang hilang melalui organ eksresi. Idealnya, perdarahan seharusnya

43
diatasi dengan penggantian cairan dengan kristaloid atau koloid untuk menjaga

volum intravaskular (normovolemia) sehingga risiko terjadinya anemia dapat

diatasi. Namun jika terjadi anemia berat pada pasien dapat diatasi dengan

pemberian transfusi darah. Untuk menentukan jumlah transfusi yang akan

diberikan dapat ditentukan dari hematokrit dan dengan menghitung estimated

blood volume.

Hal yang terpenting juga berdasarkan dari kondisi klinis pasien dan prosedur

operasi yang akan pasien jalani. Jumlah kehilangan darah dapat dihitung

dengan beberapa cara diantaranya menghitung estimated blood volume yakni

volume darah (65ml/kg untuk wanita dewasa, 75 ml/kg untuk pria dewasa)

dikalikan dengan berat badan pasien.Jumlah perdarahan selama operasi

dihitung berdasarkan jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampung

atau tabung suction, tambahan berat kasa yang digunakan (1 gram=1 ml darah),

ditambah dengan faktor koreksi sebesar 25% kali jumlah yang terukur ditambah

terhitung (jumlah darah yang tercecer dan melekat pada kain penutup lapangan

operasi).15

3. Terapi cairan pasca bedah

Pemberian cairan pasca bedah digunakan tergantung dengan masalah yang

dijumpai, bisa mempergunakan cairan pemeliharaan, cairan pengganti atau

cairan nutrisi. Prinsip dari pemberian cairan pasca bedah adalah:15

a. Dewasa

44
 Pasien yang diperbolehkan makan/minum pasca bedah, diberikan cairan

pemeliharaan

 Apabila pasien puasa dan diperkirakan <3 hari maka diberikan cairan

nutrisi dasar yang mengandung air, elektrolit, karbohidrat, dan asam

amino esensial.

 Apabila diperkirakan puasa >3 hari maka bisa diberikan cairan nutrisi

yang sama dan pada hari ke lima ditambahkan dengan emulsi lemak

 Pada keadaan tertentu, misalnya pada status nutrisi pra bedah yang buruk

segera diberikan nutrisi parenteral total.

b. Bayi dan anak, memiliki prinsip pemberian cairan yang sama, hanya

komposisinya berbeda, misalnya dilihat dari kandungan elektrolitnya, jumlah

karbohidrat dan lain-lain.

c. Pada keadaan tertentu misalnya pada penderita syok atau anemia,

penatalaksanaannya disesuaikan dengan etiologinya.

2.6.3 Teknik Pemberian

Secara umum telah disepakati bahwa pemberian terapi cairan dilakukan

melalui jalur vena, baik vena perifer maupun vena sentral melalui kanulasi

tertutup atau terbuka dengan seksi vena.15

1. Kanulasi Vena Perifer

Syarat dari pemilihan kanulasi ini adalah vena di daerah ekstremitas atas

berikutnya dilanjutkan pada vena bagian ekstremitas bawah. Hindari vena di

daerah kepala karena sangat tidak terfiksasi, sehingga mudah terjadi

hematom. Pada bayi baru lahir, vena umbilikalis bisa digunakan untuk

45
kanulasi terutama dalam keadaan darurat. Tujuan dilakukannya kanulasi

vena perifer ini adalah untuk:15

 Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Apabila lebih dari tiga

hari, harus pindah lokasi vena dan set infus harus diganti pula.

 Terapi cairan pengganti dalam keadaan darurat, untuk menganti

kehilangan cairan tubuh atau perdarahan akut.

 Terapi obat lain secara intravena yang diberikan secara kontinyu atau

berulang.

2. Kanulasi Vena Sentral

Kanulasi dengan penggunaan jangka panjang, misalnya untuk nutrisi

parenteral total, kanulasi dilakukan melalui vena subklavikula atau vena

jugularis interna. Sedangkan untuk jangka pendek, dilakukan melalui vena-

vena di atas ekstremitas atas secara tertutup atau terbuka dengan vena seksi.

Tujuan dari kanulasi vena sentral ini adalah:

 Terapi cairan dan nutrisi parenteral jangka panjang. Terutama untuk

cairan nutrisi parenteral dengan osmolaritas yang tinggi untuk mencegah

iritasi pada vena.

 Jalur pintas terapi cairan pada keadaan darurat, misalnya kardiovaskular,

vena perifer sulit diidentifikas

BAB III

LAPORAN KASUS

46
3.1. Identitas Pasien

Nama : Tn. T.H

TTL/Umur : 01-01-1994 / 26 tahun

No. RM : 41 63 23

Alamat : Yahukimo

Jenis Kelamin : Laki - laki

Berat Badan : 98 kg

Tinggi Badan : 168 cm

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Mahasiswa

Suku Bangsa : Papua

Status Maritas : Belum Menikah

Ruangan : Instalasi Gawat Darurat

Tanggal MRS : 27 Oktober 2020

Tanggal Operasi : 28 Oktober 2020

3.2. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 27 Oktober 2020

3.2.1. Keluhan Utama: Nyeri perut bagian bawah

3.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien rujukan dari RSUD DEKAI dengan diagnosis Susp. Appendisitis

Akut diantar keluarga ke IGD RS DOK II Jayapura dengan keluhan nyeri

47
perut bagian bawah ± 1 minggu yang lalu, demam (+), mual (+), muntah 2

kali, nyeri ulu hati (+) sekitar 1 minggu hari yang lalu. Batuk, pilek di

sangkal. Makan, minum baik. BAK/BAB lancar.

3.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat Asma : Disangkal

 Riwayat Penyakit Malaria : Disangkal

 Riwayat Hipertensi : Disangkal

 Riwayat Diabetes Melitus : Disangkal

 Riwayat Penyakit Kardiovaskular : Disangkal

 Riwayat Pengobatan : Disangkal

 Riwayat Operasi Sebelumnya : Disangkal

 Riwayat Anestesi : Disangkal

3.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga

 Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita sakit seperti pasien

 Riwayat Diabetes Mellitus : Disangkal

 Riwayat Asma : Disangkal

 Riwayat Jantung : Disangkal

 Riwayat Hipertensi : Disangkal

3.2.5. Riwayat Alergi

 Riwayat Alergi Makanan : Disangkal

 Riwayat Alergi Minuman : Disangkal

48
 Riwayat Alergi Obat : Disangkal

3.3. Pemeriksaan Fisik

 Status Generalis

Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Compos Mentis, GCS : E4V5M6

Berat badan : 98 Kg

Tinggi badan : 168 cm

IMT : 34,7 ( Obesitas Class II)

 Tanda-tanda Vital

Tekanan Darah : 130/80 mmHg

Nadi : 92x/menit, reguler, kuat angkat, terisi penuh

Respirasi : 24x/menit

Suhu badan : 36.80C

Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-

Kepala: Mata : Pupil: bulat, isokor, diameter ODS : 3 mm,

Refleks cahaya (+/+)


Hidung : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-).
Telinga : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-).
Mulut : Deformitas (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks : Paru

49
Gerak dinding dada simetris, retraksi dinding
Inspeksi :
dada (-), jejas (-)
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra
Perkusi : Sonor (+/+)
Suara napas vesikuler (+/+), suara rhonki (-/-),
Auskultasi :
suara wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra

Pinggang : ICS III linea parasternals sinistra

Perkusi : Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial linea

midclavicularis sinistra

Batas kanan : ICS V linea parasternalis dextra

Bunyi jantung I-II, reguler, murmur (-), gallop


Auskultasi :
(-)
Abdomen : Inspeksi : Tampak datar, jejas (-)
Datar (+), supel (+), nyeri tekan regio

epigastrium (+), nyeri tekan regio iliaca kanan


Palpasi :
dan kiri sampai regio suprapubik (+), hepar

dan lien tidak teraba membesar.


Perkusi : Tymphani.

50
Auskultasi : Bising usus (+), 4-5 kali/menit.

Genitalia : Dalam batas normal

Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary Refill Time

Ekstremitas : < 2”, Edema tidak ada, kekuatan otot di ekstremitas superior

et inferior : 5

3.4. Pemeriksaan Penunjang

3.4.1. Pemeriksaan Laboratorium (27 Oktober 2020)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

Hematologi Rutin

Kadar Hemoglobin 15.2 13.3-16.6 g/dL

Hitung Hematokrit 43.7 41.3-52.1 %

Hitung Jumlah Leukosit 11.95 3.37-8.38 10^3/uL

Hitung Jumlah Trombosit 168 140-400 10^3/uL

Hitung Jumlah Eritrosit 5.12 3.69-5.46 10^3/uL

Hitung Jenis Leukosit

Sel Basofil 0.0 0.3-1.4 %

Sel Eosinofil 2.0 0.6-5.4 %

Sel Neutrofil 73.0 39.8-70.5 %

51
Sel Limfosit 20.0 23.1-49.9 %

Sel Monosit 5.0 4.3-10.0 %

Kimia Darah

Glukosa Darah Sewaktu 102 <= 140 mg/dL

BUN 17.9 7-18 mg/dL

Creatinin 1.11 <= 0.95 mg/dL

Urinalisa Lengkap (Manual)

Volume/Jumlah - 750-2000 mL/24 jam mL

Warna Kuning Kuning muda-kuning

pH 5.0 4.6-8.5

Berat Jenis 1030 1002-1030

Koagulasi

Masa Perdarahan (BT) 3’30” 1.0-5.0 Menit

Masa Pembekuan (CT) 10’00” 5.0-15.0 Menit

Serologi

Non
HBs Ag (Rapid) Non Reaktif
Reaktif
3.5. Konsultasi Terkait

Konsultasi Bagian Anestesi

52
28 Oktober 2020, advice:

 Acc Operasi

 Puasa

 Siapkan SIO

 Siapkan Darah

3.6. Penentuan PS ASA / Status Anestesi

PS. ASA : PS ASA II (Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang,

yang disebabkan baik oleh keadaan yang harus diobati dengan jalan

pembedahan maupun oleh proses patofisiologis)

3.7. Persiapan Anestesi

Hari/Tanggal : 28-10-2020
Persiapan
: Informed consent (+), SIO (+), puasa (+)
Operasi
Makan/Minum
: 8 jam sebelum operasi
Terakhir
BB/TB : 98 Kg/168 cm
TTV di Ruang Tekanan darah:120/70 mmHg; nadi: 92x/m, reguler, kuat angkat,

Operasi terisi penuh; respirasi: 22x / menit; suhu badan:36,8oC


:
(28-10-2020,

11.00 WIT)
SpO2 : 99%

53
Diagnosa Pra
: Appendisitis Akut
Bedah

Indikasi Pra
: Laparatomi Appendiktomi
Bedah

Airway:
Look : Jalan napas bebas, Mallampati Score : 1

Feel : Terasa hembusan nafas pasien di pipi pemeriksa.


Terdengar hembusan napas pasien,
Listen :
Pasien bicara spontan.
Breathing:
B1 : Gerak dinding dada simetris, retraksi sela iga (-),
Inspeksi :
frekuensi napas: 22 kali/menit
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra.
Perkusi : Sonor.
Auskultasi Suara nafas vesikuler (+/+), suara rhonki (-/-),
:
suara wheezing (-/-).
Akral: teraba hangat, kering, warna: merah

Perfusi muda, Capillary Refill Time< 2”, TD:110/70


:
mmHg,

Nadi: 92x/m, reguler, kuat angkat, terisi penuh


Jantung:
B2 : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : tidak dilakukan evaluasi

Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi


Bunyi jantung I-II, regular, murmur (-), gallop
Auskultasi :
(-)
B3 : : Compos Mentis, GCS : E4V5M6 = 15,

54
Riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-),

Kesadaran Nyeri kepala (-), pandangan kabur (-),

Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,

refleks cahaya (+/+)


B4 : BAK (+), produksi urin pre operasi 600 cc, warna kuning
Inspeksi : Perut tampak datar
Datar, supel, nyeri tekan regio epigastrium (+),

nyeri tekan regio iliaca kanan dan kiri sampai


Palpasi :
B5 :
regio suprapubik (+), hepar dan lien tidak teraba

membesar.
Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi
Auskultasi : Bising usus (+) 4-5 kali/menit
Edema (-) di ekstremitas superior- inferior, Fraktur (-), kekuatan
B6 :
otot ekstremitas superior et inferior: 5
Ranitidine 50 mg/12 jam (01.00 WIT , 13.00 WIT)

Medikasi Pra Ceftriaxone 1gr/12 jam (01.00 , 13.00)


:
Bedah Metronidazole 500mg/8 jam (IV) (01.00 ,09.00, 17.00)

Ketorolac 30mg/ 12 jam (01.00 , 13.00)

3.8. Laporan Durante Operasi

3.8.1. Laporan Anestesi

Ahli Anestesiologi : dr. Diah Widyanti Sp.An, KIC


Ahli Bedah : dr. Erick Akwan, Sp (B)
Jenis Pembedahan : Laparatomi Appendiktomi
Jenis Anestesi : Regional Anestesi
Anestesi dengan : Bupivakain 0,5 % ( 20 mg )
Teknik Anestesi : Pasien di dudukkan

55
Identifikasi L3- L4

Lakukan desinfektan lapangan anastesi dengan betadine dan

alkohol

Tusuk L3 – L4 dengan spinocain No.27

Blood (-) , LCS (+), Injeksi Bupivakain 20mg.

Pasien di baringkan kembali


Pernafasan : Oksigen nasal 2-3 lpm
Posisi : Supine
Pada tangan kiri terpasang IV line abocath 18 G dengan
Infus :
cairan Ringer Laktat 500 cc
Penyulit Pembedahan : -
Obat yang digunakan :

Premedikasi : -

Induksi dan
: Bupivakain HCL 0,5% (20 mg) ( Jam 11.33 WIT)
Maintenance
Midazolam 2,5mg (Jam 12.05 WIT)

Fentanil 50 mcg (Jam 12.05 WIT)

Ketamin 100 mg (Jam 12.05 WIT)


Medikasi Durante
: Petidin 30 mg (Jam 12.10 WIT)
Operasi
Ranitidin 50 mg (Jam 12.35 WIT)

Ondansentron 4 mg (Jam 12.35 WIT)

Metamizole Sodium 1gram (Jam 12.37 WIT)


Tanda-tanda vital
TD: 128/70 mmHg, Nadi :90x/m, reguler, kuat angkat,
pada akhir :
Suhu badan: 36,70C , Frekuensi napas: 24 x/m, SpO2: 99%
pembedahan

56
3.8.2. Observasi Durante Op

160

140

120

100
Sistolic
80
Diastolic
60 Nadi

40

20

0
11.40' 11.50' 12.00' 12.10' 12.20' 12.30' 12.40' 12.50' 13.00' 13.10' 13.20'

Diagram 1. Diagram Observasi Tekanan Darah dan Nadi Durante Op

3.9 Terapi Cairan

Cairan yang dibutuhkan Aktual

57
PRE OPERASI PRE OPERASI
1. Maintenance = BB x Kebutuhan cairan/jam = Input : RL 500 cc
98 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 98 - 196 cc/jam Output : Urine : 600 cc
Replacement
Pengganti puasa jam :
8 jam x kebutuhan cairan/jam =
8 x 98-196cc/jam = 784 - 1568cc
2. Perdarahan = (tidak ada)

DURANTE OPERASI DURANTE OPERASI


Kebutuhan cairan selama operasi 1,5 jam (90menit) Input :
1. Maintenance Gelofusal 500 cc
98 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 98-196 cc/jam Rl 500 cc
Untuk 1,5 jam = 1,5x 98-196 cc/jam = 147-294 RL 500 cc
cc/jam Output :
Terpasang DC, Urin (+)
2. Replacement Produksi 200 cc
Perdarahan ±300 cc Total Perdarahan = ± 300cc
EBV = 75 cc x BB = 75 cc x 98 kg = 7350 cc
10% EBV = 735 cc ;
20 % = 1470 cc

30 % = 2205 cc

Pengantian kehilangan cairan karena penguapan


selama operasi :
Operasi kecil : 4 – 6 ml x BB
Operasi sedang : 6 – 8 ml x BB
Operasi besar : 8 – 10 ml x BB

3. Cairan yang terlokasi selama operasi bedah

58
sedang:
= 6 x 98 = 588 cc/jam

= 8 x 98 = 784 cc/jam

Kebutuhan cairan karena penguapan = 9.8 cc – 13

cc/menit

= 1 jam 30 menit = 90 x 9.8 cc-13cc = 882-1.170 cc

Total kebutuhan cairan durante operasi :


= (147-294)cc + (300) cc + (882-1.170)cc

= 1329 – 1764 cc
POST OPERASI POST OPERASI
1. Maintenance Input :
= BB x Kebutuhan cairan/ jam x 24 jam Volume cairan:
= 98 kg x 1-2 cc/kgbb/jam x 24 RL 2000 cc
= 98-196cc/ jam
2. Replacement
- Kebutuhan cairan post op selama 18 jam
= (98-196cc)x 18
= 1764 – 3528cc

- Kebutuhan Elektrolit :
 Natrium : 2-4 mEq/kgBB/hari = 196-392mEq/24
jam
 Kalium : 1-3 mEq/kgBB/hari = 98-294mEq/24
jam
 Kalori : 25-30 mg/kgBB/hari = 2450-2.940
kkal/24 jam
 Asam Amino : 1-2 mg/kgBB/hari = 98-

59
196mg/hari

3.10 Post anestesi care

- Tempat tidur pasien aman

Pasien dibaringkan dengan posisi supine, lurus

- Monitor

Dipasangkan monitor hemodinamik pada pasien (tekanan darah, nadi, saturasi

oksigen, respirasi). Tetap pantau dan observasi keadaan pasien.

- Kesadaran dan fungsi vital

Pastikan pasien sadar penuh dengan mengajak bicara. Pantau keadaan fungsi

vitalnya, pastikan fungsi vital baik dan stabil.

Keadaan akhir pembedahan:

 Perfusi: dingin, kering, merah

 CRT<2”

 Tekanan Darah: 120/74 mmHg

 Nadi: 84x/m

 RR: 22x/m

 SpO2 : 99%

Aldrete’s score:

 Aktivitas : semua anggota gerak bergerak secara atas perintah (2)

 Respirasi: bernapas adekuat dan dapat batuk (2).


60
 Sirkulasi: tekanan darah berbeda +- 20% dari semula (2).

 Kesadaran: Sadar penuh (2)

 Warna kulit: seperti semula (2)

Jumlah 10: pasien dapat dipindahkan ke ruangan.

Skor Bromage:

Obyek Nilai

Jika terdapat gerakan penuh tungkai 3

Jika mampu memfleksikan lutut tetapi tidak bisa 2


mengangkat tungkai

Jika tidak mampu memfleksikan tungkai 1

Jika tidak mampu memfleksikan pergelangan kaki 0

Nilai total 3

1. 11 Instruksi Post Operatif

IVFD RL 500 cc / 8 jam

Injeksi Ceftriaxone 1 gr/12 jam

Injeksi Metronidazole 500 mg/8 jam

61
Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam

Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam

3.12 Follow Up Post Operatif

Tanggal Pemeriksaan Planning


29-10-2020 S : nyeri pada luka operasi - IVFD RL 500 cc / 8 jam

O: - Injeksi Ceftriaxone 1 gr/8 jam

B1 : airway bebas, nafas spontan, RR (IV)

20 x/mnt, suara nafas vesikuler, rhonki - Injeksi Metronidazole 500 mg/8

-/-, wheezing -/-. jam

B2 : perfusi hangat, kering, merah, - Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam

CRT <2’, TD 110/70mmHg, nadi 79 - Mobilisasi jalan

x/mnt, kuat angkat, regular.

B3 : kesadaran compos mentis, GCS

E4V5M6, pupil bulat isokor, diameter

ODS 3 mm.

B4 : terpasang DC, produksi urin (+),

warna kuning jernih.

B5 : abdomen datar, BU (+), supel,

nyeri tekan (+) nyeri tekan luka

operasi (+)

B6 : Edema (-) di ekstremitas superior-

inferior, Fraktur (-),kekuatan otot

ekstremitas superior et inferior:

62
A :Peritonitis ec Appendisitis Perforasi

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien laki laki usia 26 tahun datang ke instalasi gawat darurat dengan

keluhan nyeri perut bagian bawah. Pasien rujukan dari RSUD DEKAI dengan

diagnosis Susp. Appendisitis Akut diantar keluarga ke IGD RS DOK II Jayapura

dengan keluhan nyeri perut bagian bawah ± 1 minggu yang lalu, demam (+), mual

(+), muntah 2 kali, nyeri ulu hati (+) sekitar 1 minggu hari yang lalu. Batuk, pilek di

sangkal. Makan, minum baik. BAK/BAB lancar. Riwayat penyakit sebelumnya

seperti asma, malaria, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular,

pengobatan, operasi sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit turunan pada keluarga

seperti asma, alergi, DM dan hipertensi disangkal.

Pada pemeriksaan tanda tanda vital didapatkan tanda vital dalam batas

normal. Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan nyeri tekan region epigastrium,

63
iliaka kanan dan kiri, dan juga region suprapubik. Hasil laboratorium didapatkan

peningkatan leukosit yaitu 11.950/uL, dan penurunan limfosit 20%.

Dari kasus tersebut pasien didiagnosis sebagai appendicitis akut dengan

rencana laparotomy appendektomi.

A. Penentuan PS ASA

Menurut teory physical status dari American Society of Anesthesiologistdilakukan

untuk menentukan prognosis pada pasien sebelum dilakukan tindakan anestesi. Hal ini

bertujuan untuk mengetahui risiko apa yang bisa terjadi pada pasien tersebut dan tindakan

apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hal tersebut. PS ASA II Pasien dengan gangguan

sistemik ringan sampai sedang, yang disebabkan baik oleh keadaan yang harus diobati

dengan jalan pembedahan maupun oleh proses patofisiologis. Pada kasus ini pasien

tergolong PS ASA II yaitu karena keadaan yang harus diobati dengan jalan pembedahan

atau proses patofisiologis.

B. Penentuan Jenis Anestesi, Mengapa Regional anastesi spinal?

Teori Kasus

Anestesi spinal (subaraknoid) Pada pasien ini digunakan teknik Regional

adalah anestesi regional dengan Anestesi (RA) dengan Sub Arakhnoid Block

tindakan penyuntikan obat (SAB), yaitu pemberian obat anestesi lokal ke

anestetik lokal ke dalam ruang ruang subarachnoid. Teknik ini sederhana,

subaraknoid. cukup efektif. Pemilihan teknik anestesi

Anestesi spinal/subaraknoid spinal adalah karena prosedur pembedahan

disebut juga sebagai blok spinal dilakukan pada area gastrointestinal bagian

64
intradural atau blok intratekal. bawah. Selain itu tidak didapatkan adanya

Anestesi spinal dihasilkan bila kontraindikasi dari anestesi spinal pada

kita menyuntikkan obat analgesic pasien ini seperti penolakan pasien, infeksi

lokal ke dalam ruang pada tempat penyuntikan, hipovolemia

subarachnoid di daerah antara berat, syok, terapi antikoagulan, tekanan

vertebra L2-L3 atau L3- L4 atau intracranial tinggi, dan kelainan psikis. Selain

L4-L5. ). itu dengan dilakukan anestesi spinal maka

Anestesi spinal ini digunakan pada efek merugikan dari anestesi umum dapat

hampir semua operasi abdomen dihindari seperti menghindari penggunaan

bagian bawah (termasuk seksio ventilasi, risiko aspirasi, dan juga

sesaria), anstesi general dapat di postoperatif analgesi yang lebih adekuat.

lakukan jika diantaranya ada

penolakan pasien, infeksi pada

tempat suntikan, hipovolemia,

koagulopati, dan peningkatan

tekanan intrakanial,

Hasil : Sudah tepat

C. Penentuan Obat Anestesi

Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan Bupivacaine yang merupakan

anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan

rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok

proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel. Pada pasien ini juga

65
diberikan fentanyl sebanyak 1 cc. Fentanyl merupakan suatu opioid sintetik berupa

larutan yang berikatan dengan sitrat. Karena sifat analgesia yang baik, onset yang

cepat dan durasi yang singkat, sedikit mendepresi kardiovaskular serta tidak

menyebabkan pelepasan histamin, maka fentanyl seringkali menjadi pilihan utama

sebagai agen premedikasi dan induksi dalam anestesi umum. Fentanyl merupakan

suatu agonis reseptor mu (μ) dan sifat analgetiknya 100 kali lebih poten dari morfin.

Fentanyl umumnya diberikan secara intravena walaupun dapat juga diberikan

intramuscular, intra tekal dan epidural. Indikasi pemberian fentanyl pada pasien ini

adalah sebagai analgesic dan juga untuk memperpanjang durasi dari bupivacaine

karena pada kasus ini pembedahan laparotomy membutuhkan waktu yang lama. Pada

pasien ini juga diberikan petidin yang merupakan analgesic sistesis yang bekerja

dengan mengaktifkan reseptor opioid di susunan saraf sehingga impuls nyeri

terhambat. Pada pasien ini diberikan petidin sebanyak 30 mg.

Selain itu, pasien ini juga diberikan sedacum 2,5 mg yang merupakan obat

midazolam yang merupakan golongan benzodiazepine. Benzodiazepin bekerja pada

asam γ aminobutirat (GABA) yang merupakan neurotransmiter utama disusunan saraf

pusat. Pemberian obat ini untuk kecemasan pasien terhadap operasi. Pada pasien ini

diberikan midazolam sebanyak 2,5 mg.

Pada pasien ini juga diberikan ranitidin, ondansentron. Ranitidin merupakan

golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja ranitidin adalah

menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan reversibel sehingga dapat

menghambat sekresi cairan lambung. Ondansetron suatu antagonis reseptor 5HT3

yang bekerja secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual

66
dan muntah. Pemberian obat-obat ini untuk mencegah mual serta muntah yang dapat

terjadi pada anestesi spinal.

D. Critical Point Pada Kasus

Problem Actual Potensial Antisipasi

List
Airway bebas, - Hipoksia dan - Pemberian O2

spontan, RR: Hiperkarbia yang adekuat

22x/mnit, SN: dengan nasal kanul

vesikuler +/+, atau masker

rhonki -/-, - Monitoring tanda

wheezing -/-, tanda vutal

SpO2: 100%
- Aspirasi - Pengosongan
B1
lambung,

netralisasi asam

lambung

- Mengurangi

produksi asam

lambung
Perfusi hangat, - Hipotensi - Observasi tekanan

67
kering, merah darah

Nadi:92x/menit - Bila kekurangan

, TD: 110/70 cairan, rehidrasi

mmHg dengan kristaloid

- Apabila akibat

anestesi spinal,

dapat diberikan

efedrin 5-10 mg

yang sudah

diencerkan.
- Perdarahan - Monitoring tanda-

tanda vital

- Hitung EBV dan

EBL

- Pengantian

kehilangan darah

dengan kristaloid

(2-4x EBL), koloid

(1-2x EBL), atau


B2
produk darah (1x

EBL)
- Syok - Pemberian cairan

hipovolemi preoperative yang

68
adekuat

- Loading cairan

preoperasi 500-

1000 cc
- Bradikardia - Pemberian sulfas
Anemia
- atropin 0,5 mg
Fisiologis

- Nyeri kepala - O2 adekuat

- Berikan anti nyeri


Oligouria-Anuria - Rehidrasi

Monitoring produksi

dan warna urin

B3 Kesadaran: - Mual dan Muntah Pemberian Ranitidin

compos mentis dan Ondansentron

E4V56, pupil

bulat isokor,

ODS 3 mm
B4 Terpasang DC Refluks Pemberian Ranitidin

(+) produksi gastroesofageal saat dan Ondansentron

±150 cc, kuning operasi

jernih
B5 Datar, supel, - Nyeri postoperatif Pemberian analgesi

nyeri tekan yang adekuat

regio

69
epigastrium (+),

nyeri tekan

regio iliaca

kanan dan kiri

sampai regio

suprapubik (+),

hepar dan lien

tidak teraba

membesar.
B6 Akral hangat,

tidak ada edema

pada kedua

tungkai bawah,

fraktur (-),

deformitas

vertebra (-)

E. Obesitas pada laparotomi


Volume paru-paru pada pasien obesitas berkurang secara signifikan pada

periode pasca operasi. Ada korelasi terbalik linier setelah premedikasi antara

kapasitas vital dan BMI. Otot dinding perut memainkan peran utama dalam

ekspirasi paksa. Hal ini mungkin menjadi kurang efektif dengan adanya blok yang

baik. Selain itu, terdapat kesulitan yang signifikan dalam penentuan tempat suntik

anestesi spinal pada obesitas. Hal ini disebabkan kurangnya landmark tulang yang

70
teraba, kedalaman ruang (jarum ekstra panjang mungkin diperlukan), dan

hilangnya resistensi pada jaringan lemak. Pendekatan analgesik multimodal sering

diperlukan. Hal ini termasuk opioid, obat antiinflamasi non steroid (NSAID),

asetaminofen, dan blok anestesi lokal lainnya. Selain itu dapat ditemukan

komplikasi gastrointestinal pada pasien obesitas. Hal ini disebabkan terjadi

peningkatan tekanan intraabdominal yang tinggi. Untuk menurunkan risiko

aspirasi diberikan ranitidine dan juga ondansetron.

F. Terapi dan Resusitasi Cairan Pre-Operatif

Selain penentuan pemilihan anestesi pada pasien ini, juga dipertimbangkan

mengenai terapi cairan selama masa perioperatif. Terapi cairan sendiri adalah

tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis

dengan cairan infus kristaloid atau koloid secara intravena.Kebutuhan cairan pre-

operatif bertujuan untuk menggantikan kehilangan cairan selama puasa dan untuk

memenuhi kebutuhan maintenance-nya.

Cairan yang dibutuhkan Aktual


PRE OPERASI PRE OPERASI
3. Maintenance = BB x Kebutuhan cairan/jam = Input : RL 500 cc
98 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 98 - 196 cc/jam Output : Urine : 600 cc
Replacement
Pengganti puasa jam :
8 jam x kebutuhan cairan/jam =
8 x 98-196cc/jam = 784 - 1568cc
4. Perdarahan = (tidak ada)
Selama preoperatif pasien diberikan cairan isotonik golongan Kristaloid yaitu Ringer
Laktat yang merupakan cairan resusitasi dan cairan rumatan dan juga gangguan
keseimbangan elektrolit. Cairan ini di distribusikan ke intraseluler. Kebutuhan cairan

71
preoperatif pasien sebagai pengganti puasa 8 jam sebesar 784 - 1568cc, aktualnya input
cairan yang diberikan sebelum tindakan operasi hanya sebanyak 500 cc. Pada kasus ini
kebutuhan cairan pasien selama preoperatif belum terpenuhi. Pasien yang akan dioperasi
setelah semalam puasa tanpa intake cairan yang cukup akan menyebabkan defisit cairan yang
sebanding dengan lamanya puasa. Defisit cairan yang tidak segera digantikan sesegara
mungkin bisa mengalami dehidrasi hingga jatuh dalam keadaan syok. Terapi cairan untuk
intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan penggantian defisit cairan preoperatif serta
cairan yang hilang selama durante operatif (kehilangan darah dan evaporasi). Untuk balance
aktual pada kasus ini selama preoperatif hingga durante operatif, total input cairan RL 1500cc
+ gelafusal 500cc = 2000cc, kemudian total output 600cc + 500cc = 1100cc hasilnya +
900cc.

G. Terapi dan Resusitasi Cairan Durante Operatif


Resusitasi cairan durante operatif bertujuan untuk memenuhi kebutuhan maintenance
cairan menurut jenis operasi dan lama waktunya serta kebutuhan replacement cairan yang
hilang selama operatif dan perdarahan berdasarkan total estimasi kehilangan darah selama
operasi.
DURANTE OPERASI DURANTE OPERASI
Kebutuhan cairan selama operasi 1,5 jam (90menit) Input :
1. Maintenance Gelofusal 500 cc
98 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 98-196 cc/jam Rl 500 cc
Untuk 1,5 jam = 1,5x 98-196 cc/jam = 147-294 RL 500 cc
cc/jam Output :
2. Replacement Terpasang DC, Urin (+)
Perdarahan ±300 cc Produksi 200 cc
EBV = 75 cc x BB = 75 cc x 98 kg = 7350 cc Total Perdarahan = ± 300cc
10% EBV = 735 cc ;
20 % = 1470 cc
30 % = 2205 cc
Pengantian kehilangan cairan karena penguapan
selama operasi :

72
Operasi kecil : 4 – 6 ml x BB
Operasi sedang : 6 – 8 ml x BB
Operasi besar : 8 – 10 ml x BB

3. Cairan yang terlokasi selama operasi bedah


sedang:
= 6 x 98 = 588 cc/jam
= 8 x 98 = 784 cc/jam
Kebutuhan cairan karena penguapan = 9.8 cc – 13
cc/menit
= 1 jam 30 menit = 90 x 9.8 cc-13cc = 882-1.170 cc
Total kebutuhan cairan durante operasi :
= (147-294)cc + (300) cc + (882-1.170)cc
= 1329 – 1764 cc

Kebutuhan cairan replacement yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan


maintenance durante operasi pada kasus ini adalah berjumlah 1329 – 1764 cc pada
kasus diberikan 1500 cc dan sudah bisa mencukupi kebutuhan replacement pasien
dengan berat badan 98 kg dan dengan lama operasi 90 menit.
Selama durante operasi, perdarahan pada pasien ini yaitu ± 300 cc, dengan
Estimate Blood Loss (EBL)= 10% EBV. Bila meninjau dari teori jika jumlah
perdarahan <10 % EBV,maka pasien tidak perlu dilakukan transfusi. Perdarahan pada
pembedahan tidak selalu perlu transfusi, untuk perdarahan di bawah 20% dari volume
darah total cukup diganti dengan cairan infus yang komposisi elektrolitnya kira-kira
sama dengan komposisi elektrolit serum misalnya dengan Ringer Laktat. Dapat juga
diberikan campuran cairan kristaloid + koloid. Pemberian koloid adalah untuk
mengatasi gejala defisit plasma pada pasien selama operatif berupa hipotensi.
H. Terapi dan Resusitasi Cairan Post Operatif
Kebutuhan cairan post operatif bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
maintenence cairan selama puasa post operasi.

73
POST OPERASI POST OPERASI
2. Maintenance Input :
= BB x Kebutuhan cairan/ jam x 24 jam Volume cairan:
= 98 kg x 1-2 cc/kgbb/jam x 24 RL 2000 cc
= 98-196cc/ jam
3. Replacement
- Kebutuhan cairan post op selama 18 jam
= (98-196cc)x 18
= 1764 – 3528cc

- Kebutuhan Elektrolit :
 Natrium : 2-4 mEq/kgBB/hari = 196-392mEq/24
jam
 Kalium : 1-3 mEq/kgBB/hari = 98-294mEq/24
jam
 Kalori : 25-30 mg/kgBB/hari = 2450-2.940
kkal/24 jam
 Asam Amino : 1-2 mg/kgBB/hari = 98-
196mg/hari

Terapi Cairan post operatif bertujuan untuk menggantikan cairan selama puasa,
pada kasus ini pasien puasa 18 jam Pasca tindakan operatif. Total cairan yang
dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan selama 18 jam pada pasien ini
sebanyak 1764 – 3528cc ini merupakan hasil dari kebutuhan maintenence berdasarkan
berat badan pasien selama puasa 18 jam. Aktualnya pada kasus ini pasien diberikan
input cairan sebanyak 2000 cc selama 18 jam post operatif. Hal ini menunjukkan
bahwa kebutuhan cairan post operatif telah terpenuhi.
BAB V

PENUTUP

74
5.1 Kesimpulan

1. Teknik anestesi digunakan berdasarkan lokasi prosedur pembedahan dan

juga efek samping.

2. Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA II karena kondisi penyakit yang

mendasarinya.

3. Teknik anestesi yang baik pada pasien dinilai sudah tepat dengan

mempertimbangkan keselamatan dan kenyamanan pasien. Teknik yang

digunakan adalah anestesi regional berupa subaracnoid blok (anestesi

spinal).

4. Bupivacain disertai fentanyl digunakan dalam kasus ini karena lama

kerjanya lebih panjang serta mula kerjanya lebih cepat.

5. Terapi cairan durante operasi dan post operasi di nilai sudah tepat sesuai

dengan kebutuhan cairan pasien.

6. Terapi cairan pre operasi di nilai belum terpenuhi sesuai dengan kebutuhan

cairan pasien, namun pada balance cairan pada intraoperatif yakni dari

preoperatif hingga durante operatif dinilai sudah memenuhi kebutuhan

cairan.

5.2 Saran

Pada penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari

persiapan pre anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi, terutama

menyangkut resusitasi cairan pada pasien dengan regional yang memiliki efek

samping berupa perdarahan dan hipotensi.

75
DAFTAR PUSTAKA

1. Mahadevan V. Anatomy of the caecum, appendix and colon. Surgery

(Oxford). 2017

76
2. Warsiningsih. Appendisitis Akut. Buku ajar Dr.dr. Warsinggih, Sp.B-KBD.

2018.

3. Maxine P, Srephen MP. Current Medical Diagnosis & Treatment :

Appendicitis. McGraw Hill publication. 2015

4. Andi P, Thiago V. Review article Pathophysiology of Acute Appensicitis.

Department of Surgery, School of Medicine of the Federal University of

Minas Gerais, Brazil. 2016

5. Mostbeck G et al. How to diagnose acute appendicitis: ultrasound first.

Insights Imaging. 2016

6. Kim MS et al. Diagnostic performance and useful findings of ultrasound re-

evaluation for patients with equivocal CT features of acute appendicitis. Br J

Radiol. 2018

7. Raikwar, Varsha D, et al. A Comparitive Study of Alvarado Score and Ripasa

Score in the Diagnosis of Acute Appendicitis. Department of Surgery, MGM

Medical College And M.Y. Hospital. 2017

8. Yusmaidi. Hubungan Peningkatan Laju Edap Darah (LED) Dengan Jumlah

Leukosit pada Pasien Appendisitis Infiltrate di RSUD Dr.H. Abdul Moelek

Bandar Lampung Tahun 2010-2014. Portal Jurnal Mahayati. 2016

9. Gorter RR et al. Diagnosis and management of acute appendicitis. EAES

consensus development conference 2015. Surgical Endoscopy. 2016

10. Snyder MJ et al. Acute Appendicitis: Efficient Diagnosis and Management.

American Family Physician. 2018

11. Smith JA et al. Textbook of Surgery. Wiley-Blackwell. 2020

77
12. Craig S et al. Appendicitis Clinical Presentation. Available from Medscape.

2018

13. Kim D, Butterworth SA, Goldman RD. Chronic appendicitis in children.

Canadian Family Physician. 2016

14. Kishore A, Jasiwal AK. Faecolith leading to acute exacerbation of chronic

appendicitis: case report and review of literature, International Surgery

Journal. 2019

15. Onwuka E et al. A rare presentation of a common entity: Chronic appendicitis

in a patient with back pain. Journal of Pediatric Surgery Case Reports. 2017

16. Olawin AM, Das JM. Spinal Anesthesia. StatPearls. 2020

17. Riley ET. Regional Anesthesia for Cesarean Section. Techniques in Regional

Anesthesia and Pain Management. 2003

18. Fyneface-Ogan S. Anesthesia for Cesarean Section. InTechopen. 2012

19. Alagol A. Anesthetic Management of Abdominal Surgery. InTechOpen. 2012

20. Yazawa T, et al. Anesthesia management for emergency laparotomy in a

pediatric patient with suspected hereditary angioedema. Journal of Anesthesia.

2010

21. Carli F. Anesthesia for abdominal surgery. Anaesthesia, Pain, Intensive Care

and Emergency Medicine — A.P.I.C.E. 2002

22. Duke J. Spinal Anesthesia in Anesthesia Secrets. Mosby. 2011

23. Davies R, Wilkins I. Anaesthesia for gastrointestinal surgery. Anesthesia and

intensive care medicine. 2014

78
24. Jaityly VK, Kumar CM. Continuous spinal anaesthesia for laparotomy.

Current Anaesthesia & Critical Care. 2009

79

Anda mungkin juga menyukai