Anda di halaman 1dari 8

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dokter, Kedokteran dan Etika Kedokteran


Dokter adalah pihak yang mempunyai keahlian di bidang kedokteran. Pada
Kedududukan ini, dokter adalah orang yang dianggap pakar dalam bidang kedokteran.
Dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin sebagaimana mestinya untuk
melakukan pelayanan kesehatan, khususnya memeriksa dan mengobati penyakit dan
dilakukan menurut hukum dalam pelayanan kesehatan.
Kedokteran (Inggris: medicine) adalah suatu ilmu dan seni yang mempelajari
tentang penyakit dan cara-cara penyembuhannya. Ilmu kedokteran adalah cabang ilmu
kesehatan yang mempelajari tentang cara mempertahankan kesehatan manusia dan
mengembalikan manusia pada keadaan sehat dengan memberikan pengobatan pada
penyakit dan cedera. Ilmu ini meliputi pengetahuan tentang sistem tubuh manusia dan
penyakit serta pengobatannya, dan penerapan dari pengetahuan tersebut.
Etika kedokteran merupakan seperangkat perilaku anggota profesi kedokteran
dalam hubungannya dengan klien / pasien, teman sejawat dan masyarakat umumnya
serta merupakan bagian dari keseluruhan proses pengambilan keputusan dan tindakan
medis ditinjau dari segi norma-norma / nilai-nilai moral.

B. Tujuan dan Fungsi Kode Etik Profesi Kedokteran


Tujuan dari etika profesi dokter adalah untuk mengantisipasi atau mencegah
terjadinya perkembangan yang buruk terhadap profesi dokter dan mencegah agar
dokter dalam menjalani profesinya dapat bersikap professional maka perlu kiranya
membentuk kode etik profesi kedokteran untuk mengawal sang dokter dalam
menjalankan profesinya tersebut agar sesuai dengan tuntutan ideal. Tuntunan tersebut
kita kenal dengan kode etik profesi dokter.
Fungsi dari Kode Etik Profesi Kedokteran :
1. Memberikan Pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip
profesionalitas yang digariskan
2. Sebagai sarana control sosial bagi masyarakat atas profesi yang
bersangkutan

C. Kode Etik Kedokteran di Indonesia


 Kewajiban Umum
Pasal 1
Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dan atau
janji dokter.
Pasal 2
Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara
independen, dan mempertahankan perilaku professional dalam ukuran yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi
oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri .
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun sikis, wajib memperoleh persetujuan pasien/ keluarganya dan hanya
diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.
Pasal 6
Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan
setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan
terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter waajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya.
Pasal 8
Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan secara
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 9
Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya,
dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya pada saat menangani pasien dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan
atau penggelapan.
Pasal 10
Seorang dokter wajib menghormati hak-hak- pasien, teman sejawatnya, dan tenaga
kesehatan lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 11
Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi hidup
makhluk insani.
Pasal 12
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikan keseluruhan
aspek pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif ), baik sik
maupun psiko-sosial-kultural pasiennya serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi
sejati masyarakat.
Pasal 13
Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat lintas sektoral di bidang
kesehatan, bidang lainnya dan masyarakat, wajib saling menghormati.

 Kewajiban Dokter Terhadap Pasien


Pasal 14
Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh keilmuan dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/ keluarganya, ia wajib
merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian untuk itu.
Pasal 15
Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar senantiasa dapat
berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya, termasuk dalam beribadat dan atau
penyelesaian masalah pribadi lainnya.
Pasal 16
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 17
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.

 Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat


Pasal 18
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 19
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis.

 Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri


Pasal 20
Setiap dokter wajib selalu memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan
baik.
Pasal 21
Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran/ kesehatan.

D. Hak-hak Dokter
1. Menerima imbalan jasa yang sesuai dari jerih payahnya menangani pasien yang
ditanganinya.
2. Melakukan usaha terbaik untuk menjaga dokter dalam profesinya dan juga di
dalam negara dengan menyediakan dukungan yang diperlukan untuk mencapai
tujuan profesional dan personal.
3. Dokter yang bekerja di negara yang berbeda dengan negara asalnya baik
sementara atau selamanya, harus diperlakukan secara adil seperti juga dokter
lain di negara tersebut supaya tidak terjadinya kesenjangan diantara para pihak.
4. Dokter harus memiliki kebebasan profesional untuk merawat pasien mereka
seperti juga semua manusia, dokter mempunyai hak dan juga kewajiban tanpa
campur tangan.
5. Dokter harus memiliki kebebasan medis untuk mewakili dan membela
kebutuhan kesehatan pasien melawan semua yang menyangkalnya atau
membatasi kebutuhan akan perawatan bagi yang sakit atau terluka.

E. Contoh Kasus Pelanggaran Kode Etik Kedokteran dan Analisisnya


Kasus Pelanggaran Kode Etik Profesi Kedokteran (Kasus Malapraktek)
Contoh nyatanya adalah kasus Drs.Pahlevi (nama disamarkan), peneliti dari
Universitas Atmajaya, Jakarta, yang lumpuh akibat dokter salah mendiagnosis.
Terhadap tindakan medical errors yang diduga malapraktek itu tidak ada
pertanggungjawaban, baik secara profesi maupun hukum.
Kasus dari Drs.Pahlevi terjadi karena adanya kesalahan diagnosis yang
menyebabkan salahnya pengambilan tindakan yang berakibat fatal terhadap dirinya.
Awalnya hanya merasa tidak enak badan karena kelelahan. Dokter di salah satu Rumah
Sakit di Tangerang mendiagnosa Drs.Pahlevi menderita gangguan jantung. Dokter pun
segera menangani Pahlevi. Anehnya, alih-alih pulih, kondisi Pahlevi memburuk,
hingga lumpuh dari bagian dada ke bawah.
Pahlevi baru menyadari mengalami malapraktek ketika memeriksakan
kesehatan ke sebuah rumah sakit di Singapura. Tim dokter di Negeri Singa tersebut
menyatakan bahwa jantung Pahlevi normal. Mereka juga menduga, Pahlevi lumpuh
lantaran kesalahan pengobatan akibat diagnosa keliru dokter dari dokter di salah satu
RS di Tangerang. Diduga keras karena sesuatu yang dikasih di hari pertama itu di salah
satu RS di Tangerang.
Karena kesalahan tersebut, Pahlevi menjadi lumpuh. Pahlevi pun menempuh
jalur hukum untuk menyelesaikan kasus ini. Di luar masalah itu, Pahlevi menyesalkan
IDI yang dinilai tidak proaktif menyikapi maraknya malapraktek di Tanah Air.
Di republik ini, kesalahan pengobatan oleh dokter tidak teratur secara khusus,
malah dalam Rancangan Undang-undang Praktik Kedokteran yang disetujui Komisi
VII DPR, Rabu (25/8) lalu, kasus malapraktek sama sekali tidak disinggung. Dalam
kasus malapraktek dokter, sebenarnya ada dua pelanggaran profesi dan pelanggaran
hukum. Namun, selama ini dalam setiap kasus malapraktek, dokter selalu berada di
pihak yang benar. Keluhan yang secara langsung diajukan pasien selalu ditolak dan
dimentahkan dengan berbagai argumentasi medis dan alasan teknis. Akibatnya,
kerugian kesehatan dan material selalu melekat dalam diri pasien, sedangkan dokter
tidak sedikitpun tersentuh tanggung jawab dan nurani kemanusiaannya. Semua ini
disebabkan tidak ada payung hukum yang bisa dijadikan dasar penyelesaian kasus itu.
Undang-undang (UU) Kesehatan nomor 23 Tahun 1992 pun tak dapat digunakan untuk
menangani pelanggaran atau kelalaian dokter. UU ini hanya di desain untuk diperjelas
lebih lanjut dengan 29 peraturan pemerintah (PP) yang hingga kini baru terbentuk enam
PP. Aturan lebih lanjut yang tidak ada itu antara lain menyangkut standar pelayanan
medis dan standar profesi. Ketiadaan aturan itu membuat bangsa ini tidak dapat
mendifinisikan mana yang disebut malapraktek, kegagalan, kelalaian, atau kecelakaan.
Selama ini masyarakat yang menggugat dokter kepengadilan karena merasa
tindakan dokter itu merugikan atau mencelakakan pasiennya, sekedar menggunakan
pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Terhadap pelanggaran
yang sifatnya hukum, ada pendapat apakah pelanggaran profesi itu tidak diarahkan
kepada ganti rugi saja. Apakah harus dipidana. Itu harus ditimbang-timbang manakah
yang paling cocok bagi kepentingan korban. Mestinya, dalam menyikapi persoalan
malapraktek harus berorentasi kepada korban. Bagaimana memulihkan korban dan apa
yang dilakukan jika korban meninggal dunia. Sayang, sistem hukum dinegeri ini pada
umumnya belum memperhatikan persoalan itu. ”Walaupun belum ada standar, tetapi
praktik standar profesi sudah ada sejak dahulu. Semisal sekolah profesi hukum atau
dokter sudah mengenalkan hal itu seperti sumpah Socrates” ungkap Bagir Manan saat
mempersoalkan belum adanya standar pelayanan medis dan rumah sakit. Dominasi
kehendak untuk melakukan tindakan selamat-tidaknya seorang pasien yang di tangani
ada ditangan dokter. Namun malapraktek dalam profesi kedokteran agak sulit
dicabut.Begitu juga dari sisi kompetensi peradilan, mungkin hanya memperpanjang
birokrasi bila ditangani bukan oleh peradilan umum. Jika terbukti adanya malapraktek,
kasus itu bisa dilanjutkan ke perkara perdata. Akan tetapi, kelalaian yang terjadi dalam
kegiatan pemberian terapi yang dilakukan dokter bukan kelalaian atau kesalahan yang
bersifat organisatoris. Artinya, bukan tertuju kepada pribadi yang berkaitan dengan
disiplin. Kelalaian itu bersifat pelayanan publik sehingga implikasinya adalah
implikasi publik alias tindakan pidana umum. Jika bersifat pidana, kelalaian itu
merupakan kompetensi peradilan umum. Misalnya seorang dokter yang salah
mendiagnosis seoarang pasien, lalu obat yang diberikan adalah berdasarkan hasil
diagnosis yang salah itu, maka dapat dipastikan bahwa yang menjadi korban adalah
pasien. Sesungguhnya kelalaian ini masuk katagori tindak pidana sebagaimana diatur
dalam pasal 359 KUHP. Atau meninggalkan seorang pasien yang memerlukan
pertolongan seperti diatur dalam pasal 304 KUHP. Tindakan itu adalah malapraktek
yang tentu menjadi kompetensi peradilan umum.
Dalam perkembangannya, seluruh aspek kehidupan di dunia ini mengalami
perubahan paradigma, termasuk dalam profesi kedokteran. Akibatnya, terjadi pula
perubahan orieantasi dan motivasi pengabdian pada diri sebagian dokter. Sebagai
dampak perubahan yang semakin global, individualistik, materialistik, dan hedonistik,
maka perilaku dan sikap tindak profesioanal di sebagian kalangan dokter juga berubah.
Masyarakat kemudian memandang negatif profesi kedokteran setelah menyaksikan
maraknya praktik-praktikyang semakin jauh dari nilai-nilai luhur sumpah dokter dan
kedokteran.
Analisis:
Kasus di atas menunjukkan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh salah satu RS
di Tangerang kepada Drs. Pahlevi pada:
1. Pasal 1 yang berbunyi “Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan Sumpah Dokter.” Dimana dalam kasus tersebut Dokter yang melakukan
malapraktek tersebut sama sekali tidak mengamalkan Sumpah Dokter. Sebab dokter
tersebut tidak mengutamakan kesehatan pasien serta tidak berperikemanusiaan.
2. Pasal 5 yang berbunyi “Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya
tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien,
setelah memperoleh persetujuan pasien.” Dimana dalam hal malapraktek ini, dokter
tersebut telah melemahkan kondisi fisik pasien tanpa dilakukan suatu persetujuan
terlebih dahulu dari pasien yang bersangkutan.
3. Pasal 7a yang berbunyi “Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya,
memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas
martabat manusia.” Dokter tersebut telah salah mendiagnosa sehingga bisa dikatakan
bahwa dokter itu tidak kompeten dalam bidangnya.
4. Pasal 10 yang berbunyi “Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan
mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam
hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas
persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian
dalam penyakit tersebut.” Dalam kasus ini Dokter yang bersangkutan seharusnya
memberi tahu ke Drs.Pahlevi bahwa ia tidak dapat menangani penyakit yang di derita
pasien. Oleh sebab itu Dokter dapat merekomendasikan Drs.Pahlevi kepada Dokter
ahli dalam penyakit tersebut.

Anda mungkin juga menyukai