Materi:
1. Kasus pemicu
2. Borang Penilaian Proses Diskusi oleh Tutor
Luaran:
1. PPT hasil diskusi untuk bahan Pleno Selasa, 6 Desember 2022
Rangkaian Kegiatan:
Dalam diskusi kelompok kali ini, mahasiswa akan diberikan kasus terkait profesi masing-
masing tenaga kesehatan. Mahasiswa dibagi menjadi 5 kelompok kecil berdasar
Fakultas/Profesi masing-masing, dan setiap kelompok kecil diminta untuk membahas 1 (satu)
kasusyang sesuai dengan profesinya. Di akhir sesi, setiap kelompok kecil akan memaparkan
hasil diskusinya di depan kelas. Dengan demikian, diharapkan mahasiswa mampu menganalisa
kasus dipandang dari aspek etika, disiplin dan hukum yang berlaku.
Dr. Bryan adalah dokter bedah tulang (Orthopaedi) yang terkenal bertangan dingin walaupun
saat berpraktek tidak banyak bicara. Suatu hari, Dian membawa anaknya, Maya, yang
mengalami patah tulang lengan bawah kiri akibat jatuh dari sepeda ke dr. Bryan. Sang dokter
melakukan pemeriksaan dan melakukan operasi segera untuk memperbaiki tulang Maya yang
patah. Setelah lima hari dirawat, dr. Bryan mempersilakan Dian membawa Maya pulang dan
kembali untuk kontrol satu minggu mendatang. Sebelum pulang, Dian teringat untuk
menanyakan mengenai perawatan luka di rumah namun dr. Bryan sudah masuk ke ruang
operasi. Pada 1 minggu berikutnya Dian tidak membawa Maya kontrol ke dr. Bryan karena satu
dan lain hal. Sebulan kemudian, direksi RS memberitahu dr. Bryan bahwa mereka mendapat
surat berisi tuntutan ganti rugi dari Pihak Kuasa Hukum Ibu Dian karena terjadi pemendekan
tulang lengan Maya. Ibu Dian berani mengajukan tuntutan setelah mendapat informasi dari
pamannya, seorang dokter bedah tulang juga yang bekerja di kota lain.
Panduan diskusi:
Lakukan pembahasan terhadap kasus di atas menggunakan perangkat peraturan Perundang-
undangan yang berlaku (UU RI Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran). Setelah itu
diskusikan kembali kasus yang sama menggunakan kriteria pelanggaran disiplin
(menggunakan peraturan konsil kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011). Setelah selesai
diskusikan kembali kasus tersebut menggunakan perangkat Kode Etik Kedokteran dan 4 KDB.
Dengan menganalisis kasus dengan 3 teknik tersebut diharapkan mahasiswa mampu
memahami perbedaan antara pelanggaran hukum, disiplin, dan etika.
Kasus 2 (Profesi Dokter Gigi)
*) Berdasarkan kejadian nyata, dengan pengembangan cerita dan perubahan nama tokoh,
tempat dan
peristiwa.
Panduan Diskusi:
Identifikasi dan analisis kasus diatas menggunakan Perangkat Hukum (UU RI Nomor 29 Tahun
2004 Tentang Praktek Kedokteran), Disiplin Kedokteran (peraturan konsil kedokteran Indonesia
Nomor 4 Tahun 2011) dan Kode Etik Profesi Kedokteran Gigi.
Kasus 3 (Profesi Apoteker)
Pak Radja merupakan apoteker yang juga sebagai pemilik Apotek “Tutifrutti” yang
terletak di Kota Sukasuka. Dalam kesehariannya, Pak Radja biasanya dibantu oleh kedua staf
apotekernya yang bernama Mawar dan Melati, namun pada kali ini mereka tidak dapat masuk,
karena harus mengikuti seminar keprofesiannya selama 2 hari. Pak Radja bingung siapa yang
akan melayani konsumen apoteknya, meskipun beliau adalah seorang apoteker namun
sertifikat kompetensinya telah habis masa berlakunya. Namun, akhirnya Pak Radja
memutuskan untuk dapat membuka apotek dan melayani pembelinya sendiri.
Pada pagi itu, datang seorang pasien langganan Pak Radja yaitu Ibu Taro (36 tahun). Bu
Taro merupakan pasien langganan yang sering membeli obat baik dengan resep maupun tanpa
resep di apotek Tutifrutti. Kali ini Bu Taro ingin membeli Dumolid (Psikotropika) 20 tablet
namun beliau lupa untuk membawa resepnya. Pak Radja tampak bingung dalam mengambil
keputusan, namun karena sudah langganan tanpa menanyakan keluhan Bu Taro, beliau
memberikan obat dumolid sebanyak 20 tablet tersebut sambil mengingatkannya untuk datang
kembali membawa resepnya sesegera mungkin. Hingga apotek akan ditutup, Pak Radja
menunggu Bu Taro tidak kunjung datang membawa resep tersebut.
Panduan Diskusi:
Identifikasi dan analisis kasus diatas menggunakan Perangkat Hukum (PP Nomor 51 Tahun
2009 dan UU RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan) dan Kode Etik Profesi.
Kasus 4 (Profesi Perawat)
Pada bulan Juni 2019, seorang pasien laki-laki usia 60 tahun masuk ke Rumah Sakit Khusus
akibat perdarahan otak. Pasien dirawat di ruang intensive karena penurunan fungsi kesadaran.
Sesuai dengan aturan di ruangan intensive, pasien tidak dapat ditunggui oleh keluarga, dan
hanya dibenarkan dikunjungi saat jam besuk. Istri pasien (Ibu E) adalah seorang perawat yang
mempunyai posisi di salah satu Kementerian.
Ibu E merasa cemas dengan kondisi suaminya, dan berusaha untuk melihat melalui jendela.
Begitu perawat intensive (Perawat S) mengetahui Ibu E selalu melihat dari jendela, perawat
intensive segera menutup tirai jendela. Ibu E merasa kecewa dengan perlakuan perawat
intensive (Perawat S), lalu menyampaikan keluhannya pada temannya yang saat ini menjadi
perawat senior (Perawat R) di rumah sakit tersebut. Perawat R lalu menghubungi perawat
intensive (Perawat S) tempat pasien dirawat, namun tidak ditanggapi. Pada akhirnya Ibu E
merasa putus asa atas tidak diberlakukan permintaan perawat R. Kemudian Ibu E menghubungi
pejabat di Kementerian tempat dia kerja.
Pejabat Kementerian menghubungi pimpinan rumah sakit tempat pasien dirawat, dan segera
suasana berubah. Perawat intensive (Perawat S) segera memberikan perhatian pada Ibu E dan
mengizinkan Ibu E untuk menunggui pasien secara terus menerus.
Panduan Diskusi:
Mahasiswa membuat analisis empat kaidah dasar bioetik, disiplin, dan kemungkinan
pelanggaran hukum berdasarkan dari kasus di atas dengan mengacu kepada kode etik dan
undang-undang keperawatan.
Kasus 5 (Profesi Tenaga Kesehatan Masyarakat)
Vaksinasi MR
Selama lima tahun terakhir, terhitung ada sekitar 55.000 kasus campak dan rubella (MR)
di Indonesia. Kementerian Kesehatan lalu melaksanakan program imunisasi masal terhadap
anak-anak. Program imunisasi yang digelar pada Agustus-September 2017 memicu kembali
perdebatan tentang pro dan kontra vaksinasi.
Imunisasi MR adalah kombinasi vaksin campak atau measles (M) dan rubella (R).
Imunisasi ini digunakan untuk perlindungan terhadap penyakit campak dan rubella. Campak
dan rubella adalah penyakit infeksi menular melalui saluran napas yang disebabkan oleh virus.
Anak dan orang dewasa yang belum pernah mendapat imunisasi campak dan rubella atau yang
belum pernah mengalami penyakit ini berisiko tinggi tertular. Tidak ada pengobatan untuk
penyakit campak dan rubella, namun penyakit ini dapat dicegah. Imunisasi dengan vaksin MR
adalah pencegahan terbaik untuk penyakit campak dan rubella. Satu vaksin MR bisa mencegah
dua penyakit sekaligus.
Cakupan imunisasi MR di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten
selama tahap pertama (1 Agustus – 30 September 2017) masih di bawah standar nasional yaitu
95%. Beberapa alasan orang tua yang menolak anaknya divaksinasi antara lain anak akan tetap
sehat dengan mengkonsumsi herbal, ragu akan kehalalan vaksin dan informasi mengenai efek
samping vaksinasi seperti bengkak, kelumpuhan dan kematian.
Dalam pertemuan tanggal 12 Oktober 2017 dengan MUI seorang warga menunjukkan
bukti apa yang tampak seperti surat perjanjian di daerah Banten. Dalam surat tersebut ditulis
bahwa warga yang bersangkutan bersedia menanggung kerugian negara Rp 700 miliar bila ada
kejadian luar biasa dengan penyakit campak dan rubella. Dalam kesempatan terpisah,
Kemenkes menyatakan bahwa tenaga kesehatan hanya memberikan pelayanan kesehatan
tidak boleh memberi hukuman. (sumber https://m.detik.com/health/berita-detikhealth/d-
3681478/ada-ancaman-denda-rp-700-miliar-bila-tidak-vaksin-kemenkes-itu-hoax)
Kementerian Kesehatan meminta fatwa Majelis Ulama Indonesia menjelang program
imunisasi tahap kedua yaitu 1 Agustus – 30 September 2018. Fatwa MUI No. 33 tahun 2018
menyatakan vaksin MR mengandung enzim babi, tapi penggunaannya dibolehkan karena
beberapa alasan. Antara lain jika tak tersedia vaksin yang benar-benar halal dan untuk
mencegah efek negatif jika anak tak diimunisasi. Target tahun 2018 adalah sejumlah 35.000
anak akan diberi imunisasi MR. Pemberian imunisasi MR ditargetkan mencapai cakupan
minimal 95%. Target itu dimaksudkan agar eliminasi campak dan pengendalian rubella dapat
terwujud pada 2020.
Poin untuk diskusi :
1. Nila dan keyakinan kesehatan masyarakat yang terkait dengan kasus di atas?
2. Kaidah bioetika dan kriteria apa saja yang terkait dengan kasus di atas?
3. Apakah ada pelanggaran etika, disiplin dan hukum terkait kesehatan masyarakat
dalam kasus di atas?