TUGAS KELOMPOK
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN MARITIM
“IMMERSION SYNDROM”
Oleh
KELOMPOK VI
1. RAMLA SARI NIM S.0020.P2.122
2. RAHMI JAYA ABADI NIM S.0020.P2.120
3. RESKI IKA PATANTAN NIM S.0020.P2.120
4. RALDI RAUF NIM S.0020.P2.121
5. NOPATIANUS NIM S.0020.P2.115
6. NURBAYA NIM S.0020.P2.118
7. NURMAWATI SINDA NIM S.0020.P2.119
Drowning atau disebut juga tenggelam adalah suatu proses yang mengakibatkan gangguan
respirasi karena cairan (van beck et al, 2005). Hasil akhir dari kejadian tenggelam adalah
korban dinyatakan selamat atau meninggal. Penyebab kematian akibat tenggelam diantaranya
adalah kematian otak karena hipoksia atau iskemia otak darah, ARDS, kegagalan multi
organ, sindrom sepsis karena pneumonia aspirasi (Santoso, 2010).
Berdasarkan data Badan Penangulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pesisir Barat,
jumlah korban tenggelam diperairan pantai dan aliran sungai di daerah pesisir sejak 2012 lalu
hingga 2014, tahun 2012 silam korban tenggelam di pantai mencapai 13 orang, di tahun 2013
mencapai 12 orang, tiga diantaranya tenggelam di aliran sungai dan di hingga Desember
tahun 2014 telah tercatat enam orang, dua tenggelam di aliran sungai empat orang tenggelam
dilaut, satu diantaranya hingga kini tidak ditemukan (Radar Lampung, 2014). Selain itu di
Jawa Timur juga banyak kejadian kapal yang tenggelam atau perahu nelayan yang dihantam
ombak sehingga memakan korban yang jumlahnya tidak sedikit, seperti di Situbondo dalam
satu kali perahu tenggelam saja korbannya berjumlah 21 orang (Detik, 2014). Berdasarkan
gambaran data dari BPBD Lampung jumlah orang yang tenggelam masih tergolong tinggi
walaupun secara matematis data tiap tahun menurun, Indonesia adalah negara maritim yang
wilayahnya didominasi daerah berair, jika dalam satu daerah saja terdapat 13 orang yang
meninggal karena tenggelam, maka secara matematis korban tenggelam yang terhidung dari
sabang sampai merauke sudah tentu banyak sekali.
Mekanisme tenggelam dapat digolongkan menjadi dua, yaitu dengan aspirasi cairan dan
tanpa aspirasi cairan. Mekanisme kematian aspirasi cairan adalah asfiksia. Proses tenggelam
ketika jalan nafas seseorang berada di bawah permukaan cairan, secara sadar individu akan
menahan nafasnya kemudian diikuti oleh laryngospasme involunter karena cairan yang ada di
orofaring atau laring, selama periode ini individu tidak dapat menghirup udara sehingga
mengalami kekurang oksigen dan penumpukan karbondioksida. Perubahan terjadi di paru,
cairan tubuh, tekanan gas darah, keseimbangan asam basah, dan konsentrasi elektrolit yang
bergantung pada komposisi, volume cairan yang teraspirasi, dan durasi tenggelam (Santoso,
2010).
Oleh sebab itu, Penanganan dini sangat diperlukan karena drowning dapat menyebabkan paru
seseorang terendam cairan, yang dapat menyebabkan kondisi yang dapat mengancam jiwa,
seperti pneumonia aspirasi dan asfiksia. Peran perawat di sini juga sangat diperlukan
mengingat kebutuhan oksigenasi adalah kebutuhan dasar manusia. Pasien dengan drowning
mengalami kesulitan bernafas, sehingga hal ini juga dapat menganggu kenyamanan dan
nyawa pasien, maka dari itu asuhan keperawatan yang tepat dan cepat kepada klien dengan
sufokasi sangat diperlukan.
1.2 Tujuan
Tujuan Khusus
1.3 Manfaat
1. Mengetahui definisi etiologi, pato
fisiologi, dan manifestasi klinis, penatalaksanaan, diagnostik penunjang, dan asuhan
keperawatan terhadap pasien dengan drowning sehingga pengembangan ilmu
keperawatan khususnya keperawatan kritis dapat tercapai.
2. Sebagai perawat mampu
melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan drowning
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tenggelam adalah suatu bentuk sufokasi berupa korban terbenam dalam cairan dan cairan
tersbut terhisap masuk ke jalan nafas sampai alveoli paru-paru. Pada umumnya tenggelam
merupakan kasus kecelakaan, baik secara langsung maupun karena ada faktor-faktor lain
seperti korban dalam keadaan mabuk atau dibawah pengaruh obat, atau bisa saja dikarenakan
akibat dari suatu peristiwa pembunuhan (Wilianto, 2012). Hampir tenggelam (near
drowning) adalah keadaan gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam tetapi tidak terjadi
kematian (Onyekwelu, 2008).
Near drowning didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang masih bertahan hidup setelah
mengalami sufokasi (kekurangan napas) akibat tenggelam dalam air atau cairan lain.
Sedangkan drowning sendiri didefinisikan sebagai kematian sekunder karena asfiksia (sesak
nafas) saat tenggelam dalam cairan, biasanya air, dalam 24 jam setelah kejadian (Banerjee
dalam Rauuf (2008))
Drowning (tenggelam) adalah masuknya cairan ke dalam saluran napas yang mengakibatkan
gangguan pertukaran udara di alveoli dan dapat terjadi mati lemas (Arif Mansjoer, 2000)
Menurut WHO (2015), tenggelam merupakan gangguan sistem pernafasan akibat terendam
dalam media yang cair. Konsensus terbaru menyatakan definisi terbaru dari tenggelam harus
mencakup kasus fatal dan non fatal. Dampak tenggelam dapat berupa kematian, morbiditas,
dan non morbiditas. Ada juga konsensus yang menyatakan bahwa istilah basah, kering, aktif,
pasif, diam, dan menengah seharusnya tidak digunakan lagi.
Drowning atau tenggelam adalah proses masuknya cairan ke dalam saluran nafas atau paru-
paru yang menyebabkan gangguan pernafasan sampai kematian. Definisi tenggelam mengacu
pada ‘adanya cairan yang masuk hingga menutupi lubang hidung dan mulut’, sehingga tidak
terbatas pada kasus tenggelam di kolam renang, atau perairan seperti sungai, laut, dan danau
saja, tetapi juga pada kondisi terbenamnya tubuh dalam selokan atau kubangan dimana
bagian wajah berada di bawah permukaan air (Putra, 2014).
2.2 Klasifikasi
Typical Drowning
Kondisi ketika cairan masuk ke dalam saluran pernapasan saat korban tenggelam.
Atypical Drowning
Dry Drowning
Cairan yang masuk ke dalam saluran pernapasan hanya sedikit bahkan tidak ada.
Immersion Syndrom
Terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke dalam air dingin (suhu < 20°C),
menyebabkan terpicunya reflex vagal sehingga mengakibatkan apneu, bradikardia, dan
vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan mengarah ke terhentinya aliran darah koroner
dan sirkulasi serebaral.
Sering terjadi pada korban yang menderita epilepsy atau penyakit jantung khususnya
coronary atheroma, hipertensi atau peminum yang mengalami trauma kepala saat masuk ke
air.
Delayed Dead
Kondisi ketika seorang korban masih hidup setelah lebih dari 24 jam setelah diselamatkan
dari suatu episode tenggelam.
Penderita meneguk air dalam jumlah yang banyak hingga air masuk ke dalam saluran
pernapasan. Bagian apiglotis akan mengalami spasme yang mengakibatkan saluran nafas
menjadi tertutup dan hanya dapat dilalui oleh udara yang sangat sedikit.
Hampir Tenggelam (Near Drowning)
2.3 Etiologi
Terdapat beberapa penyebab tenggelam antara lain (Levin dalam Arovah, 2009) :
2.4 Patofisiologi
Hipoksia merupakan hal utama yang terjadi setelah seorang individu tenggelam. Keadaan
terhambatnya jalan nafas akibat tenggelam menyebabkan adanya gasping dan kemudian
aspirasi, dan diikuti dengan henti nafas (apnea) volunter dan laringospasme. Hipoksemia dan
asidosis yang persisten dapat menyebabkan korban beresiko terhadap henti jantung dan
kerusakan sistem syaraf pusat. Laringospasme menyebabkan keadaan paru yang kering,
namun karena asfiksia membuat relaksi otot polos, air dapat masuk ke dalam paru dan
menyebabkan edema paru.
Efek fisiologis aspirasi pun berbeda antara tenggelam di air tawar dan air laut. Pada
tenggelam di air tawar, plasma darah mengalami hipoktonik, sedangkan pada air laut adalah
hipertonik. Aspirasi air tawar akan cepat diabsorbsi dari alveoli sehingga menyebabkan
hipervolemia intravaskular, hipotonis, dilusi elektrolit serum, dan hemolisis intravaskular.
Aspirasi air laut menyebakan hipovolemia, hemokonsentrasi dan hipertonis.
Aspirasi air yang masuk kedalam paru dapat menyebabkan vagotonia, vasokontriksi paru,
dan hipertensi. Air segar dapat menembus membran alveolus dan menggangu stabilitas
alveolus dengan menghambat kerja surfaktan. Selain itu, air segar dan hipoksemi dapat
menyebabkan lisis eritrosit dan hiperkalemia. Sedangkan, air garam dapat menghilangkan
surfaktan, dan menghasilkan cairan eksudat yang kaya protein di alveolus, intertitial paru,
dan membran basal alveolar sehingga menjadi keras dan sulit mengembang. Air garam juga
dapat menyebabkan penurunan volume darah dan peningkatan konsentasi elektrolit serum.
Hipoksia merupakan salah satu akibat dari tenggelam, dan merupakan faktor yang penting
dalam menentukan kelangsungan hidup korban tenggelam. Karena itu, ventilasi, perfusi, dan
oksigenasi yang cepat dibutuhkan untuk meningkatkan tingkat survival korban.
Aspirasi paru terjadi pada sekitar 90% korban tenggelam dan 80 – 90% pada korban hamper
tenggelam. Jumlah dan komposisi aspirat dapat mempengaruhi perjalanan klinis penderita, isi
lambung, organism pathogen, bahan kimia toksisk dan bahan asing lain dapat memberi
cedera pada paru dan atau menimbulkan obstruksi jalan nafas.
Iskemia terjadi akibat tenggelam dapat mempengaruhi semua organ tetapi penyebab
kesakitan dan kematian terutama terjadi karena iskemi otak. Iskemi otak dapat berlanjut
akibat hipotensi, hipoksia, reperfusi dan peningkatan tekanan intra kranial akibat edema
serebral.Kesadaran korban yang tenggelam dapat mengalami penurunan. Biasanya penurunan
kesadaran terjadi 2 – 3 menit setelah apnoe dan hipoksia. Kerusakan otak irreversibel mulai
terjadi 4 – 10 menit setelah anoksia dan fungsi normotermik otak tidak akan kembali setelah
8 – 10 menit anoksia. Penderita yang tetap koma selama selang waktu tertentu tapi kemudian
bangun dalam
Fungsi ginjal penderita tenggelam yang telah mendapat resusitasi biasanya tidak
menunjukkan kelainan, tetapi dapat terjadi albuminuria, hemoglobonuria, oliguria dan anuria.
Kerusakan ginjal progresif akan mengakibatkan tubular nekrosis akut akibat terjadinya
hipoksia berat, asidosis laktat dan perubahan aliran darah ke ginjal.
5. Perubahan Cairan dan Elektrolit
Pada korban tenggelam tidak mengaspirasi sebagian besar cairan tetapi selalu menelan
banyak cairan. Air yang tertelan, aspirasi paru, cairan intravena yang diberikan selama
resusitasi dapat menimbulkan perubahan keadaan cairan dan elektrolit. Aspirasi air laut dapat
menimbulkan perubahan elektrolit dan perubahancairan karena tingginya kadar Na dan
Osmolaritasnya. Hipernatremia dan hipovolemia dapat terjadi setelah aspirasi air laut yang
banyak. Sedangkan aspirasi air tawar yang banyak dapat mengakibatkan hipervolemia dan
hipernatremia. Hiperkalemia dapat terjadi karena kerusakan jaringan akibat hipoksia yang
luas.
Tanda dan gejala yang sering muncul ialah tanda dan gejala sistem kardiorespiratori dan
neurologi. Distres respiratori awalnya tidak terlihat, hanya terlihat adanya perpanjangan nilai
RR tanpa hipoksemia. Pasien yang lebih parah biasanya menunjukkan tanda hipoksemia,
retraksi dinding dada, dan suara paru abnormal. Manifestasi neurologi yang muncul seperti
penurunan kesadaran, pasien mulai meracau, iskemik-hipoksia pada sistem saraf pusat
sehingga menunjukkan tanda peningkatan ICP (Elzouki, 2012).
Sedangkan menurut sumber lain, manifestasi drowning yang muncul antara lain:
1. Frekuensi pernafasan berkisar dari pernapasan yang cepat dan dangkal sampai apneu.
2. Syanosis
3. Peningkatan edema paru
4. Kolaps sirkulasi
5. Hipoksemia
6. Asidosis
7. Timbulnya hiperkapnia
8. Lunglai
9. Postur tubuh deserebrasi atau dekortikasi
10. Koma dengan cedera otak yang irreversible
Tanda dan gejala neardrowning berbeda-beda pada setiap individu tergantung pada durasi
dari tenggelamnya. Manifestasi klinis yang biasa muncul antara lain (Raoof, 2008):
Asimtomatik
Simtomatik
Pasien sadar namun gelisah dan sesak nafas.Insufisiensi pulmonar dapat berkembang cepat
bersamaan dengan takipnea, takikardia, batuk dengan sputum berwana pink serta berbusa,
dan sianosis.
1. Kulit tubuh mayat terasa basah, dingin, pucat dan pakaian basah
2. Lebam mayat biasanya sianotrik kecuali mai tenggelam di air dingin berwarna merah
muda
3. Kulit telapak tangan/telapak kaki mayat pucat (bleached) dan keriput (washer
woman’s hands/feet)
4. Kadang terdapat cutis anserine/goose skin pada lengan, paha dan bahu mayat
5. Terdapat buih putih halus pada hidung atau mulut mayat (scheumfilz froth) yang
bersifat melekat
6. Bila mayat dimiringkan, cairan akan keluar dari mulut/hidung
7. Bila terdapat cadaveric spasme maka kotoran air/bahan setempat berada dalam
genggaman tangan mayat
8. Paru-paru mayat membesar dan mengalami kongesti
9. Saluran napas mayat berisi buih, kadang berisi lumpur, pasir.
10. Lambung mayat berisi banyak cairan
11. Benda asing dalam saluran napas masuk sampai ke alveoli
12. Organ dalam mayat mengalami kongesti
Pasien dengan drowning harus melakukan X-ray dada dan monitoring saturasi
oksigen.Radiografi dada mungkin menunjukkan perubahan akut, seperti infiltrasi alveolar
bilateral.Selain itu, pemeriksaan sistem saraf pusat, EKG, dan analisis gas darah juga
diperlukan (Elzouki, 2012). Berikut pemeriksaan diagnostic lainnya yaitu:
1. Laboratorium
2. ABG + oksimetri, methemoglobinemia dan carboxyhemoglobinemia CBC
prothrombin time, partial thromboplastin time, fibrinogen, D-dimer, fibrin
3. Serum elektrolit, glukosa, laktat, factor koagulasi
4. Liver enzymes :
5. Aspartate aminotransferase dan alanine minotransferase,
6. Renal function tests (BUN, creatinine)
7. Drug screen and ethanol level
8. Continuous pulse oximetry and cardiorespiratory monitoring
9. Cardiac troponin I testing
10. Urinalisis
11. Imaging:
12. Foto thoraks : bukti aspirasi, edema pulmo, atelektasis, benda asing, evaluasi
penempatan endotrakea tube
13. CT scan kepala dan servikal bila curiga trauma
14. Extremity, abdominal, pelvic imaging bila ada indikasi
15. Echocardiography jika ada disfungsi miokard
16. EKG
17. Kateter swan-ganz untuk monitor cardiac output dan hemodinamik pada pasien dg
status CV tidak stabil atau pasien yang membutuhkan pengobatan inotropic multiple
dan vasoaktif
2.7 Penatalaksanaan
Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan, dengan fokus utama pada
perbaikan jalan nafas dan oksigenesasi buatan. Penilaian pernapasan dilakukan dengan tiga
langkah, yaitu
Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak bernafas dengan normal setelah
pembersihan jalan napas yaitu kompresi dada lalu pemberian napas buatan dengan rasio 30:2.
Terdapat tiga cara pemberian napas buatan, yaitu mouth to mouth, mouth to nose, mouth to
neck stoma.
Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah pemberian hapas buatan untuk
mengurangi hipoksemia. Melakuakn pernapasan buatan dari mulut ke hidung lebih
disarankan karena sulit untuk menutup hidung korban saat pemberian napas mulut ke mulut.
Pemberian napas buatan dianjurkan hingga 10-15 kali sekitasr 1 menit. Kompresi dada
diindikasikan pada korban yang tidak sadar dan tidak bernapas dengan normal, karena
kebanyakan korban tenggelam mengalami henti jantung akibat hipoksia.
Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian oksigen dengan tekanan lebih
tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM (Bag Valve Mask) atau tabung oksigen. Oksigen
yang diberikan memiliki saturasi 100%. Jika setelah pemberian oksigen ini keadaan korban
belum membaik maka dapat dilakukan intubasi trakeal. Dalam Raoof (2008),
penatalaksanaan pasien dengan neardrowning umumnya terbagi menjadi tiga fase, antara lain
perawatan prehospital, perawatan unit gawat darurat, penatalaksanaan rawat inap.
Pada fase ini, penatalaksanaan difokuskan pada Airway (A), Breathing (B), dan Circulation
(C).Pasien harus dipindahkan dari air secepatnya, namun menyelamatkan pernafasan dapat
dimulai walau korban masih berada di air.Cara memindahkan pasien harus benar dengan
meminimalkan gerakan pada leher pasien untuk menghindari terjadinya cedera medula
spinal.Ketika pasien telah berada di permukaan yang datar, segera dilakukan CPR ketika nadi
tidak teraba.Akan tetapi, nadi mungkin lemah dan sulit teraba pada korban yang mengalami
hipotermia karena bradikardi dan atrial fibrilation (AF).Heimlich Maneuver tidak banyak
menguntungkan bila digunakan untuk mengeluarkan air yang tertelan, teknik ini seharusnya
hanya digunakan saat penyebab obstruksi jalan nafas adalah benda asing. Oksigen tambahan
(100%) dapat diberikan jika tersedia.Pasien yang mengalami apneu harus dilakukan intubasi
sesegera mungkin.
Ketika pasien sudah dipindah ke unit gawat darurat, harus dilakukan pengkajian ulang secara
hati-hati untuk mengetahui adanya tanda-tanda trauma seperti trauma spinal, trauma dada,
atau trauma abdomen.Pengkajian status neurologi termasuk reflek batang otak dan GCS
diperlukan untuk memastikan prognosis pasien. Pakaian yang basah harus dilepas, pasien
dengan hipotermia harus dihangatkan dengan menggunakan berbagai cara. Seperti selimut
hangat, bantalan pemanas, mandi air hangat, teknik forced warm air.Kadang-kadang
peritoneal lavage dan pleural lavage dengan larutan hangat juga digunakan.
Oksimetri nadi dan EKG digunakan untuk mendeteksi hipoksia dan aritmia jantung. Analisis
gas darah arteri, serum elektrolit, level etanol, pemeriksaan urin biasanya dilakukan. Cervical
spine imaging, radiografi dada, CT scan dilakukan jika dicurigai adanya trauma.Pasien yang
sudah terlihat membaik dapat dipulangkan setelah dilakukan monitoring selama 7 sampai 12
jam.Pasien dengan distres respiratori berat dan perubahan status mental diperlukan intubasi
dan ventilasi mekanik.
Perawatan rawat inap
Tujuan dari penatalaksanaan di rumah sakit ialah untuk mencegah cedera neurologi sekunder,
iskemia yang menetap, hipoksemia, edema serebral, asidosis, dan abnormalitas
elektrolit.Pasien dengan hipotermia diperlukan resusitasi sampai suhu mencapai 32 atau 35o
C. Pasien dengan hipotensi dilakukan resusitasi cairan dan diberikan obat inotropik bila perlu.
Radiografi dada biasanya menunjukkan gambaran normal sampai edema pulmonar yang
menyebar. Pneumonia pada pasien diobati dengan antibiotik spektrum luas.
2.8 Komplikasi
Menurut Flags (2008) dan Szpilman (2012), setelah kejadian near-drowning, seorang pasien
beresiko terjadinya komplikasi seperti:
1. Neurologic injury
2. Pulmonary edema and ARDS
3. Secondary pulmonary infection
4. Multiple organ system failure
5. Acute tubular necrosis (secondary to hypoxemia)
6. Myoglobinuria
7. Hemoglobinuria
2.9 Prognosis
Prognosis pasien dengan neardrowning dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain (Raoof,
2008):
1. Pasien yang sadar atau sadar secara ringan pada presentasi mempunyai kesempatan
yang baik untuk bisa pulih sempurna.
2. Pasien yang komatose, mereka yang mendapatkan CPR di ED, atau mereka yang telah
jelas dan dilatasi pupil dan tidak adany respirasi spontan mempunyai prognosis yang
buruk. Dalam beberapa studi, 35-60% individu yang membutuhkan CPR terus
menerus dalam perjalanan menuju ED meninggal, dan 60-100% yang selamat dalam
kelompok ini mengalami sekuele neurologis jangka panjang. Studi Pediatric
mengindikasikan bahwa anak-anak yang membutuhkan penanganan spesialisasi
karena tenggelam di pediatric intensive care unit (PICU) sedikitnya mempunyai angka
mortalitas 30%dan penambahan 10-30% mengalami kerusakan otak yang berat.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN UMUM
3.1 Pengkajian
1. Airway : Kaji adanya sumbatan jalan nafas akibat paru-paru yang terisi cairan
2. Breathing : Periksa adanya peningkatan frekuensi nafas, nafas dangkal dan cepat, klien
sulit bernafas
Pengkajian Fisik
1. Keadaan Umum : Klien biasanya tampak lemah, pucat, sesak, dan kesulitan bernafas
2. B1-B6
B1 : Klien mengeluh sesak dan sulit bernafas, pernafasan cepat dan dangkal, RR
meningkat
B2 : Tekanan darah klien menurun, klien tampak pucat, sianosis dan nadi meningkat
(takikardi)
No Data Etiologi MK
Drowning
Hipoksemia
Penurunan fungsi tubuh
DS : pasien mengatakan
kesulitan untuk bernafas Air masuk ke paru Gangguan pertukaran
1
gas
DO : hipoksia
Peningkatan permeabilitas
membran kapiler alveoli
Hipoksia
Gangguan pertukaran gas
2 DS : – Drowning Penurunan curah
jantung
DO : penurunan TD, akral
dingin pucat, suhu tubuh Hipoksemia
menurun
Penurunan fungsi tubuh
ARDS
Edema paru
Hipoksia
Ventrikal iskemik
Penurunan curah jantung
Drowning
Air masuk paru
DS : pasien mengeluh susah
Surfaktan bercampur dengan
untuk bernafas Bersihan jalan nafas
3. air
tidak efektif
DO : nafas cepat dan dangkal
Menekan refleks batuk
Bersihan jalan nafas tidak
efektif
Drowning
Voluntary breath
Hipoksemia
DS : –
Penurunan fungsi tubuh Peubahan perfusi
4.
jaringan cerebral
DO : penurunan kesadaran
Involuntary breathing
Hipoksia
Perubahan perfusi jaringan
cerebral
Drowning
Cairan masuk dalam paru-
paru
DS : Klien mengeluh sesak
Ventilasi pulmonar inadekuat
5. DO : RR meningkat, nafas Pola nafas tidak efektif
cepat dan dangkal, penggunaan
Hipoksia
otot bantu pernafasan
Kompensasi tubuh untuk
mendapatkan oksigen
Pola nafas tidak efektif
Drowning
Hipoksia
DS : – Kadar oksigen dalam darah
menurun Ketidakefektifan perfusi
6.
DO : CRT > 2 detik, akral jaringan perifer
dingin dan pucat
Suplai darah ke jaringan
menurun
Ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan supresi reflek batuk
sekunder akibat aspirasi air ke dalam paru
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoksia akibat penurunan kadar oksigen
dalam tubuh
3. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan refraktori dan kebocoran
interstitial pulmonal / alveolar pada status cedera kapiler paru
4. Gangguan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan kurangnya suplai
oksigen
5. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan peningkatan kerja ventrikel
6. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai oksigen ke jaringan
tidak adekuat
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1×24 jam bersihan jalan
nafas efektif
Kriteria Hasil
Jalan nafas paten
Tidak terjadi aspirasi
Sekresi encer dan mudah dibersihkan
Intervensi Rasional
Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara
melewati batang tracheo branchial dan juga
Kaji status pernafasan klien
karena adanya cairan, mukus atau sumbatan
lain dari saluran nafas
Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala dan
Pemeliharaan jalan nafas dengan paten
gunakan jalan nafas tambahan bila perlu
Penggunaan otot-otot interkostal atau
Catat perubahan dalam bernafas dan pola
abdominal/leher dapat meningkatkan usaha
nafasnya
dalam bernafas
Auskultasi bagian dada anterior dan posterior Pengembangan dada dapat menjadi batas dari
untuk mengetahui adanya penurunan atau akumulasi cairan dan adanya cairan dapat
tidaknya ventilasi dan adanya bunyi tambahan meningkatkan fremitus
Meningkakan drainase sekret pari,
Berikan fisioterapi ada misalnya: postural
peningkatan efisiensi penggunaan otot-otot
drainase, perkusi dada/vibrasi jika ada indikasi
pernafasan
Mengurangi kekhawatiran pasien dengan
Jelaskan penggunaan peralatan pendukung
kondisinya
Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan
perubahan posisi dan lakukan suction bila ada predisposisi perkembangan atelektasis dan
indikasi infeksi paru
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoksia akibat penurunan kadar oksigen
dalam tubuh
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1×24 jam, pola nafas klien adekuat
dan efektif
Kriteria Hasil :
1. RR dalam batas normal 16-22x/menit
2. Nafas reguler
Intervensi Rasional
Pantau adanya pucat dan sianosis Pucat dan sianosis merupakan tanda hipoksia
Posisikan klien dengan posisi semi fowler Posisi untuk memperoleh ventilasi maksimum
Identifikasi perlunya dilakukan insersi jalan
Untuk membebaskan jalan nafas
nafas
Gunakan oral atau nasofaringeal air way
Untuk memberi jalan nafas pada klien
sesuai kebutuhan
3. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan refraktori dan kebocoran interstitial
pulmonal / alveolar pada status cedera kapiler paru
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1×24 jam tidak terjadi gangguan
pertukaran gas
Kriteria Hasil :
Oksigenasi adekuat
Saturasi oksigen dalam rentang normal
Intervensi Rasional
Kaji status pernafasan, catat peningkatan Takipneu adalah mekanisme kompensasi
respirasi atau perubahan pola nafas untuk hipoksemia dan peningkatan usaha nafas
Tanda sianosis dapat dinilai pada mulut, bibir
Kaji tanda distress pernafasan, peningkatan yang berindikasi adanya hipoksemua sistemik,
frekuensi jantung, agitasi, berkeringat, sianosis sianosis perifer seperti pada kuku dan
ekstremitas vasookontriksi
Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, Hipoksemia dapat ,enyebabkan iritabilitas dari
dan ketidakmampuan beristirahat miokardium
Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak
ditemukan. Crakles terjadi karena peningkatan
cairan di permukaan jaringan yang disebabkan
Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya
oleh peningkatan permeabilitas membran
bunyi nafas tambahan
alveoli kapiler. Wheezing terjadi karena
bronkokontriksi atau adanya mukus pada jalan
nafas
Berikan humidifier oksigen dengan masker Memaksimalkan pertukaran oksigen secara
CPAP jika ada indikasi terus menerus dengan tekanan yang sesuai
Berikan dan monitor terapi bronkodilator
Untuk kencegah ARDS
sesuai indikasi
Peningkatan ekspansi paru meningkatkan
Pertahankan ventilasi mekanis
oksigenasi
6. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai oksigen ke jaringan tidak
adekuat
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1×24 jam, gangguan perfusi
jaringan perifer dapat diatasi
Kriteria Hasil :
1. CRT < 2 detik
2. Akral kering, hangat dan merah
Intervensi Rasional
Kaji sirkulasi perifer : nadi perifer, CRT, Menunjukkan aliran perfusi mengalami
warna dan temperatur ekstremitas penurunan
Elevasi anggota badan 20 derajat atau lebih
Untuk meningkatkan venous return
tinggi dari jantung
Jaga keadekuatan hidrasi klien Untuk mencegah peningkatan viskositas darah
Mencegah terjadinya dehidrasi dan penurunan
Catat intake dan output, monitor status hidrasi
sirkulasi
BAB IV
4.1 Kesimpulan
Tenggelam adalah suatu bentuk sufokasi berupa korban terbenam dalam cairan dan cairan
tersbut terhisap masuk ke jalan nafas sampai alveoli paru-paru. Drowning atau tenggelam
adalah proses masuknya cairan ke dalam saluran nafas atau paru-paru yang menyebabkan
gangguan pernafasan sampai kematian. Drowning diklasifikasikan menjadi typical dan
atypical. Atypical diklasifikaikan lagi menjadi dry, immersion syndrome, submersion of the
unconscious, dan delayed dead. Berdasarkan kondisi kejadian dibedakan menjadi drowning
dan near drowning (hamper tenggelam). Drowning ini terjadi dikarenakan kemampuan fisik
yang terganggu akibat pengaruh obat, ketidakmampuan fisik akibat hipotermia, syok, cedera
atau kelelahan, dan ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenag. Keadaan
tergambatnya jalan nafas karena tenggelam menyebabkan gasping dan kemudian aspirasi
diikuti dengan henti nafas volunteer dan laringospasme, hipoksemia dan asidoseis yang
berakibat pada henti jantung dan kerusakan system syaraf pusat. Drowning menyebabkan
perubahan pada paru-paru, kardiovaskuler, susunan saraf pusat, ginjal, cairan dan elektrolit.
Manifestasi klinis yang ditunjukan adalah sianosis, peningkatan edema paru, kolaps sirkulasi,
hipoksemia, asidosis, hiperkapnes, lunglai, postur tubuh deserebrasi atau dekortikasi, koma
dengancedera otak yang irreversible. Penatalaksanaan meliputi bantuan hidup dasar dan
bantuan hidup lanjut.
4.2 Saran
Mengingat pentingnya penatalaksanaan yang cepat dan tepat terhadap pasien kritis, sebagai
calon Ners kita seharusnya banyak membaca literature. Untuk mendalami pengetahuan
tentang drowning banyak literature tersedia di kedokteran forensik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul M. I.1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta Bara : Binarupa Aksara
Dolinak, D., Matshes, E. & Lew, E. O., 2005. Forensic Pathology: Principles and Practice.
s.l.:Elsevier.
Levin, D. L. et al., 1993. Drowning and Near-Drowning. Pediatric clinics of North America,
Volume 2.
McCance, K. L., Huether, S. E., Brashers, V. L. & Rote, N. S., 2014. Pathophsysiology ,The
Biologic Basis for Disease in Adults and Children, Seventh Edition. Canada: Mosby.
Onyekwelu, E., 2008. Drowning and Near Drowning. Internal Journal of Health 8, Volume
2.
Putra, A. A. G. A., 2014. Kematian Akibat Tenggelam : Laporan Kasus, Denpasar: Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah .
Rastogi, P. & Rao, J., 2011. Accidental Mechanical Asphyxia At Work Site By Mud. J Punjab
Acad Forensic Med Toxicol, Volume 11, pp. 52-54.
Somantri, irman, 2007, Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
pernapasan, Salemba Medika, Jakarta
Santoso, Bhetaria, (2010). Perbedaan Kadar Magnesium Serum antara Tikus Putih (Rattus
Norvegicus) yang Mati Tenggelam di Air Tawar dengan di Air Laut, Skripsi, Surakarta,
Universitas Sebelas Maret
Sorrentino, S., 2010. Mosby’s Textbok for Long-Term Care Nursing Assistants. 6th penyunt.
s.l.:Mosby.
Tasmono, 2008. Distribusi Kasus Kematian Akibat Asfiksia di Malang Raya yang Diperiksa
di Instalasi Kedokteran Forensik RSSA Tahun 2006-2007. pp. 36-39.
Wilkinson & Ahern. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA,
Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC . Ed. 9. Jakarta: EGC
Wilianto, W., 2012. Pemeriksaan Diatom pada Korban Diduga Tenggelam. Jurnal
Kedokteran Forensik Indonesia, Volume 14, pp. 39-46.