Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Modul 1.11
Diskusi Bioetika 1

Disusun oleh :
Kelompok C

Debi Agita 040001800037


Denilson 040001800038
Deviria Alviranty Boru Simatupang 040001800039
Dewi Larasati Yona Permatasari 040001800040
Dinda Priscilia Septiani 040001800041
Diva Irvani Alhumaira Masrur 040001800042
Echita Mulia Saputri 040001800043
Edward Siyulan 040001800044
Elisa Millennia 040001800045
Elita Theofani Juliawan 040001800046
Evita Dewi Fortuna 040001800048
Fathiah Devi Syaharani 040001800049
Feby Febryanti 040001800050
Felicia 040001800051
Felicia Fransisca Maggie Christi W. 040001800052
Fitri Siagian 040001800053
Fransiska Victoria Kusuma 040001800054
Frederico Novelino 040001800055

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS TRISAKTI
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah hasil diskusi bioetika
modul 1.11 dengan tepat waktu.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan tentunya kami tidak dapat
menyelesaikan makalah ini tanpa bantuan dari berbagai pihak. Kami mengucapkan terima kasih
kepada seluruh kontributor dan pihak-pihak lain yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam makalah ini, baik dalam segi
penulisan maupun isinya. Oleh karena itu, kami sangat menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini dan membuat makalah yang lebih baik di
waktu mendatang.

Kami juga berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi setiap pembaca.

Jakarta, 17 September 2018

Kelompok C

1
DAFTAR ISI

Bab I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

Bab II SKENARIO DISKUSI 1


Bab III SKENARIO DISKUSI 2
Bab IV
4.1 KESIMPULAN
Daftar Pustaka

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dokter dalam menjalankan praktik sehari-hari sering kali menemukan isu etik yang
terkadang dapat berkembang menjadi dilema etik. Seorang dokter senantiasa dihadapkan dalam
penilaian moral untuk membuat suatu keputusan klinis yang etis. Maka dari itu seorang dokter
harus memiliki acuan mengenai bagaimana cara atau metode dalam proses pengambilan
keputusan klinis yang etis.
Kata etika secara etimologi berasal dari kata Yunani yaitu ​ethos​, ​ethos yang berarti adat,
kebiasaan, praktik. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak
dan kewajiban moral (akhlak). Etika dalam dunia kedokteran dikenal sebagai etika kedokteran.
Etika kedokteran berfokus terutama dengan masalah yang muncul dalam praktik pengobatan.
Dalam etika kedokteran isu-isu yang mengemuka terutama menyangkut tujuan pengobatan,
refleksi kritis terhadap suatu tindakan dan mengembangkan otonomi dalam pengambilan
keputusan dalam lingkup pasien, dokter, dan pihak lain yang terkait dalam sistem praktik
kedokteran. Adanya perubahan, baik dalam bidang ilmiah, khususnya ilmu dan teknologi
kedokteran, juga dari masyarakat sendiri mendorong perkembangan bioetika yang semula
merupakan etika medis tradisional.
Dikutip dari K. Bertens, bioetika adalah studi interdisiplin tentang problema-problema
yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan medis, baik pada skala mikro
maupun skala makro, juga tentang dampaknya atas masyarakat luas serta sistem nilainya, kini
dan di masa mendatang. Maka dari itu bioetika lebih luas dari etika kedokteran atau etika medis.

1.2 Rumusan Masalah


Skenario I
1. Praktik dokter gigi yang tidak melanggar hukum
2. Indikasi medis
3. Standar medis
4. Informed consent a​ tau persetujuan tindakan medis

3
5. Guna ​Informed consent​ bagi pasien dan dokter gigi
Skenario II
1. Apakah tindakan dokter gigi tersebut termasuk tindakan melawan hukum
2. Manfaat ​informed consent​ pada kasus ini
3. Sengketa medik
4. Alternatif penyelesaian sengketa medik
5. Pandangan menurut Hukum, Etika, dan Agama pada kasus ini
1.3 Tujuan
1. Mampu menganilisis kasus sesuai dengan pandangan hukum, etika, dan agama
2. Mampu memahami praktik dokter gigi yang tidak melanggar hukum
3. Mampu mengidentifikasi indikasi dan standar medis pada kasus
4. Mampu memahami mengenai ​informed consent​ dan kegunaannya
5. Mampu memahami mengenai sengketa medik dan alternatif penyelesaiannya

4
BAB II
SKENARIO DISKUSI 1

Pak Joko membawa putrinya Indah yang berusia 9 tahun ke Puskesmas, karena adanya
pembengkakan di sebelah kiri wajahnya. Oleh perawat diberi obat untuk menghilangkan
pembengkakan. Tetapi sudah satu bulan masih tetap bengkak dan tidak kunjung membaik.
Kemudian pak Joko membawa Indah ke RS Swasta di Jakarta untuk memeriksakan Indah ke
dokter spesialis anak. Setelah dilakukan pemeriksaan, ditemukan gigi 64(geraham susu kiri)
goyang dan dirujuk ke dokter gigi spesialis bedah mulut.
Beberapa hari kemudian, Pak Joko membawa Indah ke dokter gigi bedah mulut untuk
memeriksa gigi 64 Indah yang sangat goyang. Kemudian dokter gigi tersebut memberitahu pak
Joko bahwa akan dilakukan tindakan pencabutan gigi Indah yang disetujui oleh Pak Joko secara
lisan.

2.1 Praktik Dokter Gigi yang Tidak Melanggar Hukum


Praktik dokter gigi yang tidak melanggar hukum; maksudnya dokter gigi berpraktik di
Rumah Sakit Swasta yang tentu saja secara hukum formil sudah “legal” beroperasi atas izin dan
pengawasan Departemen Kesehatan dan Kehakiman. Akan tetapi menurut kompetensi tindakan
pencabutan gigi 64 tersebut, seharusnya terlebih dahulu menerima rujukan dari dokter spesialis
anak Drg. umum (bukan spesialis bedah mulut).
Praktik dokter gigi dikatakan tidak melanggar hukum apabila tindakan medis yang
dilakukan telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
1) Tindakan harus memiliki indikasi medis dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan
perawatan yang sifatnya konkrit.
Jadi pelayanan medis harus sesuai dengan standar profesi medis yang berlaku, dan
harus ditujukan pada tujuan ilmu kedokteran. Di samping itu tindakan tersebut harus
dapat dibenarkan secara etis. Selanjutnya, peralatan yang digunakan memang diperlukan
dan cara yang dipakai harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, serta dapat
keseimbangan antara cara yang dipakai dengan tujuan yang ingin dicapai.

5
2) Tindakan itu harus dilakukan menurut aturan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran atau
disebut sesuai dengan standar medis.
Hal ini berkaitan dengan cara pelaksanaan di mana yang penting adalah ketelitian
dan kehati-hatian melakukan tindakan medis, baik pada waktu melakukan pemeriksaan
dalam rangka menegakkan diagnosis, juga pada waktu merencanakan terapi serta
melakukan terapi tersebut. Dengan demikian suatu pembedahan yang telah dilakukan
dengan teliti dan hati-hati serta didasarkan pada indikasi medis yang benar, jika karena
sesuatu hal terjadi kegagalan, pada prinsipnya tidaklah bersifat melawan hukum.
3) Tindakan itu harus dilakukan dengan memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari pasien
yang bersangkutan (​informed consent​ atau persetujuan tindakan medis).
Hanya dalam keadaan tertentu persetujuan seperti ini tidak disyaratkan yaitu pada
keadaan di mana pasien tersebut tidak mampu mengucapkan keinginannya atau dalam
keadaan gawat darurat yang mengancam nyawa (​life saving)​ . W. van der Mijn
mengatakan mengenai pasien dalam kondisi tidak sadar dapat dikaitkan dengan pasal
1354 KUH Perdata yang mengatur “​zaakwaarneming”​ atau perwakilan sukarela. Ini
adalah suatu sikap tindak yang pada dasarnya merupakan pengambilalihan tanggung
jawab dengan bertindak menolong pasien dan bila telah sadar dokter dapat menanyakan
apakah perawatan akan diteruskan atau akan dirawat oleh dokter lain atau ingin
memperoleh ​second opinion.​
Di dalam praktiknya, seorang dokter gigi juga dituntut untuk mempunyai sikap teliti dan
hati-hati serta berlaku sesuai dengan kode etik yang berlaku di Indonesia.
Pada kasus ini pasien berumur 9 tahun yang menunjukkan bahwa pasien belum cakap
hukum sesuai dengan standar seseorang cakap hukum yakni 18 tahun ke atas.

2.2 Indikasi Medis


Indikasi medis adalah suatu informasi yang mendasari seorang dokter melakukan
tindakan medis. Dalam kasus ini, indikasi medis yang didapat adalah adanya keluhan dari
pasien berupa pembengkakan dan gigi 64 (geraham susu gigi) goyang.

6
2.3 Standar Medis
Standar medis adalah prosedur yang telah ditetapkan oleh dokter senior
sebelumnya dan sesuai dengan ilmu kedokteran gigi dalam praktik disebut SOP. Standar
medis bisa berubah atau disesuaikan dengan keilmuan yang terbaru.

2.4 Informed Consent​ atau Persetujuan Tindakan Medis


Dalam suatu perjanjian medis seperti halnya suatu perikatan, syarat terpenting
adalah kesepakatan yang terjadi karena adanya kerja sama antara dokter dan pasien.
Sesuai dengan teori bahwa ​informed consent ​merupakan hak pasien maka dokter
berkewajiban menjelaskan segala sesuatu mengenai penyakit pasien kepadanya dan untuk
memperoleh izin persetujuan dilakukannya tindakan medis. Jadi, izin diberikan pasien
setelah ​ia mendapat informasi dan memahaminya. Mengenai informed consent, yang
perlu diketahui adalah unsur-unsur apa saja yang harus diinformasikan, pihak yang
berhak memberikan informasi, pihak yang berkewajiban memberikan persetujuan dan
sanksi yang mungkin dijatuhkan. Unsur-unsur yang perlu diinformasikan meliputi
prosedur yang dilakukan, risiko yang mungkin terjadi, manfaat dari tindakan yang akan
dilakukan dan alternatif tindakan yang dapat dilakukan. Disamping itu perlu
diinformasikan pula kemungkinan yang dapat timbul apabila tindakan ​tidak dilakukan
dan ​ramalan ​(prognosis) atau perjalanan penyakit yang diderita. Pasien berhak
mendapatkan informasi mengenai perkiraan biaya pengobatannya.
Prosedur yang akan dilakukan perlu diuraikan lagi mengenai alat yang digunakan,
bagian tubuh mana yang akan terkena, kemungkinan perasaan nyeri yang timbul,
kemungkinan perlunya dilakukan perluasan operasi, dan yang penting tujuan tindakan itu,
untuk diagnostik atau terapi.
Risiko tindakan dapat dirinci menjadi sifatnya, apakah mengakibatkan
kelumpuhan atau kebutaan; kemungkinan timbulnya, sering atau jarang; taraf keseriusan,
apakah kelumpuhan total atau parsial; waktu timbulnya, apakah segera setelah tindakan
dilakukan atau lebih lama lagi.

7
Pihak yang berkewajiban memberikan informasi tergantung dari sifat tindakan
medis, invasif atau tidak. Dokter boleh mendelegasikan pemberian informasi ini kepada
dokter lain atau perawat dengan syarat-syarat tertentu.
Mengenai yang berhak memberikan persetujuan, secara yuridis adalah pasien
sendiri, kecuali bila ia tidak cakap hukum dalam keadaan tertentu. Dalam hal pasien
gawat darurat atau tidak sadar, dokter boleh melakukan tindakan atas dasar penyelamatan
jiwa, tanpa perlu informed consent. Leenen mengemukakan suatu konstruksi hukum yang
disebut “fiksi hukum” di mana seseorang dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui apa
yang pada umumnya disetujui oleh para pasien yang berada dalam situasi dan kondisi
yang sama.
Permenkes RI No. 585 pasal 13 menyatakan bahwa terhadap dokter yang
melakukan tindakan medis tanpa persetujuan dari pasien atau keluarganya dapat
dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin prakteknya. Sanksi pidana
yang dikaitkan dengan informed consent adalah KUHP pasal 351 mengenai
penganiayaan, misal dokter yang mengoperasi tanpa izin pasien. Tiga syarat harus
dipenuhi agar tindakan media itu tidak melawan hukum yaitu ada indikasi medis,
dilakukan sesuai prosedur baku di dalam ilmu kedokteran dan ada informed consent.

2.5 Guna ​Informed consent​ bagi Pasien dan Dokter Gigi


​ emiliki kegunaan sebagai berikut.
Informed consent m
1. Menghindari sengketa medik,
2. Memberikan informasi kepada pasien agar pasien mengerti prosedur apa yang
akan dilakukan oleh dokter beserta dengan resiko-resikonya sehingga terdapat
rasa aman pada pasien, dan
3. Dokter merasa aman saat melakukan tindakan medis, karena sudah sesuai dengan
standar medis dan dokter juga tidak semena-mena saat melakukan tindakan
medis.

8
​ enurut J.Guwandi adalah :
Tujuan dari ​Informed consent M
A. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien, dan
B. Memberikan perlindungan kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan
bersifat negatif, misalnya terhadap ​risk of treatment ​yang tak mungkin
dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin dan
bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

9
BAB III
SKENARIO DISKUSI 2

Setelah dilakukan pencabutan pada gigi Indah, Pak Joko masih saja harus bolak balik ke
RS karena Indah mengalami pendarahan bahkan sampai harus rawat inap. Setelah beberapa hari
dirawat, nasib malang menimpa Indah. Karena pendarahan yang dialaminya, Indah meninggal
dunia. Merasa tidak dapat menerima kepergian anaknya, Pak Joko pun akhirnya menunjuk
seorang pengacara untuk menggugat pihak RS dan dokter gigi tersebut.

3.1 Apakah Tindakan Dokter Gigi Tersebut Termasuk Tindakan Melawan Hukum?
Tindakan ini adalah tindakan melawan hukum karena dokter tersebut lalai dalam
melakukan terapi yang mengakibatkan pendarahan sehingga Indah meninggal dunia. Meskipun
pencabutan disetujui oleh Pak Joko, tetapi dokter tersebut tidak memberikan ​informed ​consent
secara tertulis dan tidak menjelaskan secara lengkap di dalam ​informed consent​. Penjelasan
tersebut sekurang-kurangnya mencakup hal-hal sebagai berikut. (sesuai dengan pasal 45 ayat (3)
UU praktik kedokteran)
a. Diagnosis dan tata cara tindak medis,
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan,
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya,
d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

3.2 ​ alam Kasus Ini


Manfaat ​Informed Consent D
Manfaat ​informed consent dalam kasus ini kurang sesuai dengan manfaat yang
seharusnya. Dokter Spesialis Anak tersebut kurang memberikan informasi dan hanya
memberikan perjanjian terapeutik. Seharusnya diberikan pemberian informed consent juga
informasi seperti resiko atau alternatif lainnya. Orang tua pasien ini merupakan orang awam
yang tidak mengerti prosedur yang seharusnya diberikan. Akan tetapi dokter spesialis anak yang
mengetahui akan hal ini menyarankan dirujuk ke dokter gigi spesial bedah mulut. Dokter ini

10
mengetahui bahwa usia pasien belum cukup umur (sembilan tahun) untuk melakukan tindakan
pencabutan gigi.

3.3 Sengketa Medik


Sengketa medik adalah perselisihan karena adanya perbedaan pendapat di antara para pihak
yang memiliki kepentingan yang sama terhadap suatu objek tertentu, yang berawal dari
perbedaan persepsi.
Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya sengketa bisa internal maupun eksternal.
Faktor internal berkaitan dengan karakter para pihak yang bersangkutan, sedangkan faktor
eksternal berkaitan dengan aturan-aturan yang diberlakukan―baik tertulis maupun tidak tertulis
— yang terlalu kaku.
Umumnya sengketa dikelompokan menjadi sengketa sosial atau sengketa hukum,
meskipun ada bentuk sengketa lain seperti sengketa ideologis atau sengketa politik yang tidak
dibahas disini. Sengketa sosial biasanya dikaitkan dengan norma etika, norma etiket, dan juga
norma disiplin. Sedangkan sengketa hukum berkaitan dengan norma hukum, baik karena dugaan
pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum positif, maupun benturan dengan hak dan kewajiban
seseorang yang diatur oleh ketentuan hukum positif, yang pada akhirnya menimbulkan akibat
hukum.

3.4 Alternatif Penyelesaian Sengketa Medik


Secara garis besar, penyelesaian sengketa dibedakan menurut metode dan prinsip
pembenaran yang dianut. Adapun metode yang digunakan, bisa secara langsung (​face to face)​
atau yang umum disebut ​dwipartite​, atau metode yang menggunakan jasa/ perantaraan orang
lain atau lembaga tertentu yang disebut ​tripartite.​
Dari dua sumber, yaitu pasal 1 angka 9 UU RI No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa serta Buku ​Tanya Jawab Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 1 tahun 2008​, kita mengetahui jenis-jenis penyelesaian sengketa,
Penyelesaian sengketa itu antara lain Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Arbitrase, ​early neutral
evaluation,​ dan ​fact finding (​ Buku ​Tanya Jawab)​ . Berdasarkan hal yang lazim dilakukan oleh

11
kedua belah pihak yang bersengketa, maka urutan upaya yang dilakukan bila para pihak
bersengketa kira-kira adalah sebagai berikut :
A. Konsultasi
Konsultasi adalah tindakan suatu pihak untuk meminta pendapat kepada
konsultan yang ahli dalam bidangnya. Pendapatnya digunakan oleh “klien” sebagai
pihak yang meminta untuk menghadapi sengketa, dan tidak bersifat mengikat. Dalam hal
ini, Konsultasi lebih bersifat umum dan dilakukan sebelum kedua pihak bertemu untuk
menyelesaikan sengketa.

B. Negosiasi
Negosiasi adalah metode penyelesaian secara langsung tanpa adanya pihak ketiga
yang lazimnya disebut metode penyelesaian dua pihak (​dwipatite​). Metode ini merupakan
bentuk penyelesaian sengketa yang paling sederhana, karena tidak melibatkan pihak
ketiga. Semua tahapan dalam negosiasi ditentukan berdasarkan pola komunikasi yang
dimiliki sendiri.

C. Mediasi
Apabila metode negosiasi tidak berhasil atau karena sesuatu hal yang tidak
dijalankan, maka para pihak bisa melibatkan pihak ketiga atau mediator. Keterlibatan
mediator di dalam sengketa yang terjadi hanya merupakan pemicu agar para pihak dapat
melakukan suatu penyelesaian damai. Oleh karena itu pada prinsipnya proses mediasi
dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak, maka mediator pada umumnya tidak
boleh mengintervensi materi kesepakatan damai. Berdasarkan prosedurnya, mediasi
dibedakan dalam dua jenis :
○ Mediasi yang dilakukan di luar pengadilan, dan
○ Mediasi yang dilakukan di pengadilan.
○ Mediasi di luar pengadilan dilakukan oleh para pihak tanpa adanya proses perkara
di pengadilan. Kesepakatan yang diperoleh dari proses mediasi di luar pengadilan
dapat diajukan ke pengadilan, dengan tujuan untuk mendapatkan pengukuhan

12
sebagai akta perdamaian yang memiliki kekuatan seperti putusan hakim yang
berkekuatan tetap. Adapun mediasi yang dilakukan di pengadilan adalah proses
mediasi yang dilakukan sebagai akibat dari adanya gugatan perdata ke
pengadilan.

D. Konsiliasi
Konsiliasi melibatkan pihak ketiga seperti mediasi tetapi konsiliator biasa lebih
aktif daripada mediator.

E. Arbitrase
Menurut pasal 1 angka 1 UU tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian
sengketa diluar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase, yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Prosedur dalam arbitrase diatur oleh hukum
acara yang formal dan kaku. Hasil putusan arbitrase berisi pernyataan menang dankalah
dan melalui arbitrase memakan waktu yang lama dan rumit. Parapihak dapat memilih
sendiri arbiter berdasarkan kesepakatan kedua pihak. UU RI pasal 5 ayat 1 no 30 tahun
1999 yaitu "Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa." Oleh karena itu, untuk kasus sesi 2
ini tidak dapat diselesaikan menggunakan arbitrase karena hanya berlaku terhadap
sengketa-sengketa perdagangan.

F. Litigasi
Penyelesaian sengketa yang memaksa salah satu pihak untuk menyelesaikan
sengketa dengan peraturan pengadilan. Umumnya litigasi dilakukan dengan menyewa
advokat atau pengacara profesional sehingga biaya yang dikeluarkan tentu besar. Litigasi
memiliki sifat eksekutorial yaitu pelaksanaan terhadap putusan dapat dipaksakan oleh
lembaga yang berwenang.
​Apabila kita mengacu pada Bab II ​Alternatif Penyelesaian Sengketa pasal 6 UU RI no

13
30 tahun 1999, maka sengketa dapat diselesaikan melalui itikad baik, dengan
mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Dalam sengketa perdata para pihak cenderung menggunakan seluruh upaya
hukum yang tersedia mulai dari banding, kasasi sampai peninjauan kembali. Bahkan
banyak perkara yang objek sengketanya kecil sekalipun masih tetap diajukan sampai ke
tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Hal ini mencerminkan proses litigasi
tidak menghasilkan penyelesaian yang benar benar tuntas.

Pada kasus ini, Pak Joko mengarah kepada jalan litigasi atau pengadilan untuk
menyelesaikan permasalahannya. Namun, disarankan dalam penyelesaian sengketa medik jalur
yang ditempuh adalah mediasi. Sesuai dengan UU RI no.29 tahun 2004 tentang Kesehatan
pasal 29 mengamanatkan agar dugaan kelalaian tenaga kesehatan diselesaikan dahulu melalui
mediasi. Mediasi tidak hanya memakan waktu yang relatif lebih singkat dan biaya yang lebih
murah, tetapi dengan mediasi yang mengedepankan penyelesaian ‘​win-win solution’​ ,
penyelesaian akhir akan lebih menguntungkan kedua belah pihak dan menuntaskan perkara
secara damai.

3.5 Bagaimana Pandangan Menurut Hukum, Etika, dan Agama Pada Kasus Ini
Pandangan kasus ini menurut :
a. Hukum
Dokter gigi dan pihak RS telah melakukan pelanggaran hukum terhadap pasien Indah
dan Pak Joko karena tidak adanya ​informed consent yang tepat. Pemberitahuan
mengenai proses tindakan yang diambil tidak dibuat secara tertulis, sehingga tidak
memiliki bukti nyata dan tidak adanya kejelasan mengenai bagaimana prosedur, tujuan,
risiko, manfaat tindakan, dan tindakan alternatif lainnya sebagaimana ditegaskan dalam
PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No.
319/PB/A.4/88 butir 3.
Selain itu, dokter gigi tidak melihat rekam medis Indah sebelum ia diperiksa di RS
tersebut dan melakukan diagnosis secara tepat. Dokter gigi spesialis bedah mulut

14
tersebut tidak melakukan tindakan sesuai standar medis dan SOP (​Standard Operating
Procedure)​ , diantaranya adalah dokter yang langsung menganjurkan tindakan
pencabutan gigi tanpa menunggu pembengkakan Indah mengempis, di mana
pembengkakan sangat berisiko besar terjadi pendarahan.

b. Etika
Jika secara hukum tindakan dokter gigi dan pihak RS tersebut sudah salah ,
artinya secara etika juga salah karena etika adalah landasan dari hukum. Ketidakjelasan
pemberitahuan informasi mengenai tindakan yang diambil dan prosedur tindakan yang
dilakukan telah melanggar Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia Bab II mengenai
Kewajiban Dokter Gigi Terhadap Pasien Pasal 10 Ayat 1 “Dokter Gigi di Indonesia wajib
menyampaikan informasi mengenai rencana perawatan dan pengobatan serta alternatif
yang sesuai dan memperoleh persetujuan pasien dalam mengambil keputusan.”

c. Agama
- Agama Kristen:
Dokter gigi Spesialis Bedah Mulut ini jelas sudah melakukan tindakan melawan
hukum karena tidak menetapkan indikasi medis secara tepat, tidak melakukan tindakan
yang sesuai dengan standar medis / SOP, dan tidak melakukan informed consent secara
tertulis, sehingga dokter tersebut sudah melanggar Firman Tuhan yang dapat kita lihat
dalam:
Matius 22:37-40, dari ayat tersebut dapat disimpulkan dokter tersebut tidak
mengasihi sesama manusia seperti dirinya sendiri,yang dapat kita lihat dalam
kecerobohannya dan tidak sungguh-sungguhnya ia dalam melakukan tugasnya sebagai
drg.Sp.BM.
Kolose 3:23, dari ayat tersebut drg.Sp.BM. tersebut tidak melakukan segala
sesuatu sebagaimana seharusnya dan dengan segenap hati. Jika kita melakukan segala
sesuatu dengan segenap hati seperti untuk Tuhan, berarti kita melakukan hal tersebut
dengan sungguh-sungguh yang terbaik yang bisa kita lakukan. Sikap demikian

15
menyatakan bahwa kita benar-benar mengasihi, menghormati Tuhan menjadikan Dia
sebagai Tuhan dalam hidup upah sesuai. Setiap apapun yang kita lakukan akan dinilai
Tuhan, dan kita tahu bahwa Tuhan akan memberi kita upah sesuai dengan penilaian
Tuhan atas apapun yang kita lakukan.

- Agama Katolik
Agama Katolik mempercayai bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dan nyawa
manusia diberikan oleh Tuhan. Oleh karena itu setiap manusia wajib menjaganya. Tidak
ada seorang pun mempunyai hak dalam keadaan apapun untuk mengakhiri kehidupan
manusia. Kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara absolut sejak saat
pembuahan. Dokter Spesialis Bedah Mulut tersebut melakukan tindakan yang melawan
hukum dan agama. Suatu tindakan atau kelalaian yang mendatangkan kematian atau
mengakhiri penderitaan adalah pembunuhan atau suatu pelanggaran berat terhadap
martabat manusia dan terhadap penghormatan yang harus diberikan kepada Allah Sang
Pencipta. Keputusan yang salah mudah terjadi, hal tersebut merupakan tindakan
pembunuhan yang harus dilarang dan dihindarkan. Dalam Kanon 1397 Hukum Gereja
menyatakan, barang siapa melakukan perbuatan membunuh harus mendapat hukuman
pidana.

- Agama Buddha
Dalam agama Buddha terdapat lima aturan (Pancasila Buddhis) yang harus
dijalankan, yaitu tidak membunuh makhluk hidup, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak
berdusta, dan tidak mabuk-mabukan. Setiap tindakan yang dilakukan akan menghasilkan
buah karma (perbuatan) yang baik maupun yang buruk. Suatu perbuatan dapat dikatakan
karma apabila terdapat cetana (niat) dalam melakukannya, baik dalam bentuk pikiran,
ucapan, maupun perbuatan. Hukum inilah yang disebut dengan hukum karma atau hukum
timbal balik yang berlangsung kepada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Dalam kasus ini tindakan dokter gigi tersebut tidaklah salah karena ia tidak
memiliki niat untuk mencelakai ataupun membunuh pasiennya, namun kurangnya

16
ketelitian yang dilakukan oleh dokter gigi tersebut mengkondisikan berbuahnya karma
buruk. Penyakit hingga kematian yang dialami Indah merupakan buah (hasil) karma
buruk yang ia miliki. Begitu juga dokter gigi tersebut yang karma buruknya sedang
berbuah sehingga ia dinilai tidak kompeten dalam menjalankan tugasnya, meskipun ia
tidak memiliki niat untuk mencelakai.

- Agama Islam
Malpraktek adalah tindakan yang salah dalam pelaksanaan suatu profesi. Istilah
ini bisa dipakai dalam berbagai bidang, namun lebih sering dipakai dalam dunia
kedokteran dan kesehatan.
Ketidaksengajaan (​Khatha’​) adalah suatu kejadian (tindakan) yang orang tidak
memiliki maksud di dalamnya. Misalnya, tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada
anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk malpraktek ini tidak membuat pelakunya
berdosa, tapi ia harus bertanggung jawab terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan
yang telah digariskan Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk jinayat khatha’ (tidak
sengaja).
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula,
tuduhan malpraktek harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggung
jawaban dari pelakunya. Ini adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran
Islam. Jika tuduhan langsung diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan
itu bisa membuat mereka meninggalkan profesi mereka, sehingga membahayakan
kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika tidak ada pertanggung jawaban atas tindakan
malpraktek yang terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak
mereka. Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui
oleh syariat, yaitu pengakuan pelaku malpraktek (​Iqrar)​ , kesaksian (​Syahadah)​ , dan
catatan medis.
Tanggung jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan
kesalahan langsung. Dalam kasus ini dokter bedah mulut adalah pelaku langsung

17
malpraktek, sedangkan dokter spesialis anak ikut menyebabkan malpraktek secara tidak
langsung.

18
BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Praktek dokter gigi dikatakan tidak melanggar hukum apabila di dalam praktiknya
ditemukan indikasi medis, pengerjaan sesuai tindakan medis, dan adanya ​informed consent yang
disampaikan dokter kepada pasien. Indikasi medis adalah suatu informasi yang mendasari
seorang dokter melakukan tindakan medis. Standar medis adalah prosedur yang telah ditetapkan
oleh dokter senior sebelumnya dan sesuai dengan ilmu kedokteran gigi. Informed consent
merupakan hak pasien maka dokter berkewajiban menjelaskan segala sesuatu mengenai
informasi tentang penyakit pasien kepadanya dan untuk memperoleh izin persetujuan
dilakukannya tindakan medis. ​Informed consent b​ erguna baik untuk pasien maupun dokter, yang
utamanya untuk menghindari sengketa medik.
Sengketa medik adalah perselisihan karena adanya perbedaan pendapat di antara para
pihak yang memiliki kepentingan yang sama terhadap suatu objek tertentu, yang berawal dari
perbedaan persepsi. Penyelesaian sengketa medik disarankan melalui mediasi dengan prinsip
‘​win-win solution’​ yang lebih menguntungkan kedua belah pihak.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Afandi, Dedi. September 2017. “Kaidah Dasar Bioetika dalam Pengambilan Keputusan
Klinis yang Etis” . ​Majalah Kedokteran Andalas​. Vol. 04, No. 2,
http://jurnalmka.fk.unand.ac.id​, 18 September 2018.
2. Dhammadhiro, Bhikkhu. 2005. ​Kumpulan Wacana Pali untuk Upacara dan Puja​.
Jakarta: Yayasan Sangha Theravada Indonesia.
3. Tohari, Hamim. 2014. Jurnal ​Informed consent ​Universitas Diponegoro.
Semarang:Universitas Diponegoro.
4. Wiradharma, Danny. 2002. ​Tindakan Medis.​ Jakarta: Universitas Trisakti.
5. Wiradharma, Danny dkk. 2011. ​Alternatif Penyelesaian Sengketa Medik​. Jakarta: Sagung
Seto.
6. Wiradharma, Danny. 2014. ​Etika Profesi Medis​. Jakarta: Universitas Trisakti.

20

Anda mungkin juga menyukai