Anda di halaman 1dari 32

TREND DAN ISSUE TERKAIT MASALAH PADA KASUS KRITIS,

BERBAGAI SISTEM EVIDENCE BASE PRACTICE DALAM


PENATALAKSANAAN MASALAH PADA KASUS KRITIS BERBAGAI
SISTEM

KELOMPOK VI

1. STEFANI KASIM 2117010


2. FHITRAH TAMBIYO 2117012
3. ERNIWATY ENGYANI 2117014
4. FRANSISKA FEBRIANA 2117020
5. NOVIANA INA KII 2117021

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

GEMA INSAN AKADEMIK

MAKASSAR

2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan gawat darurat tidak hanya memberikan pelayanan
untuk mengatasi kondisi kedaruratan yang di alami pasien tetapi juga
memberikan asukan keperawatan untuk mengatasi kecemasan pasien
dan keluarga. sistem pelayana bersifat darurat sehingga perawat dan
tenaga medis lainnya harus memiliki kemampuan, keterampilan, tehnik
serta ilmu pengetahuan yang tinggi dalam memberikan pertolongan
kedaruratan kepeda pesien.
Berdasarkan pembahasan konsep Evidence Based Practice di
atas, dapat disimpulkan bahwa ada 3 faktor yang seacara garis besar
menenentukan tercapainya pelaksanaan praktek keperawatan yang
lebih baik yaitu, penelitian yang dilakukan berdasarkan fenomena yang
terjadi di kaitkan dengan teori yang telah ada, pengalaman klinis
terhadap sustu kasus, dan pengalaman pribadi yang bersumber dari
pasien. Dengan memperhatikan factor-faktor tersebut, maka di
harapkan pelaksanaan pemeberian pelayanan kesehatan khususnya
pemberian asuhan keperawatan dapat di tingkatkan terutama dalam hal
peningkatan pelayanan kesehatan atau keperawatan, pengurangan
biaya (cost effective) dan peningkatan kepuasan pasien atas pelayanan
yang diberikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Trend adalah hak yanag sangat mendaar dalam berbagai
pendekatan analisa, trend juga dapat didefenisikan salah satu
gambaran ataupun informasi yang terjadi pada saat ini yang biasanya
sedang populer dimasyarakat.
Isu adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dapat
diperkirakan terjadi terjadi atau tidak terjadi pada masa mendatang. Isu
adalah sesuatu yang sedang dibicarakan oleh banyak orang namun
masih belum jelas faktanya atau buktinya.
Trend dan isu keperawatan adalah sesuatu yang sedang di
bicarakan banyak orang tentang praktek / mengenai keperawatan baik
itu berdasarkan fakta maupun tidak.
Keparawatan gawat darurat adalah pelayanan profesioanal
keperawatan yang di berikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan
kritis. Namun UGD dan klinik kedaruratan sering di gunakan untuk
masalah yang tidak urgen. Yang kemudian filosopi tentang
keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun
yang di alami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai
hedaruratan

B.Faktor yg mempengaruhi trend issue keperawatan kritis


1. Faktor agama dan adat istiadat.
Agama serta latar belakang adat-istiadat merupakan faktor
utama dalam membuat keputusan etis. Setiap perawat disarankan
untuk memahami nilai-nilai yang diyakini maupun kaidah agama yang
dianutnya. Untuk memahami ini memang diperlukan proses. Semakin
tua dan semakin banyak pengalaman belajar, seseorang akan lebih
mengenal siapa dirinya dan nilai-nilai yang dimilikinya.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihuni oleh
penduduk dengan berbagai agama/kepercayaan dan adat istiadat.
Setiap penduduk yang menjadi warga negara Indonesia harus
beragama/berkeyakinan. Ini sesuai dengan sila pertama Pancasila :
Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana di Indonesia menjadikan aspek
ketuhanan sebagai dasar paling utama. Setiap warga negara diberi
kebebasan untuk memilih kepercayaan yang dianutnya.

2. Faktor sosial.
Berbagai faktor sosial berpengaruh terhadap pembuatan
keputusan etis. Faktor ini antara lain meliputi perilaku sosial dan
budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, hukum, dan peraturan
perundang-undangan.
Perkembangan sosial dan budaya juga berpengaruh terhadap
sistem kesehatan nasional. Pelayanan kesehatan yang tadinya
berorientasi pada program medis lambat laun menjadi pelayanan
komprehensif dengan pendekatan tim kesehatan.

3. Faktor ilmu pengetahuan dan tekhnologi.


Pada era abad 20 ini, manusia telah berhasil mencapai tingkat
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang belum dicapai manusia
pada abad sebelumnya. Kemajuan yang telah dicapai meliputi berbagai
bidang.
Kemajuan di bidang kesehatan telah mampu meningkatkan
kualitas hidup serta memperpanjang usia manusia dengan
ditemukannya berbagai mesin mekanik kesehatan, cara prosedur baru
dan bahan-bahan/obat-obatan baru. Misalnya pasien dengan gangguan
ginjal dapat diperpanjang usianya berkat adanya mesin hemodialisa.
Ibu-ibu yang mengalami kesulitan hamil dapat diganti dengan berbagai
inseminasi. Kemajuan-kemajuan ini menimbulkan pertanyaan-
pertanyaan yang berhubungan dengan etika.
4. Faktor legislasi dan keputusan juridis.
Perubahan sosial dan legislasi secara konstan saling berkaitan.
Setiap perubahan sosial atau legislasi menyebabkan timbulnya
tindakan yang merupakan reaksi perubahan tersebut. Legislasi
merupakan jaminan tindakan menurut hukum sehingga orang yang
bertindak tidak sesuai hukum dapat menimbulkan konflik.
Saat ini aspek legislasi dan bentuk keputusan juridis bagi
permasalahan etika kesehatan sedang menjadi topik yang banyak
dibicarakan. Hukum kesehatan telah menjadi suatu bidang ilmu, dan
perundang-undangan baru banyak disusun untuk menyempurnakan
perundang-undangan lama atau untuk mengantisipasi perkembangan
permasalahan hukum kesehatan.

5. Faktor dana/keuangan.
Dana/keuangan untuk membiayai pengobatan dan perawatan
dapat menimbulkan konflik. Untuk meningkatkan status kesehatan
masyarakat, pemerintah telah banyak berupaya dengan mengadakan
berbagai program yang dibiayai pemerintah.

6. Faktor pekerjaan.
Perawat perlu mempertimbangkan posisi pekerjaannya dalam
pembuatan suatu keputusan. Tidak semua keputusan pribadi perawat
dapat dilaksanakan, namun harus diselesaikan dengan
keputusan/aturan tempat ia bekerja. Perawat yang mengutamakan
kepentingan pribadi sering mendapat sorotan sebagai perawat
pembangkang. Sebagai konsekuensinya, ia mendapatkan sanksi
administrasi atau mungkin kehilangan pekerjaan.

7. Faktor Kode etik keperawatan.


Kelly (1987), dikutip oleh Robert Priharjo, menyatakan bahwa
kode etik merupakan salah satu ciri/persyaratan profesi yang
memberikan arti penting dalam penentuan, pertahanan dan
peningkatan standar profesi. Kode etik menunjukkan bahwa tanggung
jawab kepercayaan dari masyarakat telah diterima oleh profesi.
Untuk dapat mengambil keputusan dan tindakan yang tepat
terhadap masalah yang menyangkut etika, perawat harus banyak
berlatih mencoba menganalisis permasalahan-permasalahan etis.

8. Faktor Hak-hak pasien.


Hak-hak pasien pada dasarnya merupakan bagian dari konsep
hak-hak manusia. Hak merupakan suatu tuntutan rasional yang berasal
dari interpretasi konsekuensi dan kepraktisan suatu situasi.
Pernyataan hak-hak pasien cenderung meliputi hak-hak warga
negara, hak-hak hukum dan hak-hak moral. Hak-hak pasien yang
secara luas dikenal menurut Megan (1998) meliputi hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang adil dan berkualitas, hak
untuk diberi informasi, hak untuk dilibatkan dalam pembuatan
keputusan tentang pengobatan dan perawatan, hak untuk
diberi informed concent, hak untuk mengetahui nama dan status tenaga
kesehatan yang menolong, hak untuk mempunyai pendapat
kedua(secand opini), hak untuk diperlakukan dengan hormat, hak untuk
konfidensialitas (termasuk privacy), hak untuk kompensasi terhadap
cedera yang tidak legal dan hak untuk mempertahankan dignitas
(kemuliaan) termasuk menghadapi kematian dengan bangga.

C. Konsep Isu dan Trend


1. Mengahargai keyakinan klien menurut budayanya
Perawat harus bisa menghargai keyakinan klien tetapi tetap
melaksanakan tindakan untuk perawatan klien dengan mengganti
dengan alternative lain. Misalnya klien yang tidak mengkonsumsi obat-
obatan kimia, berpikir kritis dengan mengganti dengan obat herbal yang
telah terbukti pengobatannya. misalnya di budaya Jawa, Brotowali
sebagai obat untuk menghilangkan rasa nyeri
2. Menghentikan kebiasaan buruk
Apabila klien mempunyai kebiasaan merokok pada saat setelah
makan, maka perawat harus dapat melarang kebiasaan tersebut.
Karena dapat membahayakan klien dan terapi penyembuhan dapat
mengalami kegagalan. Contoh lain, kebiasaan bagi orang jawa yakni
jika ada salah satu pihak keluarga atau sanak saudara yang sakit,
maka untuk menjenguknya biasanya mereka mengumpulkan dulu
semua saudaranya dan bersama – sama mengunjungi saudaranya
yang sakit tersebut. Karena dalam budaya Jawa dikenal prinsip “
mangan ora mangan , seng penting kumpul.

3. Mengganti kebiasaan pengobatan yang buruk


Bagi masyarakat Jawa dukun adalah yang pandai atau ahli
dalam mengobati penyakit melalui “Japa Mantera“, yakni doa yang
diberikan oleh dukun kepada pasien. Misalnya dukun pijat/tulang
(sangkal putung) khusus menangani orang yang sakit terkilir , patah
tulang , jatuh atau salah urat.

D. Nilai-Nilai dalam Trend dan Isu


1. Nilai intelektual
Nilai intelektual dalam prtaktik keperawatan terdiri dari
a. Body of Knowledge
b. Pendidikan spesialisasi (berkelanjutan)
c. Menggunakan pengetahuan dalam berpikir secara kritis dan
kreatif.
2. Nilai komitmen moral
Pelayanan keperawatan diberikan dengan konsep altruistic,
dan memperhatikan kode etik keperawatan. Menurut Beauchamp &
Walters (1989) pelayanan professional terhadap masyarakat
memerlukan integritas, komitmen moral dan tanggung jawab etik.

3. Otonomi, kendali dan tanggung gugat


Otonomi merupakan kebebasan dan kewenangan untuk
melakukan tindakan secara mandiri. Hak otonomi merujuk kepada
pengendalian kehidupan diri sendiri yang berarti bahwa perawat
memiliki kendali terhadap fungsi mereka. Otonomi melibatkan
kemandirian, kesedian mengambil resiko dan tanggung jawab serta
tanggung gugat terhadap tindakannya sendiribegitupula sebagai
pengatur dan penentu diri sendiri.

E. Trend dan Isu dalam Keperawatan Gawat Darurat


1. CPR / RJP
Resusitasi jantung paru-paru atau CPR adalah tindakan
pertolongan pertama pada orang yang mengalami henti napas karena
sebab-sebab tertentu. CPR bertujuan untuk membuka kembali jalan
napas yang menyempit atau tertutup sama sekali. CPR sangat
dibutuhkan bagi orang tenggelam, terkena serangan jantung, sesak
napas, karena syok akibat kecelakaan, terjatuh, dan sebagainya.
Namun yang perlu diperhatikan khusus untuk korban pingsan
karena kecelakaan, tidak boleh langsung dipindahkan karena
dikhawatirkan ada tulang yang patah. Biarkan di tempatnya sampai
petugas medis datang. Berbeda dengan korban orang tenggelam dan
serangan jantung yang harus segera dilakukan CPR.
Chain of survival merupakan suatu serial tindakan yang harus
dilakukan pada pasien yang mengalami henti jantung. Chain of survival
terdiri dari lima unsur,yakni: pengenalan dini henti jantung, pemberian
CPR secara dini, pemberian defibrilator sesegera mungkin,
penatalaksanaan ALS (Advance Life Support), dan perawatan pasca
henti jantung.
Rantai kehidupan (chain survival) terdiri dari beberapa tahap
berikut ini (AHA, 2010):
a. Mengenali sedini mungkin tanda-tanda cardiac arrest dan segera
mengaktifkan
b. panggilan gawat darurat (Emergency Medical Services)
c. Segera melakukan RJP dengan tindakan utama kompresi dada
d. Segera melakukan defibrilasi jika ada indikasi
e. Segera memberi bantuan hidup lanjutan (advanced life support)
f. Melakukan perawatan post cardiac arrest

a. Indikasi
1). Pasien henti nafas
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan
aliran udara pernafasan dari korban atau pasien. Henti nafas
merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar.
Henti nafas terjadi dalam keadaan seperti: Tenggelam atau lemas,
stroke, obstruksi jalan nafas, epiglotitis, overdosis obat-obat, tersengat
listrik, infark miokard, tersambar petir, koma akibat berbagai macam
kasus.

2). Pasien henti jantung


Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi
henti sirkulasi. Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak
dan organ vital kekurangan oksigen. Pernafasan yang terganggu
merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Henti jantung
ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba disertai kebiruan atau pucat,
pernafasan berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil tak bereaksi terhadap
rangsang cahaya dan pasien tidak sadar (Suharsono, T., & Ningsih, D.
K., 2008).

3). Alur Basic Life Support


a. Tahapan persiapan
Sebelum melakukan resusitasi maka harus dilakukan beberapa
prosedur berikut pada pasien (AHA, 2010):
1). Memastikan kondisi lingkungan sekitar aman bagi penolong
2). Memastikan kondisi kesadaran pasien
Penolong harus segera mengkaji dan menentukan apakah
korban sadar/tidak. Penolong harus menepuk atau menggoyang bahu
korban sambil bertanya dengan jelas: ‘Hallo, Pak/ Bu! Apakah anda
baik-baik saja?’.Jangan menggoyang korban dengan kasar karena
dapat mengakibatkan cedera. Juga hindari gerakan leher yang tidak
perlu pada kejadian cedera kepala dan leher.
3). Mengaktifkan panggilan gawat darurat
Jika korban tidak berespon, segera panggil bantuan. Jika ada
orang lain disekitar korban, minta orang tersebut untuk menelpon
ambulans dan ketika menelpon memberitahukan hal-hal berikut:
a). Lokasi korban
b). Apa yang terjadi pada korban
c). Jumlah korban
d). Minta ambulans segera datang
4). Memastikan posisi pasien tepat
Agar resusitasi yang diberikan efektif maka korban harus
berbaring pada permukaan yang datar, keras, dan stabil. Jika korban
dalam posisi tengkurap atau menyamping, maka balikkan tubuhnya
agar terlentang. Pastikan leher dan kepala tersangga dengan baik dan
bergerak bersamaan selam membalik pasien.

b. Fase-fase RJP (Resusitasi Jantung Paru) Sesuai Algoritma AHA 2010


1). Basic life support (BLS) atau tunjangan hidup dasar
Pada tahun 2010, American Heart Association (AHA)
mengeluarkan panduan terbaru penatalaksanaan CPR. Berbeda
dengan panduan sebelumnya, pada panduan terbaru ini AHA
mengubah algoritma CPR dari ABC menjadi CAB.

2. Circulation (C)
Mengkaji nadi/ tanda sirkulasi Ada tidaknya denyut jantung
korban/pasien dapat ditentukan dengan meraba arteri karotis di daerah
leher korban/ pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari telunjuk dan
tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher sehingga teraba
trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri kira-
kira 1–2 cm raba dengan lembut selama 5–10 detik. Jika teraba
denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban
dengan melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk
menilai pernapasan korban/ pasien. Jika tidak bernapas lakukan
bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas.
Melakukan kompresi dada Jika telah dipastikan tidak ada
denyut jantung luar,dilakukan dengan teknik sebagai berikut :
a). Menentukan titik kompresi (center of chest)
Cari possesus xypoideus pada sternum dengan tangan kanan,
letakkan telapak tangan kiri tepat 2 jari diatas posseus
xypoideus.
b). Melakukan kompresi dada
Kaitkan kedua jari tangan pada lokasi kompresi dada, luruskan
kedua siku dan pastikan mereka terkunci pada posisinya, posisikan
bahu tegak lurus diatas dada korban dan gunakan berat badan anda
untuk menekan dada korban sedalam minimal 2 inchi (5 cm), lakukan
kompresi 30x dengan kecepatan minimal 100x/menit atau sekitar 18
detik. (1 siklus terdiri dari 30 kompresi: 2 ventilasi). Lanjutkan sampai 5
siklus CPR, kemudian periksa nadi carotis, bila nadi belum ada
lanjutkan CPR 5 siklus lagi. Bila nadi teraba, lihat pernafasan (bila
belum ada upaya nafas) lakukan rescue breathing dan check nadi tiap
2 menit.
3). Airway (A)
Tindakan ini bertujuan mengetahui ada tidaknya sumbatan
jalan napas oleh benda asing. Buka jalan nafas dengan head tilt-chin
lift/ jaw thrust. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau
sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari
tengah yang dilapisi dengan sepotong kain (fingers weep), sedangkan
sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari
telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan teknik Cross
Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada
mulut korban.
4). Breathing (B)
Bantuan napas dapat dilakukkan melalui mulut ke mulut, mulut
ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan)
dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan,
waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5–2 detik
dan volume udara yang dihembuskan adalah 7000–1000ml (10ml/kg)
atau sampai dada korban/pasien terlihat mengembang. Penolong harus
menarik napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar
tercapai volume udara yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat
diberikan hanya 16 – 17%. Penolong juga harus memperhatikan respon
dari korban/pasien setelah diberikan bantuan napas.

2. Trauma dada
Trauma dada adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang
dapat menyebabkan tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks,
hematothoraks,hematopneumothoraks.Trauma thorax adalah semua
ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda
paksa tajam atau tumpul.Di dalam toraks terdapat dua organ yang
sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu paru-paru dan jantung.
Paru-paru sebagai alat pernapasan dan jantung sebagai alat pemompa
darah. Jika terjadi benturan atau trauma pada dada, kedua organ
tersebut bisa mengalami gangguan atau bahkan kerusakan.
Dada merupakan rongga bertulang yang terbentuk dari 12
pasang tulang rusuk yang berhubungan dengan tulang belakang di
posterior dan tulang dada di anterior. Saraf dan pembuluh darah
intercostals berjalan sepanjang permukaan inferior pada setiap tulang
rusuk. Permukaan dalam rongga dada dan paru dilapisi selaput tipis,
disebut pleura. Ruang antara dua lapisan pleura normalnya hampa
(ruang potensial), bila ruangan ini berisi udara akan menimbulkan
pneumothorax, bila berisi darah akan menimbulkan hemothorax. Pada
orang dewasa, ruangan potensial ini dapat menampung 3 liter cairan
disetiap sisinya. Setiap paru menempati sebelah rongga dada. Di
antara 2 rongga dada terletak mediastinum, yang berisi oleh jantung,
aorta, vena kava superior dan inferior, trakea, bronkus utama dan
esophagus. Medulla spinalis dilindungi oleh columna vertebralis.
Diafragma memisahkan organ-organ thorax dari rongga abdomen.
Organ perut bagian atas seperti limpa, hati, ginjal, pancreas dan
lambung dilindungi tulang rusuk bagian bawah.
Bila melakukan evaluasi korban dengan kemungkinan trauma
thorax, harus selalu mengikuti penilaian prioritas secara BTLS untuk
menghindari terlewatkannya kondisi yang mengancam jiwa. Selama
survey primer BTLS, carilah cedera yang paling parah terlebih dahulu
untuk memberikan kesempatan hidup pada korban tersebut . Seperti
semua penderita trauma lainnya, mekanisme trauma penting diketahui
untuk penanganan penderita trauma dada. Cedera dada meungkin
merupakan akibat dari trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma
tumpul energy yang didistribusikan meliputi area yang luas dan cedera
visceral dapat disebabkan karena deselerasi, robekan, kompresi atau
ledakan. Luka penetrasi biasanya berasal dari tembakan atau tusukan,
energy yang didistribusikan meliputi area yang lebih sempit. Terjangan
peluru sering sulit diperkirakan akibatnya, dan semua yang berada di
dalam dada beresikoterkena. Hasil akhir yang paling sering terjadi pada
cedera dada adalah hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan dapat terjadi
akibat :
1). Pengiriman oksigen ke jaringan yang tidak adekuat akibat
sekunder dari obstruksi jalan nafas
2). Hipovolemia akibat perdarahan
3). Ventilasi atau perfusi yang tidak sesuai akibat cedera parenkim
paru
4). Perubahan tekanan pleura akibat tension pneumothorax
5). Kegagalan pompa jantung akibat cedera miokardium berat
Gejala utama cedera dada meliputi nafas pendek, nyeri dada
dan distress respirasi. Tanda yang menunjukkan trauma thorax
termasuk : syok, batuk darah, sianosis, dinding dada memar, flail chest,
luka terbuka, distensi vena leher, deviasi trachea atau emfisema
subkutis. Periksa suara nafas di dada kiri dan kanan. Trauma thorax
yang mengancam jiwa harus segera diidentifikasi. Terdapat 12 keadaan
gawat darurat trauma thorax. Cedera-cedera berikut ini harus dideteksi
dan diterapi selama survei primer BTLS :
1) Obstruksi jalan nafas
2) Pneumothorax terbuka
3) Tension pneumothorax
4) Hemotorax massif
5) Flail chest
6) Tamponade jantung
Cedera yang mengancam nyawa yang dapat dideteksi selama
pemeriksaan detil atau evaluasi di rumah sakit (secondary survey)
adalah sebagai berikut:
1) Ruptur aorta traumatic
2) Cedera trakea atau cabang bronkus
3) Contusio miokardium
4) Robekan diafragma
5) Cedera esophagus
6) Contusio pulmonum
d. Masalah - Masalah Pada Trauma Thorax
1). Obstruksi Jalan Nafas
Dalam menangani jalan nafas, harus selalu beranggapan terdapat
pula cedera tulang servikal.
2). Open Pneumothorax (Pneumothorak Terbuka)
Keadaan ini seing disebabkan oleh cedera tajam, berupa luka
dada yang menghisap (sucking chest wound). Gejala dan tanda yang
timbul sesuai dengan ukuran kerusakan pada dinding dada. Ventilasi
normal melibatkan tekanan negatif rongga dada akibat kontraksi
diafragma. Saat udara melalui saluran nafas atas, paru akan
berkembang. Adanya luka terbuka yang besar pada dinding dada (lebih
besar dari trakea kira-kira seukuran jari kelingking penderita), aliran
udara melalui dinding dada yang terbuka ini menyebabkan bunyi
menghisap, sehingga disebut luka dada yang menghisap. Udara hanya
akan mengalir masuk ke rongga pleura, tidak ke paru, sehingga
oksigen tidak dapat didistribusikan ke darah, yang selanjutnya akan
berakibat hipoksia dan gannguan ventilasi.
3). Penatalaksanaan open pneumothoraks
a). Pastikan jalan nafas terbuka
b).Tutup lobang pada dinding dada dengan material yang masih
tersedia,misalnya pada defibrillator, pembalut bervaselin, sarung
tangan karet, atau lembaran plastik. Penutupan yang dapat beresiko
menimbulkan tension pneumothorax . Untuk menghindari hal
ini,plester 3 sisi penutup lobang dada supaya tercipta semacam
katup, udara dapat keluar tapi tidak dapat masuk rongga dada
c). Beri oksigen
d). Pasang monitor jantung, bila ada
e). Monitor saturasi oksigen dengan pulse oximeter
f). Rujuk dengan cepat ke rumah sakit yang tepat
Sekarang tersedia penutup luka dada (Asherman Chest Seal)
dengan katup satu arah yang saat ini merupakan benda terbaik untuk
menutup luka dada terbuka. Pasang segera chest tube dan diikuti
dengan operasi untuk menutup lobang tadi.

3) Tension Pneumothorax
Cedera ini terjadi bilamana terbentuk katup satu arah akibat trauma
tumpul maupun tajam. Udara dapat masuk tetapi tidak dapat keluar dari
rongga pleura,selanjutnya akan menyebabkan peningkatan tekanan
intratoracal sehingga paru yang terkena kolaps dan mediastinum akan
terdorong kesisi berlawanan. Tekanan ini akan menyebabkan vena cava
superior dan inferior kolaps sehingga venous return (aliran balik vena)
akan turun sampai hilang. Deviasi trachea dan mediastinum menjauhi sisi
yang mengalami tension pneumothorax, akan mengganggu ventilasi paru
lainnya, meskipun hal ini merupakan fenomena lanjut. Tanda-tanda klinis
tension pneumothorax termasuk dispneu,kecemasan , takipneu, suara
nafas menurun, pada perkusi terdengar hipersonor di sisi yang terkena
hipotensidan distensi vena leher. Deviasi trachea dijumpai pada fase
lanjut (dan jarang) tapi bila tidak dijumpai tidak berarti bukan tension
pneumothorax. Pada 108 penderita tension pneumothorax dan
membutuhkan dekompresi dengan jarum tidak dijumpai adanya deviasi
trachea. Penurunan daya pegas/compliance paru (ditandai dengan terasa
berat saat meremas balon alat bag valve) sudah harus dicurigai
kemungkinan terjadinya tension pneumothorax.

Penatalaksanaan tension pneumothorax


a). Pastikan jalan nafas terbuka
b). Beri Oksigen konsentrasi tinggi
c). Monitor saturasi oksigen dengan pulse oksimeter
d). Segera rujuk ke rumah sakit yang tepat
e). Hubungi tempat tujuan pelayanan medis
Penderita harus dirujuk kerumah sakit dengan cepat sehingga
dapat dilakukan dekompresi dada. Chest tube juga perlu disediakan
sesampainya di rumah sakit.

4). Hemothorax Masif


Terdapat darah di dalam cavum pleura disebut hemothorax.
Hemothorax massif terjadi bila sekurang-kurangnya 1500 ml darah
terkumpul di cavum pleura. Setiap rongga dada dapat menampung
kurang lebih 3000 ml darah. Hemothorax massif lebih sering
disebabkan oleh trauma oleh trauma tajam dibandingkan trauma
tumpul, tapi kedua jenis trauma tersebut dapat merusak pembuluh
darah besar paru atau sistemik. Ketika darah terkumpul di cavum
pleura, paru pada daerah yang cedera akan kolaps. Bila darah yang
terkumpul cukup banyak (jarang), mediastinum akan terdorong ke sisi
yang berlawanan. Vena cava superior dan inferior, serta paru
kontralateral akan terkompresi. Kehilangan darah selanjutnya akan
berakibat hipoksemia.Tanda dan gejala hemothorax massif disebabkan
oleh hipovolemia dan gangguan respirasi. Penderita dapat mengalami
hipotensi akibat kehilangan darah, kompresi jantung dan pembuluh
darah besar. Gelisah dan kebingungan disebabkan oleh hipovolemia
dan hipoksemia. Tanda klinis syok hipovolemi mungkin sudah terlihat
pembuluh vena leher biasanya kempis akibat sekunder dari
hipovolemia, tapi kadang juga bias distensi akibat kompresi
mediastinum. Tnada lain berupa suara nafas yang menurun dan pada
perkusi timbul suara pekak disisi paru yang terkena.

 Penatalaksanaan Hemothorax
a). Pastikan jalan nafas terbuka
b). Beri oksigen aliran tinggi
c). Segera rujuk ke rumah sakit yang tepat
d). Monitor saturasi oksigen dengan pulse oksimeter
e). Hubungi tempat tujuan pelayanan medis

5). Flail Chest


Hal ini terjadi bila tiga atau lebih tulang rusuk yang berdekatan
patah, sekurang kurangnya pada dua tempat terpisah. Segmen
patahan ini tidak terhubung lagi dengan dinding dada. Dapat terjadi
lateral atau anterior (terpisah dari sternum) flail chest. Pada patah
tulang rusuk posterior, susunan otot-otot yang padat mencegah
terjadinya flail chest. Flail segmen bergerak paradoksal dengan sisa
dinding dada. Kekuatan yang mengakibatkan flail chest juga akan
mencederai paru, dan memar paruyang timbul akan memperberat
hipoksia. Pasien juga beresiko menderita hemothorax atau
pneumothorax. Flail segmen yang besar akan menimbulkan distress
nafas yang nyata. Nyeri pada cedera dinding dada memperberat
gangguan nafas yang nyata. Nyeri pada cedera dinding dada
memperberat gangguan pernafasan yang telah ada akibat gerakan
paradoksal dan memar paru. Palpasi dada akan teraba krepitasi
sebagai tambahan gerakan nafas abnormal.
 Penatalaksanaan flail chest
a. Pastikan jalan nafas terbuka
b. Beri oksigen
c. Bantu ventilasi bila perlu, harus diingat bahwa flail chest sering diikuti
pneumothorax
d. Monitor saturasi oksigen dengan pulse oksimeter
e. Segera rujuk ke rumah sakit yang tepat
f. Stabilisasi flail segmen dengan tekanan tangan, beri kain bersih lalu
plester. Tindakan ini tidak perlu terburu-buru dilakukan sebaiknya
menunggu sampai penderita stabil di atas backboard. Usahakan
menjaga stabilisasi pada segmen flail dengan tekanan manual selama
melakukan roll.
g. Hubungi tempat tujuan pelayanan medis
h. Pasang monitor jantung bila alat tersedia, karena trauma miokardium ini
juga sering menyertai cedera ini.

6). Tamponade Jantung


Keadaan ini sering terjadi pada trauma tajam.Selaput
pericardium merupakan membran yang tidak elastis yang mengelilingi
jantung. Bila terjadi penumpukan darah pada rongga pericardium,
ventrikel akan tertekan. Meskipun dalam jumlah sedikit , darah dalam
rongga pericardium akan mengganggu pengisian jantung. Pada saat
tekanan kompresi pada ventrikel meningkat, pengisian darah ke jantung
akan turun sehingga cardia output menurun. Trias klasik tamponade
jantung adalah hipotensi, distensi vena leher, suara jantung
terendam/menjauh/muffle (trias beck). Suara jantung menjauh mungkin
sulit dikenali dilapangan, namun bila anda mendengarkan suara jantung
saat survey primer adan akan memperhatikan perubahnnya kemudian.
Bila nadi korban pada saat inspirasi menghilang (pulsus paradoksus),
mungkin korban tersebut mengalami tamponade jantung. Diagnosis
banding utama adalah tension pneumothorax. Pada tamponade jantung
, pasien dalam keadaan syok dengan posisi trachea ditengah dan
bunyi/suara nafas di paru kiri-kanan sama keras kecuali bila tamponade
jantung disertai pneumothorax atau hemothorax.
 Penatalaksanaan tamponade jantung
a). Pastikan jalan terbuka dan beri oksigen
b). Tamponade jantung akan cepat berubah menjadi fatal dan tidak dapat
ditangani dilapangan , maka segera rujuk ke rumah sakit yang tepat.
c). Hubungi tempat tujuan pelayanan medis
d). Monitor saturasi oksigen dengan pulse oksimeter
e). Monitor jantung bila alat tersedia
7). Ruptur Aorta Traumatik
Merupakan penyebab kematian cepat tersering dari kecelakaan
kendaraan motor atau jatuh dari suatu ketinggian. 90 % penderita
meninggal dengan segera. Diagnosa dini dan pembedahan dapat
menyelamatkan nyawa. Robekan aorta torakalis biasanya akibat dari
cedera deselerasi dengan jantung dan arcus aorta yang tiba-tiba
bergerak ke anterior (benturan ke 3), merobek aorta yang sebelumnya
berikatan ligamentum arteriosum . Pada 10% kasus tidak langsung
tampak perdarahan yang nyata, robekan aorta ini tertutup jaringan
sekitarnya dan lapisan adventitia. Tetapi ini hanya sementara dan tetap
akan rupture dalam beberapa jam bila tidak dilakukan pembedahan.
Diagnosa ruptur aorta traumatic sulit ditegakkan dilapangan ,
bahkan di rumah sakit juga sering terlewatkan. Riwayat/mekanisme
kecelakaan merupakan hal yang sangat penting,karena pada banyak
penderita tidak dijumpai tanda-tanda trauma thorax yang nyata.
Informasi seberapa parah mobil, kerusakan kemudi dengan cedera
deseleerasi atau ketinggian berapa penderita jatuh sangat penting.
Pada keadaan yang sangat jarang , mungkin didapatkan hipertensi
anggota gerak atas dan pulsasi yang berkurang pada tungkai bawah.
 Penatalaksanaan
a). Pastikan jalan nafas terbuka
b). Beri Oksigen
c). Segera rujuk ke rumah sakit yang tepat
d). Hubungi tempat tujuan pelayanan medis
e). Monitor saturasi oksigen dengan pulse oximeter
f). Monitor jantung bila tersedia

F. Pengertian Avidence Based Practice


EBP merupakan suatu pendekatan pemecahan masalah untuk
pengambilan keputusan dalam organisasi pelayanan kesehatan yang
terintegrasi di dalamnya adalah ilmu pengetahuan atau teori yang ada
dengan pengalaman dan bukti-bukti nyata yang baik (pasien dan
praktisi). EBP dapat dipengaruh oleh faktor internal dan external serta
memaksa untuk berpikir kritis dalam penerapan pelayanan secara
bijaksana terhadadap pelayanan pasien individu, kelompok atau system
(newhouse, dearholt, poe, pough, & white, 2005).

Clinical Based Evidence atau Evidence Based Practice (EBP)


adalah tindakan yang teliti dan bertanggung jawab dengan
menggunakan bukti (berbasis bukti) yang berhubungan dengan
keahlian klinis dan nilai-nilai pasien untuk menuntun pengambilan
keputusan dalam proses perawatan (Titler, 2008). EBP merupakan
salah satu perkembangan yang penting pada dekade ini untuk
membantu sebuah profesi, termasuk kedokteran, keperawatan, sosial,
psikologi, public health, konseling dan profesi kesehatan dan sosial
lainnya (Briggs & Rzepnicki, 2004; Brownson et al., 2002; Sackett et al.,
2000).

EBP menyebabkan terjadinya perubahan besar pada literatur,


merupakan proses yang panjang dan merupakan aplikasi berdasarkan
fakta terbaik untuk pengembangan dan peningkatan pada praktek
lapangan. Pencetus dalam penggunaan fakta menjadi pedoman
pelaksanaan praktek dalam memutuskan untuk mengintegrasikan
keahlian klinikal individu dengan fakta yang terbaik berdasarkan
penelitian sistematik.

Beberapa ahli telah mendefinisikan EBP dalam keperawatan sebagai :

1. Penggabungan bukti yang diperoleh dari hasil penelitian dan


praktek klinis ditambah dengan pilihan dari pasien ke dalam
keputusan klinis (Mulhall, 1998).
2. Penggunaan teori dan informasi yang diperoleh berdasarkan hasil
penelitian secara teliti, jelas dan bijaksana dalam pembuatan
keputusan tentang pemberian asuhan keperawatan pada individu
atau sekelompok pasien dan dengan mempertimbangkan
kebutuhan dan pilihan dari pasien tersebut (Ingersoll G, 2000).
B. Tingkatan dan Hierarki dalam penerapan EBP
Tingkatan evidence disebut juga dengan hierarchy evidence
yang digunakan untuk mengukur kekuatan suatu evidence dari rentang
bukti terbaik sampaidengan bukti yang paling rendah. Tingkatan
evidence ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam EBP.
Hirarki untuk tingkatan evidence yang ditetapkan oleh Badan
Kesehatan Penelitian dan Kualitas (AHRQ), sering digunakan dalam
keperawatan (Titler, 2010). Adapun level of evidence tersebut adalah
sebagai berikut :
Hierarki dalam penelitian ilmiah terdapat hieraraki dari tingkat
kepercayaannya yang paling rendah hingga yang paling tingi. Dibawah
ini mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi :

 Laporan fenomena atau kejadian-kejadian yang kita temuai


sehari-hari
 Studi kasus
 Studi lapangan atau laporan deskriptif
 Studi percobaan tanpa penggunaan tekhnik pengambilan
sampel secara acak (random)
 Studi percobaan yang menggunakan setidaknya ada satu
kelompok pembanding, dan menggunakan sampel secara acak
 Systemic reviews untuk kelompok bijak bestari atau meta-
analisa yaitu pengkajian berbagai penelitian yang ada dengan
tingkat kepercayaan yang tinggi.
C. Evidence Based Practice dengan Decision Making
Melnyk & Fineout-Overholt (2011), menggambarkan keterkaitan
antara evidence based practice dengan proses decision making yang
digambarkan dalam kerangka sebagai berikut :
Pengambilan keputusan untuk melakukan perubahan
berdasarkan bukti-bukti nyata atau EBP di pengaruhi oleh tiga factor
yaitu, hasil penelitian atau riset termasuk teori-teori pendukung,
pengalaman yang bersifat klinis, serta feedback atau sumber-sumber
dari pengalaman yang dialami oleh pasien.

D. Model Implmentasi Evidence Based Practice


1) Model Settler
Merupakan seperangkat perlengkapan/media penelitian untuk
meningkatkan penerapan Evidence based. 5 langkah dalam Model
Settler:

Fase 1 : Persiapan

Fase 2 : Validasi

Fase 3 : Perbandingan evaluasi dan pengambilan keputusan

Fase 4 : Translasi dan aplikasi

Fase 5 : Evaluasi

2) Model IOWA Model of Evidence Based Practice to Promote Quality


Care
Model EBP IOWA dikembangkan oleh Marita G. Titler, PhD,
RN, FAAN, Model IOWA diawali dari pemicu/masalah. Pemicu/masalah
ini sebagai focus ataupun focus masalah. Jika masalah mengenai
prioritas dari suatu organisasi, tim segera dibentuk. Tim terdiri dari
stakeholders, klinisian, staf perawat, dan tenaga kesehatan lain yang
dirasakan penting untuk dilibatkan dalam EBP. Langkah selanjutkan
adalah mensistesis EBP. Perubahan terjadi dan dilakukan jika terdapat
cukup bukti yang mendukung untuk terjadinya perubahan . kemudian
dilakukan evaluasi dan diikuti dengan diseminasi (Jones & Bartlett,
2004; Bernadette Mazurek Melnyk, 2011).

3) Model konseptual Rosswurm & Larrabee


Model ini disebut juga dengan model Evidence Based Practice
Change yang terdiri dari 6 langkah yaitu :

Tahap 1 :mengkaji kebutuhan untuk perubahan praktis

Tahap 2 : tentukkan evidence terbaik

Tahap 3 : kritikal analisis evidence

Tahap 4 : design perubahan dalam praktek

Tahap 5 : implementasi dan evaluasi perunbahan

Tahap 6 : integrasikan dan maintain perubahan dalam praktek

Model ini menjelaskan bahwa penerapan Evidence Based


Nursing ke lahan paktek harus memperhatikan latar belakang teori
yang ada, kevalidan dan kereliabilitasan metode yang digunakan, serta
penggunaan nomenklatur yang standar.

D. Pengkajian dan Alat dalam EBP


Terdapat beberapa kemampuan dasar yang harus dimiliki
tenaga kesehatan professional untuk dapat menerapkan praktek klinis
berbasis bukti, yaitu :

1) Mengindentifikasi gap/kesenjangan antara teori dan praktek


2) Memformulasikan pertanyaan klinis yang relevan,
3) Melakukan pencarian literature yang efisien,
4) Mengaplikasikan peran dari bukti, termasuk tingkatan/hierarki dari
bukti tersebut untuk menentukan tingkat validitasnya
5) Mengaplikasikan temuan literature pada masalah pasien, dan
6) Mengerti dan memahami keterkaitan antara nilai dan budaya
pasien dapat mempengaruhi keseimbangan antara potensial
keuntungan dan kerugian dari pilihan manajemen/terapi (Jette et
al., 2003).
E. Langkah-langkah dalam EBP
1) Langkah 1: Kembangkan semangat penelitian. Sebelum
memulai dalam tahapan yang sebenarnya didalam EBP, harus
ditumbuhkan semangat dalam penelitian sehingga klinikan akan
lebih nyaman dan tertarik mengenai pertanyaan-pertanyaan
berkaitan dengan perawatan pasien
2) Langkah 2: Ajukan pertanyaan klinis dalam format PICOT.
Pertanyaan klinis dalam format PICOT untuk menghasilkan
evidence yang lebih baik dan relevan.
a) Populasi pasien (P),
b) Intervensi (I),
c) Perbandingan intervensi atau kelompok (C),
d) Hasil / Outcome (O), dan
e) Waktu / Time (T).
Format PICOT menyediakan kerangka kerja yang efisien untuk
mencari database elektronik, yang dirancang untuk mengambil hanya
artikel-artikel yang relevan dengan pertanyaan klinis. Menggunakan
skenario kasus pada waktu respon cepat sebagai contoh, cara untuk
membingkai pertanyaan tentang apakah penggunaan waktu tersebut
akan menghasilkan hasil yang positif akan menjadi: "Di rumah sakit
perawatan akut (populasi pasien), bagaimana memiliki time respon
cepat (intervensi) dibandingkan dengan tidak memiliki time respon
cepat (perbandingan) mempengaruhi jumlah serangan jantung (hasil)
selama periode tiga bulan (waktu)? "

3) Langkah 3: Cari bukti terbaik. Mencari bukti untuk


menginformasikan praktek klinis adalah sangat efisien ketika
pertanyaan diminta dalam format PICOT. Jika perawat dalam
skenario respon cepat itu hanya mengetik "Apa dampak dari
memiliki time respon cepat?" ke dalam kolom pencarian dari
database, hasilnya akan menjadi ratusan abstrak, sebagian besar
dari mereka tidak relevan. Menggunakan format PICOT membantu
untuk mengidentifikasi kata kunci atau frase yang ketika masuk
berturut-turut dan kemudian digabungkan, memperlancar lokasi
artikel yang relevan dalam database penelitian besar seperti
MEDLINE atau CINAHL. Untuk pertanyaan PICOT pada time
respon cepat, frase kunci pertama untuk dimasukkan ke dalam
database akan perawatan akut, subjek umum yang kemungkinan
besar akan mengakibatkan ribuan kutipan dan abstrak. Istilah
kedua akan dicari akan rapid respon time, diikuti oleh serangan
jantung dan istilah yang tersisa dalam pertanyaan PICOT. Langkah
terakhir dari pencarian adalah untuk menggabungkan hasil
pencarian untuk setiap istilah. Metode ini mempersempit hasil
untuk artikel yang berkaitan dengan pertanyaan klinis, sering
mengakibatkan kurang dari 20. Hal ini juga membantu untuk
menetapkan batas akhir pencarian, seperti "subyek manusia" atau
"English," untuk menghilangkan studi hewan atau artikel di luar
negeri bahasa.

4) Langkah 4: Kritis menilai bukti. Setelah artikel yang dipilih untuk


review, mereka harus cepat dinilai untuk menentukan yang paling
relevan, valid, terpercaya, dan berlaku untuk pertanyaan klinis.
Studi-studi ini adalah "studi kiper." Salah satu alasan perawat
khawatir bahwa mereka tidak punya waktu untuk menerapkan EBP
adalah bahwa banyak telah diajarkan proses mengkritisi
melelahkan, termasuk penggunaan berbagai pertanyaan yang
dirancang untuk mengungkapkan setiap elemen dari sebuah
penelitian. Penilaian kritis yang cepat menggunakan tiga
pertanyaan penting untuk mengevaluasi sebuah studi :
a. Apakah hasil penelitian valid? Ini pertanyaan validitas studi
berpusat pada apakah metode penelitian yang cukup ketat
untuk membuat temuan sedekat mungkin dengan kebenaran.
Sebagai contoh, apakah para peneliti secara acak menetapkan
mata pelajaran untuk pengobatan atau kelompok kontrol dan
memastikan bahwa mereka merupakan kunci karakteristik
sebelum perawatan? Apakah instrumen yang valid dan reliabel
digunakan untuk mengukur hasil kunci?
b. Apakah hasilnya bisa dikonfirmasi? Untuk studi intervensi,
pertanyaan ini keandalan studi membahas apakah intervensi
bekerja, dampaknya pada hasil, dan kemungkinan memperoleh
hasil yang sama dalam pengaturan praktek dokter sendiri.
Untuk studi kualitatif, ini meliputi penilaian apakah pendekatan
penelitian sesuai dengan tujuan penelitian, bersama dengan
mengevaluasi aspek-aspek lain dari penelitian ini seperti
apakah hasilnya bisa dikonfirmasi.
c. Akankah hasil membantu saya merawat pasien saya? Ini
pertanyaan penelitian penerapan mencakup pertimbangan
klinis seperti apakah subyek dalam penelitian ini mirip dengan
pasien sendiri, apakah manfaat lebih besar daripada risiko,
kelayakan dan efektivitas biaya, dan nilai-nilai dan preferensi
pasien. Setelah menilai studi masing-masing, langkah
berikutnya adalah untuk mensintesis studi untuk menentukan
apakah mereka datang ke kesimpulan yang sama, sehingga
mendukung keputusan EBP atau perubahan.

5) Langkah 5: Mengintegrasikan bukti dengan keahlian klinis dan


preferensi pasien dan nilai-nilai. Bukti penelitian saja tidak cukup
untuk membenarkan perubahan dalam praktek. Keahlian klinis,
berdasarkan penilaian pasien, data laboratorium, dan data dari
program manajemen hasil, serta preferensi dan nilai-nilai pasien
adalah komponen penting dari EBP. Tidak ada formula ajaib untuk
bagaimana untuk menimbang masing-masing elemen;
pelaksanaan EBP sangat dipengaruhi oleh variabel kelembagaan
dan klinis. Misalnya, ada tubuh yang kuat dari bukti yang
menunjukkan penurunan kejadian depresi pada pasien luka bakar
jika mereka menerima delapan sesi terapi kognitif-perilaku
sebelum dikeluarkan dari rumah sakit. Anda ingin pasien Anda
memiliki terapi ini dan begitu mereka. Tapi keterbatasan anggaran
di rumah sakit Anda mencegah mempekerjakan terapis untuk
menawarkan pengobatan. Defisit sumber daya ini menghambat
pelaksanaan EBP.
6) Langkah 6: Evaluasi hasil keputusan praktek atau perubahan
berdasarkan bukti. Setelah menerapkan EBP, penting untuk
memantau dan mengevaluasi setiap perubahan hasil sehingga
efek positif dapat didukung dan yang negatif diperbaiki. Hanya
karena intervensi efektif dalam uji ketat dikendalikan tidak berarti ia
akan bekerja dengan cara yang sama dalam pengaturan klinis.
Pemantauan efek perubahan EBP pada kualitas perawatan
kesehatan dan hasil dapat membantu dokter melihat kekurangan
dalam pelaksanaan dan mengidentifikasi lebih tepat pasien mana
yang paling mungkin untuk mendapatkan keuntungan. Ketika hasil
berbeda dari yang dilaporkan dalam literatur penelitian,
pemantauan dapat membantu menentukan.
7) Langkah 7: Menyebarluaskan hasil EBP. Perawat dapat
mencapai hasil yang indah bagi pasien mereka melalui EBP, tetapi
mereka sering gagal untuk berbagi pengalaman dengan rekan-
rekan dan organisasi perawatan kesehatan mereka sendiri atau
lainnya. Hal ini menyebabkan perlu duplikasi usaha, dan
melanggengkan pendekatan klinis yang tidak berdasarkan bukti-
bukti. Di antara cara untuk menyebarkan inisiatif sukses adalah
putaran EBP di institusi Anda, presentasi di konferensi lokal,
regional, dan nasional, dan laporan dalam jurnal peer-review, news
letter profesional, dan publikasi untuk khalayak umum.

F. Pelaksanaan EBP Pada Keperawatan


1) Mengakui status atau arah praktek dan yakin bahwa pemberian
perawatan berdasarkan fakta terbaik akan meningkatkan hasil
perawatan klien.
2) Implementasi hanya akan sukses bila perawat menggunakan dan
mendukung “pemberian perawatan berdasarkan fakta”.
3) Evaluasi penampilan klinik senantiasa dilakukan perawat dalam
penggunaan EBP.
4) Praktek berdasarkan fakta berperan penting dalam perawatan
kesehatan.
5) Praktek berdasarkan hasil temuan riset akan meningkatkan
kualitas praktek, penggunaan biaya yang efektif pada pelayanan
kesehatan.
6) Penggunaan EBP meningkatkan profesionalisme dan diikuti
dengan evaluasi yang berkelanjutan.
7) Perawat membutuhkan peran dari fakta untuk meningkatkan
intuisi, observasi pada klien dan bagaimana respon terhadap
intervensi yang diberikan. Dalam tindakan diharapkan perawat
memperhatikan etnik, sex, usia, kultur dan status kesehatan.

G. Hambatan Pelaksanaan EBP Pada Keperawatan


1) Berkaitan dengan penggunaan waktu.
2) Akses terhadap jurnal dan artikel.
3) Keterampilan untuk mencari.
4) Keterampilan dalam melakukan kritik riset.
5) Kurang paham atau kurang mengerti.
6) Kurangnya kemampuan penguasaan bahasa untuk penggunaan
hasil-hasil riset.
7) Salah pengertian tentang proses.
8) Kualitas dari fakta yang ditemukan.
9) Pentingnya pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana untuk
menggunakan literatur hasil penemuan untuk intervensi praktek
yang terbaik untuk diterapkan pada klien.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Trend adalah hak yanag sangat mendaar dalam berbagai
pendekatan analisa, trend juga dapat didefenisikan salah satu
gambaran ataupun informasi yang terjadi pada saat ini yang
biasanya sedang populer dimasyarakat.
Isu adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dapat diperkirakan
terjadi terjadi atau tidak terjadi pada masa mendatang. Isu adalah
sesuatu yang sedang dibicarakan oleh banyak orang namun masih
belum jelas faktanya atau buktinya.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihuni oleh
penduduk dengan berbagai agama/kepercayaan dan adat istiadat.
Setiap penduduk yang menjadi warga negara Indonesia harus
beragama/berkeyakinan. Ini sesuai dengan sila pertama Pancasila :
Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana di Indonesia menjadikan
aspek ketuhanan sebagai dasar paling utama. Setiap warga negara
diberi kebebasan untuk memilih kepercayaan yang dianutnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Andrew H. Travers, Thomas D. Rea, Bentley J. Bobrow, Dana P.


Edelson, Robert A.Berg, Michael R. Sayre, Marc D. Berg, Leon
Chameides, Robert E. O'Connor and Robert A. Swor. 2010. CPR
Overview. American Heart Association. Volume 4
2. David Markenson, Jeffrey D. Ferguson, Leon Chameides, Pascal
Cassan, Kin-Lai, Chung, Jonathan Epstein, Louis Gonzales, Rita
Ann Herrington, Jeffrey L. Pellegrino, Norda Ratcliff and Adam
Singer. 2010. First Aid. American Heart Association. Volume 17
http://noviayani94.blogspot.co.id/2015/09/trend-issue-keperawatan-
kritis.html

Anda mungkin juga menyukai