Anda di halaman 1dari 34

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…......................................................................................................i

BAB 1. PENDAHULUAN....................................................................................1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................4


A. Anatomi Konjungtiva.........................................................................................4
B. Definisi Konjungtivitis.......................................................................................5
C. Etiologi...............................................................................................................5
D.Gejala..................................................................................................................6
E. Klasifikasi..........................................................................................................12
F.Penularan............................................................................................................23
G.Pencegahan........................................................................................................23
H. Tatalaksana.......................................................................................................24
I. Komplikasi.........................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA…......................................................................................33

1
BAB I

PENDAHULUAN

Konjungtivitis adalah keradangan pada selaput lendir yang

mengenai bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan

tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya

adalah mata merah. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri,

alergi, atau kontak dengan benda asing, misalnya kontak lensa. Beberapa tipe

konjungtivitis dan penyebabnya antara lain adalah oleh bakteri, klamidia,

virus, riketsia, penyebab yang berkaitan dengan penyakit sistemik, jamur,

parasit, imunologis, sebab kimia atau iritatif lainnya, penyebab yang tidak

diketahui dan sekunder oleh karena dakriosistitis atau kanalikulitis. Diantara

penyebab-penyebab tersebut, yang paling sering diketemukan di masyarakat

adalah konjungtivitis disebabkan Streptococcus pneumoniae, Haemophilus

influenzae, Staphylococcus aureus, Neisseria meningitidis, kebanyakan strain

adenovirus manusia, herpes simplex virus tipe 1 and 2, and dua

picornaviruses. Dua agen yang ditularkan secara seksual yang dapat

menyebabkan konjungtivitis adalah Chlamydia trachomatis and Neisseria

gonorrhoeae.

Konjungtivitis yang disebabkan oleh bakteri merupakan

konjungtivitis yang sering dijumpai kedua setelah konjungtivitis viral apabila

dibandingkan dengan konjungtivitis tipe lainnya.

Konjungtivitis virus biasanya mengenai satu mata. Pada

konjungtivitis ini, mata sangat berair. Kotoran mata ada, namun biasanya

2
sedikit. Konjungtivitis bakteri biasanya mengenai kedua mata. Ciri khasnya

adalah keluar kotoran mata dalam jumlah banyak, berwarna kuning

kehijauan. Konjungtivitis alergi juga mengenai kedua mata. Tandanya, selain

mata berwarna merah, mata juga akan terasa gatal. Gatal ini juga seringkali

dirasakan dihidung. Produksi air mata juga berlebihan sehingga mata sangat

berair. Konjungtivitis papiler raksasa adalah konjungtivitis yang disebabkan

oleh intoleransi mata terhadap lensa kontak. Biasanya mengenai kedua mata,

terasa gatal, banyak kotoran mata, air mata berlebih, dan kadang muncul

benjolan di kelopak mata. Konjungtivitis virus biasanya tidak diobati, karena

akan sembuh sendiri dalam beberapa hari. Walaupun demikian, beberapa

dokter tetap akan memberikan larutan astringen agar mata senantiasa bersih

sehingga infeksi sekunder oleh bakteri tidak terjadi dan air mata buatan untuk

mengatasi kekeringan dan rasa tidak nyaman di mata.

Peradangan pada konjungtiva merupakan penyakit mata yang

paling sering dijumpai di seluruh dunia. Hal tersebut disebabkan antara lain

oleh karena lokasi anatomisnya yang menyebabkan konjungtiva sering

terekspos oleh berbagai macam mikroorganisme dan faktor stress lingkungan

lainnya. Beberapa mekanisme berfungsi sebagai pelindung permukaan mata

dari faktor-faktor eksternal, seperti pada lapisan film permukaan, komponen

akueus, pompa kelopak mata, dan air mata. Pertahanan konjungtiva terutama

oleh adanya tear film pada konjungtiva yang berfungsi melarutkan kotoran

dan bahan yang toksik kemudian mengalirkannya melalui saluran lakrimalis

ke meatus nasi inferior. Disamping itu tear film juga mengandung beta lysine,

lisosim, IgA, IgG yang berfungsi menghambat pertumbuhan kuman. Apabila

3
kuman mampu menembus pertahanan tersebut maka terjadilah proses infeksi

pada konjungtiva.

Boleh dikatakan masyarakat sudah sangat mengenal jenis penyakit

ini. Penyakit ini dapat menyerang semua umur. Konjungtivitis yang

disebabkan oleh mikro- organisme (terutama virus dan kuman atau campuran

keduanya) ditularkan melalui kontak dan udara. Dalam waktu 12 sampai 48

jam setelah infeksi mulai, mata menjadi merah dan nyeri. Jika tidak diobati

bisa terbentuk ulkus kornea, abses, perforasi mata bahkan kebutaan. Untuk

mengatasi konjungtivitis bisa diberikan tablet, suntikan maupun tetes mata

yang mengandung antibiotik.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis dan transparan yang

membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)

dan permukaan anterior sclera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva

palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke

tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior

(pasa formiks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episkera

menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke

septum orbital di formiks dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini

memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva

sekretorik (Vaughan, 2010).

Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel

Goblet yang berfungsi membasahi bola mata terutama kornea. Bermacam-

macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ( Ilyas dkk, 2014).

5
B. Definisi Konjungtivitis

Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva atau radang

selaput lendir yang menutupi belakang kelopak dan bola mata, dalam bentuk

akut maupun kronis. Konjungtivitis adalah peradangan pada selaput bening

yangmenutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata.Peradangan

tersebut menyebabkan berbagai macam gejala, salahsatunya yaitu mata

merah. Setiap peradangan pada konjungtiva dapatmenyebabkan melebarnya

pembuluh darah sehingga menyebabkanmata terlihat merah.Konjungtivitis

dapat disebabkan oleh bakteri, klamidia, alergi, viral toksik, berkaitan dengan

penyakit sistemik. Peradangan konjungtiva atau konjungtivitis dapat terjadi

pula karena asap, angina dan sinar. Konjungtivitis lebih sering terjadi pada

usia 1-25 tahun. Anak - anak prasekolah dan anak usia sekolah kejadiannya

paling sering karena kurangnya hygiene dan jarang mencuci tangan (Ilyas,

2014).Dua bentuk konjungtivitis yaitu :

a. Konjungtivitis akut. Onsetnya berlangsung tiba-tiba yang diawali

dengan peradangan mata unilateral dan bisa menyebar pada kedua

mata dalam waktu satu minggu. Durasi kurang dari empat minggu.

b. Konjungtivitis kronik. Durasinya lebih panjang, yaitu tiga sampai

empat minggu.(Lang, 2000)

C. Etiologi Konjungtivis

Penyebab dari konjungtivitis bermacam-macam yaitu bisa disebabkan

karena bakteri, virus, infeksi klamidia, konjungtivitis alergi. Konjungtivitis

6
bakteri biasanya disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus,

Pneumococcus, dan Haemophillus. Sedangkan, konjungtivitis virus paling

sering disebabkan oleh adenovirus dan penyebab yang lain yaitu organisme

Coxsackie dan Pikornavirus namun sangat jarang. Penyebab konjungtivis

lainnya yaitu infeksi klamidia, yang disebabkan oleh organisme Chlamydia

trachomatis (James dkk, 2005). Konjungtivitis yang disebabkan oleh alergi

diperantai oleh IgE terhadap allergen yang umumnya disebabkan oleh bahan

kimia (Ilyas, 2008).

Etiologi konjungtivitis dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Konjungtivitis infektif seperti konjungtivitis bakteri, chlamidia, virus,

jamur, parasit dan sebagainya.

2. Konjungtivitis alergi

3. Konjungtivitis iritatif

4. Keratokonjungtivitis yang berhubungan dengan penyakit pada kulit

dan membran mukosa

5. Konjungtivitis traumatik

6. Konjungtivitis yang penyebabnya tidak diketahui.

D. Gejala Konjungtivitis

Gejala-gejala dari konjungtivitis secara umum antara lain:

1. Hiperemia. Mata yang memerah adalah tanda tipikal dari konjungtivitis.

Injeksi konjungtival diakibatkan karena meningkatnya pengisian

pembuluh darah konjungtival, yang muncul sebagian besar di fornik dan

menghilang dalam perjalanannya menuju ke limbus. Hiperemia tampak

7
pada semua bentuk konjungtivitis. Tetapi, penampakan/visibilitas dari

pembuluh darah yang hiperemia, lokasi mereka, dan ukurannya

merupakan kriteria penting untuk diferensial diagnosa. Seseorang juga

dapat membedakan konjungtivitis dari kelainan lain seperti skleritis atau

keratitis berdasar pada injeksinya. Tipe-tipe injeksi dibedakan menjadi:

a. Injeksi konjungtiva(merah terang, pembuluh darah yang distended

bergerak bersama dengan konjungtiva, semakin menurun jumlahnya

saat menuju ke arah limbus).

b. Injeksi perikornea(pembuluh darah superfisial, sirkuler atau

cirkumcribed pada tepi limbus).

c. Injeksi siliar(tidak terlihat dengan jelas, pembuluh darah berwarna

terang dan tidak bergerak pada episklera di dekat limbus).

d. Injeksi komposit(sering). Dilatasi perilimbal atau siliar menandakan

inflamasi dari kornea atau struktus yang lebih dalam. Warna yang

benar-benar merah menandakan konjungtivitis bakterial, dan

penampakan merah susu menandakan konjungtivitis alergik.

Hiperemia tanpa infiltrasi selular menandakan iritasi dari sebab fisik,

seperti angin, matahari, asap, dan sebagainya, tetapi mungkin juda

didapatkan pada penyakit terkait dengan instabilitas vaskuler(contoh,

acne rosacea).

8
2. Discharge ( sekret ). Berasal dari eksudasi sel-sel radang. Kualitas dan

sifat alamiah eksudat(mukoid, purulen, berair, ropy, atau berdarah)

tergantung dari etiologinya.

3. Chemosis ( edema conjunctiva ). Adanya Chemosis mengarahkan kita

secara kuat pada konjungtivitis alergik akut tetapi dapat juga muncul

pada konjungtivitis gonokokkal akut atau konjungtivitis meningokokkal,

dan terutama pada konjungtivitis adenoviral. Chemosis dari konjungtiva

bulbar dapat dilihat pada pasien dengan trikinosis. Meskipun jarang,

chemosis mungkin timbul sebelum adanya infiltrasi atau eksudasi seluler

gross.

4. Epifora (pengeluaran berlebih air mata). Lakrimasi yang tidak

normal(illacrimation) harus dapat dibedakan dari eksudasi. Lakrimasi

biasanya mencerminkan lakrimasi sebagai reaksi dari badan asing pada

konjungtiva atau kornea atau merupakan iritasi toksik. Juga dapat berasal

dari sensasi terbakar atau garukan atau juga dari gatal. Transudasi ringan

juga ditemui dari pembuluh darah yang hiperemia dan menambah

aktifitas pengeluaran air mata. Jumlah pengeluaran air mata yang tidak

normal dan disertai dengan sekresi mukus menandakan

keratokonjungtivitis sika.

9
5. Pseudoptosis. Kelopak mata atas seperti akan menutup, disebabkan

karena adanya infiltrasi sel-sel radang pada palpebra superior maupun

karena edema pada palpebra superior.

6. Hipertrofi folikel. Terdiri dari hiperplasia limfoid lokal dengan lapisan

limfoid dari konjungtiva dan biasanya mengandung germinal center.

Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, avaskuler

putih atau abu-abu. Pada pemeriksaan menggunakan slit lamp, pembuluh

darah kecil dapat naik pada tepi folikel dan mengitarinya. Terlihat paling

banyak pada kasus konjungtivitis viral dan pada semua kasus

konjungtivitis klamidial kecuali konjungtivitis inklusi neonatal, pada

beberapa kasus konjungtivitis parasit, dan pada beberapa kasus

konjungtivitis toksik diinduksi oleh medikasi topikal seperti idoxuridine,

dipiverin, dan miotik. Folikel pada forniks inferior dan pada batas tarsal

mempunyai nilai diagnostik yang terbatas, tetapi ketika diketemukan

terletak pada tarsus(terutama tarsus superior), harus dicurigai adanya

konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik (mengikuti medikasi topikal).

7. Hipertrofi papiler. Adalah reaksi konjungtiva non spesifik yang muncul

karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di dasarnya oleh fibril.

Ketika pembuluh darah yang membentuk substansi dari papilla(bersama

10
dengan elemen selular dan eksudat) mencapai membran basement epitel,

pembuluh darah tersebut akan bercabang menutupi papila seperti

kerangka dari sebuah payung. Eksudat inflamasi akan terakumulasi

diantara fibril, membentuk konjungtiva seperti sebuah gundukan. Pada

kelainan yang menyebabkan nekrosis(contoh,trakoma), eksudat dapat

digantikan oleh jaringan granulasi atau jaringan ikat. Ketika papila

berukuran kecil, konjungtiva biasanya mempunyai penampilan yang

halus dan merah normal. Konjungtiva dengan papila berwarna merah

sekali menandakan kelainan disebabkan bakteri atau klamidia(contoh,

konjungtiva tarsal yang berwarna merah sekali merupakan karakteristik

dari trakoma akut). Injeksi yang ditandai pada tarsus superior,

menandakan keratokunjungtivitis vernal dan konjungtivitis giant

papillary dengan sensitivitas terhadap lensa kontak; pada tarsal inferior,

gejala tersebut menandakan keratokonjungtivitis atopik. Papila yang

berukuran besar juga dapat muncul pada limbus, terutama pada area yang

secara normal dapat terekspos ketika mata sedang terbuka(antara jam 2

dan 4 serta antara jam 8 dan 10). Di situ gejala nampak sebagai gundukan

gelatin yang dapat mencapai kornea. Papila limbal adalah tanda khas dari

keratokonjungtivitis vernal tapi langka pada keratokonjungtivitis atopik.

11
8. Membran dan pseudomembran. Merupakan reaksi konjungtiva terhadap

infeksi berat atau konjungtivitis toksis. Terjadi oleh karena proses

koagulasi kuman/bahan toksik. Bentukan ini terbentuk dari jaringan

epitelial yang nekrotik dan kedua-duanya dapat diangkat dengan mudah

baik yang tanpa perdarahan(pseudomembran) karena hanya merupakan

koagulum pada permukaan epital atau yang meninggalkan permukaan

dengan perdarahan saat diangkat(membran) karena merupakan koagulum

yang melibatkan seluruh epitel.

9. Phylctenules. Menggambarkan manifestasi lokal pada limbus karena

alergi terhadap toxin yang dihasilkan mikroorganisme. Phlyctenules dari

konjungtiva pada mulanya terdiri dari perivaskulitis dengan pengikatan

limfositik pada pembuluh darah. Ketika berkembang menjadi ulserasi

dari konjungtiva, dasar ulkus mempunyai banyak leukosit

polimorfonuklear.

10. Formasi pannus. Pertumbuhan konjungtiva atau pembuluh darah diantara

lapisan Bowman dan epitel kornea atau pada stroma yang lebih dalam.

Edema stroma, yang mana menyebabkan pembengkakan dan

memisahkan lamela kolagen, memfasilitasi terjadinya invasi pembuluh

darah.

12
11. Granuloma. Adalah nodus stroma konjungtiva yang meradang dengan

area bulat merah dan terdapat injeksi vaskular. Tanda ini dapat muncul

pada kelainan sistemik seperti tuberkulosis atau sarkoidosis atau

mungkin faktor eksogen seperti granuloma jahitan postoperasi atau

granuloma benda asing lainnya. Granuloma muncul bersamaan dengan

bengkaknya nodus limfatikus preaurikular dan submandibular pada

kelainan seperti sindroma okuloglandular Parinaud.

12. Nodus limfatikus yang membengkak. Sistem limfatik dari regio mata

berjalan menuju nodus limfatikus di preaurikular dan submandibular.

Nodus limfatikus yang membengkak mempunyai arti penting dan

seringkali dihadapi sebagai tanda diagnostik dari konjungtivitis viral.

E. Klasifikasi Konjungtivitis

Berdasarkan penyebabnya konjungtivitis dibagi menjadi empat yaitu

konjungtivitis yang diakibatkan karena bakteri, virus, allergen dan jamur

( Ilyas dkk, 2010).

1. Konjungtivitis bakteri

Konjungtivitis bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang

disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus, Pneumococcus, dan

13
Haemophillus ( James dkk, 2005). Gejala konjungtivitis yaitu mukosa

purulen, edema kelopak, kemosis konjungtiva, kadang-kadang disertai

keratitis dan blefaritis. Konjungtivitis bakteri ini mudah menular dari satu

mata ke mata sebelahnya dan dengan mudah menular ke orang lain

melalui benda yang dapat menyebarkan kuman. Konjungtivitis bakteri

dapat diobati dengan antibiotik tunggal seperti neospirin, basitrasin,

gentamisin, kloramfenikol, tobramisin, eritromisin, dan sulfa selama 2-3

hari (Ilyas dkk, 2014).

Berdasarkan bakteri penyebab dan beratnya infeksi, maka gejala

konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi :

a. Konjungtivitis mukopurulen akut

Merupakan jenis konjungtivitis bakteri yang paling sering

terjadi. Ditandai dengan adanya hiperemis pada konjungtiva dan

sekret yang bersifat mukopurulen. Bakteri penyebab yang paling

sering yaitu Staphylococcus aureus, Pneumococcus dan

Streptococcus.

Gejala dan tanda :

1) Rasa tidak nyaman dan sensasi benda asing pada mata.

2) Fotofobia ringan. Kesulitan untuk mentoleransi cahaya.

3) Sekret mukopurulen.

4) Kelopak mata yang menyatu terutama saat bangun tidur.

5) Penglihatan yang sedikit kabur oleh karena adanya flak mucus

di depan kornea.

6) Kongesti konjungtiva

14
7) Kemosis : kedua tepi palpebra seperti lengket dan sukar untuk

dibuka oleh karena adanya sekret.

8) Petechie dapat ditemukan apabila organisme penyebabnya

adalah pneumococcus.

b. Konjungtivitis purulen akut

Paling sering disebabkan oleh Gonococcus, namun bisa juga

oleh karena Staphylococcus aureus dan Pneumococcus. Infeksi

Gonococcus disebabkan penyebaran langsung dari genitalia ke mata.

Angka kejadian konjungtivitis gonococcus ini telah terjadi

penurunan.

Gejala dan tanda :

1) Tahap infiltrasi. Terjadi 4-5 hari, ditandai oleh :

- Nyeri dan rasa seperti tertekan pada mata

- Kelopak mata menjadi edema

- Sekret seperti air

- Pembesaran kelenjar limfe pada pre-aurikular

2) Tahap blenorrhoea. Terjadi pada hari ke 5, ditandai oleh :

- Sekret sangat purulen, berlebihan, dan sekret yang tebal

dapat mengalir sampai ke pipi

15
- Gejala lainnya pada tahap infiltrasi menjadi lebih parah

kecuali edema pada kelopak mata mulai menurun

3) Tahap slow healing. Pada tahap ini, nyeri dan edema pada

kelopak mata berkurang. Sekret perlahan mulai berkurang, dan

dapat berhenti pada tahap resolusi.

2. Konjungtivitis Virus

Konjungtivitis virus merupakan penyakit umum yang disebabkan

oleh berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat

menimbulkan cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan

dapat berlangsung lebih lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan,

2010). Konjungtivitis virus biasanya diakibatkan karena demam

faringokonjungtiva. Biasanya memberikan gejala demam, faringitis,

secret berair dan sedikit, folikel pada konjungtiva yang mengenai satu

atau kedua mata. Konjungtivitis ini biasanya disebabkan adenovirus tipe

3,4 dan 7 dan penyebab yang lain yaitu organisme Coxsackie dan

Pikornavirus namun sangat jarang (Ilyas dkk, 2014 ; James dkk, 2005).

Konjungtivitis ini mudah menular terutama anak-anak yang disebarkan

melalui kolam renang. Masa inkubasi konjungtivitis virus 5-12 hari, yang

menularkan selama 12 hari, dan bersifat epidemic (Ilyas dkk, 2014).

Pengobatan konjungtivitis virus hanya bersifat suportif karena dapat

16
sembuh sendiri. Diberikan kompres, astringen, lubrikasi, dan pada kasus

yang berat dapat diberikan antibotik dengan steroid topical ( Ilyas dkk,

2014).

3. Konjungtivitis alergi

Konjungtivitis alergi merupakan bentuk alergi pada mata yang

peling sering dan disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva

yang diperantarai oleh sistem imun (Cuvillo dkk, 2009). Gejala utama

penyakit alergi ini adalah radang ( merah, sakit, bengkak, dan panas),

gatal, silau berulang dan menahun. Tanda karakteristik lainnya yaitu

terdapat papil besar pada konjungtiva, datang bermusim, yang dapat

mengganggu penglihatan. Walaupun penyakit alergi konjungtiva sering

sembuh sendiri akan tetapi dapat memberikan keluhan yang memerlukan

pengobatan (Ilyas dkk, 2014). Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima

subkategori, yaitu konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya

dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal,

keratokoknjungtivitis atopic dan konjungtivitis papilar raksasa (Vaughan,

2010). Pengobatan konjungtivitis alergi yaitu dengan menghindarkan

penyebab pencetus penyakit dan memberikan astringen, sodium

kromolin, steroid topical dosis rendah kemudian ditambahkan kompres

dingin untuk menghilangkan edemanya. Pada kasus yang berat dapat

diberikan antihistamin dan steroid sistemik (Ilyas dkk, 2014). Klasifikasi

Konjungtivitis Alergi

a. Allergic Conjunctivitis (AC)

17
Kelompok ini mencakup Seasonal Allergic

Conjunctivitis(SAC) dan Perennial Allergic Conjunctivitis (PAC).

ACsendiri proporsinya sebesar 95% dari total kasus alergi mata.

Sifat dari AC biasanya akut dan jarangterdiagnosis. Gejala dan

tandapada SAC dan PAC pun sama, yakni gatal, mata merah

yangdisebabkan oleh injeksi konjungtiva ringan sampai

sedang,pembengkakan konjungtiva (kemosis), namun jarang

terjadikomplikasi ke kornea. Selain itu,konjungtiva palpebra tampak

merah muda pucat dengan aspekkeputihan, terkadang papila agak

hipertrofi di konjungtivatarsal (Sanchez dkk, 2011).

b. Seasonal Allergic Conjunctivitis (SAC)

SAC terjadi pada musim tertentu, misalnya pada

musimsemi atau gugur bila di negara 4 musim atau musim

ketikasuatu tumbuhan sedang mekar. SAC lebih sering

ditemukanpada usia 20-40 tahun dengan alergen utama berupa polen

atauserbuk sari Pada SAC, dapat ditemuigejala rhinitis berupa

kongesti nasal pada 65-70% kasus(Sanchez dkk,. 2011)

c. Perennial Allergic Conjunctivitis (PAC)

PAC terjadi tidak mengenal musim dan dapat

terjadikapanpun dalam tahun tersebut (year round). Semua

umurdapat mengalami PAC dengan alergen utama berupa dust

mite,jamur, jaringan epitel hewan yang lepas ke udara

dan/ataualergen yang didapat dari tempat bekerja (Sanchez

dkk,2011).

18
d. Atopic Keratoconjunctivitis (AKC)

AKC biasanya bersifat kronik dan lebih sering

menyeranganak-anak, namun apabila AKC terjadi pada laki-laki di

usia20-50 tahun, AKC menjadi masalah serius yang akan

seringterjadi (Sanchez dkk, 2011). Pada tahun1953, hubungan AKC

dengan dermatitis atopi ditemukan padapenelitian yang dilakukan

oleh.Semakin ke zaman modern, makin sering ditemukanketerkaitan

antara riwayat alergi, asma, urtikaria dan/atau hayfever, dengan

onset riwayat tersebut pada masa kanak-kanak. Seperempat dari total

pasien denganriwayat dermatitis atopi diperkirakan mengalami

AKC. AKC terjadi secara bilateral, dengan kulit kelopak

matabertekstur seperti amplas (fine sandpaper-like texture),

injeksikonjungtiva, kemosis dan adanya conjunctiva scarring.

Tandakhas dari AKC adalah edema kulit palpebra pada

daerahinfraorbital yang disebut Dennie-Morgan fold, hilangnya

bulumata sisi lateral yang disebut Hertoghe sign karenamenggosok-

gosok mata (Sanchez dkk, 2011).

e. Konjungtivitis Vernal

Konjungtivitis vernal adalah suatu keradangan bilateral

konjungtiva yang berulang menurut musim, sebagai akibat reaksi

hipersensitif tipe I dengan gambaran spesifik hipertropi papil di

canaltarsus dan limbus. Terdapat dua tipe konjungtivitis vernal yaitu

tipe palpebral dan tipe limbal.

1) Tipe Palpebral.

19
Terutama mengenai konjungtiva palpebra superior yaitu

terdapat pertumbuhan papil yang besar yang disebut cobble

stone. Pada beberapa tempat akan mengalami hiperlpasi dan

diberbagai tempat terjadi atrofi, perubahan mendasar terdapat di

substansia propia, dimana substanti propia ini mengalami

infiltrasi oleh sel-sel limfosit plasma dan eosinafil. Pada stadium

yang lanjut jumlah selsel lapisan plasma dan eosinafil akan

semakin meningkat sehingga terbentuk tonjolan-tonjolan

jaringan di daerah tarsus dengan disertai pembentukan

pembuluh darah baru kapiler ditengahnya.(Vaughn, 1989)

2) Tipe Limbal

Terjadi perubahan yang serupa sebagaimana yang terjadi

pada tipe palpebral. Pada bentuk limbal ini terjadi hipertrofi

limbal yang membentuk jaringan hiperplastik gelatine.

Hipertrofi limbus ini disertai bintik-bintik yang sedikit

menonjol, keputihan, yang dikenal sebagai Horner-Trantas dots

yang merupakan degenerasi epithel kornea, atau eosinafil

dengan bagian epithel limbus kornea. (Wade, 2012)

4. Konjungtivitis Jamur

20
Konjungtivitis jamur biasanya disebabkan oleh Candida albicans

dan merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan

adanya bercak putih yang dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien

dengan keadaan sistem imun yang terganggu. Selain candida sp, penyakit

ini juga bisa disebabkan oleh Sporothtrix schenckii, Rhinosporidium

serberi, dan Coccidioides immitis walaupun jarang ( Vaughan, 2010).

Diagnosis banding konjungtivitis berdasarkan gambaran klinis :

Tanda Bakterial Viral Alergik Chamydia /

TRIC

Injeksi Mencolok Sedang Ringan- Ringan-

konjungtivitis sedang sedang

Hemoragik + + - -

Kemosis ++ +/- ++ +/-

Eksudat Purulen atau Jarang, air Berserabut Berserabut

mukopurulen (lengket), (lengket)

putih

Pseudomembran +/- +/- - -

Papil +/- - + +/-

Folikel - + - +

Pembesaran + ++ - +/-

limfa

preaurikuler

21
Panus - - - (except +

vernal)

F. Diagnosa Konjungtivitis

1. Diagnosis Konjungtivitis Bakteri

Diagnosis konjungtivitis bakteri biasanya ditegakkan berdasarkan

gejala yang khas. Tes laboratorium (smear konjungtiva) biasanya hanya

perlu dilakukan apabila konjungtivitis tidak sembuh setelah diberikan

terapi menggunakan antibiotik. Dilakukan juga pada kasus konjungtivitis

yang parah ataupun yang tidak khas secara gejala klinis.

2. Diagnosis Konjungtivitis Viral

Infeksi virus biasanya menyerang satu mata lalu ke mata lain

beberapa hari kemudian disertai pembesaran kelenjar limfe dan edema

palpebra. Tajam penglihatan secara intermiten dapat terganggu karena

sekret mata. Jenis sekret mata dan gejala okular dapat memberi petunjuk

penyebab konjungtivitis. Sekret mata berair merupakan ciri

konjungtivitis viral dan sekret mata kental berwarna kuning kehijauan

biasanya disebabkan oleh bakteri. Konjungtivitis viral jarang disertai

fotofobia, sedangkan rasa gatal pada mata biasanya berhubungan dengan

konjungtivitis alergi. Pemeriksaan laboratorium untuk menunjang

diagnosis konjungtivitis viral memiliki sensitivitas 89% dan spesifisitas

94% untuk adenovirus. Tes tersebut dapat mendeteksi virus penyebab

konjungtivitis dan mencegah pemberian antibiotik yang tidak diperlukan.

22
Akurasi diagnosis konjungtivitis viral tanpa pemeriksaan laboratorium

kurang dari 50% dan banyak terjadi salah diagnosis sebagai

konjungtivitis bakteri. Meskipun demikian, pemeriksaan laboratorium

sangat jarang dilakukan karena deteksi antigen belum tersedia di fasilitas

pelayanan kesehatan primer. Sementara itu, kultur dari sekret

konjungtiva memerlukan waktu tiga hari sehingga menunda

terapi.Pendekatan algoritmik menggunakan riwayat perjalanan penyakit

dan pemeriksaan sederhana dengan penlight dan loupe dapat untuk

mengarahkan diagnosis dan memilih terapi. Konjungtivitis dan penyakit

mata lain dapat menyebabkan mata merah, sehingga diferensial diagnosis

dan karakteristik tiap penyakit penting untuk diketahui. Penamaan

diagnosis konjungtivitis virus bervariasi, tetapi umumnya

menggambarkan gejala klinis khas lain yang menyertai konjungtivitis

dan dari gambaran klinis khas tersebut dapat diduga virus penyebabnya.

G. Penularan Konjungtivitis

Sumber penularan konjungtivitis secara umum adalah cairan yang

keluar dari mata yang sakit yang mengandung bakteri atau virus. Salah satu

media penularannya yaitu tangan yang terkontaminasi cairan infeksi,

misalnya melalui jabatan tangan. Bisa pula melalui cara tidak langsung,

misalnya tangan yang terkontaminasi memegang benda yang kemudian

terpegang oleh orang lain, penggunaan handuk secara bersama-sama,

penggunaan sapu tangan atau tisu secara bergantian, dan penggunaan bantal

23
atau sarung bantal secara bersama-sama (Ilyas, 2008; Chaerani, 2006;

Indriana, 2012).

H. Pencegahan Konjungtivitis

Konjungtivitis dapat dicegah yaitu dengan tidak menyentuh mata yang

sehat sesudah mengenai mata yang sakit, tidak menggunakan handuk dan lap

secara bersama-sama dengan orang lain, serta bagi perawat dapat

memberikan edukasi kepada pasien tentang kebersihan kelopak mata (Hapsari

& Isgiantoro, 2014). Selain itu pencegahan konjungtivitis diantaranya

sebelum dan sesudah membersihkan atau mengoleskan obat, pasien

konjungtivitis harus mencuci tangannya agar menulari orang lain,

menggunakan lensa kontak sesuai dengan petunjuk dari dokter dan pabrik

pembuatnya, mengganti sarung bantal dan handuk yang kotor dengan yang

bersih setiap hari, menghindari penggunaan bantal, handuk dan sapu tangan

bersama, menghindari mengucek-ngucek mata, dan pada pasien yang

menderita konjungtivitis, hendaknya segera membuang tissu atau sejenisnya

setelah membersihkan kotoran mata (Ramadhanisa, 2014).

I. Tatalaksana Konjungtivitis

Konjungtivitis biasanya dapat sembuh dengan sendirinya, namun dapat

tergantung pada faktor yang menjadi penyebabnya. Terapi yang diberikan

pada kasus konjungtivitis dapat meliputi antibiotik sistemik atau topikal, obat

anti inflamasi, irigasi mata, pembersihan kelopak mata atau kompres hangat

(Budiono, dkk. 2012).

1. Tatalaksana Non Farmakologi

24
Apabila kejadian konjungtivitis disebabkan oleh mikroorganisme,

penderita konjungtivitis harus diajarkan cara-cara untuk menghindari

kontaminasi terhadap mata yang sehat atau mata orang lain. Instruksi

yang diberikan misalnya seperti tidak menggosok mata yang sakit dan

kemudian menyentuh mata yang sehat, mencuci tangan setelah setiap kali

menyentuh mata yang sakit dan menggunakan kain lap, handuk atau sapu

tangan baru yang terpisah untuk membersihkan mata yang sakit

(Vaughan, 2009; Budiono, 2012).

2. Tatalaksana Farmakologi

Penatalaksanaan secara farmakologi dapat diberikan terapi spesifik

terhadap jenis konjungtivitis yang dialami tergantung temuan agen

mikrobiologinya. Untuk konjungtivitis bakteri dapat diberikan antibiotik

tunggal sebelum dilakukan pemeriksaan mikrobiologi, seperti

Kloramfenikol, Gentamisin, Tobramisin, Eritromisin dan Sulfa. Apabila

pengobatan yang diberikan tidak memberikan hasil setelah pemberian 3-

5 hari, maka pengobatan dihentikan dan ditunggu hasil dari pemeriksaan

mikrobiologinya. Apabila dari pemeriksaan mikrobiologi ditemukan jenis

mikroorganisme (kuman) penyebab, maka pengobatan yang diberikan

disesuaikan. Namun apabila mikroorganisme (kuman) penyebab tidak

ditemukan dalam pemeriksaan, maka diberikan pengobatan antibiotik

spektrum luas dalam bentuk tetes mata tiap jam atau salep mata 4-5 kali

sehari. Pada umumnya penggunaan antibiotik spektrum luas efektif pada

pengobatan konjungtivitis bakteri, tidak ada perbedaan yang signifikan

dalam pencapaian penyembuhan klinis antara antibiotik topikal spektrum

25
luas. Beberapa faktor yang memengaruhi pemilihan antibiotik adalah

ketersediaan, alergi pasien, resistensi dan biaya (Vaughan, 2009;

Budiono, 2012).

Untuk konjungtivitis virus pengobatan umumnya bersifat

simtomatik, sedangkan antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya

infeksi sekunder. Hindari pemakaian steroid topikal kecuali terjadi

radang yang hebat dan kemungkinan infeksi virus Herpes Simpleks telah

dieliminasi. Pada konjungtivitis virus akut yang disebabkan oleh

Adenovirus dapat sembuh dengan sendiri, sehingga pengobatan yang

diberikan hanya dengan bersifat suportif, yakni berupa kompres,

pemberian astringen dan lubrikasi. Pada kasus yang berat, untuk

mencegah terjadinya infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik dan

steroid topikal. Namun perlu diperhatikan untuk penggunaan antibiotik

yang terlalu sering dapat meyebabkan resistensi. Dan penggunaan obat

tetes mata antibiotik dapat meningkatkan resiko penyebaran infeksi ke

mata lainnya dari pengguna yang terkontaminasi. Untuk menghilangkan

rasa nyeri juga diberikan analgesik. Apabila terjadi komplikasi berupa

ulkus kornea, perlu dilakukan debridement dengan cara mengoleskan

salep pada ulkus dengan swab kapas kering, tetesi obat antivirus dan

tutup selama 24 jam (Vaughan, 2009; Budiono, 2012).

Pada kasus infeksi oleh virus Herpes Simpleks, pengobatan yang

direkomendasikan adalah antiviral topikal dan oral untuk mempersingkat

perjalanan penyakit. Pemberian kortikosteroid topikal harus dihindari

karena berpotensi untuk menyebabkan kerusakan pada mata. Sedangkan

26
untuk pengobatan pada infeksi Herpes Zoster diberikan kombinasi

antiviral oral dan steroid topikal (Azari dkk, 2013).

Untuk konjungtivitis Chlamydia, pengobatan yang paling efektif

adalah dengan pemberian antibiotik sistemik seperti Azitromisin oral dan

Doxycycline. Pengobatannya juga dapat diberikan Tetracycline topikal

1% dalam 2 kali/hari selama 2 bulan, atau dapat juga diberikan secara

oral dengan dosis 1-1,5 g/hari dalam empat dosis terbagi selama 3-4

minggu. Selain itu, dapat juga diberikan Doxycycline 100 mg/oral dua

kali sehari dalam 3 minggu, atau Erytromicin 1 g/hari/oral dibagi dalam

empat dosis selama 3-4 minggu. Erytromicin direkomendasikan bila

secara klinis penderita resisten terhadap Tetracycline (Vaughan, 2009;

Budiono, 2012; Azari, 2013).

Pengobatan untuk konjungtivitis alergi, dapat diberikan

dekongestan topikal, antihistamin, stabilisator sel mast, obat

antiinflamasi nonsteroid, dan kortikosteroid. Dalam tinjauan sistemik

yang besar, antihistamin dan stabilisator sel mastik lebih unggul daripada

plasebo dalam mengurangi gejala konjungtivitis alergi. Dalam sebuah

peneliti juga ditemukan bahwa antihistamin lebih unggul dari stabilisator

sel mast dalam memberikan manfaat jangka pendek. Pada kasus ringan

dapat diberikan tetesan vasokonstriktor-antihistamin topikal dan kompres

dingin untuk mengatasi rasa gatal. Untuk kasus sedang-berat dapat

diberikan Sodium cromolyn, Ketorolac 0,5%, Lodoxamide 0,1% dan

Kortikosteroid topikal. Respon pengobatan pada kasus ini biasanya baik,

namun sering ditemukan kekambuhan kecuali apabila antigennya

27
dihilangkan. Penggunaan antazolin antihistamin jangka panjang dan

naphazolin vasokonstriktor harus dihindari karena keduanya dapat

menyebabkan rebound hiperemia. Namun frekuensi kekambuhan dan

beratnya gejala cenderung menurun dengan meningkatnya usia. Steroid

harus digunakan dengan hati-hati dan bijaksana. Steroid topikal

berhubungan dengan pembentukan katarak dan dapat menyebabkan

peningkatan tekanan mata, yang menyebabkan glaukoma (Vaughan,

2009; Budiono, 2012; Azari, 2013).

J. Komplikasi Konjungtivitis

1. Komplikasi Pengobatan Antibiotik

Rasionalitas dalam penggunaan antibiotik dalam penatalaksanaan

konjungtivitis sangat rendah. Sebagaian besar penggunaan antibiotika

tidak rasional karena tidak ada indikasi dan tidak tepat jenis. Terdapat 48

catatan medik dengan pemberian antibiotik sesuai indikasi berjumlah 27

(56,3 %) dan tidak ada indikasi 21 (43,7%). Berdasarkan ketepatan

penggunaan antibiotik, ada 1 (3,7%) tepat dan tidak tepat 26 (96,3%).

Hal tersebut terjadi karena konjungtivitis memiliki banyak macam

berdasarkan penyebabnya tetapi tanda dan gejala banyak yang hampir

sama. Antibiotik dapat ditemukan dalam berbagai sediaan, dan

penggunaanya dapat melalui jalur topical, oral, maupun intravena.

Banyaknya jenis pembagian, klasifikasi, pola kepekaan kuman, dan

penemuan antibiotika baru seringkali menyulitkan klinisi dalam

menentukan pilihan antibiotika yang tepat ketika menangani suatu kasus

28
penyakit. Hal ini akan menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya

resistensi. Bakteri dapat dengan mudah beradaptasi dengan paparan

antibiotika, mengingat keberadaan dan perkembanganya telah dimulai

sejak kurang lebih 3,8 milyar tahun yang lalu. Resistensi pasti diawali

adanya paparan antibiotika, dan meskipun hanya satu atau dua bakteri

yang mampu bertahan hidup, mereka punya peluang untuk menciptakan

satu galur baru yang resisten. Satu galur baru yang resisten ini bisa

menyebar dari satu orang ke orang lain, memperbesar potensinya dalam

proporsi epidemik. Penyebaran ini dipermudah oleh lemahnya kontrol

infeksi dan penggunaan antibiotika yang luas (Peterson, 2005).

2. Komplikasi Pengobatan Kortikosteroid

a. Resistensi dan Efek Samping pada Penggunaan Kortikosteroid

Jangka Panjang

Kortikosteroid efektif dalam mengatasi peradangan akut, tetapi

efek kortikosteroid sering tidak bertahan lama bahkan menyebabkan

resistensi atau rekurensi dalam perjalanan terapi jangka panjang.

Selain itu, efek samping kortikosteroid baik topikal maupun sistemik

akan membatasi penggunaan jangka panjang. Penggunaan

kortikosteroid dapat memberikan efek yang sangat banyak dan dapat

terjadi pada setiap cara pemberian (Baschant U & Tuckermann J,

2010). Oleh karena itu, kortikosteroid hanya diberikan apabila

manfaat terapi melebihi risiko efek samping yang akan terjadi (risk-

benefit ratio). Dosis dan lama terapi dengan kortikosteroid bersifat

individual. Pemberian kortikosteroid sebaiknya dimulai dari dosis

29
tinggi kemudian diturunkan secara perlahan menurut tanda klinis

inflamasi. Apabila kortikosteroid digunakan selama lebih dari 2-3

minggu, penghentiannya harus dilakukan secara bertahap (tapering

off) (American Academy of Ophthalmology, 2007).

b. Terjadi Katarak

Corticosteroid-induced subcapsular cataract merupakan efek

samping lain yang sering ditemukan pada penggunaan kortikosteroid

topikal jangka panjang. Penyebab terjadinya katarak yaitu ikatan

kovalen antara steroid dan protein lensa yang menyebabkan oksidasi

protein struktural. Risiko terjadinya katarak berbanding lurus dengan

lama penggunaan kortikosteroid topikal (Gaudio PA., 2004).

Patofisiologi posterior subcapsular cataract (PSC) akibat

kortikosteroid antara lain melalui pembentukan ikatan kovalen antara

kortikosteroid dengan residu lisin pada lensa dan penurunan kadar

anti-oksidan asam askorbat dalam cairan aqueous. Ikatan kovalen

tersebut mengakibatkan terjadinya kekeruhan lensa pada katarak.

Selain itu, kortikosteroid menghambat pompa Na-K pada lensa

sehingga terjadi akumulasi cairan dan koagulasi protein lensa yang

menyebabkan kekeruhan lensa (Poetker DM & Reh DD., 2010).

c. Terjadi Glaukoma

Kortikosteroid topikal menyebabkan peningkatan tekanan

intraokuler (TIO) pada beberapa pasien yang disebut sebagai

corticosteroid-induced ocular hypertension. Apabila peningkatan

TIO tersebut menetap dan menyebabkan gangguan lapang pandang

30
serta kerusakan saraf penglihatan, maka akan terjadi corticosteroid-

induced glaucoma. Corticosteroidinduced ocular hypertension terjadi

dalam waktu beberapa minggu setelah pemberian kortikosteroid

potensi kuat atau beberapa bulan setelah pemberian kortikosteroid

potensi lemah. Potensi dan konsentrasi sediaan kortikosteroid topikal

berbanding lurus dengan “kemampuan” mencetuskan corticosteroid-

induced ocular hypertension dan corticosteroidinduced glaucoma

(Gaudio PA., 2004). Kortikosteroid menyebabkan perubahan

morfologi dan biokimia di jaringan trabekular. Kortikosteroid

mempengaruhi proliferasi, fagositosis serta bentuk dan ukuran sel

pada jaringan trabekular. Selain itu, kortikosteroid menyebabkan

penumpukan materi ekstraseluler melalui induksi proliferasi

apparatus Golgi, peningkatan jumlah retikulum endoplasma, dan

peningkatan jumlah vesikel sekretorik. Kortikosteroid juga

meningkatkan sintesis fibronektin, laminin, kolagen, dan elastin.

Struktur aktin sitoskeleton jaringan trabekular mengalami

reorganisasi menjadi cross-linked actin networks (CLANs). Seluruh

perubahan morfologi dan biokimia pada jaringan trabekular

menyebabkan gangguan aliran cairan aqueous. Gangguan tersebut

mengakibatkan peningkatan TIO pada corticosteroid-induced

glaucoma (Clark AF dkk., 2010).

31
DAFTAR PUSTAKA

32
American Academy of Ophthalmology. (2007-2008). Basic and Clinical Science
Course. Anatomy in Lens and Cataract. San Fransisco: American
Academy of Ophthalmology.

Azhari. 2000. Pengaruh Penggunaan Mikroorganisme Selulolitik terhadap


Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit. Medan: Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara.

Baschant, U. dan Tuckermann, J., 2010, The role of the glucocorticoid receptor in
inflammation and immunity, Journal of Steroid Biochemistry and
Moecularl Biology, 120, 69-75, cit. Sitompul, R., 2011, Corticosteroid in
Uveitis Management: Mechanism of Action, Clinical Application and
Side Effects, Journal of Indonesian Medical Assocciation, 61, 265-9.

Biswell R., Vaughan D.G., Asbury T., 2009, Ophtalmology Umum Ed. 14.
Jakarta. EGC

Boediono. 2008. Ekonomi Moneter Edisi 3. Yogyakarta: BPFE.

Clark AF, Zhang Y, Yorio T. (2010). Steroid-induced glaucoma. In: Levin LA,
Albert DM, editor. Ocular disease: mechanisms and manage- ment. USA:
Saunders.

Cuvillo, A del., et al., 2009. Allergic Conjunctivitis and H1 Antihistamines. J


investing Allergol Clin Immunol 2009; Vol. 19. Suppl. 1: 11-18.

Convelo G. Cevilla, dkk. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Universitas


Indonesia.

Gaudio PA.(2004). A review of evidence guiding the use of corticoster- oids in


the treatment of intraocular inflammation. Ocular Immu- nology and
Inflammation. 2004;12(3):169-92.

Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. 2014.

James, dkk. 2006. Lecture Notes Oftalmologi Edisi 9.Alih bahasa dr. Asri D,
Rachmawati. Jakarta: Penerbit Erlangga

Lang, K. 2000. Conjungtivitis. Dalam : Ophthalmology A Short Text Book; h.74

Peterson, L.R., 2005, Squeezing The Antibiotic Balloon: The Impact of


Antimicrobial Classes on Emerging Resistance, Evanston Northwestern

33
Healthcare, The Feinberg School of Medicine at North western
University, USA

Poetker DM, Reh DD. A comprehensive review of the adverse effects of systemic
corticosteroid. Otolaryngol Clin N Am. 2010;43:753-68.

Ramadhanisa. (2014). Conjunctivitis bakterial treatment in kota karang village.


Jurnal J Medula Unila volume 3 nomor 2. Lampung: Universitas Negeri
Lampung.

Sánchez-Paredes E, dkk. (2011) The Gα subunit signals through the Ste50 protein


during the mating pheromone response in the yeast Kluyveromyces
lactis. Eukaryot Cell 10(4):540-6

Vaughn D; Asbury T. General Ophthalmology, Lange Medical Publication, 12th


ed 1989 : 320-322.

Vaughan, Asbury. Oftalmologi umum. anatomi & embriologi mata: Glaukoma.


Edisi ke-17. Jakarta: EGC; 2015. hal.1-228.

Wade PD, Iwuora AN, Lopez L. Allergic Conjunctivitis at Sheikh Zayed Regional
Eye Care Center Gambia. J Ophtalmic Vis Res. 2012. 7(1) : 24 – 28

34

Anda mungkin juga menyukai