Anda di halaman 1dari 6

Panduan Kegiatan Selasa, 8 Desember 2020

Case Based Discussion (CBD) 5: Kasus Etika, Disiplin dan Hukum

Materi:

1. Kasus pemicu
2. Borang Penilaian Proses Diskusi oleh Tutor

Luaran:
1. PPT hasil diskusi untuk bahan Pleno Selasa, 15 Desember 2020

Rangkaian Kegiatan:

1. Sebelum diskusi mahasiswa telah mengunduh Panduan Kegiatan di laman


emas.ui.ac.id
2. Pada saat diskusi, Tutor membagi kelas menjadi 5 kelompok kecil sesuai
profesi/fakultas
3. Masing-masing kelompok kecil membahas 1 kasus pemicu sesuai dengan
profesinya
4. Tutor memantau proses diskusi, mengisi borang penilaian proses diskusi, dan
mengisi link absensi https://bit.ly/presensietikumRIK
5. Di akhir sesi Tutor meminta masing-masing kelompok kecil memaparkan hasil
diskusinya.
6. Tutor mengingatkan kelas tentang tugas individu 2 (video monolog) dan tugas
kelompok 2 (Role Play).
KASUS PEMICU

Dalam diskusi kelompok kali ini, mahasiswa akan diberikan kasus terkait profesi masing-
masing tenaga kesehatan. Mahasiswa dibagi menjadi 5 kelompok kecil berdasar
Fakultas/Profesi masing-masing, dan setiap kelompok kecil diminta untuk membahas 1 (satu)
kasus yang sesuai dengan profesinya. Di akhir sesi, setiap kelompok kecil akan memaparkan
hasil diskusinya di depan kelas. Dengan demikian, diharapkan mahasiswa mampu menganalisa
kasus dipandang dari aspek etika, disiplin dan hukum yang berlaku.

Kasus 1 (Profesi Dokter)

Reuni Membawa Petaka


Harry telah lulus fakultas kedokteran lima tahun yang lalu. Ia bertemu dengan Sally,
teman lamanya di sebuah acara reuni SMP. Sally bercerita bahwa ia menderita gatal-gatal dan
kemerahan pada daerah punggung. Ia bertanya pada Harry apakah ada obat yang manjur untuk
mengatasi masalah tersebut. Harry menggoda Sally dengan mengatakan bahwa kemungkinan
gatal-gatal terjadi karena ia kurang menjaga kebersihan diri, sprei diganti sebulan sekali. Sally
agak kesal mendengarnya. Harry kemudian menganjurkan Sally untuk membeli
dexamethasone, sejenis obat yang dapat mengatasi reaksi alergi. Dua minggu setelah kejadian,
Sally menghubungi Harry dan mengatakan akan menuntutnya karena memberi obat yang salah
sehingga kondisinya memburuk. Sally sudah pergi ke dokter spesialis dan dokter tersebut
mengatakan bahwa dexamethasone menyebabkan kondisinya makin parah.

Panduan diskusi:
Lakukan pembahasan terhadap kasus di atas menggunakan perangkat peraturan Perundang-
undangan yang berlaku (UU RI Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran). Setelah itu
diskusikan kembali kasus yang sama menggunakan kriteria pelanggaran disiplin
(menggunakan peraturan konsil kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011). Setelah selesai
diskusikan kembali kasus tersebut menggunakan perangkat Kode Etik Kedokteran dan 4 KDB.
Dengan menganalisis kasus dengan 3 teknik tersebut diharapkan mahasiswa mampu
memahami perbedaan antara pelanggaran hukum, disiplin, dan etika.
Kasus 2 (Profesi Dokter Gigi)

Lala ingin cantik...


Lala, seorang pelajar SMA datang ke klinik gigi di Rumah Sakit (RS) di kota Depok dengan
ditemani oleh ayahnya. Setelah menunggu cukup lama akhirnya mereka dapat bertemu dengan
drg. Jelita, seorang dokter gigi umum. Lala ingin dilakukan pemasangan kawat gigi agar tampak
lebih rapi. Konsultasi dan tanya jawab berlangsung cukup lama, termasuk mengenai biaya
perawatan yang dirasa cukup mahal. Akhirnya Lala setuju dirawat. Selama perawatan Drg.
Jelita tidak melakukan pemeriksaan lain seperti radiologi ataupun menjelaskan kemungkinan
keluhan selama perawatan dan cara perawatan kebersihan gigi dan mulut selama memakai
kawat gigi. Lala hanya diinstruksikan untuk kontrol kawat gigi setiap dua minggu sekali.
Setelah 2 tahun berjalan Lala merasa giginya belum rapi. Ketika ditanyakan mengenai
hal tersebut, drg. Jelita mengatakan bahwa kasus Lala termasuk kasus parah tidak rajin kontrol.
drg. Jelita akhirnya meminta Lala melakukan pemeriksaan radiologi adanya kemungkinan
untuk mencabut giginya terkait perawatannya. Dari hasil pemeriksaan disarankan agar empat
giginya perlu dicabut. Awalnya Lala keberatan, tapi akhirnya setelah negosiasi gigi yang dicabut
tiga buah. Selanjutnya perawatan dilakukan di praktik pribadinya dengan alasan lebih
ekonomis. drg. Jelita, seringkali melakukan pemeriksaan radiologi ulang dengan alasan
dokumennya hilang. Jika Lala bertanya mengenai prosedur pemasangan karet yang berbeda-
beda, drg. Jelita cenderung gugup memberikan penjelasan. Hal ini membuat Lala semakin ragu.
Memasuki tahun ketiga, Lala bertemu temannya yang juga memakai kawat gigi. Lala
akhirnya baru tahu bahwa seharusnya yang merawat giginya adalah dokter gigi ahli khusus,
yaitu spesialis Ortodonti (Sp. Ort). Lala lalu memutuskan pindah perawatan ke drg. Ayu, Sp.Ort.
Setelah bertemu drg. Ayu, dia diminta membawa surat pengantar perpindahan perawatan dari
dokter gigi yang merawat sebelumnya. Lala mengalami kesulitan karena drg. Jelita menganggap
di dunia kedokteran gigi tidak ada istilah surat pengantar dan pasien dipersilahkan pindah
sesuai keinginannya.
Lala tetap memutuskan pindah dokter gigi walaupun akhirnya perlu dilakukan
pemeriksaan ulang pada dirinya (foto radiologi). Dari pemeriksaan tersebut, ditemukan dua
gigi terpendam yang seharusnya dicabut agar tidak menghambat proses perawatan. Lala
dirujuk kepada dokter gigi spesialis Bedah Mulut untuk dilakukan operasi pengambilan dua
gigi yang terpendam. Selanjutnya drg Ayu mulai melakukan perawatan ulang pada Lala. Setelah
beberapa waktu, Lala merasa puas melihat perubahan pada giginya. Gambaran cantik yang
diinginkan semakin mendekati kenyataan dan membuatnya semakin percaya diri.

*) Berdasarkan kejadian nyata, dengan pengembangan cerita dan perubahan nama tokoh,
tempat dan
peristiwa.

Panduan Diskusi:
Identifikasi dan analisis kasus diatas menggunakan Perangkat Hukum (UU RI Nomor 29 Tahun
2004 Tentang Praktek Kedokteran), Disiplin Kedokteran (peraturan konsil kedokteran Indonesia
Nomor 4 Tahun 2011) dan Kode Etik Profesi Kedokteran Gigi.
Kasus 3 (Profesi Apoteker)

Galau Tak Ada Apoteker

Pak Radja merupakan apoteker yang juga sebagai pemilik Apotek “Tutifrutti” yang
terletak di Kota Sukasuka. Dalam kesehariannya, Pak Radja biasanya dibantu oleh kedua staf
apotekernya yang bernama Mawar dan Melati, namun pada kali ini mereka tidak dapat masuk,
karena harus mengikuti seminar keprofesiannya selama 2 hari. Pak Radja bingung siapa yang
akan melayani konsumen apoteknya, meskipun beliau adalah seorang apoteker namun
sertifikat kompetensinya telah habis masa berlakunya. Namun, akhirnya Pak Radja
memutuskan untuk dapat membuka apotek dan melayani pembelinya sendiri.
Pada pagi itu, datang seorang pasien langganan Pak Radja yaitu Ibu Taro (36 tahun). Bu
Taro merupakan pasien langganan yang sering membeli obat baik dengan resep maupun tanpa
resep di apotek Tutifrutti. Kali ini Bu Taro ingin membeli Dumolid (Psikotropika) 20 tablet
namun beliau lupa untuk membawa resepnya. Pak Radja tampak bingung dalam mengambil
keputusan, namun karena sudah langganan tanpa menanyakan keluhan Bu Taro, beliau
memberikan obat dumolid sebanyak 20 tablet tersebut sambil mengingatkannya untuk datang
kembali membawa resepnya sesegera mungkin. Hingga apotek akan ditutup, Pak Radja
menunggu Bu Taro tidak kunjung datang membawa resep tersebut.

Panduan Diskusi:
Identifikasi dan analisis kasus diatas menggunakan Perangkat Hukum (PP Nomor 51 Tahun
2009 dan UU RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan) dan Kode Etik Profesi.
Kasus 4 (Profesi Perawat)

KASUS SUAMI PEJABAT

Pada bulan Juni 2019, seorang pasien laki-laki usia 60 tahun masuk ke Rumah Sakit Khusus
akibat perdarahan otak. Pasien dirawat di ruang intensive karena penurunan fungsi kesadaran.
Sesuai dengan aturan di ruangan intensive, pasien tidak dapat ditunggui oleh keluarga, dan
hanya dibenarkan dikunjungi saat jam besuk. Istri pasien (Ibu E) adalah seorang perawat yang
mempunyai posisi di salah satu Kementerian.
Ibu E merasa cemas dengan kondisi suaminya, dan berusaha untuk melihat melalui jendela.
Begitu perawat intensive (Perawat S) mengetahui Ibu E selalu melihat dari jendela, perawat
intensive segera menutup tirai jendela. Ibu E merasa kecewa dengan perlakuan perawat
intensive (Perawat S), lalu menyampaikan keluhannya pada temannya yang saat ini menjadi
perawat senior (Perawat R) di rumah sakit tersebut. Perawat R lalu menghubungi perawat
intensive (Perawat S) tempat pasien dirawat, namun tidak ditanggapi. Pada akhirnya Ibu E
merasa putus asa atas tidak diberlakukan permintaan perawat R. Kemudian Ibu E menghubungi
pejabat di Kementerian tempat dia kerja.
Pejabat Kementerian menghubungi pimpinan rumah sakit tempat pasien dirawat, dan segera
suasana berubah. Perawat intensive (Perawat S) segera memberikan perhatian pada Ibu E dan
mengizinkan Ibu E untuk menunggui pasien secara terus menerus.

Panduan Diskusi:
Mahasiswa membuat analisis empat kaidah dasar bioetik, disiplin, dan kemungkinan
pelanggaran hukum berdasarkan dari kasus di atas dengan mengacu kepada kode etik dan
undang-undang keperawatan.
Kasus 5 (Profesi Tenaga Kesehatan Masyarakat)

Vaksinasi MR
Selama lima tahun terakhir, terhitung ada sekitar 55.000 kasus campak dan rubella (MR)
di Indonesia. Kementerian Kesehatan lalu melaksanakan program imunisasi masal terhadap
anak-anak. Program imunisasi yang digelar pada Agustus-September 2017 memicu kembali
perdebatan tentang pro dan kontra vaksinasi.
Imunisasi MR adalah kombinasi vaksin campak atau measles (M) dan rubella (R).
Imunisasi ini digunakan untuk perlindungan terhadap penyakit campak dan rubella. Campak
dan rubella adalah penyakit infeksi menular melalui saluran napas yang disebabkan oleh virus.
Anak dan orang dewasa yang belum pernah mendapat imunisasi campak dan rubella atau yang
belum pernah mengalami penyakit ini berisiko tinggi tertular. Tidak ada pengobatan untuk
penyakit campak dan rubella, namun penyakit ini dapat dicegah. Imunisasi dengan vaksin MR
adalah pencegahan terbaik untuk penyakit campak dan rubella. Satu vaksin MR bisa mencegah
dua penyakit sekaligus.
Cakupan imunisasi MR di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten
selama tahap pertama (1 Agustus – 30 September 2017) masih di bawah standar nasional yaitu
95%. Beberapa alasan orang tua yang menolak anaknya divaksinasi antara lain anak akan tetap
sehat dengan mengkonsumsi herbal, ragu akan kehalalan vaksin dan informasi mengenai efek
samping vaksinasi seperti bengkak, kelumpuhan dan kematian.
Dalam pertemuan tanggal 12 Oktober 2017 dengan MUI seorang warga menunjukkan
bukti apa yang tampak seperti surat perjanjian di daerah Banten. Dalam surat tersebut ditulis
bahwa warga yang bersangkutan bersedia menanggung kerugian negara Rp 700 miliar bila ada
kejadian luar biasa dengan penyakit campak dan rubella. Dalam kesempatan terpisah,
Kemenkes menyatakan bahwa tenaga kesehatan hanya memberikan pelayanan kesehatan
tidak boleh memberi hukuman. (sumber https://m.detik.com/health/berita-detikhealth/d-
3681478/ada-ancaman-denda-rp-700-miliar-bila-tidak-vaksin-kemenkes-itu-hoax)
Kementerian Kesehatan meminta fatwa Majelis Ulama Indonesia menjelang program
imunisasi tahap kedua yaitu 1 Agustus – 30 September 2018. Fatwa MUI No. 33 tahun 2018
menyatakan vaksin MR mengandung enzim babi, tapi penggunaannya dibolehkan karena
beberapa alasan. Antara lain jika tak tersedia vaksin yang benar-benar halal dan untuk
mencegah efek negatif jika anak tak diimunisasi. Target tahun 2018 adalah sejumlah 35.000
anak akan diberi imunisasi MR. Pemberian imunisasi MR ditargetkan mencapai cakupan
minimal 95%. Target itu dimaksudkan agar eliminasi campak dan pengendalian rubella dapat
terwujud pada 2020.
Poin untuk diskusi :
1. Kaidah etika dan kriteria apa saja yang terkait dengan kasus di atas?
2. Sebagai praktisi kesehatan masyarakat, bagaimana menempatkan kaidah prima facie
dalam program vaksinasi MR?
3. Jika Anda sebagai orang tua, apakah anak Anda akan diizinkan untuk divaksinasi MR?
Jelaskan alasannya

Anda mungkin juga menyukai