Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Kelopak mata merupakan bagian dari organ mata yang memiliki beberapa fungsi,
yaitu melindungi bola mata, secara tidak langsung terhadap tajam penglihatan, fungsi lainnya
adalah membantu lubrikasi kornea dengan cara meratakan tear film, dan kelenjar-kelenjarnya
memberikan kontribusi terhadap komposisi air mata.
Kelainan yang didapat pada kelopak mata bervariasi, mulai dari yang jinak sampai
keganasan, proses inflamasi, infeksi maupun masalah struktur seperti ektropion, entrpion dan
blefarits. Kebanyakan dari kelainan kelopak mata memang tidak mengancam jiwa tetapi kita
harus waspada terhadap penyakit-penyakit ini karena dapat mengganggu penglihatan.
Kelopak mata dapat membuka diri untuk memberi jalan masuk sinar ke dalam bota
mata yang dibutuhkan untuk penglihatan. Kedipan kelopak mata dapat menyingkirikan debu
pada permukaan kornea. Membuka dan menutupnya kelopak mata dilaksanakan oleh otot-
otot tertentu dengan persyarafannya masing-masing. Menutup mata adalah pekerjaan otot
orbicular yang dipersyaraf saraf facialis (N.VII).
Sebagian besar kelainan kongenital terjadi pada 2–3% dari kelahiran. Penyebabnya
antara lain gen tunggal, anomali kromosom, kelainan multifaktorial, faktor lingkungan dan
penyebab lain yang tidak diketahui. Kategori terakhir, yang tidak diketahui, terukur 50%
sampai lebih dari malformasi ini. Kelainan kongenital kelopak mata dapat terjadi karena
diferensiasi abnormal kelopak mata dan adnexa, perkembangan yang terhambat sebagai hasil
intrauterine environmental dan faktor lain yang tidak diketahui.
Boleh dikatakan masyarakat sudah sangat mengenal jenis kelainan kelopak mata dan
kelenjar lakrimalis. Penyakit ini dapat menyerang semua umur. Jika tidak diobati bisa
terbentuk ulkus kornea, abses, perforasi mata dan sangat mengganggu penglihatan mata.
Untuk mengatasi kelainan kelopak mata dan kelenjar lakrimalis maka bisa diberikan tetes
mata, salep mata, tablet, maupun suntikan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Kelopak Mata


Kelopak mata atau disebut juga palpebra bertujuan untuk melindungi mata terhadap
trauma dan cahaya yang berlebihan, mata memiliki refleks menutup mata. Refleks menutup
mata dibantu oleh kontraksi muskulus orbicularis oculi. Refleks mengedip mata secara
periodic juga merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap mata, tujuannya untuk
mempertahankan film air mata yang terdapat didepan kornea tidak mengalami pengeringan;
pergerakan palpebral saat berkedip akan mendistribusikan film air mata dan menfasilitasi
aliran air mata ke sistem drainase nasolakrimalis.1
Palpebra superior memiliki ukuran lebih besar dan mobile dibandingkan dengan
palpebral inferior, serta memiliki muskulus levator palpebral yang membantu mengangkat
palpebral superior. Kedua palpebral akan bertemu dikedua ujung yang disebut kantus lateral
dan medial. Kantus medial terletak sekitar 2 mm lebih rendah dibandingkan dengan kantus
lateral. Jarak antara kedua kantus lebih besar pada kaum orang Asia, sehingga fisura
palpebral orang Asia lebih kecil. Di bagian medial terdapat karunkulus lakrimalis yang
berwarna merah dan berukuran kecil. Seperenam dari kantus medial margo palpebra terdapat
papilla lakrimalis, yang tengahnya terdapat pungtum lakrimalis sebagai lubang pintu ke
sistem drainase.1
Ketika manusia sedang melihat lurus ke depan, palpebral superior akan menutupi
tepi kornea bagian atas sebesar 2-3 mm, sedangkan palpebral inferior akan terletak tepat
dibawah limbus (batas korneosklera). Apabila menutup mata, maka hanya gerakan palpebral
superior yang menurun untuk menutupi seluruh bagian kornea.1

Gambar 1. Palpebra dan permukaan anterior dari bola mata3

2
Ketebalan palpebra dari anterior ke posterior sekitar 2 – 3 mm, dengan 2/3 anterior
berupa kulit, sedangkan sisanya berupa mukosa konjungtiva. Terdapat garis abu-abu (grey
line) yang berada di anterior dari batas mukokutaneus, yang berperan sebagai petanda
pembedahan, sehingga ketika dilakukan pembedahan dilokasi tersebut akan memisahkan
langsung lamella anterior dan posterior dari palpebra. Bulu mata terletak di anterior dari garis
abu-abu, sedangkan kelenjar tarsal (kelenjar Meibom) terletak di posteriornya.1,2
Bulu mata merupakan rambut yang pendek, hitam, dan melengkung, yang tersusun
dalam 2 hingga 3 baris. Bulu mata bagian palpebra superior lebih banyak, panjang, dan
melengkung ke arah atas, sedangkan bulu mata palpebra inferior melengkung ke arah
bawah.1,2
Struktur palpebra dari anterior hingga posterior terdiri dari:
 Kulit: bersifat sangat tipis
 Jaringan ikat subkutaneus: halus, dan sedikit jaringan adiposa, serta kurang serat
elastic.
 Serat otot orbicularis oculi: secara anatomi dibagi lagi menjadi tiga subbagian, yaitu
siliar, pretarsal dan preseptal, umunya tipis dan pucat.
 Jaringan ikat submuskular: lapisan fibrosa longgar yang merupakan lanjutan dari
palpebra superior dengan lapisan subaponeurotika scalp, sehingga efusi darah atau pus
dari menembus dari scalp ke palpebra superior.
 Tarsus: tipis, memanjang, berbentuk seperti bulan sabit, dengan jaringan ikat fibrosa
padat. Tarsus melekat ke tepi orbita dengan septum orbita dan ke bagian medial lateral
dengan ligamentum palpebral. Aponeurosis levator palpebra superioris merupakan serat
yang terletak paling dalam, dan melekat dengan permukaan anterior dari tarsus
superior.
 Septum orbitalis: membran dengan jaringan ikat longgar dan tipis, melekat di tengah
tarsus. Septum ini diperforasi oleh saraf, pembuluh daran dan otot levator palpebra
superioris.

3
 Konjungtiva tarsal: bagian tipis, membrane mukosa yang transparan, terbentuk mulai
dari pinggir palpebra hingga ke bagian limbus.

A Gambar 2. Potongan sagital palpebra superiorBdan


segmen anterior dari mata.1 A, Struktur dari anterior
hingga posterior palpebra; B. konjungtiva tarsal

Kelenjar di Palpebra. Terdapat beberapa kelenjar yang masing-masing memiliki


peran terhadap mata. Kelenjar-kelenjar dipalpebra adalah:
 Kelenjar tarsal atau palpebra (Meibom): modifikasi dari kelenjar sebaseus yang terletak
di bawah tarsus. Tampak warna kuning dan tersusun secara tegak lurus terhadap margin
palpebra. Jumlah kelenjar Meibom di palpebra superior adalah 30 – 40. Jumlahnya lebih
banyak dibandingkan dengan palpebra inferior (20 – 30). Setiap kelenjar Meibom
terdapat sebuah saluran lurus yang disertai dengan diverticula sekretori di sebelah
lateralnya, yang kemudian ailirkan keluar orifisium di pinggir margo palpebra. Kelenjar
ini mensekresikan lemak yang berperan sebagai film air mata, sehingga mengurangi
evaporasi dan menjaga kestabilan film air mata.
 Kelenjar Zeis: kelenjar sebaseus yang terminasi di folikel bulu mata.
 Kelenjar Moll: modifikasi dari kelenjar keringat yang terletak di dekat dengan folikel
rambut. Bersama dengan kelenjar Zeis terminasi di folikel rambut atau kelenjar Zeis.
 Kelenjar lakrimalis assesorius Wolfring: berada di dekat batas atas tarsus.

4
Vaskularisasi Palpebra. Suplai arteri pada palpebra berasal dari cabang lateral dan
medial dari arteri oftalmika. Cabang arteri tersebut akan membentuk 2 arkade di superior dan
1 di inferior. Selain itu, palpebra juga mendapatkan suplai dari arteri cabang infraorbitalis,
fasialis, fasial transversa dan temporal superfisial. Drainase vena palpebra lebih besar dan
banyak dibandingkan dengan arteri. Vena akan melewati secara superfisial ke vena di wajah,
kepala atau vena yang profunda yaitu vena oftalmika dalam orbita.1
Persarafan Palpebra. Inervasi sensori pada palpebra berasal dari nervus
trigeminalis cabang oftalmika dan maksila. Palpebra superior kebanyakan dipersarafi oleh
nervus frontalis cabang supraorbitalis. Juga memiliki tambahan dari nervus lakrimalis,
supratoklearis cabang nervus frontalis, dan infratrokleris cabang nervus nasosiliaris.
Sedangkan palpebra inferior kebanyakan dipersarafi oleh infraorbitalis cabang nervus
maksilaris dengan sedikit nervus lakrimalis dan infratroklearis.1

Penyakit Kelopak Mata


1. Blefaritis
Definisi dan Klasifikasi Blefaritis. Blefaritis merupakan inflamasi subakut atau
kronis pada margo palpebra.2-4 Kondisi ini sangat sering ditemukan dan menimbulkan
ketidaknyamanan dan iritasi pada mata.3,4 Secara umum, blefaritis dibedakan menjadi dua,
yaitu blefaritis anterior dan posterior. Secara klinis, blefaritis dapat terjadi secara campuran,
sehingga dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu blefaritis bacterial, blefaritis seboroik
atau skuamosa, blefaritis campuran stafilokokus dan seboroik, blefaritis posterior atau
meibomitis dan blefaritis parasitic.2-4

Blefaritis Bakterial. Blefaritis bacterial disebut juga sebagai blefaritis anterior


kronis, atau blefaritis stafilokokal atau blefaritis ulseratif yang merupakan infeksi kronis di
bagian anterior dari margo palpebra. Gangguan ini sering timbul mulai saat anak dan
berlangsung sampai dewasa. Penyebab paling sering dari blefaritis bacterial adalah
Stafilokokus koagulase positif. Jarang disebabkan oleh Streptokokus, Propionibacterioum
acnes, dan Moraxella.3
Gejala yang sering timbul adalah iritasi kronis, gatal, sedikit lakrimasi, silia yang
saling menempel, dan fotofobia ringan. Umumnya memburuk ketika pagi hari. Remisi dan
eksaserbasi sangat sering terjadi3,4. Tanda blefaritis bacterial3,4 berupa:
 Krusta kuning, di akar silia yang saling menempel,

5
 ulkus kecil, yang mudah berdarah ketika melepaskan krusta
 margo palpebra merah dan menebal, terjadi karena dilatasi pembuluh darah
(rosettes)
 konjungtivitis papilaris ringan dan hyperemia konjungtiva
 Keratokonjungtivitis atopi juga sering timbul pada pasien dengan dermatitis atopic

Komplikasi yang dapat terjadi ketika mengalami blefaritis jangka panjang3,4, yaitu
 Kelainan bulu mata, seperti madarosis, trikiasis, dan poliosis
 Tilosis, penebalan dan jaringan parut pada margo palpebra
 Eversi pungtum, menimbulkan epifora
 Ektropion, karena sering basah
 Hordeolum berulang, merupakan komplikasi yang sering ditemukan
 Keratitis marginalis, dapat timbul fliktenulosis
 Instabilitas film air mata, menimbulkan mata kering

Gambar 3. Blefaritis bakterial3,4

Hingga saat ini, pengobatan blefaritis masih kurang bukti yang mendukung. Perlu
diberitahukan kepada pasien bahwa blefaritis sulit sembuh secara permanen. Untuk
menghindari terjadinya komplikasi dan sekuele, maka pengobatan blefaritis bacterial 2-5 dapat
berupa:
 Higenitas palpebra:
 Melakukan kompresi hangat selama 5-10 menit, minimal sehari 2 kali, untuk
melunakkan krusta
 Melepaskan krusta dan membersihkan margo palpebra dengan cotton bud yang
dibasahi dengan sampoo bayi atau solusio 3% sodium bikarbonat

6
 Jangan menggosok mata
 Antibiotik:
 Salep mata digunakan di pinggir margo palpebra, sesegera setelah melepaskan
krusta
 Obat tetes mata antibiotic dapat ditetes 3-4 kali dalam sehari
 Antibiotik oral seperti eritromisin (250 mg satu atau dua kali sehari) atau
doksisiklin (50-100 mg, 2 kali sehari selama 1 minggu, kemudian sekali setiap
hari selama 6-24 minggu), atau azitromisin (500 mg, dua kali sehari selama 3 hari
per satu siklus, lakukan sebanyak 3 siklus dengan jarak antar siklus 1 minggu)
dapat berguna pada pasien yang tidak respon terhadap pengobatan diatas dan
memiliki komplikasi hordeolum eksterna dan abses di folikel bulu mata
 Steroid topical: fluorometalon 0,1% atau loteprednol 4 kali sehari selama 1 minggu
berguna pada pasien yang sedang inflamasi aktif, khususnya pada konjungtivitis
papilaris
 Lubrikan mata: seperti air mata buatan, khususnya pada pasien yang juga mengalami
mata kering.
 Diet: mengonsumsi suplementasi vitamin dan omega-3, salmon, minyak zaitun

Blefaritis Angularis. Blefaritis angularis disebabkan oleh infeksi Moraxella


lacunata atau S. aureus, jarang disebabkan oleh herpes simpleks. Blefaritis angularis sering
ditandai dengan hiperemis, bersisik, fisura pada kulit yang tampak di kantus medial dan/atau
lateral pada satu atau kedua mata. Berhubungan dengan konjungtivitis papilar dan folikular.
Pengobatan dengan memberikan topical kloramfenikol, basitrasin atau eritromisin.4

Gambar 4. Blefaritis angularis4

7
Blefaritis Seboroik. Blefaritis seboroik sering dijumpai pada laki-laki di atas usia
50 tahun. Pasien dengan blefaritis seboroik berkaitan erat dengan dermatitis seboroik di
rambut kepala. Kelenjar Zeis mensekresikan lemak netral dalam jumlah yang banyak,
sehingga Corynebakterium acne akan metabolisme lemak tersebut menjadi asam lemak bebas
yang mengiritasi.2-4

Gambar 5. Blefaritis seboroik3,4

Pasien sering mengeluh mata kotor, dengan deposit bahan putih-putih yang lunak di
margo palpebra, dengan rasa tidak nyaman, iritasi, kadang sering berair, dan kelilipan, serta
memiliki riwayat rontok pada bulu mata.2-4 Tanda blefaritis seboroik2-4 adalah:
 Akumulasi sisik putih seperti ketombe, sering tampak di margo palpebra, di bulu mata.
Apabila sisik diangkat akan tampak hiperemis dan berminyakan namun tidak ada
ulkus
 Rontok pada bulu mata, sering diganti dengan cepat tanpa mengalami distorsi
 Penebalan margo palpebra, sering menimbulkan epifora pada kasus jangka panjang
 Dapat timbul bersamaan dengan infeksi bacterial
Komplikasi yang timbul mirip seperti pada blefaritis bacterial dengan frekuensi yang
lebih sedikit dibandingkan dengan blefaritis bacterial. Pengobatan dapat dengan
memperhatikan pola diet yang seimbang, melepaskan sisik dari margo palpebra dengan
sampo bayi atau 3% sodium bikarbonat, dan steroid salep.2-4

Blefaritis Skuamosa. Blefaritis skuamosa merupakan blefaritis yang sering disertai


dengan skuama atau krusta di pangkal bulu mata, yang apabila dikupas tidak menimbulkan
ulkus. Jenis blefaritis ini sering ditemukan bersamaan dengan blefaritis seboroik. Penyebab
blefaritis skuamosa adalah kelainan metabolic atau jamur. Gejala yang timbul hampir mirip

8
dengan blefaritis umumnya, yaitu panas dan gatal. Ditandai dengan adanya sisik halus dengan
penebalan margo palpebra yang sering disertai dengan madarosis. Komplikasi yang sering
timbul adalah keratitis dan konjungtivitis. Pengobatan blefaritis skuamosa hampir mirip
dengan blefaritis seboroik.2,3

Blefaritis Posterior (Meibomitis). Blefaritis posterior dapat dibedakan menjadi


dua, yaitu meibomitis akut dan kronis. Meibomitis akut terjadi akibat infeksi stafilokokal.
Ditandai dengan nyeri di sekitar kelenjar yang terlibat. Apabila ditekan, maka akan
mengeluarkan pus disertai dengan cairan serosanguin. Meibomitis kronis sering timbul akibat
disfungsi dari kelenjar meibom. Kasus tersebut sering dijumpai pada lanjut usia, khususnya
pada pasien dengan akne rosasea dan/atau dermatitis seboroik. Lipase bacterial memainkan
peran dalam pathogenesis terjadinya meibomitis, yang membentuk asam lemak bebas,
sehingga meningkatkan titik leleh dari meibom. Fosfolipid dalam film air mata juga akan
berkurang, yang menimbulkan evaporasi dan osmolalitas air mata meningkat, sehingga film
air mata menjadi tidak stabil.2-4

9
Gambar 6. Blefaritis posterior kronis. (A) Capping pada kelenjar meibom; (B) hiperemis,
telangiektasia pada margo palpebra; (3) toothpaste appearance; (4) busa pada margo
palpebra4

Gejala yang sering dikeluhkan oleh pasien dengan meibomitis kronis adalah iritasi
kronis, panas, gatal, kelilipan, sedikit lakrimasi yang sering remisi dan eksaserbasi. Gejala
memburuk ketika pada pagi hari. Tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pasien dengan
meibomitis kronis3,4 adalah:

 Sekresi busa putih (foam like): sering tampak pada margo palpebra dan kantus
 Kelenjar meibom yang melebar: tampak tampilan seperti odol (toothpaste
appearance, lihat pada Gambar 6)
 Vertical yellowish streaks shining
 Hiperemis dan telangiectasia: di bagian margo posterior palpebra disekitar orifisium
kelenjar meibom
 Film air mata yang berminyak dan berbusa

Pengobatan blefaritis bacterial2-5 dapat berupa:


 Higenitas palpebra:
 Melakukan kompresi hangat selama 5-10 menit, minimal sehari 2 kali
 Masase secara vertical untuk ekspresi sekresi
 Antibiotik:
 Salep mata digunakan di pinggir margo palpebra, sesegera setelah masase
 Obat tetes mata antibiotic dapat ditetes 3-4 kali dalam sehari
 Antibiotik sistemik tetrasiklin, seperti doksisiklin (100 mg, 2 kali sehari selama 1
minggu, kemudian sekali setiap hari selama 6-12 minggu), menjadi pengobatan
utama karena berperan untuk menhambat produksi lipase pada stafilokokus,
eritromisin (250 mg satu atau dua kali sehari) diberikan ketika terdapat
kontraindikasi penggunaan tetrasiklin.
 Steroid topical: fluorometalon 0,1% atau loteprednol 4 kali sehari selama 1 minggu
berguna pada pasien yang sedang inflamasi aktif, khususnya pada konjungtivitis
papilaris

10
 Lubrikan mata: seperti air mata buatan, khususnya pada pasien yang juga mengalami
mata kering.
 Diet: mengonsumsi suplementasi vitamin dan omega-3, salmon, minyak zaitun

Blefaritis Parasitik.

Blefaritis ini berkaitan dengan infestasi kutu di bulu mata. Kasus ini lebih sering
ditemukan pada pasien yang hidup dengan kondisi higenitas kurang baik. Kutu yang dapat
infestasi adalah ptiriasis palpebrum dan pediculosis. Ptiriasis palpebrum artinya terdapat
infestasi phtirus pubis, yang sering ditemukan pada orang dewasa, yang dapat ditularkan
melalui infeksi menular seksual. Sedangkan pediculosis merupakan infestasi pediculus
humanus corporis atau capitis. Apabila jumlahnya banyak maka akan menyebar hingga ke
bulu mata.3,4
Infestasi kutu pada bulu mata akan menyebabkan blefaritis kronis dan konjungtivitis
folikular kronis, sehingga menimbulkan gejala iritasi kronis, gatal, panas, dan lakrimasi
ringan.3,4 Tanda-tanda yang ditemukan dapat berupa3,4:
 Merah dan radang pada margo palpebra
 Kutu melekat pada bulu mata, yang tampak dengan pemeriksaan slit-lamp
 Terdapat telur kutu yang melekat di basis silia
 Kongesti pada konjungtiva dan folikel pada kasus jangka panjang

Gambar 7. Phtiriasis palpebrum. (A) Tampak Phtirus pubis di bulu mata; (B,C) telur kutu3,4

Pengobatan blefaritis bacterial3,4 dapat berupa:


 Melepaskan secara mekanik

11
 Salep antibiotic dan mercuric oxide 1% (2 kali sehari, selama 10 hari) di bulu mata
dan margo palpebra
 Menghilangkan kutu-kutu pada anggota keluarga, pakaian dan ranjang untuk
pencegahan rekurensi.

2. Hordeolum
Hordeolum merupakan inflamasi supuratif akut pada kelenjar palpebra. Secara
umum, hordeolum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hordeolum eksterna dan interna.
Hordeolum eksterna adalah peradangan yang terjadi di kelenjar Zeis atau Moll. Sedangkan
hordeolum interna adalah peradangan yang terjadi di dalam kelenjar Meibom yang terletak
dalam tarsus. Sehingga pada tampilan klinis hordeolum interna memiliki ukuran yang lebih
besar dibandingkan dengan hordeolum eksterna.2,3

Penyebab yang sering ditemukan pada hordeolum eksterna dan interna adalah
Staphylococcus aureus.3 Faktor predisposisi3:
 Usia: lebih sering ditemukan pada anak dan dewasa muda
 Kebiasaan menggosok mata: sering menggosok dengan jari, blefaritis kronis dan
diabetes mellitus sering berkaitan dengan hordeolum berulang
 Faktor metabolisme: mengonsumi karbohidrat dan alkohol berlebihan

Gejala yang dikeluhkan pada pasien dengan hordeolum adalah nyeri akut disertai
dengan pembengkakkan di kelopak mata, sedikit berair dan fotofobia. Juga dapat merasakan
panas, gatal, kelilipan, dan penglihatan terganggu.2,3 Hordeolum eksterna dapat melihat
langsung tanda radangnya. Tanda hordeolum eksterna3 adalah sebagai berikut:
 Stadium selulitis: terlokalisir, batas tegas, merah, bengkak, nyeri tekan (+), dan
edema. Umumnya hanya satu, tetapi dapat ditemukan lebih dari satu.
 Stadium abses: tampak titik pus di margo palpebra di daerah silia yang terinfeksi.

12
Gambar 8. Hordeolum eksterna3,4

Gejala yang dikeluhkan pada pasien dengan hordeolum interna hampir sama dengan
hordeolum eksterna, yaitu nyeri akut disertai dengan pembengkakkan di kelopak mata,
sedikit berair dan fotofobia. Namun rasa nyeri lebih berat pada hordeolum interna karena
letaknya lebih dalam di jaringan ikat yang padat. Tanda hordeolum interna 3 adalah sebagai
berikut:
 Stadium selulitis: terlokalisir, batas tegas, merah, bengkak, nyeri tekan (+), dan
edema. Umumnya hanya satu, tetapi dapat ditemukan lebih dari satu.
 Titik puncak pus berada dalam tarsal, jarang tampak pada kulit.

Gambar 9. Hordeolum interna di palpebra inferior3

Tatalaksana Hordeolum. Pengobatan hordeolum2,3:


 Kompres hangat: 2 – 3 kali dalam sehari, sangat bermanfaat saat stadium selulitis
 Evakuasi pus: dengan epilasi pada silia yang terinfeksi, ketika pus telah terbentuk
 Insisi bedah: jarang dilakukan kecuali abses ukuran besar
 Antibiotik: tetes mata (3-4 kali sehari) dan salep mata (sesaat sebelum tidur) perlu
untuk mengontrol infeksi

13
 Obat anti-inflamasi dan analgesic sistemik: dapat digunakan untuk mengurangi rasa
nyeri dan edema
 Obat antibiotic sistemik: dapat digunakan saat awal infeksi, berikan siprofloksasin
250-500 mg atau amoksisilin 3 kali sehari.

3. Kalazion
Kalazion disebut juga sebagai kista Meibomian atau tarsal merupakan inflamasi
lipogranulomatosa non-supuratif (non-infeksi) atau steril secara kronis pada kelenjar
Meibom. Kalazion merupakan kasus terbanyak dengan benjolan pada kelopak mata. Secara
histopatologis tampak gambaran inflamasi kronis lipogranulomatosa dengan deposit lemak
ekstraselular yang dikelilingi oleh sel epiteloid, sel giant multinukleat dan limfosit. Kalazion
yang sering rekurensi perlu pertimbangkan biopsy untuk mengeksklusi keganasan.

Faktor predisposisi kalazion sama seperti pada hordeolum. Awalnya kalazion terjadi
akibat adanya infeksi ringan di kelenjar Meibomian oleh mikroorganisme dengan virulensi
sangat rendah. Hasilnya timbul proliferasi epitel dan infiltrasi dinding ductus yang
menimbulkan blockade terhadap ductus kelenjar Meibom. Sebum atau sekresi terhambat
menyebabkan pembesaran pada kelenjar. Sekresi lemak akibat ekstravassasi menimbulkan
iritasi dan inflamasi lipogranulomatosa yang semakin menghambat kelenjar Meibomian dan
jaringan sekitarnya.
Pasien dengan kalazion sering mempresentasikan gejala:
 Bengkak pada palpebra tanpa nyeri: ukuran semakin membesar, tetapi tidak nyeri
 Bertambah berat: sulit mengangkat kelopak mata karena ukuran kalazion yang
semakin besar
 Pandangan buram: dapat terjadi apabila menginduksi terjadinya astigmatisma
 Epifora: terjadi ketika terjadi eversi pungtum inferior akibat ukuran kalazion yang
besar pada palpebra inferior

Tanda-tanda kalazion yang ditemukan:

14
 Nodul: kenyal hingga keras, tidak ada nyeri tekan, batas tegas. Palpebra superior lebih
sering terjadi dibanding dengan inferior, karena jumlah kelenjar Meibom lebih banyak
ditemukan di palpebra superior.
 Merah keunguan: tampak titik kalazion ketika dilakukan eversi.
 Kalazion marginal: dapat timbul nodul merah keabuan di margo palpebra.

Terdapat berbagai metode dalam tatalaksana kalazion, tetapi tidak ada consensus
mengenai pilihan pengobatan pertama. Tatalaksana kalazion adalah sebagai berikut:
 Terapi konservatif: kalazion ukuran kecil, lunak, dapat dibantu dengan terapi
konservatif yaitu kompres hangat, obat tetes antibiotic, dan obat antiinflamasi
sistemik.
 Injeksi intralesi dengan steroid long-acting: triamsinolone (0,2 – 2 mL), dengan
jarum ukuran 27 atau 30G, memberikan resolusi hampir 50% kasus khususnya pada
kalazion ukuran kecil, onset cepat, dekat pungta
 Insisi dan kuretase: terapi yang efektif dan konvensional pada kalazion.
 Anestesi permukaan dengan xylocaine 2% diteteskan di sekitar region kalazion
 Memasang klem
 Insisi dengan pisau tajam, secara vertical untuk menghindari kerusakan kelenjar
Meibom, secara horizontal pada kulit agar tidak tampak jaringan parut
 Mengeluarkan jaringan kalazion
 Menutup mata setelah pemberian antibiotic salep selama 6 hingga 12 jam
 Paska-tindakan: kompres hangat, antibiotic tetes, anti-inflamasi oral, analgesic
dan antibiotic oral selama 4-5 hari
 Profilaksis: tetrasiklin oral, khususnya pada pasien yang memiliki riwayat akne
rosasea atau dermatitis seboroik.

4. Trikiasis
Silia atau disebut sebagai akar dari bulu mata berada di permukaan superior dari
tarsus.3 Posisi normal silia pada margo palpebra dari anterior hingga posterior3 adalah:
 Cilia (bulu mata)

15
 Garis abu (grey line): batasan antara anterior (bulu mata, kulit dan orbicularis) dan
posterior (tarsus dan konjungtiva)
 Orifisium kelenjar Meibom: berada di anterior dari batas mukokutaneus
 Batas mukokutaneus: transisi dari epitel berkeratin menjadi membran mukosa
konjungtiva
 Konjungtiva: berada di posterior dari margo palpebra

Trikiasis merupakan kesalahan arah pertumbuhan silia (bulu mata) ke arah dalam
dengan posisi margo palpebra yang normal, sehingga cilia akan bergesek dengan bola mata.
Terdapat kondisi di mana arah pertumbuhan silia yang salah diakibatkan oleh perubahan
margo palpebra misalnya pada pasien dengan entropion, kondisi ini disebut sebagai
pseudotrikiasis.3,4

Gambar 10. Trikiasis beserta komplikasinya3

Trikiasis sering disebabkan karena berbagai kondisi seperti3,4:


 Trakoma sikatriks,
 Blefaritis ulseratif,
 Konjungtivitis membranosa,
 Hordeolum eksterna,
 Trauma mekanik,
 Luka bakar, dan
 Bekas jaringan parut akibat tindakan pembedahan di margo palpebra.

Pasien dengan trikiasis sering merasakan adanya benda asing dan fotofobia. Pasien
akan merasa iritasi, nyeri, dan lakrimasi. 2-4 Tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pasien
trikiasis3, yaitu sebagai berikut:

16
 Satu atau lebih silia mengarah ke dalam dan menyentuh kornea
 Refleks blefarospasme dan fotofobia ketika terjadi defek pada kornea
 Edema pada konjungtiva
 Tanda-tanda penyakit trakoma, blefaritis dapat ditemukan

Apabila trikiasis tidak diberikan tatalaksana yang tepat maka akan menimbulkan
terjadinya abrasion kornea yang berulang, opasitas pada permukaan kornea, vaskularisasi
kornea, dan ulkus kornea yang tidak sembuh.3,4 Oleh sebab itu, trikiasis perlu ditatalaksana
dengan metode seperti berikut:
 Epilasi: melepaskan silia dengan forceps secara mekanik. Tindakan ini akan
memberikan penyembuhan sementara, sekitar 3-4 minggu, dan akan mengalami
rekurensi karena silia mulai tumbuh kembali.
 Elektrolisis: merupakan metode untuk menghancurkan folikel bulu mata dengan
aliran listrik. Dalam tindakan ini, membutuhkan infiltrasi anestesi pada palpebra dan
menggunakan jarum yang ditusuk ke dalam akar bulu mata, dan dialirkan listrik 2mA
selama 10 detik. Silia yang longgar akibat kerusakan pada folikel akan dikeluarkan
dengan forceps epilasi.
 Ablasi laser: pilihan terapi dengan menembak pada basis bulu mata, ukurannya 50
μm, durasi 0,1 – 0,2 detik, dan kekuatan laser 800 – 1000 mW.
 Krioepilasi: metode ini juga efektif sebagai tatalaksana trikiasis. Setelah infiltrasi
anestesi, sebuah cryoprobe (-20oC) diberikan selama 20 – 25 detik pada margo
palpebra eksterna dengan teknik double freeze-thaw. Kerugian dalam prosedur ini
adalah mengalami depigmentasi kulit.
Pembedahan: ketika banyak silia menghadap arah yang salah, maka tindakan pembedahan
menjadi pilihan, dan tindakan pembedahan ini mirip seperti pada pembedahan entropion
sikatriks.

5. Entropion
Entropion adalah keadaan ketika margo palpebra memutar dan rotasi ke arah dalam
bola mata. Berdasarkan etiologi entropion, entropion dapat dibedakan menjadi empat jenis,
yaitu:
 Entropion kongenital: kondisi ini sangat jarang ditemukan pada bayi baru lahir.
Namun kondisi ini sering tampak pada palpebra inferior dibandingkan superior.

17
Entroprion kongenital palpebra inferior terjadi akibat kegagalan perkembangan dari
retractor palpebra inferior. Sedangkan pada entropion kongenital palpebra superior
umumnya terjadi karena dampak sekunder dari mikroftalmus.
 Entropion sikratrika: kondisi ini lebih sering ditemukan dan lebih banyak didapatkan
pada palpebra superior dibandingkan inferior. Entropion sikatrika terjadi akibat
kontraksi sikatriks pada konjungtiva palpebra dengan atau tanpa adanya distorsi pada
tarsus. Penyebab yang paling sering adalah trakoma, konjungtivitis membranosa, luka
bakar kimiawi, femfigus, dan sindroma Steven-Johnson.
 Entropion senile (involusi): kondisi ini sering muncul dan terjadi pada palpebra
inferior lanjut usia. Hal ini dapat terjadi akibat:
 Kelemahan horizontal (horizontal laxity) pada palpebra akibat kelemahan otot
orbikularis okuli.
 Instabilitas palpebra vertical yang terjadi akibat kelemahan atau kelonggaran dari
fasia kapsulopalpebra (retractor palpebra inferior)
 Overriding of pretarsal orbicularis, terjadi degenerasi pada jaringa ikat palpebra
yang memisahkan serat otot orbicularis sehingga serat preseptal menjadi
tumpang-tindih dengan serat pretarsal, yang mendesak margo inferior menjadi
memutar kedalam.
 Kelemahan septum orbital (laxity of orbital septum) timbul karena prolapse dari
lemak orbita ke dalam palpebra inferior sehingga mendorong margo inferior
memutar ke dalam.
 Entropion mekanik: kondisi ini terjadi karena kurangnya dukungan pada palpebra oelh
bola mata, sehingga pasien dengan ptisis bulbi, enolftalmus, dan setelah enukleasi
atau eviserasi sering mengalami entropion mekanik.

Gambar 11. Entropion sikatrika dan involusi3

18
Entropion menimbulkan perputaran margo palpebra ke arah bola mata, sehingga
cilia atau bulu mata akan menghadap ke bagian dalam atau disebut sebagai pseudotrikiasis.
Gejala akan timbul ketika cilia mulai menggesek kornea dan konjungtiva, jadi gejala yang
dirasakan akan sama seperti pada pasien dengan trikiasis, yaitu sensasi benda asing, iritasi,
lakrimasi, dan fotofobia. Tanda-tanda yang dapat ditemukan pada saat pemeriksaan adalah
tanda penyebab penyakit seperti jaringan parut palpebra konjungtiva pada entropion sikatrika,
kelemahan palpebra horizontal pada entropion involusi. Atau tanda komplikasi dari
entropion, seperti abrasion kornea, opasitas kornea superfisial, vaskularisasi kornea dan
bahkan ulkus kornea. Melalui pemeriksaan fisik pada mata, maka entropion dapat dibedakan
menjadi tiga tingkat (grade):
 Grade I entropion: hanya bagian batas posterior palpebra yang memutar ke dalam
 Grade II entropion: batas posterior palpebra dan inter-marginal strip memutar ke
dalam
 Grade III entropion: seluruh margo palpebra termasuk batas anterior ikut memutar ke
dalam.

Tatalaksana entropion umumnya melibatkan tindakan pembedahan untuk


mengembalikan posisi dari margo palpebra. Teknik pembedahan yang dipilih harus
disesuaikan dengan etiologi dari entropion, yaitu sebagai berikut:
 Entropion kongenital: sebenarnya dengan berjalannya waktu entropion kongenital
dapat menjadi normal tanpa perlunya tindakan pembedahan, namun apabila perlu
maka dibutuhkan eksisi kulit dan otot dengan rekontruksi plastic pada lipatan
palpebra, yang dikenal sebagai prosedur Hotz.
 Entropion sikatrika: ditatalaksanakan dengan operasi plastic dengan salah satu prinsip
dasar berikut: mengubah arah bulu mata, transplantasi bulu mata, atau meluruskan
tarsus yang terdistorsi. Teknik pembedahan pada entropion sikatrika adalah sebagai
berikut:
 Reseksi lamella anterior: merupakan tindakan pembedahan yang paling mudah
untuk mengoreksi derajat ringan pada entropion. Dalam tindakan pembedahan ini
akan melibatkan pembuangan kulit dan otot orbicularis secara elips sebesar 3 mm
dari margo palpebra.

19
 Reseksi wedge tarsal: merupakan tindakan pembedahan
pada entropion derajat sedang yang berhubungan
dengan atrofi tarsus. Selain reseksi elips pada kulit dan
otot, wedge tarsus juga akan direseksi. (lihat Gambar
12)
 Transposisi wedge tarsokonjungtiva: pembedahan
Gambar 12.
modifikasi Ketssey. Diindikasikan pada entroprion
Reseksi tarsal
sikatrika ringan hingga sedang. Melibatkan fraktur wegde3
tarsal dan eversi tarsus distal. Insisi horizontal
dilakukan di sepanjang sulkus subtarsalis (2-3 mm dari atas margo palpebra)
melibatkan konjungtiva dan piringan tarsal (lihat pada Gambar 13)

Gambar 13. Transposisi wedge tarsokonjungtiva3

 Graf lamella posterior: indikasi tindakan pembedahan ini pada entoprion derajat
berat dengan retraksi palpebra superior. Dalam tindakan ini, defisien atau keratini
konjungtiva dan jaringan parut serta tarsus yang mengalami kontraksi akan
digantikan dengan graf lamella posterior.
 Entropion senile: Teknik pembedahan pada entroprion senilis adalah sebagai berikut:
 Jahitan transverus everting: tindakan ini hanya akan menyembuhkan sementara
(hingga 18 bulan) sehingga tindakan ini lebih sesuai untuk dilakukan pada lanjut
usia yang sangat tua. Jahitan transversa ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
tumpang tindih di otot preseptal. (lihat pada Gambar 14)

20
Gambar 14. Jahitan transversus everting3

 Operasi Wies: memisahkan palpebra secara


transversal dan jahitan everting. Tindakan ini
diindikasikan pada pasien dengan laksitas horizontal
palpebra yang memberikan penyembuhan jangka
panjang. Insisi melibatkan kulit, orbicularis dan
tarsus dilakukan di 3 mm bawah margo palpebra, di
sepanjang palpebra.
Gambar 15. Operasi
 Operasi Jones: Indikasi pada entropion derajat berat
Wies3
atau ketika terjadi rekurensi. Dalam tindakan ini,
retractor palpebra inferior dibuka melalui insisi kulit secara horizontal di batas
bawah tarsus (lihat Gambar 16).

Gambar 16. Operasi Jones3

 Prosedur Quikert: diindikasikan pada pasien dengan horizontal lid laxity.


Tindakan ini merupakan kombinasi dari pemendekan palpebra secara horizontal
dengan prosedur Weis (lihat pada Gambar 17.

21
Gambar 17. Prosedur Quickert. (A) dua insisi vertikal untuk pemendekan palpebra secara
horizontal dan insisi slit horizontal; (B) pasase dari jahitan palpebra everting setelah reseksi
palpebra horizontal; (C) hasil akhir jahitan3

6. Ektropion
Definisi dan Klasifikasi Ektropion. Ektropion adalah keadaan ketika margo
palpebra memutar dan rotasi ke arah luar bola mata. Berdasarkan etiologi entropion,
entropion dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:
 Ektropion kongenital: kasus yang sangat jarang ditemukan, tetapi sering tampak pada
pasien dengan sindrom Down dan sindrom blefarofimosis. Dapat terjadi pada
palpebra superior dan inferior karena pemendekan kulit secara kongenital.
 Ektropion involusi: merupakan kasus yang paling sering ditemukan dan sering pada
palpebra inferior. Ektropion involusi terjadi karena perubahan yang berkaitan dengan
usia, yaitu horizontal laxity pada palpebra, laxity pada tendon kantus medial dan
lateral, dan disinsersi retractor palpebra inferior.

22
 Ektropion sikatrika: terjadi akibat jaringan parut pada kulit dan melibatkan kedua
palpebra. Ektropion sikatrika dapat terjadi karena luka bakar, luka bakar kimiawi,
laserasi dan ulkus kulit.
 Ektropion paralitik: terjadi akibat paralisis di nervus ketujuh. Sering tampak kelainan
pada palpebra inferior. Penyebab yang sering ditemukan adalah Bell’s palsy, cedera
kepala, infeksi telinga tengah, dan operasi kelenjar parotis.
 Ektropion mekanik: sering terjadi pada palpebra inferior yang diakibatkan oleh tumor
yang menarik kulit ke bawah.

Gambar 18. Ektropion involusi dan sikatrika pada palpebra inferior3

Tanda dan Gejala Ektropion. Gejala yang sering dikeluhkan oleh pasien dengan
ektropion adalah epifora, khususnya ektropion pada palpebra inferior, beserta gejala yang
disebabkan oleh konjungtivitis kronis: iritasi, rasa kelilipan, dan fotofobia ringan. Tanda yang
didapatkan pada pasien dengan ektropion dapat berupa etiologinya seperti jaringan parus
pada ektropion sikatrika dan paresis nervus tujuh pada ektropion paralitik. Pada ektropion
involusi, salah satu tanda berikut dapat ditemukan, yaitu laxity palpebra horizontal, laxity
tendon kantus medial (secara normal penarikan pada palpebra ke arah lateral akan
memindahkan pungtum inferior 1-2 mm saja), laxity tendon kantus lateral (tampak bulatan
pada kantus lateral dan bergeser melebihi 2 mm saat ditarik ke arah medial). Melalui
pemeriksaan fisik pada mata, maka ektropion dapat dibedakan menjadi tiga tingkat (grade):
 Grade I ektropion: hanya bagian batas posterior palpebra yang memutar ke dalam
pungtum yang mengalami eversi
 Grade II ektropion: margo palppebra mengalami eversi dan tampak konjungtiva
palpebra
 Grade III ektropion: forniks juga terlihat

23
Apabila tidak ditatalaksana dengan baik, maka komplikasi yang dapat terjadi pada
pasien dengan ektropion adalah keratitis, eczema dan dermatitiss pada palpebra inferior
akibat epifora kronis.
Tatalaksana ektropion umumnya melibatkan tindakan pembedahan untuk
mengembalikan posisi dari margo palpebra. Teknik pembedahan yang dipilih harus
disesuaikan dengan etiologi dari ektropion, yaitu sebagai berikut:
 Ektropion kongenital: ektropion ringan sebenarnya jarang memerlukan tindakan. Pada
ektropion sedang atau berat maka prosedur yang diberikan mirip pada ektropion
sikatrika dengan mengencangkan palpebra secara horizontal.
 Ektropion involusi: tergantung pada derajatnya, terdapat tiga operasi yang sering
dilakukan, yaitu:
 Konjungtivoplasti medial: berguna pada kasus ringan yang melibatkan area
pungtum (lihat pada )

Gambar 19. Konjungtivoplasti medial3

 Pemendekkan palpebra secara horizontal: umumnya dilakukan pada


ektropion derajat sedang.

Gambar 20. Horizontal lid shortening3

 Operasi Byron Smith dengan modifikasi Kuhnt-Szymanowski: dilakukan pada


ektropion derajat berat (lihat pada ).

24
Gambar 21. Modifikasi Kuhnt-Szymanowski3
 Teknik lateral tarsal strip: sangat berguna pada ektropion umumnya yang
berhubungan dengan laxity palpebra secara horizontal.

Gambar 22. Lateral tarsal strip. (A) kantotomi lateral; (B) kantolisis (C) memisahkan lamela
palpebra anterior dan posterior; (D) memendekkan strip dengan benang 4-0 absorbable; (E)
memotong margo palpebra yang berlebihan (F) menutup insisi kulit4

 Ektropion paralitik: ektropion paralitik sering membaik dalam 6 bulan khususnya


pada pasien dengan Bell’s palsy. Oleh sebab itu, perawatan sementara dapat diberikan

25
berupa lubrikan topical, taping sisi temporal palpebra, dan jahitan tarsorafi. Tindakan
pembedahan dapat diberikan jika tidak terjadi perbaikan. Tindakan pembedahan yang
dapat dilakukan adalah:
 Horizontal lid tightening (lihat Gambar 23)
 Palpebral sling operation

Gambar 23. Horizontal lid shortening4

 Ektropion sikatrika: tergantung pada derajatnya. Operasi plastic yang dapat dilakukan
adalah:
 Operasi V-Y: indikasikan pada ektropion derajat ringan. Insisi V dilakukan
kemudian dijahit dengan bentuk Y

Gambar 24. Operasi V-Y3

 Z-plasty (operasi Elschnig):berguna pada ektropion derajat ringan sampai sedang


 Eksisi jaringan parut dan grafting: pada kasus ektropion berat. Pencangkokkan
kulit didapatkan dari palpebra superior, belakang telingan atau sisi dalam lengan
atas.
 Ektropion mekanika: dapat dikoreksi dengan mengobati penyebab ektropionnya.

26
7. Lagoftalmus
Lagoftalmus merupakan kondisi yang ditandai dengan ketidakmampuan palpebra
menutup mata secara sadar. Penyebab lagoftalmus sering didapatkan pada pasien dengan
paralisis otot orbicularis oculi, kontraksi sikatriks pada palpebra, simblefaron, ektropion
berat, proptosis, reseksi berlebihan otot levator pada pasien ptosis, dan pasien yang sedang
koma. Secara fisiologis, terdapat orang yang tidur dengan mata terbuka, disebut lagoftalmus
nokturna. Ditandai dengan tidak menutup mata secara total. Dapat menimbulkan mata kering,
iritasi, lakrimasi, bahkan dapat menimbulkan terjadinya xerossi konjungtiva dan kornea serta
keratitis.
Lagoftalmus meningkatkan morbiditas yang tinggi pada pasien. Oleh sebab itu,
tatalaksana lagoftalmus dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penanganan untuk mencegah
terjadinya keratitis, dan mengobati etiologinya. Untuk mencegah keratitis dapat dilakukan
dengan memberikan air mata buatan (diberikan sesering mungkin, kemudia berikan salep
antibiotic ketika tidur), atau soft bandage contact lens, atau tarsorafi. Tarsorafi merupakan
tindakan untuk menyempitkan aperture palpebra, yang dibagi menjadi temporal dan
permanen. Tarsorafi temporal dilakukan pada pasien untuk: (a) memproteksi kornea pada
Bell’s palsy yang memiliki kesembuhan tinggi, (b)membantu penyembuhan ulks kornea
indolent, (c) membantu perbaikan pencangkokkan kulit. Teknik yang dilakukan adalah
tarsorafi mediana atau paramediana (lihat Gambar 25). Sedangkan tarsorafi permanen
diindikasikan pada: (a) pasien dengan paresis N.VII yang tidak mengalami perbaikan, dan (b)
neuroparalitik keratitis dengan hilangnya sensasi korneal. Teknik yang digunakan adalah
dengan melakukan adesi permanen di kantus lateral.

Gambar 25. Teknik pembedahan tarsorafi paramediana3

27
8. Ptosis
Ptosis merupakan kondisi yang ditandai dengan posisi palpebra superior yang
menurun secara abnormal. Pseudoptosis adalah suatu keadaan di mana terdapat impresis yang
salah mengenai ptosis, dapat terjadi akibat: (a) kurangnya penyokong palpebra oleh bola
mata, misalnya mikroftalmus; (b) retraksi palpebra kontralateral; (c) hipotropia ipsilateral di
mana palpebra superior mengikuti arah bola mata kebawah; (d) ptosis alis mata yang terjadi
akibat alis mata yang terlalu tebal; (e) dermatokalasia. Dapat terjadi secara kongenital atau
didapatkan. Ptosis kongenital:
 Ptosis kongenital simpleks
 Ptosis kongenital dengan kelemahan otot rektus superior
 Sindrom blefarofimosis
 Ptosis kongenital sinkinetik (ptosis Marcus Gunn jaw-winking)

Gambar 26. Ptosis kongenital.

Ptosis yang didapatkan umumnya dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:


 Ptosis neurogenic: ptosis yang terjadi akibat defek pada inervasi, misalnya pada
paresis nervus III dan sindrom Horner
 Ptosis miogenik: ptosis yang terjadi akibat miopati pada otot levator sendiri, atau
karena gangguan transmisi impuls di neuromuscular junction (neuromiopatik). Ptosis
miogenik yang didapatkan sering tampak pada miastenia gravis, distrofi miotonik dan
oftalmoplegia ekterna progresif
 Ptosis aponeurotic atau involusi: defek pada aponeurosis levator
 Ptosis mekanik: efek gravitasi dari suatu massa atau jaringan parut

Untuk membedakan ptosis kongenital dari didapatkan yaitu dengan melihat onset
usia dan durasinya. Namun gejala dapat dikeluhkan karena penyakit sistemik yang dialami

28
seperti diplopia, variasi ptosis dalam sehari, dan terlalu fatig. Tanda pemeriksaan yang dapat
dilakukan dan ditemukan adalah:
 Mengeksklusikan psudoptosis
 Jarak margin-refleks: mengukur jarak antara margo palpebra superior dan refleksi
kornea dengan mata pasien fiksasi pada lampu pemeriksa, normalnya 4-5 mm (lihat
Gambar 27, kiri)
 Fungsi levator: mengukur dengan cara meletakkan jempol di alis mata pasien untuk
menekan fungsi muskulus frontalis, dan saat pasien melihat ke arah bawah. Kemudian
pasien diperintahkan untuk melihat ke atas semaksimal mungkin, normalnya (15 mm
atau lebih), baik (12 – 14 mm), cukup (5 – 11 mm) dan buruk (kurang dari 4 mm)
(lihat Gambar 27, kanan)
 Tinggi fisura palpebra: mengukur jarak antara margo palpebra superior dan inferior,
di sumbu pupil. Palpebra superior normalnya berada 3 mm dibawah limbus sisi atas,
sedangkan palpebra inferior normalnya berada 1 mm di atas limbus sisi bawah (lihat
Gambar 28). Jarak tersebut lebih pendek pada laki-laki (7 – 10 mm) sedangkan pada
perempuan (8 – 12 mm). Ptosis unilateral dapat diukur dengan membandingkan ke
sisi kontralateral. Ptosis yang ringan (hingga 2 mm), sedang (3 mm), dan berat (4 mm
atau lebih).
 Upper lid crease: jarak vertical antara margo palpebra dengan lid crease saat melihat
ke arah bawah. Pada perempuan normalnya 10 mm, dan laki-laki 8 mm.
 Pemeriksaan tambahan dengan:
 Uji Tensilon, yang dilakukan pada pasien dengan curiga Miastenia gravis. Ptosis
membaik dengan injeksi edrofonium IV pada miastenia.
 Uji fenilefrin, pasien yang curiga sindrom Horner
 Pemeriksaan saraf

29
Gambar 27. Pemeriksaan ptosis; (kiri) jarak margin-refleks; (kanan) fungsi levator4

Gambar 28. Tinggi fisura palpebra4

Tatalaksana Ptosis Kongenital. Pada ptosis kongenital selalu memerlukan tindakan


pembedahan untuk mengoreksi ptosis. Pada kasus ptosis berat, maka pembedahan perlu
dilakukan sedini mungkin untuk mencegah terjadinya amblyopia deprivasi. Pada ptosis
ringan hingga sedang, pembedahan dapat ditunda hingga usia 34 tahun. Teknik-teknik
pembedahan yang dapat dilakukan adalah3:
 Operasi Fasanella-Servat (tarso-konjungtivo-Mullerektomi). Diindikasikan pada
ptosis ringan (1,5 – 2 mm) dan fungsi levator yang baik (lihat Gambar 29).

30
 Reseksi levator. Sangat umum dilakukan pada ptosis derajat sedang sampai berat.
Kontraindikasi tindakan ini adalah pasien dengan ptosis berat disertai fungsi levator
yang buruk. Teknik yang dapat dilakukan adalah operasi Blaskowics dan operasi
Everbusch (lihat Gambar 30). Pasien dengan ptosis berat dengan fungsi levator cukup
maksimal reseksi 23 – 24 mm. Pasien dengan ptosis sedang, jumlah yang direseksi
tergantung pada fungsi levator3, yaitu sebagai berikut:
 fungsi levator baik, reseksi minimal (16 – 17 mm);
 fungsi levator cukup, reseksi 18 – 22 mm;
 fungsi levator buruk, reseksi 23 – 24 mm.

Gambar 29. Teknik Fasanella-Servat3

Gambar 30. Reseksi levator. (kiri) operasi Blaskowics; (kanan) operasi Everbusch

 Suspensi alis mata (tindakan sling frontalis). Dilakukan pada pasien dengan ptosis
berat tanpa fungsi levator (lihat Gambar 31).

31
Gambar 31. Tindakan sling frontalis3

Pada kasus ptosis yang didapatkan, tatalaksana diberikan sesuai etiologinya. Terapi
konseratif dapat diberikan terlebih dahulu, apabila tidak mengalami perbaikan setelah 6
bulan, maka perlu tindakan pembedahan pada ptosis neurogenic. Teknik tindakan
pembedahan pada ptosis didapatkan sama dengan ptosis kongenital.3,4

32
BAB II
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Kelopak mata merupakan bagian dari organ mata yang memiliki beberapa fungsi,
yaitu melindungi bola mata, secara tidak langsung terhadap tajam penglihatan, fungsi
lainnya adalah membantu lubrikasi kornea dengan cara meratakan tear film, dan kelenjar-
kelenjarnya memberikan kontribusi terhadap komposisi air mata. Kelainan kelopak mata
terdiri dari beberapa penyakit, yaitu blefaritis, hordeolum, kalazion, trikiasis, entropion,
ektropion, lagoftalmus, ptosis yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan tajam
pengelihatan penderita.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Douglas RH, Lawrenson JG. Eye. In: Standring S, editors. Gray’s Anatomy The
Anatomical Basis of Clinical Practice. 41st Ed. London: Elsevier; 2016
2. FK UI
3. Khurana AK, Khurana Aruj K, Khurana B. Comprehensive Ophthalmology. 6 th
Edition. India: Jaypee Brothers Medical Publisher Ltd; 2015
4. Bowling B. Kanski’s Clinical Ophthalmology A Systemic Approach. 8 th Edition.
China: Elsevier; 2016
5. Agarwal A, Jacob S. Color Atlas of Ophthalmology The Quick-Reference Manual for
Diagnosis and Treatment. 2nd Edition. New York: Thieme Medical Publishers, Inc;
2010.
6. Khafagy A, Mostafa MM, Fooshan F. Management of trichiasis with lid margin split
and cryotherapy. Clinical ophtalmology. 2012: 6: 1815-17.
7. Dahlan MR, Boesoirie K, Kartiwa A, Boesoirie SF, Puspitasari H. Karakteristik
penderita dakriosistitis di pusat mata nasional rumah sakit mata cicendo. MKB. 2017;
49(4): 281-6.
8. Taylor RS, Ashurst JV. Dacryocystitis. 2019. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470565/ (cited in Sept 27, 2019).
9. Vagge A, et al. Congenital Nasolacrimal Duct Obstruction (CNLDO): A review.
Disease. 2018; 6(96): 2-11.
10. Lueder GT. Nasolacrimal Duct Obstruction in Children. American Academy of
Ophtalmology. 2015. Available at: https://www.aao.org/disease-review/nasolacrimal-
duct-obstruction-4 (cited in Sept 27, 2019).

34

Anda mungkin juga menyukai