Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

UVEITIS

Pembimbing :
dr. Moh. Tauhid Rafi’i, Sp.M
dr. Pinky Endriana H, Sp.M
dr. Miftakhur Rochma, Sp. M
dr. Shinta Arta Wiguna, Sp. M

Disusun oleh : Sergio Gracilio H.S.G.C Lobo


NIM : 17710167

SMF OFATALMOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus
uvealis yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid yang
disebabkan oleh infeksi, trauma, neoplasia, atau proses autoimun. Struktur yang
berdekatan dengan jaringan uvea yang mengalami inflamasi biasanya juga ikut
mengalami inflamasi. Peradangan pada uvea dapat hanya mengenai bagian depan
jaringan uvea atau iris yang disebut iritis. Bila mengenai badan tengah disebut
siklitis. Iritis dengan siklitis disebut iridosiklitis atau disebut juga dengan uveitis
anterior dan merupakan bentuk uveitis tersering. Dan bila mengenai lapisan
koroid disebut uveitis post
erior atau koroiditis. Uveitis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada
dewasa muda dan usia pertengahan. Ditandai adanya riwayat sakit, fotofobia, dan
penglihatan yang kabur, mata merah tanpa sekret mata purulen dan pupil kecil
atau ireguler. Insiden uveitis di Amerika Serikat dan di seluruh dunia
diperkirakan sebesar 15 kasus/100.000 penduduk dengan perbandingan yang sama
antara laki-laki dan perempuan. Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan.
Morbiditas akibat uveitis terjadi karena terbentuknya sinekia posterior sehingga
menimbulkan peningkatan tekanan intraokuler dan gangguan pada nervus optikus.
Selain itu, dapat timbul katarak akibat penggunaan steroid. Oleh karena itu,
diperlukan penanganan uveitis yang meliputi anamnesis yang komprehensif,
pemeriksaan fisik dan oftalmologis yang menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan
penanganan yang tepat.
Uvea adalah organ yang terdiri dari beberapa kompartemen mata yang
berperan besar dalam vaskularisasi bola mata. Terdiri atas iris, badan silier dan
koroid. Uveitis didefinisikan sebagai inflamasi yang terjadi pada uvea. Meskipun
demikian sekarang istilah uveitis digunakan untuk menggambarkan berbagai
bentuk inflamasi intraokular yang tidak hanya pada uvea tetapi juga struktur yang
ada didekatnya, baik karena proses infeksi, trauma, neoplasma, maupun autoimun.

BAB II
PEMBAHASAN

A. ANATOMI UVEA :
Uvea atau traktus uvealis merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata
yang terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid.

1. Iris
Iris merupakan suatu membran datar sebagai lanjutan dari badan siliar
ke depan (anterior). Di bagian tengah iris terdapat lubang yang disebut
pupil yang berfungsi untuk mengatur besarnya sinar yang masuk mata.
Permukaan iris warnanya sangat bervariasi dan mempunyai lekukan-
lekukan kecil terutama sekitar pupil yang disebut kripte. Pada iris terdapat
2 macam otot yang mengatur besarnya pupil, yaitu : Musculus dilatator
pupil yang berfungsi untuk melebarkan pupil dan Musculus sfingter pupil
yang berfungsi untuk mengecilkan pupil. Kedua otot tersebut memelihara
ketegangan iris sehingga tetap tergelar datar. Dalam keadaan normal, pupil
kanan dan kiri kira-kira sama besarnya, keadaan ini disebut isokoria.
Apabila ukuran pupil kanan dan kiri tidak sama besar, keadaan ini disebut
anisokoria. Iris menipis di dekat perlekatannya dengan badan siliar dan
menebal di dekat pupil.
Pembuluh darah di sekeliling pupil disebut sirkulus minor dan yang
berada dekat badan siliar disebut sirkulus mayor. Iris dipersarafi oleh
nervus nasoiliar cabang dari saraf cranial III yang bersifat simpatik untuk
midriasis dan parasimpatik untuk miosis.

2. Corpus Siliar
Korpus siliaris merupakan susunan otot melingkar dan mempunyai
sistem eksresi dibelakang limbus. Badan siliar dimulai dari pangkal iris ke
belakang sampai koroid terdiri atas otot-otot siliar dan prosesus siliaris.
Otot-otot siliar berfungsi untuk akomodasi.
Badan siliar berbentuk cincin yang terdapat di sebelah dalam dari
tempat tepi kornea melekat di sklera. Badan siliar merupakan bagian uvea
yang terletak antara iris dan koroid. Badan siliar menghasilkan humor
akuos. Humor akuos ini sangat menentukan tekanan bola mata (tekanan
intraokular = TIO). Humor akuos mengalir melalui kamera okuli posterior
ke kamera okuli anterior melalui pupil, kemudian ke angulus
iridokornealis, kemudian melewait trabekulum meshwork menuju canalis
Schlemm, selanjutnya menuju kanalis kolektor masuk ke dalam vena
episklera untuk kembali ke jantung.
3. Koroid
Koroid merupakan bagian uvea yang paling luar, terletak antara retina
(di sebelah dalam) dan sklera (di sebelah luar). Koroid berbentuk mangkuk
yang tepi depannya berada di cincin badan siliar. Koroid adalah jaringan
vascular yang terdiri atas anyaman pembuluh darah. Retina tidak
menempati (overlapping) seluruh koroid, tetapi berhenti beberapa
millimeter sebelum badan siliar. Bagian koroid yang tidak terselubungi
retina disebut pars plana.
Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior
yang berasal dari arteri oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris
berasal dari sirkulus arteri mayoris iris yang terletak di badan siliaris yang
merupakan anastomosis arteri siliaris anterior dan arteri siliaris posterior
longus. Vaskularisasi koroid berasal dari arteri siliaris posterior longus dan
brevis.
Fungsi dari uvea antara lain : Regulasi sinar ke retina,Imunologi
(bagian yang berperan dalam hal ini adalah khoroid), Produksi akuos
humor oleh korpus siliaris, dan sebagai nutrisi.
B. UVEITIS
1. DEFINISI
Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan
traktus uvealis yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan
koroid yang disebabkan oleh infeksi, trauma, neoplasia, atau proses
autoimun.

2. KLASIFIKASI
Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan
traktus uvealis yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan
koroid. Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama,
yaitu klasifikasi secara anatomis, klinis, etiologis, dan patologis. Penyakit
peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada
oreng dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus penyebabnya
tidak diketahui.

a) Klasifikasi berdasarkan Anatomis


1) Uveitis anterior
Merupakan inflamasi yang terjadi terutama pada iris dan korpus
siliaris atau disebut juga dengan iridosiklitis.
2) Uveitis intermediet
Merupakan inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer
yang disertai dengan peradangan vitreous.
3) Uveitis posterior
Merupakan inflamasi yang mengenai retina atau koroid.
4) Panuveitis
Merupakan inflamasi yang mengenai seluruh lapisan uvea.

b)

Klasifikasi berdasarkan Klinis


1) Uveitis akut
Uveitis yang berlangsung selama < 6 minggu, onsetnya cepat dan
bersifat simptomatik.
2) Uveitis kronik
Uveitis yang berlangsung selama > 6 minggu bahkan sampai
berbulan-bulan atau bertahun-tahun, seringkali onset tidak jelas
dan bersifat asimtomatik.
c) Klasifikasi berdasarkan Etiologis
1) Uveitis infeksius
Uveitis yang disebabkan oleh infeksi virus, parasit, dan bakteri

2) Uveitis non-infeksius
Uveitis yang disebabkan oleh kelainan imunologi atau autoimun.
d) Klasifikasi berdasarkan patologis
1) Uveitis non-granulomatosa
Infiltrat dominan limfosit pada koroid.
2) Uveitis granulomatosa
Infiltrat dominan sel epiteloid dan sel-sel raksasa multinukleus
3. UVEITIS ANTERIOR
a) DEFINISI
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan
badan siliar (pars plicata), kadang-kadang menyertai peradangan
bagian belakang bola mata, kornea dan sklera. Peradangan pada uvea
dapat mengenai hanya pada iris yang disebut iritis atau mengenai
badan siliar yang di sebut siklitis. Biasanya iritis akan disertai dengan
siklitis yang disebut iridosiklitis atau uveitis anterior.

b) KLASIFIKASI
Menurut klinisnya uveitis anterior dibedakan dalam uveitis
anterior akut yaitu uveitis yang berlangsung selama < 6 minggu,
onsetnya cepat dan bersifat simptomatik dan uveitis anterior kronik
uveitis yang berlangsung selama > 6 minggu bahkan sampai berbulan-
bulan atau bertahun-tahun, seringkali onset tidak jelas dan bersifat
asimtomatik. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak diketahui.
Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis:
yang non-granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa. Penyakit
peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada
oreng dewasa dan usia pertengahan. Uveitis non-granulomatosa
terutama timbul di bagian anterior traktus uvealis ini, yaitu iris dan
korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-
sel limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit
mononuklear. Uveitis granulomatosa yaitu adanya invasi mikroba
aktif ke jaringan oleh bakteri. Dapat mengenai uvea bagian anterior
maupun posterior. Infiltrat dominan sel limfosit, adanya aggregasi
makrofag dan sel-sel raksasa multinukleus. Pada kasus berat dapat
terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior.
Perbedaan Uveitis granulomatosa dan non-granulomatosa
Non- Granulomatosa Granulomatosa
Onset Akut Tersembunyi
Nyeri Nyata Tidak ada atau ringan
Fotofobia Nyata Ringan
Penglihatan Kabur Sedang Nyata
Merah Sirkumneal Nyata Ringan
Keratic precipitates Putih halus Kelabu besar (“mutton fat”)
Pupil Kecil dan tak teratur Kecil dan tak teratur
Sinekia posterior Kadang-kadang Kadang-kadang
Noduli iris Tidak ada Kadang-kadang
Lokasi Uvea anterior Uvea anterior, posterior,difus
Perjalanan penyakit Akut Kronik
Kekambuhan Sering Kadang-kadang

c) ETIOLOGI
Penyebab eksogen seperti trauma uvea atau invasi
mikroorganisme atau agen lain dari luar. Secara endogen dapat
disebabkan idiopatik, autoimun, keganasan, mikroorganisme atau
agen lain dari dalam tubuh pasien misalnya infeksi tuberkulosis,
herper simpleks. Etiologi uveitis dibagi dalam :
Berdasarkan spesifitas penyebab :
1. Penyebab spesifik (infeksi) Disebabkan oleh virus, bakteri, fungi,
ataupun parasit yang spesifik.
2. Penyebab non spesifik (non infeksi) atau reaksi hipersensitivitas
Disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap mikroorganisme
atau antigen yang masuk kedalam tubuh dan merangsang reaksi
antigen antibodi dengan predileksi pada traktus uvea.

Berdasarkan asalnya:
1. Eksogen : Pada umumnya disebabkan oleh karena trauma,
operasi intraokuler, ataupun iatrogenik.
2. Endogen : disebabkan idiopatik, autoimun, keganasan,
mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh pasien misalnya
infeksi tuberkulosis, herpes simpleks.

d) PATOFISIOLOGI
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek
langsung suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi
piogenik biasanya mengikuti suatu trauma tembus okuli, walaupun
kadang-kadang dapat juga terjadi sebagai reaksi terhadap zat toksik
yang diproduksi oleh mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh diluar
mata.
Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan
reaksi hipersensitivitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen)
atau antigen dari dalam (antigen endogen). Dalam banyak hal antigen
luar berasal dari mikroba yang infeksius. Sehubungan dengan hal ini
peradangan uvea terjadi lama setelah proses infeksinya yaitu setelah
munculnya mekanisme hipersensitivitas. Radang iris dan badan siliar
menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga terjadi
peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos.
Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai
flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai
penumpukan sel-sel radang berupa pus di dalam COA yang disebut
hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke dalam COA, dikenal dengan
hifema. Apabila proses radang berlangsung lama (kronis) dan
berulang, maka sel-sel radang dapat melekat pada endotel kornea,
disebut sebagai keratic precipitate (KP). Ada dua jenis keratic
precipitate, yaitu :
1. Mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen-
pigmen yang difagositirnya, biasanya dijumpai pada jenis
granulomatosa.
2. Punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma,
terdapat pada jenis non granulomatosa.

Apabila tidak mendapatkan terapi yang adekuat, proses


peradangan akan berjalan terus dan menimbulkan berbagai
komplikasi. Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas dapat menimbulkan
perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut
sinekia posterior, ataupun dengan endotel kornea yang disebut sinekia
anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang
disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang,
disebut oklusio pupil.
Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya
trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor
dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor
tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan
yang tampak sebagai iris bombans (iris bombe). Selanjutnya tekanan
dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma
sekunder.
Pada uveitis anterior juga terjadi gangguan metabolisme lensa
yang menyebabkan lensa menjadi keruh dan terjadi katarak
komplikata. Apabila peradangan menyebar luas, dapat timbul
endoftalmitis (peradangan supuratif berat dalam rongga mata dan
struktur di dalamnya dengan abses di dalam badan kaca) ataupun
panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata termasuk sklera dan
kapsul tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses).
Bila uveitis anterior monokuler dengan segala komplikasinya
tidak segera ditangani, dapat pula terjadi symphatetic ophtalmia pada
mata sebelahnya yang semula sehat. Komplikasi ini sering didapatkan
pada uveitis anterior yang terjadi akibat trauma tembus, terutama yang
mengenai badan silier.

e) MANIFESTASI KLINIS
Keluhan pasien dengan uveitis anterior adalah mata sakit, mata
merah, fotofobia, penglihatan turun ringan dengan mata berair.
Keluhan sukar melihat dekat pada pasien uveitis dapat terjadi akibat
ikut meradangnya otot-otot akomodasi. Dari pemeriksaan mata dapat
ditemukan tanda antara lain : Hiperemia perikorneal, yaitu dilatasi
pembuluh darah siliar sekitar limbus, dan keratic precipitate. Pada
pemeriksaan slit lamp dapat terlihat flare di bilik mata depan dan bila
terjadi inflamasi berat dapat terlihat hifema atau hipopion. Iris edema
dan warna menjadi pucat, terkadang didapatkan iris bombans. Dapat pula
dijumpai sinekia posterior ataupun sinekia anterior. Pupil kecil akibat
peradangan otot sfingter pupil dan terdapatnya edema iris. Lensa keruh
terutama bila telah terjadi katarak komplikata. Tekanan intra okuler
meningkat, bila telah terjadi glaukoma sekunder. Pada proses akut dapat
terjadi miopisi akibat rangsangan badan siliar dan edema lensa. Pada
uveitis non-granulomatosa dapat terlihat presipitat halus pada dataran
belakang kornea. Pada uveitis granulomatosa dapat terlihat presipitat
besar atau mutton fat noduli Koeppe (penimbunan sel pada tepi pupil)
atau noduli Busacca (penimbunan sel pada permukaan iris).

4. UVEITIS INTERMEDIATE
Uveitis intermediate disebut juga uveitis perifer atau pars planitis
adalah peradangan intraokular terbanyak kedua. Tanda uveitis intermediet
yang terpenting yaitu adanya peradangan vitreus. Uveitis intermediet
biasanya bilateral dan cenderung mengenai pasien remaja akhir atau
dewasa muda. Pria lebih banyak yang terkena dibandingkan wanita.
Gejala- gejala yang khas meliputi floaters dan penglihatan kabur. Nyeri,
fotofobia dan mata merah biasanya tidak ada atau hanya sedikit. Temuan
pemeriksaan yang menyolok adalah vitritis seringkali disertai dengan
kondensat vitreus yang melayang bebas seperti bola salju (snowballs) atau
menyelimuti pars plana dan corpus ciliare seperti gundukan salju (snow-
banking). Peradangan bilik mata depan minimal tetapi jika sangat jelas
peradangan ini lebih tepat disebut panuveitis. Penyebab uveitis
intermediate tidak diketahui pada sebagian besar pasien, tetapi sarkoidosis
dan multipel sklerosis berperan pada 10-20% kasus. Komplikasi uveitis
intermediate yang tersering adalah edema makula kistoid, vaskulitis retina
dan neovaskularisasi pada diskus optikus.

5. UVEITIS POSTERIOR
Uveitis posterior adalah peradangan yang mengenai uvea bagian
posterior yang meliputi retinitis, koroiditis, vaskulitis retina dan papilitis
yang bisa terjadi sendiri-sendiri atau secara bersamaan. Gejala yang
timbul adalah floaters, kehilangan lapang pandang atau scotoma,
penurunan tajam penglihatan. Sedangkan pada koroiditis aktif pada
makula atau papillomacular bundle menyebabkan kehilangan penglihatan
sentral dan dapat terjadi ablasio retina.

6. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari pengobatan uveitis adalah untuk mengembalikan
atau memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan
fungsi penglihatan tidak dapat lagi dipulihkan seperti semula, pengobatan
tetap perlu diberikan untuk mencegah memburuknya penyakit dan
terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan. Adapun terapi uveitis dapat
dikelompokkan menjadi :
a) Terapi non spesifik :
1) Penggunaan kacamata hitam
Kacamata hitam bertujuan untuk mengurangi fotofobi,
terutama akibat pemberian midriatikum.
2) Kompres hangat
Dengan kompres hangat, diharapkan rasa nyeri akan
berkurang, sekaligus untuk meningkatkan aliran darah sehingga
resorbsi sel-sel radang dapat lebih cepat.
3) Midritikum/ sikloplegik
Tujuan pemberian midriatikum adalah agar otot-otot iris dan
badan silier relaks, sehingga dapat mengurangi nyeri dan
mempercepat penyembuhan. Selain itu, midriatikum sangat
bermanfaat untuk mencegah terjadinya sinekia, ataupun
melepaskan sinekia yang telah ada.
Midriatikum yang biasanya digunakan adalah:
1) Sulfas atropin 1% sehari 3 kali tetes
2) Homatropin 2% sehari 3 kali tetes
3) Scopolamin 0,2% sehari 3 kali tetes
4) Anti inflamasi
Anti inflamasi yang biasanya digunakan adalah kortikosteroid,
dengan dosis sebagai berikut:
Dewasa : Topikal dengan dexamethasone 0,1 % atau prednisolone
1 %. Bila radang sangat hebat dapat diberikan subkonjungtiva atau
periokuler : :
a. Dexamethasone phosphate 4 mg (1 ml)
b. Prednisolone succinate 25 mg (1 ml)
c. Triamcinolone acetonide 4 mg (1 ml)
d. Methylprednisolone acetate 20 mg
Bila belum berhasil dapat diberikan sistemik Prednisone oral
mulai 80 mg per hari sampai tanda radang berkurang, lalu
diturunkan 5 mg tiap hari
Anak : prednison 0,5 mg/kgbb sehari 3 kali.
Pada pemberian kortikosteroid, perlu diwaspadai
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi, yaitu glaukoma
sekunder pada penggunaan lokal selama lebih dari dua minggu,
dan komplikasi lain pada penggunaan sistemik.

b) Terapi spesifik
Terapi yang spesifik dapat diberikan apabila penyebab pasti dari
uveitis anterior telah diketahui. Karena penyebab yang tersering adalah
bakteri, maka obat yang sering diberikan berupa antibiotik, yaitu :
Dewasa : Lokal berupa tetes mata kadang dikombinasi dengan steroid.
Anak : Chloramphenicol 25 mg/kgbb sehari 3-4 kali.
Walaupun diberikan terapi spesifik, tetapi terapi non spesifik seperti
disebutkan diatas harus tetap diberikan, sebab proses radang yang
terjadi adalah sama tanpa memandang penyebabnya.

c) Terapi terhadap komplikasi


1) Sinekia posterior dan anterior
Untuk mencegah maupun mengobati sinekia posterior dan
sinekia anterior, perlu diberikan midriatikum, seperti yang telah
diterangkan sebelumnya.
2) Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang paling sering
terjadi pada uveitis anterior. Terapi yang harus diberikan antara
lain:
Terapi konservatif :
Timolol 0,25 % - 0,5 % 1 tetes tiap 12 jam
Acetazolamide 250 mg tiap 6 jam
Terapi bedah:
Dilakukan bila tanda-tanda radang telah hilang, tetapi TIO masih
tetap tinggi.
a. Sudut tertutup : iridektomi perifer atau laser iridektomi, bila
telah terjadi perlekatan iris dengan trabekula (Peripheral
Anterior Synechia atau PAS) dilakukan bedah filtrasi.
b. Sudut terbuka : bedah filtrasi.
3) Katarak komplikata
Komplikasi ini sering dijumpai pada uveitis anterior kronis.
Terapi yang diperlukan adalah pembedahan, yang disesuaikan
dengan keadaan dan jenis katarak serta kemampuan ahli bedah.

7. KOMPLIKASI
Komplikasi dari uveitis dapat berupa :
a) Glaucoma, peninggian tekanan bola mata
Pada uveitis anterior dapat terjadi sinekia posterior sehingga
mengakibatkan hambatan aliran aquos humor dari bilik posterior ke
bilik anterior. Penumpukan cairan ini bersama-sama dengan sel
radang mengakibatkan tertutupnya jalur dari out flow aquos humor
sehigga terjadi glaucoma. Untuk mencegahnya dapat diberikan
midriatika.
b) Katarak
Kelainan polus anterior mata seperti iridosiklitis yang menahun dan
penggunaan terapi kortikosteroid pada terapi uveitis dapat
mengakibatkan gangguan metabolism lensa sehingga menimbulkan
katarak. Operasi katarak pada mata yang uveitis lebih komplek lebih
sering menimbulkan komplikasi post operasi jika tidak dikelola
dengan baik. Sehingga dibutuhkan perhatian jangka panjang terhadap
pre dan post operasi. Operasi dapat dilakukan setelah 3 bulan bebas
inflamasi. Penelitian menunjukan bahwa fakoemulsifikasi dengan
penanaman IOL pada bilik posterior dapat memperbaiki visualisasi
dan memiliki toleransi yang baik pada banyak mata dengan uveitis.
c) Sinekia posterior à perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian
anterior akibat sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas.
d) Sinekia anterior à perlekatan iris dengan endotel kornea akibat sel-sel
radang, fibrin, dan fibroblas.
e) Seklusio pupil à perlekatan pada bagian tepi pupil
f) Oklusio pupil à seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang
g) Endoftalmitis à peradangan supuratif berat dalam rongga mata dan
struktur di dalamnya dengan abses di dalam badan kaca akibat dari
peradangan yang meluas.
h) Panoftalmitis à peradangan pada seluruh bola mata termasuk sklera
dan kapsul tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses.
i) Ablasio retina
BAB III
KESIMPULAN

Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus
uvealis yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid. Klasifikasi
uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi secara
anatomis, klinis, etiologis, dan patologis. Penyakit ini dapat disebabkan oleh
faktor eksogen, endogen, infeksi maupun noninfeksi. Tujuan utama dari
pengobatan uveitis adalah untuk mengembalikan atau memperbaiki fungsi
penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan fungsi penglihatan tidak dapat lagi
dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu diberikan untuk mencegah
memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta : ”Anatomi dan Fisiologi mata” dalam ”Ilmu Penyakit


Mata”. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, Edisi 3, 2008. Hal 1-12
2. Hartono. Ringkasan Anatomi dan Fisiologi Mata. UGM. Yogyakarta. 2007
3. Riordan Paul – Eva et al : ”Anatomi dan Embriologi Mata” dalam :
Riordan Paul – Eva, et al : ”Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum”.
Jakarta : EGC, edisi 17, 2009
4. Vaughan, Dale. General Ophtalmology (terjemahan), Edisi 14. Jakarta:
Widya Medika, 2000.

5. Ilyas, S, Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta : 2004
6. Department of Ophthalmology and Visual Sciences, The Chinese
University of Hong Kong Sept 2002.
www.afv.org.hk/Uveitis/uveitis_3.jpg
7. Wijaya,Nana. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-6. Semarang. Universitas
Diponegoro.
8. PDSMI. Ilmu Penyakit Mata. PDSMI

Anda mungkin juga menyukai