Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

Mengiidentifikasi Resiko K3 di Ruang IGD

Dosen Pembimbing :
Ns. Nurhayati, S.Kep, M.KKK

Disusun Oleh :
Abdul Aziz ( 2720180019 )
Ayu Ningtyas ( 2720180028 )
Jihan Febriani ( 2720180029 )
Marissa Nuur Muhammad ( 2720180039 )
Nabila Arjuwani ( 2720180047 )
Randyka Julio ( 2720180087 )
Shafa’Afifah Tamimi ( 2720180051 )
Verika Indaryani ( 2720180021 )
Wanda Lestari ( 2720180025 )

PROGRAM STUDI NERS AKADEMIK


UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang mengiidentifikasi
Resiko K3 di Ruang IGD.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang mengiidentifikasi Resiko K3 di
Ruang IGD dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan terhadap pembaca.

Jakarta, 22 Desember 2019


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................

KATA PENGANTAR.....................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................
A. Latar Belakang.......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan Penulisan...................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................
A. Pengertia kesehatan dan keselamatan kerja..........................................
B. Bahaya yang dihadapi dalam rumah sakit atau instansi kesehatan.......
C. Keputusan menteri kesehatan nomor 1204/Menkes/SK/X/2004
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit...................
D. Manajemen keselamatan dan kesehatan............................................
E. Penegakan peraturan keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit
(K3RS) dan peran dinas kesehatan.......................................................
F. Contoh resiko k3 di IGD.......................................................................

BAB III PENUTUP......................................................................................... 


A. Kesimpulan................................................................................................. 
B. Saran............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan istilah yang sangat populer. Bahkan di
dalam dunia industri istilah tersebut lebih dikenal dengan singkatan K3 yang artinya
keselamatan, dan kesehatan kerja. Menurut Milyandra (2009) Istilah ‘keselamatan dan
kesehatan kerja’, dapat dipandang mempunyai dua sisi pengertian. Pengertian yang
pertama mengandung arti sebagai suatu pendekatan pendekatan ilmiah (scientific
approach) dan disisi lain mempunyai pengertian sebagai suatu terapan atau suatu program
yang mempunyai tujuan tertentu. Karena itu keselamatan dan kesehatan kerja dapat
digolongkan sebagai suatu ilmu terapan (applied science). Keselamatan dan Kesehatan
Kerja sebagai suatu program didasari pendekatan ilmiah dalam upaya mencegah atau
memperkecil terjadinya bahaya (hazard) dan risiko (risk) terjadinya penyakit dan
kecelakaan, maupun kerugian-kerugian lainya yang mungkin terjadi. Jadi dapat dikatakan
bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu pendekatan ilmiah dan praktis
dalam mengatasi potensi bahaya dan risiko kesehatan dan keselamatan yang mungkin
terjadi.( Rijanto, 2010 ).
Potensi bahaya pada petugas Rumah Sakit lebih besar risikonya bila dibandingkan
dengan tenaga kerja pada umumnya. Tenaga kerja Rumah Sakit lebih rentan terkena
risiko bahaya, kemungkinan keseleo, cidera, infeksi dan penyakit yang berasal dari
parasit, dermatitis, hepatitis dan lain-lain. Melihat perkembangan Rumah Sakit saat ini,
fasilitas pendukung medis pun semakin berkembang sehingga potensi bahaya dan
permasalahannya pun semakin kompleks sehingga perlu adanya proteksi bagi petugas
kesehatan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan saat melakukan aktivitas
pekerjaan. Potensi bahaya yang timbul di Rumah Sakit selain penyakit- penyakit infeksi
juga ada potensi bahaya lainnya yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi Rumah Sakit,
yaitu kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi
listrik dan sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia berbahaya, gas-gas
anestesi, gangguan psikososial, dan ergonomi
Instalasi gawat darurat (IGD) adalah bagian dari unit pelayanan yang paling vital
dalam membantu menyelamatkan nyawa pasien yang mengalami kegawatan medis ketika
pertama kali masuk rumah sakit. Karena penanganan gawat darurat harus mendapatkan
response time yang cepat dan tindakan yang tepat telah menyebabkan tenaga kesehatan di
bagian ini sering terpapar berbagai sumber bahaya yang dapat mengancam jiwa dan
kesehatannya (Depkes RI, 2006). Menurut Nurmansyah dkk (2014) permintaan jasa
pelayanan rumah sakit termasuk di IGD terus meningkat, hal ini disebabkan peningkatan
berbagai jenis penyakit infeksi, penyakit akut degeneratif, kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, bencana dan kejadian lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor resiko, hazard, penyakit / cidera akibat kerja ?
2. Apa saja upaya / penanggualangan dengan manajemen resiko / hirarki penegendalian
resiko ?
3. Apa saja manajemen keselamatan pasien ?
4. Apa yang dimaksud dengan kesehatan dan keselamatan kerja di IGD ?
5. Apa saja upaya kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui factor resiko, hazard,penyakit/cidera akibat kerja
2. Untuk mengetahui upaya/penanggulangan dengan manajemen resiko/hirarki
pengendalian resiko
3. Untuk mengetahui manajemen keselamatan pasien di ruang IGD.
4. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kesehatan dan keselamatan kerja dirumah
sakit
5. Untuk mengetahui upaya kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya
untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan,
sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi
pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara
menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat
luas.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas
kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika
kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari
beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai
faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta
keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko
kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam
penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah
mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan
kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan
lingkungan disekitarnya.
Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya. Dalam
bekerja Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor yang sangat penting
untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam
bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya. Salah satu komponen
yang dapat meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah tenaga kesehatan. Tenaga
kesehatan mempunyai kemampuan untuk menangani korban dalam kecelakaan kerja dan
dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menyadari pentingnya
keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Kesehatan, Pasal 23 dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai
risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling
sedikit 10 orang. Jika memperhatikan isi dari pasal di atas maka jelaslah bahwa Rumah
Sakit (RS) termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya
yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung
yang bekerja di RS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung RS. Sehingga sudah
seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upaya-upaya K3 di RS.
Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi bahaya-
bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan (peledakan,
kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber
cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan
psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas, jelas mengancam jiwa
dan kehidupan bagi para karyawan di RS, para pasien maupun para pengunjung yang ada
di lingkungan RS.

B. Bahaya Yang Dihadapi Dalam Rumah Sakit Atau Instansi Kesehatan


Dalam pekerjaan sehari-hari petugas keshatan selalu dihadapkan pada bahaya-bahaya
tertentu, misalnya bahaya infeksius, reagensia yang toksik , peralatan listrik maupun
peralatan kesehatan. Secara garis besar bahaya yang dihadapi dalam rumah sakit atau
instansi kesehatan dapat digolongkan dalam
Bahaya kebakaran dan ledakan dari zat/bahan yang mudah terbakar atau meledak
(obat– obatan).
1. Bahan beracun, korosif dan kaustik .
2. Bahaya radiasi .
3. Luka bakar .
4. Syok akibat aliran listrik .
5. Luka sayat akibat alat gelas yang pecah dan benda tajam .
6. Bahaya infeksi dari kuman, virus atau parasit.
Pada umumnya bahaya tersebut dapat dihindari dengan usaha-usaha pengamanan,
antara lain dengan penjelasan, peraturan serta penerapan disiplin kerja. Pada kesempatan
ini akan dikemukakan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit /
instansi kesehatan.

C. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 Tentang


Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
1. Bahaya Lingkungan Fisik
Hasil pengukuran mengenai lingkungan fisik (kelembaban, temperatur,
pencahayaan dan kebisingan) menunjukkan bahwa keempat komponen tersebut
melebihi ambang batas yang ditentukan sesuai dengan keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah
Sakit.
a. Tempratur
Usia bangunan dapat mencapai 50-100 tahun, karena itu penting sekali dipikirkan
mengenai pemakaian energi dalam tahap disain. Apabila kita salah dalam
mengambil keputusan dalam tahap disain, akibatnya harus ditanggung selama
gedung ini berdiri.
Misalnya kalau kita lebih banyak menggunakan AC, padahal bisa dihemat dengan
membuka jendela, lubang angin, tanaman, pelindung (awning), beranda. Selain
kerugian dalam bentuk materi (uang) juga merusak lingkungan dan menghabiskan
energi yang tidak perlu. Thermal comfort Zone, Moore (1999) adalah kombinasi
dari temperature udara, kelembaban, radiant temperature, arus udara, dan hal yang
berpengaruh di dalam comfort zone adalah temperatur udara dan kelembaban.
Menurut American Society for Heating, refrigerating and air conditioning
engineers (ASHRAE Standard 55-56). Thermal comfort-that conditioning of mind
which expresses satisfaction with the thermal environment. Comfort Zone tidak
absolut tetapi tergantung dari kultur, musim, kesehatan, lapisan lemak seseorang,
tebalnya baju pakaian, kegiatan fisik. Kalau banyak kegiatan fisik maka comfort
zone turun kearah bawah. Tata laksana penghawaan dan pengaturan suhu udara
menurut KEPMENKES RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit : 
1) Penghawaan atau ventilasi di UGD/IGD harus mendapat perhatian yang
khusus. Bila menggunakan sistem pendingin, hendaknya dipelihara dan
dioperasikan sesuai buku petunjuk. Sehingga dapat menghasilkan suhu, aliran
udara, dan kelembaban nyaman bagi pasien dan karyawan. Untuk rumah sakit
yang menggunakan pengatur udara sentral harus diperhatikan cooling
towernya agar tidak menjadi perindukan bakteri legionella dan untuk AHU
(Air Handling Unit) filter udara harus dibersihkan dari debu dan bakteri atau
jamur. 
2) Suplai udara dan Exhaust hendaknya digerakkan secara mekanis, dan exhaust
fan hendaknya diletakkan pada ujung sistem ventilasi. 
3) Ruangan dengan volume 100 m3sekurang-kurangnya 1 (satu) fan dengan
diameter 50 cm dengan debit udara 0,5 m3/detik, dan frekuensi pergantian
udara per jam adalah 2 (dua) sampai dengan 12 kali .
4) Pengambilan suplai udara dari luar, kecuali unit ruang individual, hendaknya
diletakkan sejauh mungkin, minimal 7,50 Meter dari exhauster atau
perlengkapan pembakaran 
5) Tinggi intake minimal 0,9 meter dari atap. 
6) Sistem hendaknya dibuat keseimbangan tekanan. 
7) Suplai udara untuk daerah sensitif : ruang operasi, perawatan bayi, diambil
dekat langit-langit dan exhaust dekat lantai, hendaknya disediakan 2 (dua)
buah exhaust fan dan diletakkan minimal 7,50 cm dari lantai. 
8) Suplai udara di atas lantai 
9) Suplai udara koridor atau buangan exhaust fan dari tiap ruang hendaknya
tidak digunakan sebagai suplai udara kecuali untuk suplai udara ke WC,
toilet, gudang. 
10) Ventilasi ruang-ruang sensitif hendaknya dilengkapi saringan 2 beds.
Saringan I pasang di bagian penerimaan udara dari luar dengan efisiensi 30%
dan saringan II (filter bakteri) dipasang 90%. Untuk mempelajari sistem
ventilasi sentral dalam gedung hendaknya mempelajari khusus central air
conditioning system. 
11) Penghawaan alamiah, lubang ventilasi diupayakan sisitem silang (cross
ventilation) dan dijaga agar aliran udara tidak terhalang. 
12) Penghawaan ruang operasi harus dijaga agar tekanannya lebih tinggi
dibandingkan ruang-ruang yang lain dan menggunakan cara mekanis (air
conditioner). 
13) Penghawaan mekanis dengan menggunakan exhaust fan atau air conditioner
dipasang pada ketinggian minimum 2,00 meter di atas lantai atau minimum
0,20 meter dari langit-langit. 
14) Untuk mengurangi kadar kuman dalam udara ruang (indoor) 1 (satu) kali
sebulan harus di disinfeksi dengan menggunakan electron presipitator
(resorcinol, trieylin glikol) atau disaring dengan electron presipitator atau
menggunakan penyinaran ultraviolet. 
15) Pemantauan kualitas udara ruang minimum 2 (dua) kali setahun dilakukan
pengambilan sampel dan pemeriksaan parameter kualitas udara (kuman,
debu, dan gas) 

b. Bunyi 
Bunyi mempunyai definisi: 
1) Secara fisis, bunyi adalah penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam
medium elastic seperti udara.Ini adalah bunyi objektif. 
2) Secara fisiologis, bunyi adalah sensasi pendengaran yang disebabkan
penyimpangan fisis yang digambarkan di atas. Ini adalah bunyi subjektif.
Menurut Doelle (1998) Bunyi dapat dihasilkan : Di udara (airborne sound),
misalnya suara manusia barcakap atau bernyanyi. 
3) Karena benturan/tumbukan (impact sound) atau bunyi struktur (structure
sound). 
4) Karena getaran mesin.
Pelayanan UGD/IGD juga dilatih untuk berbicara dengan sopan dan
menghargai orang lain, seperti tidak berbicara atau tertawa keras-keras. 
1) Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan
Ruang Gawat Darurat, pengelola bangunan Ruang Gawat Darurat harus
mempertimbangkan jenis kegiatan, penggunaan peralatan, dan sumber bising
lainnya baik yang berada padabangunan Ruang Gawat Daruratmaupun di luar
bangunan Ruang Gawat Darurat.
2) Penjelasan lebih lanjut mengenai tingkat kenyamanan terhadap kebisingan
pada bangunan rumah sakit dapat mengacu pada Keputusan Menteri
Kesehatan No. 1204/MENKES/SK/X/2004tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit.

c. Pencahayaan 
Pencahayaan menurut Simha (2001) bertujuan : 
1) Untuk mendukung aktivitas dan kegiatan lain pengguna bangunan. 
2) Untuk mendukung fungsi keamanan. 
3) Untuk menciptakan lingkungan yang sesuai dan menyenangkan Cahaya
sendiri dapat dibagi dua, yaitu cahaya alam (matahari) dan cahaya buatan
(lampu). Kenyamanan dari sebuah cahaya menurut Moore (1999) ditentukan
oleh : kondisi fisiologis mata, latar belakang objek, bentuk/wujud objek yang
dipandang, mengontrol silau tingkat kekuatan penyinaran.

Menurut KEPMENKES RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan


Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit bahwa tatalaksana pencahayaan adalah
sebagai berikut :
1) Lingkungan rumah sakit baik dalam maupun luar ruangan harus mendapat
cahaya dengan intensitas cukup berdasarkan fungsinya. 
2) Semua ruang yang digunakan baik untuk bekerja ataupun untuk menyimpan
barang /peralatan perlu diberi penerangan. 
Sistem pencahayaan
1) Bangunan Ruang Gawat Darurat harus mempunyai pencahayaan alami
dan/atau pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat sesuai dengan
fungsinya.
2) Pencahayaan alami harus optimal, disesuaikan dengan fungsi bangunan dan
fungsi masing-masing ruang di dalam bangunan Ruang Gawat Darurat.
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit, Ruang Gawat Darurat 13 Direktorat
Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI
3) Pencahayaan buatan harus direncanakan berdasarkan tingkat iluminasi yang
dipersyaratkan sesuai fungsi ruang dalam bangunan Ruang Gawat Darurat
dengan mempertimbangkan efisiensi, penghematan energi, dan
penempatannya tidak menimbulkan efek silau atau pantulan.
4) Pencahayaan buatan yang digunakan untuk pencahayaan darurat harus
dipasang pada bangunan Ruang Gawat Daruratdengan fungsi tertentu, serta
dapat bekerja secara otomatis dan mempunyai tingkat pencahayaan yang
cukup untuk evakuasi yang aman.
5) Semua sistem pecahayaan buatan, kecuali yang diperlukan untuk pencahayaan
darurat, harus dilengkapi dengan pengendali manual, dan/atau otomatis, serta
ditempatkan pada tempat yang mudah dibaca dan dicapai, oleh pengguna
ruang.
6) Pencahayaan umum disediakan dengan lampu yang dipasang di langit-langit.
7) Pencahayaan ruangan dapat menggunakan lampu fluorescent, penggunaan
lampu-lampu recesseddisarankan karena tidak mengumpulkan debu.
Penggunaan lampu yang mempunyai efikasi lebih tinggi dan menghindari
pemakaian lampu dengan efikasi rendah. Disarankan menggunakan lampu
fluoresent dan lampu pelepas gas lainnya. Pemilihan armature/fixture yang
mempunyai karakteristik distribusi pencahayaan sesuai dengan penggunaannya,
mempunyai efisiensi yang tinggi dan tidak mengakibatkan silau atau refleksi yang
mengganggu.
d. Radiasi Pengion
Radiasi pengion ialah radiasi yang dapat menimbulkan ionisasi dan eksitasi
pada materi yang ditembusnya. Pada umumnya radiasi pengion hanya disebut
radiasi saja. Berbagai jenis radiasi pengion dikelompokkan berdasarkan struktur
atau sumbernya. Apabila radiasi pengion menembus suatu materi, maka materi
tersebut akan mengalami ionisasi atau eksitasi dengan menyerap energi radiasi.
Radiasi elektromagnetik atau partikel yang mampu mengionisasi, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dalam lintasannya menembus materi disebut
radiasi pengion
Ionisasi ialah proses terjadinya ion (ion positif dan elektron bebas) dari suatu
atom netral dalam materi yang dikenai energi.  Radiasi ionisasi langsung bisa
berupa partikel bermuatan listrik (misalnya sinar a, b, dan proton), yang dapat
mengakibatkan ionisasi dengan memberikan energinya kepada
elektron orbital dalam suatu atom atau molekul. Sedang gelombang
elektromagnetik misalnya sinar-X, sinar g, (yang juga  bersifat partikel,  yaitu
foton), dan partikel tak bermuatan listrik (misalnya neutron) menghasilkan
partikel bermuatan listrik pada saat berinteraksi dengan atom dalam materi.

2. Bahaya Lingkungan Biologi


Bahaya lingkungan biologis dapat berupa Virus(misal : Hepatitis B, Hepatitis C,
Influenza, HIV), Bakteri (misal : S. Saphrophyticus, Bacillus sp., Porionibacterium
sp., H.Influenzae, S.Pneumoniae, N.Meningitidis, B.Streptococcus, Pseudomonas),
Jamur (misal : Candida) dan Parasit(misal : S. Scabiei)
Berikut bahaya lingkungan biologis dalam ruang IGD/UGD :
a. STAFILOKOKUS
Stafilokokus merupakan sel gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun
dalam bentuk kluster yang tidak teratur seperti anggur. Stafilokokus tumbuh
dengan cepat pada beberapa tipe media dan dengan aktif melakukan metabolisme,
melakukan fermentasi karbohidrat dan menghasilkan bermacam-macam pigmen
dari warna putih hingga kuning gelap. Beberapa merupakan anggota flora normal
pada kulit dan selaput lendir manusia; yang lain ada yang menyebabkan supurasi
dan bahkan septikemia fatal. Stafilokokus yang patogen sering menghemolisis
darah, mengkoagulasi plasma dan menghasilkan berbagai enzim ekstraseluler dan
toksin. Bentuk keracunan makanan paling sering disebabkan oleh enterotoksin
stafilokokal yang stabil terhadap panas. Stafilokokus cepat menjadi resisten
terhadap beberapa antimikroba dan ini merupakan masalah besar pada terapi.
Genus stafilokokus sedikitnya memiliki 30 spesies. Tiga tipe stafilokokus
yang berkaitan dengan media adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis dan Staphylococcus saprophyticus. Staphylococcus aureus bersifat
koagulase positif, yang membedakannya dari spesies lain. Staphylococcus aureus
adalah patogen utama pada manuasia. Hampir setiap orang pernah mengalami
berbagai infeksi S. aureus selama hidupnya, dari keracunan makanan yang berat
atau infeksi kulit yang kecil, sampai infeksi yang tidak bisa disembuhkan.
Stafilokokus koagulase negatif merupakan flora normal manusia dan kadang-
kadang menyebabkan infeksi, seringkali hal ini berhubungan dengan alat-alat
yang ditanam, khususnya infeksi da pada pasien yang muda, sangat tua dan yang
mengalami penurunan daya tahan tubuh. Kira-kira 75% infeksi disebabkan oleh
stafilokokus koagulase negatif, biasanya S. Epidermidis. Infeksi yang disebabkan
oleh Staphylococcus lugdenensis, Staphylococcus warneri, Staphylococcus
hominis dan spesien lain hanya sedikit dijumpai. Staphylococcus saprophyticus
umumnya menyebabkan infeksi saluran urin pada wanita muda. Spesies lain
penting dalam kedokteran veeteriner.

3. Bahaya Lingkungan Kimia


a. Etilen Oksida
Etilena oksida, juga dikenal oksirana adalah senyawa organik dengan rumus
molekul C2H4O. Senyawa ini berjenis eter siklik. Etilena oksida berbentuk gas
tak berwarna mudah terbakar pada suhu ruangan dan berbau manis. Senyawa ini
merupakan epoksida paling sederhana: cincin tiga-anggota dengan 1 oksigen dan
2 karbon. Karena struktur molekulnya ini, etilena oksida banyak dipakai pada
reaksi adisi, seperti polimerisasi. Etilena oksida berisomer dengan asetaldehida
dan vinil alkohol. Etilen oksida pertama kali disintesis oleh Wurtz tahun 1859 dan
kemudian dikenal dengan proses klorohidrin. Produksi pertama etilen oksida
secara komersial dimulai tahun 1914 hingga sekarang. Tahun 1931, Lefort
mengembangkan proses oksidasi langsung yang menggeser keberadaan proses
klorohidin hingga sekarang.
Bahaya Kesehatan Kerja Pemaparan dengan ethylene oxide bisa melalui :
1) Inhalasi :
 Sangat toxic
 Menyebabkan iritasi berat pada hidung dan tenggorokan
 Dapat merusak sistem syaraf
 Gejala : sakit kepala, pusing, mengantuk, bingung.
 Pemaparan yang berat bisa menyebabkan ketidak sadaran.
2) Kulit :
 Bersifat korosif
 Kontak dengan liquid gas bisa menyebabkan frostbite
3) Mata :
 Bersifat korosif
 Kontak dengan liquid bisa menyebabkan kebutaan
4) Efek jangka panjang :
 Pada kulit bisa timbul dermatitis
 Gangguan Sistem syaraf : lemah, kesemutan, bahkan kelumpuhan
 Bisa menyebabkan alergi kulit
 Bisa menyebabkan asma bronchiale
5) Kanker
6) Teratogenicity
 Dapat membahayakan bayi dalam kandungan 

b. Halotan
Halotan atau Fluothane adalah obat anestesiinhalasi berbentuk cairan bening
tak berwarna yang mudah menguap dan berbau harum. Dibuat pertama kali oleh
C.W. Suckling di tahun 1951. Pemberian halotan sebaiknya bersama dengan
oksigen atau nitrous okside 70%-oksigen dan sebaiknya menggunakan vaporizer
yang khusus dikalibrasi untuk halotan agar konsentrasi uap yang dihasilkan itu
akurat dan mudah dikendalikan. Halotan dapat menimbulkan terjadinya halotan
hepatitis, terutama bila obat ini diberikan dalam jangka waktu pendek (pemberian
berkali-kali dalam jangka waktu pendek). Obat ini dimetabolisme di hepar
sebanyak 20-45%. Hasil metabolismenya berupa Br-, F-, Cl-, asam trifluoracetat,
gas chlorodifluoroetilen serta chlorotrifluoroetilen.
Efek Samping Recovery dari anestesi dengan Halotan terjadi cukup cepat.
Apabila terjadi rasa mual dan muntah pada masa pasca bedah / anestesi kadang-
kadang hebat, maka harus dilakukan pengawasan dan perawatan yang seksama
untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat muntah, terutama pada pasien yang
waktu puasa pra bedah kurang dari 8 jam (dewasa), seperti pada kasus bedah akut.
Sedangkan pada masa setelah bedah, pasien akan menggigil.

c. Eter
Eter Pada Anestetik Dokter Crawford Williamson Long, M.D., dari Amerika
adalah ahli bedah yang pertama kali menggunakan dietil eter sebagai sebuah
anestetik umum, pada 30 Maret 1842. William Thomas Green Morton
memperagakan penggunaan eter sebagai anestesi penghirupan yang pertama
kalinya di hadapan publik pada tanggal 16 Oktober1846 di Ether Dome yang
berada di Boston, Massachusets, Amerika Serikat. Terkadang eter digunakan
sebagai pengganti kloroform sebab eter memiliki indeks terapeutik yang lebih
tinggi, perbedaan yang lebih besar antara dosis yang direkomendasikan dengan
dosis berlebih yang beracun. Eter masih menjadi anestesi yang disukai di
sejumlah negara berkembang karena indeks terapeutiknya yang tinggi (~1.5-2.2)
dan harganya yang murah. Karena diasosiasikan dengan Boston, penggunaan eter
mendapat julukan "Yankee Dodge." Saat ini, eter jarang digunakan. Eter yang
mudah terbakar tidak lagi dipakai semenjak sejumlah agen anestesi yang tidak
mudah terbakar seperti halotana mulai tersedia. Lagipula eter memiliki efek-efek
sampingan yang tak diinginkan, seperti perasaan pening paska pembiusan dan
muntah. Beberapa agen anestesi modern, seperti metoksi propana (Neothyl) dan
metoksifluran (Penthrane) mengurangi efek-efek sampingan itu. 
1. Dampak Terhadap Lingkungan.
Apabila dilepaskan ke dalam tanah, zat ini akan cepat menguap. Apabila
dilepaskan ke dalam tanah, zat ini akan memasuki air tanah. Apabila
dilepaskan ke dalam tanah, zat ini tidak akan biodegradasi. Apabila dilepaskan
ke air, bahan ini akan memiiliki waktu paruh kurang dari 1 hari, dan akan
cepat menguap. Zat ini tidak akan terakumulasi dalam sistem biologis secara
signifikan. Material ini memiliki koefisien partisi log octanol-air lebih rendah
dari 3.0. Ketika dilepaskan ke udara, zat ini akan degradasi dengan reaksi
dengan radikal hidroksil yang diproduksi secara fotokimia. Apabila
dilepaskan ke udara, zat ini tidak akan rusak oleh fotolisis, dan memiliki paruh
waktu dari 1 sampai 10 hari.
2. Dampak Terhadap Tubuh
Keberadaan dietil eter ini selain berdampak pada lingkungan juga dapat
memberikan dampak pada tubuh dan mempengaruhi kesehatan.Adapun
kontaminasi senyawa ini dengan tubuh dapat melalui beberapa cara,yaitu
sebagai berikut:
a. Pernafasan
Pembiusan umum dari penghirupan dapat terjadi. Terekspos secara terus-
menerus dapat menyebabkan kerusakan pernafasan atau kematian. Gejala
awal termasuk iritasi hidung dan tenggorokan, muntah-muntah, nafas tak
teratur, diikuti pusing-pusing, ngantuk dan tidak sadar.
b. Makanan 
Iritasi pada kulit dinding kerongkongan. Penelanan 1 atau 2 ons dapat
berakibat fatal. Karena zat ini tidak stabil, perut menjadi mengembang,
dan mungkin akan menyebabkan gas. Gejala lain adalah muntah-muntah,
tidak sadar dan koma.
c. Sentuhan dengan kulit 
Iritasi pada kulit dan kulit-kulit kerongkongan karena mengering. Dapat
menyebabkan dermatitis apabila terekspos dalam jangka waktu lama.
Dapat diserap melalui kulit.

d. Bersentuhan dengan mata


Akan menyebabkan iritasi, mata merah dan kesakitan. Terekspos uap
dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan pada mata.
e. Terekspos Kronis
Terekspos secara berkali-kali dapat menyebabkan kebiasaan. Terekspos
dalam waktu yang lama dapat menyebabkan sakit kepala, ngantuk , resah,
dan gangguan psikis. Efek teratogenik mungkin muncul.
f. Kondisi yang bertambah parah 
Orang-orang yang sudah memiliki gangguan kulit, gangguan mata atau
ginjal, hati atau fungsi pernafasan yang tidak bekerja dengan baik akan
lebih mungkin terkena dampak zat ini. Konsumsi minuman beralkohol
dapat menyebabkan bertambahnya dampak zat ini.

D. Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan


Manajemen adalah pencapaian tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya, dengan
mempergunakan bantuan orang lain. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi dampak
kelalaian atau kesalahan ( malprektek) serta mengurangi penyebaran langsung dampak
dari kesalahan kerja.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dimembagi kegiatan atau fungsi manajemen tesebut
menjadi :
1. Planning/ (Perencanaan)
Fungsi perencanaan adalah suatu usaha menentukan kegiatan yang akan
dilakukan di masa mendatang guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal
ini adalah keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit dan instansi
kesehatan.perencanaan ini dilakukan untuk memenuhi standarisasi kesehatan pacsa
perawatan dan merawat ( hubungan timbal balik pasien – perawat / dokter, serta
masyarakat umum lainnya ). Dalam perencanaan tersebut, kegiatan yang ditentukan
meliputi:
a. Hal apa yang dikerjakan
b. Bagaiman cara mengerjakannya
c. Mengapa mengerjakan
d. Siapa yang mengerjakan
e. Kapan harus dikerjakan
f. Dimana kegiatan itu harus dikerjakan
g. hubungan timbal balik ( sebab akibat)
Kegiatan kesehatan ( rumah sakit / instansi kesehatan ) sekarang tidak lagi hanya
di bidang pelayanan, tetapi sudah mencakup kegiatan-kegiatan di bidang pendidikan
dan penelitian, juga metode-metode yang dipakai makin banyak ragamnya. Semuanya
menyebabkan risiko bahaya yang dapat terjadi dalam ( rumah sakit / instansi
kesehatan ) makin besar. Oleh karena itu usaha-usaha pengamanan kerja di rumah
sakit / instansi kesehatan harus ditangani secara serius oleh organisasi keselamatan
kerja rumah sakit / instansi kesehatan.

2. Organizing/ (Organisasi)
Organisasi keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan dapat
dibentuk dalam beberapa jenjang, mulai dari tingkat rumah sakit / instansi kesehatan
daerah (wilayah) sampai ke tingkat pusat atau nasional. Keterlibatan pemerintah
dalam organisasi ini baik secara langsung atau tidak langsung sangat diperlukan.
Pemerintah dapat menempatkan pejabat yang terkait dalam organisasi ini di tingkat
pusat (nasional) dan tingkat daerah (wilayah), di samping memberlakukan Undang-
Undang Keselamatan Kerja. Di tingkat daerah (wilayah) dan tingkat pusat (nasional)
perlu dibentuk Komisi Keamanan Kerja rumah sakit / instansi yang tugas dan
wewenangnya dapat berupa :
a. Menyusun garis besar pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan .
b. Memberikan bimbingan, penyuluhan, pelatihan pelaksana- an keamanan kerja
rumah sakit / instansi kesehatan .
c. Memantau pelaksanaan pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan
d. Memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan penerbitan izin rumah
sakit / instansi kesehatan.
e. mengatasi dan mencegah meluasnya bahaya yang timbul dari suatu rumah sakit /
instansi kesehatan.
Perlu juga dipikirkan kedudukan dan peran organisasi /Cermin Dunia Kedokteran
No. 154, 2007 5/ background image Manajemen keselamatan kerja profesi (PDS-
Patklin) ataupun organisasi seminat (Patelki, HKKI) dalam kiprah organisasi
keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan ini. Anggota
organisasi profesi atau seminat yang terkait dengan kegiatan rumah sakit / instansi
kesehatan dapat diangkat menjadi anggota komisi di tingkat daerah (wilayah) maupun
tingkat pusat (nasional). Selain itu organisasi-organisasi profesi atau seminar tersebut
dapat juga membentuk badan independen yang berfungsi sebagai lembaga penasehat
atau Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit / Instansi
Kesehatan.

3. Actuating/ (Pelaksanaan)
Fungsi pelaksanaan atau penggerakan adalah kegiatan mendorong semangat kerja,
mengerahkan aktivitas, mengkoordinasikan berbagai aktivitas yang akan menjadi
aktivitas yang kompak (sinkron), sehingga semua aktivitas sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan program kesehatan dan keselamatan
kerja rumah sakit / instansi kesehatan sasarannya ialah tempat kerja yang aman dan
sehat. Untuk itu setiap individu yang bekerja maupun masyarakat dalam rumah sakit /
instansi kesehatan wajib mengetahui dan memahami semua hal yang diperkirakan
akan dapat menjadi sumber kecelakaan kerja dalam rumah sakit / instansi kesehatan,
serta memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk melaksanakan
pencegahan dan penanggulangan kecelakaan kerja tersebut. Kemudian mematuhi
berbagai peraturan atau ketentuan dalam menangani berbagai spesimen reagensia dan
alat-alat. Jika dalam pelaksanaan fungsi penggerakan ini timbul permasalahan,
keragu-raguan atau pertentangan, maka menjadi tugas semua untuk mengambil
keputusan penyelesaiannya.
4. Controlling/ (Pengawasan)
Fungsi pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar pekerjaan-
pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang
dikehendaki. Untuk dapat menjalankan pengawasan, perlu diperhatikan 2 prinsip
pokok, yaitu :
a. Adanya rencana
b. Adanya instruksi-instruksi dan pemberian wewenang kepada bawahan.
Dalam fungsi pengawasan tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi tentang
perlunya disiplin, mematuhi segala peraturan demi keselamatan kerja bersama di
rumah sakit / instansi kesehatan. Sosialisasi perlu dilakukan terus menerus, karena
usaha pencegahan bahaya yang bagaimanapun baiknya akan sia-sia bila peraturan
diabaikan. Dalam rumah sakit / instansi kesehatan perlu dibentuk pengawasan rumah
sakit / instansi kesehatan yang tugasnya antara lain :
a. Memantau dan mengarahkan secara berkala praktek- praktek rumah sakit /
instansi kesehatan yang baik, benar dan aman.
b. Memastikan semua petugas rumah sakit / instansi kesehatan memahami cara- cara
menghindari risiko bahaya dalam rumah sakit / instansi kesehatan.
c. Melakukan penyelidikan / pengusutan segala peristiwa berbahaya atau
kecelakaan.
d. mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan tentang keamanan kerja rumah
sakit / instansi kesehatan .
e. Melakukan tindakan darurat untuk mengatasi peristiwa berbahaya dan mencegah
meluasnya bahaya tersebut.

E. Penegakan Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah sakit (K3RS) dan
Peran Dinas Kesehatan
1. Peraturan Kesehatan Kerja
UU Kesehatan Nomor 23 tahun 2002 pasal 23 tentang kesehatan kerja
menyatakan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.05/Men. 2006 juga
mengatur bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 100 orang atau
lebih dan atau yang mengandung potensi bahaya wajib menerapkan sistem
manajemen K3 (Bab III Pasal 3).
Rumahsakit tidak terlepas dari peraturan-peraturan ini karena teknologi dan
sarana kesehatan, kondisi fisik rumah sakit dapat membahayakan pasien, keluarga,
serta pekerja. Jika tidak dikelola, rumahsakit tidak terhindar dari kebakaran, bencana,
atau dampak buruk pada kesehatan. Ringkasan studi tentang penerapan K3RS di
bawah ini bisa dijadikan kasus bagaimana lemahnya komitmen rumahsakit dalam hal
ini.
K3RS di Indonesia telah memiliki 22 peraturan. Di antara seluruh peraturan itu,
paling banyak adalah peraturan menteri (9 buah) dan belum ada sama sekali peraturan
daerah. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat sendiri tidak memiliki semua
dokumen peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Dinas kesehatan bahkan
tidak memiliki satu staf yang mengurusi bidang ini. Tidak ada tim khusus K3RS.
Penjabaran dari regulasi tersebut oleh pemerintah daerah dalam bentuk peraturan
daerah belum ada sama sekali. Padahal mengacu pada PP No. 25 tahun 2000 tentang
kewenangan pemerintah dan propinsi sebagai otonom maka pemerintah daerah
mempunyai legalitas dalam mengatur regulasi K3RS. Kenyataan ini barang kali bisa
mencerminkan keadaan sebelum desentralisasi. Daerah melaksanakan apa yang
menjadi keputusan pusat dan barang kali karena keputusan pusat itu pula, regulasi
K3RS ini lemah.

2. Kesehatan dan Keselamatan Kerja sebagai Pilihan Rasional Rumahsakit


Pelaksanaan K3RS pada masa yang lalu ditekankan dengan pola pembinaan dinas
kesehatan. Kebijakan kita selama ini dalam bidang kesehatan dan keselamatan kerja
adalah berupa sosialisasi program, pelatihan tentang K3RS, menyediakan tenaga
khusus, dan membuat pedoman pelaksanaan.
Cara-cara pembinaan seperti itu memperlihatkan hasil yang minimal. Satu
rumahsakit dalam penelitian ini, kebetulan swasta, bisa menjadi contoh karena
mereka telah secara sadar menerapkan standar lebih internasional. Rumahsakit swasta
yang berorientasi internasional menganggap K3RS adalah strategis bagi pelanggan
yang sudah makin kritis. Sifat kesukarelaan seperti ini bagi rumahsakit pemerintah
dan swasta lokal bisa berakibat buruk. Pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan mau
tidak mau perlu membuat tekanan dari luar agar kesehatan dan keselamatan kerja
betul-betul terjaga.
Pemerintah daerah hendaknya lebih peduli dengan K3RS, dengan membuat
peraturan daerah khusus yang diberlakukan di daerahnya. Dinas kesehatan bisa
mengawasi pelaksanaan K3RS, diikuti dengan tindakan sanksi bagi yang tidak
menerapkannya. Lebih tegas, perlindungan publik dan pekerja seperti ini harus
menjadi persyaratan mutlak dalam pemberian izin pendirian suatu rumahsakit.

F. Contoh Resiko K3 di IGD


Seorang perawat di salah satu RS mengalami  kekerasan fisik dan verbal pada saat
perawat tersebut sedang melakukan pengkajian. Seperti yang dikutip dalam suatu artikel
di media online:
“Ketika  perawat  T,28 tahun, melakukan pendekatan untuk mengumpulkan data, salah
satu pasiennya mengamuk, berteriak dan memukul-mukul kepalanya ke dinding.
Diamencoba menghentikan dan menenangkannya tapi pasiennya secara emosional
malahmenendang dadanya,  membuat dia terluka, dan  membuat mentalnya tergoyang
seharian.”

Analisis Kasus
Hazard : Perawat mendapatkan kekerasan fisik sekaligus verbal pada saat
melakukan pengkajian kepada pasien.
Resiko : Perawat mengalami luka dan mentalnya tidak stabil.
Kejadian kekerasan fisik maupun verbal dalam kasus tersebut tidak disebut berasal
dari kesalahan perawat sendiri ataukah karena memang sang pasien memiliki emosional
yang tidak dapat dikontrol. Dalam proses pengkajian sendiri, terdapat beberapa hal yang
harus diperhatikan oleh perawat. Mulai dari pemahaman akan pengertian pengkajian,
tahap-tahapan pengkajian, hingga metode yang digunakan melakukan pengkajian.
Dalam mengkaji pasien, perawat pun harus menyadari akan adanya hazard dan resiko
yang mungkin mereka dapatkan. Berbagai macam upaya perlu dilakukan sebagai tidakan
pencegahan. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan baik dari pihak pasien, perawat itu
sendiri maupun dari pihak manajemen rumah sakit. Berikut beberapa upaya yang perlu
dilakukan untuk mecegah terjadinya kekerasan fisik dan verbal pada perawat saat
melakukan pengkajian:
1. Perawat harus melaporkan setiap adanya tindakan kekerasan dalam bentuk apapun
kepada pihak rumah sakit.
2. Memberikan pengertian kepada pasien agar memperlakukan sesama
manusiadengan dasar martabat dan rasa hormat.
3. Dalam melakukan kontak kepada pasien, perawat seharusnya menjadi pendengar
yang baik. Salah satu teknik pengumpulan data pada pengkajian adalah wawancara.
Saat melakukan wawancara, perawat harus mampu menempatkan diri sebagai tempat
curhat pasien sebaik mungkin.
4. Memberikan pelatihan dan pendidikan kepada perawat tentang cara menghindari
tindakan kekerasan verbal dan fisik.
5. Ketika pasien terlihat sedang dalam keadaan tidak terkontrol dan susah untuk
didekati, perawat dapat melakukan pengkajian kepada keluarga pasien terlebih
dahulu.
6. Saat mengkaji, perawat tidak boleh menyampaikan kata-kata yang menyinggung
pasien dan keluarganya.
7. Saat melakukan tindakan pemeriksaan fisik, perawat harus meminta persetujuan dari
pasien terlebih dahulu.
8. Manajemen rumah sakit perlu memfasilitasi perawat mempersiapkan diri untuk
menghadapi hazard dan resiko.
9. Manajemen harus terbuka serta tidak berusaha menutupi terhadap laporan-laporan
kekerasan fisik maupun verbal terhadap perawat.
10. Memodifikasi lingkungan yang nyaman di rumah sakit mulai dari poli, ruangan rawat
inap, sampai ke unit gawat darurat dan ruang intensif untuk menentramkan suasana
hati pasien dan keluarga.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk
menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga
dapat mengurangi atau bebas dari kecelakaan kerja, dan penyakit akibat kerja yang pada
akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja
Bahaya yang dihadapi dalam rumah sakit ; Bahaya kebakaran dan ledakan dari
zat/bahan yang mudah terbakar atau meledak (obat– obatan), Bahan beracun, korosif dan
kaustik , Bahaya radiasi , Luka bakar ,Syok akibat aliran listrik ,Luka sayat akibat alat
gelas yang pecah dan benda tajam serta bahaya infeksi dari kuman, virus atau parasit.
Bahaya lingkungan baik fisik, biologis, maupun kimia perlu diidentifikasi secara
lanjut, bahaya fisik dapat berupa suhu dan kelembaban, pencahayaan, kebisingan, dan
radiasi. Bahaya lingkungan biologis dapat berupa virus, bakteri, jamur, dan parasit.
Bahaya kimia dapat berupa etilen oksida, eter, dan halotan.

B. Saran
Semoga dalam penulisan makalah ini dapat berguna bagi penulis khususnya, dan bagi
pembaca mungkin dalam penyusunan makalah ini penulis masih banyak kekurangan
karena keterbatasan ruang lingkup, waktu, situasi, kondisi dan ilmu yang penulis miliki.
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
perbaikan penulis makalah ini di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

http://melliyanasuciramadani.blogspot.com/2017/12/makalah-k3.html
395284002-Kelompok-2-K3-Ruang-IGD

Anda mungkin juga menyukai