Dosen Pembimbing :
Ns. Nurhayati, S.Kep, M.KKK
Disusun Oleh :
Abdul Aziz ( 2720180019 )
Ayu Ningtyas ( 2720180028 )
Jihan Febriani ( 2720180029 )
Marissa Nuur Muhammad ( 2720180039 )
Nabila Arjuwani ( 2720180047 )
Randyka Julio ( 2720180087 )
Shafa’Afifah Tamimi ( 2720180051 )
Verika Indaryani ( 2720180021 )
Wanda Lestari ( 2720180025 )
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang mengiidentifikasi
Resiko K3 di Ruang IGD.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang mengiidentifikasi Resiko K3 di
Ruang IGD dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan terhadap pembaca.
HALAMAN JUDUL........................................................................................
KATA PENGANTAR.....................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................
A. Latar Belakang.......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan Penulisan...................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................
A. Pengertia kesehatan dan keselamatan kerja..........................................
B. Bahaya yang dihadapi dalam rumah sakit atau instansi kesehatan.......
C. Keputusan menteri kesehatan nomor 1204/Menkes/SK/X/2004
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit...................
D. Manajemen keselamatan dan kesehatan............................................
E. Penegakan peraturan keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit
(K3RS) dan peran dinas kesehatan.......................................................
F. Contoh resiko k3 di IGD.......................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan istilah yang sangat populer. Bahkan di
dalam dunia industri istilah tersebut lebih dikenal dengan singkatan K3 yang artinya
keselamatan, dan kesehatan kerja. Menurut Milyandra (2009) Istilah ‘keselamatan dan
kesehatan kerja’, dapat dipandang mempunyai dua sisi pengertian. Pengertian yang
pertama mengandung arti sebagai suatu pendekatan pendekatan ilmiah (scientific
approach) dan disisi lain mempunyai pengertian sebagai suatu terapan atau suatu program
yang mempunyai tujuan tertentu. Karena itu keselamatan dan kesehatan kerja dapat
digolongkan sebagai suatu ilmu terapan (applied science). Keselamatan dan Kesehatan
Kerja sebagai suatu program didasari pendekatan ilmiah dalam upaya mencegah atau
memperkecil terjadinya bahaya (hazard) dan risiko (risk) terjadinya penyakit dan
kecelakaan, maupun kerugian-kerugian lainya yang mungkin terjadi. Jadi dapat dikatakan
bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu pendekatan ilmiah dan praktis
dalam mengatasi potensi bahaya dan risiko kesehatan dan keselamatan yang mungkin
terjadi.( Rijanto, 2010 ).
Potensi bahaya pada petugas Rumah Sakit lebih besar risikonya bila dibandingkan
dengan tenaga kerja pada umumnya. Tenaga kerja Rumah Sakit lebih rentan terkena
risiko bahaya, kemungkinan keseleo, cidera, infeksi dan penyakit yang berasal dari
parasit, dermatitis, hepatitis dan lain-lain. Melihat perkembangan Rumah Sakit saat ini,
fasilitas pendukung medis pun semakin berkembang sehingga potensi bahaya dan
permasalahannya pun semakin kompleks sehingga perlu adanya proteksi bagi petugas
kesehatan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan saat melakukan aktivitas
pekerjaan. Potensi bahaya yang timbul di Rumah Sakit selain penyakit- penyakit infeksi
juga ada potensi bahaya lainnya yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi Rumah Sakit,
yaitu kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi
listrik dan sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia berbahaya, gas-gas
anestesi, gangguan psikososial, dan ergonomi
Instalasi gawat darurat (IGD) adalah bagian dari unit pelayanan yang paling vital
dalam membantu menyelamatkan nyawa pasien yang mengalami kegawatan medis ketika
pertama kali masuk rumah sakit. Karena penanganan gawat darurat harus mendapatkan
response time yang cepat dan tindakan yang tepat telah menyebabkan tenaga kesehatan di
bagian ini sering terpapar berbagai sumber bahaya yang dapat mengancam jiwa dan
kesehatannya (Depkes RI, 2006). Menurut Nurmansyah dkk (2014) permintaan jasa
pelayanan rumah sakit termasuk di IGD terus meningkat, hal ini disebabkan peningkatan
berbagai jenis penyakit infeksi, penyakit akut degeneratif, kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, bencana dan kejadian lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor resiko, hazard, penyakit / cidera akibat kerja ?
2. Apa saja upaya / penanggualangan dengan manajemen resiko / hirarki penegendalian
resiko ?
3. Apa saja manajemen keselamatan pasien ?
4. Apa yang dimaksud dengan kesehatan dan keselamatan kerja di IGD ?
5. Apa saja upaya kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui factor resiko, hazard,penyakit/cidera akibat kerja
2. Untuk mengetahui upaya/penanggulangan dengan manajemen resiko/hirarki
pengendalian resiko
3. Untuk mengetahui manajemen keselamatan pasien di ruang IGD.
4. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kesehatan dan keselamatan kerja dirumah
sakit
5. Untuk mengetahui upaya kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit.
BAB II
PEMBAHASAN
b. Bunyi
Bunyi mempunyai definisi:
1) Secara fisis, bunyi adalah penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam
medium elastic seperti udara.Ini adalah bunyi objektif.
2) Secara fisiologis, bunyi adalah sensasi pendengaran yang disebabkan
penyimpangan fisis yang digambarkan di atas. Ini adalah bunyi subjektif.
Menurut Doelle (1998) Bunyi dapat dihasilkan : Di udara (airborne sound),
misalnya suara manusia barcakap atau bernyanyi.
3) Karena benturan/tumbukan (impact sound) atau bunyi struktur (structure
sound).
4) Karena getaran mesin.
Pelayanan UGD/IGD juga dilatih untuk berbicara dengan sopan dan
menghargai orang lain, seperti tidak berbicara atau tertawa keras-keras.
1) Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan
Ruang Gawat Darurat, pengelola bangunan Ruang Gawat Darurat harus
mempertimbangkan jenis kegiatan, penggunaan peralatan, dan sumber bising
lainnya baik yang berada padabangunan Ruang Gawat Daruratmaupun di luar
bangunan Ruang Gawat Darurat.
2) Penjelasan lebih lanjut mengenai tingkat kenyamanan terhadap kebisingan
pada bangunan rumah sakit dapat mengacu pada Keputusan Menteri
Kesehatan No. 1204/MENKES/SK/X/2004tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit.
c. Pencahayaan
Pencahayaan menurut Simha (2001) bertujuan :
1) Untuk mendukung aktivitas dan kegiatan lain pengguna bangunan.
2) Untuk mendukung fungsi keamanan.
3) Untuk menciptakan lingkungan yang sesuai dan menyenangkan Cahaya
sendiri dapat dibagi dua, yaitu cahaya alam (matahari) dan cahaya buatan
(lampu). Kenyamanan dari sebuah cahaya menurut Moore (1999) ditentukan
oleh : kondisi fisiologis mata, latar belakang objek, bentuk/wujud objek yang
dipandang, mengontrol silau tingkat kekuatan penyinaran.
b. Halotan
Halotan atau Fluothane adalah obat anestesiinhalasi berbentuk cairan bening
tak berwarna yang mudah menguap dan berbau harum. Dibuat pertama kali oleh
C.W. Suckling di tahun 1951. Pemberian halotan sebaiknya bersama dengan
oksigen atau nitrous okside 70%-oksigen dan sebaiknya menggunakan vaporizer
yang khusus dikalibrasi untuk halotan agar konsentrasi uap yang dihasilkan itu
akurat dan mudah dikendalikan. Halotan dapat menimbulkan terjadinya halotan
hepatitis, terutama bila obat ini diberikan dalam jangka waktu pendek (pemberian
berkali-kali dalam jangka waktu pendek). Obat ini dimetabolisme di hepar
sebanyak 20-45%. Hasil metabolismenya berupa Br-, F-, Cl-, asam trifluoracetat,
gas chlorodifluoroetilen serta chlorotrifluoroetilen.
Efek Samping Recovery dari anestesi dengan Halotan terjadi cukup cepat.
Apabila terjadi rasa mual dan muntah pada masa pasca bedah / anestesi kadang-
kadang hebat, maka harus dilakukan pengawasan dan perawatan yang seksama
untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat muntah, terutama pada pasien yang
waktu puasa pra bedah kurang dari 8 jam (dewasa), seperti pada kasus bedah akut.
Sedangkan pada masa setelah bedah, pasien akan menggigil.
c. Eter
Eter Pada Anestetik Dokter Crawford Williamson Long, M.D., dari Amerika
adalah ahli bedah yang pertama kali menggunakan dietil eter sebagai sebuah
anestetik umum, pada 30 Maret 1842. William Thomas Green Morton
memperagakan penggunaan eter sebagai anestesi penghirupan yang pertama
kalinya di hadapan publik pada tanggal 16 Oktober1846 di Ether Dome yang
berada di Boston, Massachusets, Amerika Serikat. Terkadang eter digunakan
sebagai pengganti kloroform sebab eter memiliki indeks terapeutik yang lebih
tinggi, perbedaan yang lebih besar antara dosis yang direkomendasikan dengan
dosis berlebih yang beracun. Eter masih menjadi anestesi yang disukai di
sejumlah negara berkembang karena indeks terapeutiknya yang tinggi (~1.5-2.2)
dan harganya yang murah. Karena diasosiasikan dengan Boston, penggunaan eter
mendapat julukan "Yankee Dodge." Saat ini, eter jarang digunakan. Eter yang
mudah terbakar tidak lagi dipakai semenjak sejumlah agen anestesi yang tidak
mudah terbakar seperti halotana mulai tersedia. Lagipula eter memiliki efek-efek
sampingan yang tak diinginkan, seperti perasaan pening paska pembiusan dan
muntah. Beberapa agen anestesi modern, seperti metoksi propana (Neothyl) dan
metoksifluran (Penthrane) mengurangi efek-efek sampingan itu.
1. Dampak Terhadap Lingkungan.
Apabila dilepaskan ke dalam tanah, zat ini akan cepat menguap. Apabila
dilepaskan ke dalam tanah, zat ini akan memasuki air tanah. Apabila
dilepaskan ke dalam tanah, zat ini tidak akan biodegradasi. Apabila dilepaskan
ke air, bahan ini akan memiiliki waktu paruh kurang dari 1 hari, dan akan
cepat menguap. Zat ini tidak akan terakumulasi dalam sistem biologis secara
signifikan. Material ini memiliki koefisien partisi log octanol-air lebih rendah
dari 3.0. Ketika dilepaskan ke udara, zat ini akan degradasi dengan reaksi
dengan radikal hidroksil yang diproduksi secara fotokimia. Apabila
dilepaskan ke udara, zat ini tidak akan rusak oleh fotolisis, dan memiliki paruh
waktu dari 1 sampai 10 hari.
2. Dampak Terhadap Tubuh
Keberadaan dietil eter ini selain berdampak pada lingkungan juga dapat
memberikan dampak pada tubuh dan mempengaruhi kesehatan.Adapun
kontaminasi senyawa ini dengan tubuh dapat melalui beberapa cara,yaitu
sebagai berikut:
a. Pernafasan
Pembiusan umum dari penghirupan dapat terjadi. Terekspos secara terus-
menerus dapat menyebabkan kerusakan pernafasan atau kematian. Gejala
awal termasuk iritasi hidung dan tenggorokan, muntah-muntah, nafas tak
teratur, diikuti pusing-pusing, ngantuk dan tidak sadar.
b. Makanan
Iritasi pada kulit dinding kerongkongan. Penelanan 1 atau 2 ons dapat
berakibat fatal. Karena zat ini tidak stabil, perut menjadi mengembang,
dan mungkin akan menyebabkan gas. Gejala lain adalah muntah-muntah,
tidak sadar dan koma.
c. Sentuhan dengan kulit
Iritasi pada kulit dan kulit-kulit kerongkongan karena mengering. Dapat
menyebabkan dermatitis apabila terekspos dalam jangka waktu lama.
Dapat diserap melalui kulit.
2. Organizing/ (Organisasi)
Organisasi keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan dapat
dibentuk dalam beberapa jenjang, mulai dari tingkat rumah sakit / instansi kesehatan
daerah (wilayah) sampai ke tingkat pusat atau nasional. Keterlibatan pemerintah
dalam organisasi ini baik secara langsung atau tidak langsung sangat diperlukan.
Pemerintah dapat menempatkan pejabat yang terkait dalam organisasi ini di tingkat
pusat (nasional) dan tingkat daerah (wilayah), di samping memberlakukan Undang-
Undang Keselamatan Kerja. Di tingkat daerah (wilayah) dan tingkat pusat (nasional)
perlu dibentuk Komisi Keamanan Kerja rumah sakit / instansi yang tugas dan
wewenangnya dapat berupa :
a. Menyusun garis besar pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan .
b. Memberikan bimbingan, penyuluhan, pelatihan pelaksana- an keamanan kerja
rumah sakit / instansi kesehatan .
c. Memantau pelaksanaan pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi kesehatan
d. Memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan penerbitan izin rumah
sakit / instansi kesehatan.
e. mengatasi dan mencegah meluasnya bahaya yang timbul dari suatu rumah sakit /
instansi kesehatan.
Perlu juga dipikirkan kedudukan dan peran organisasi /Cermin Dunia Kedokteran
No. 154, 2007 5/ background image Manajemen keselamatan kerja profesi (PDS-
Patklin) ataupun organisasi seminat (Patelki, HKKI) dalam kiprah organisasi
keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan ini. Anggota
organisasi profesi atau seminat yang terkait dengan kegiatan rumah sakit / instansi
kesehatan dapat diangkat menjadi anggota komisi di tingkat daerah (wilayah) maupun
tingkat pusat (nasional). Selain itu organisasi-organisasi profesi atau seminar tersebut
dapat juga membentuk badan independen yang berfungsi sebagai lembaga penasehat
atau Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit / Instansi
Kesehatan.
3. Actuating/ (Pelaksanaan)
Fungsi pelaksanaan atau penggerakan adalah kegiatan mendorong semangat kerja,
mengerahkan aktivitas, mengkoordinasikan berbagai aktivitas yang akan menjadi
aktivitas yang kompak (sinkron), sehingga semua aktivitas sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan program kesehatan dan keselamatan
kerja rumah sakit / instansi kesehatan sasarannya ialah tempat kerja yang aman dan
sehat. Untuk itu setiap individu yang bekerja maupun masyarakat dalam rumah sakit /
instansi kesehatan wajib mengetahui dan memahami semua hal yang diperkirakan
akan dapat menjadi sumber kecelakaan kerja dalam rumah sakit / instansi kesehatan,
serta memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk melaksanakan
pencegahan dan penanggulangan kecelakaan kerja tersebut. Kemudian mematuhi
berbagai peraturan atau ketentuan dalam menangani berbagai spesimen reagensia dan
alat-alat. Jika dalam pelaksanaan fungsi penggerakan ini timbul permasalahan,
keragu-raguan atau pertentangan, maka menjadi tugas semua untuk mengambil
keputusan penyelesaiannya.
4. Controlling/ (Pengawasan)
Fungsi pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar pekerjaan-
pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang
dikehendaki. Untuk dapat menjalankan pengawasan, perlu diperhatikan 2 prinsip
pokok, yaitu :
a. Adanya rencana
b. Adanya instruksi-instruksi dan pemberian wewenang kepada bawahan.
Dalam fungsi pengawasan tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi tentang
perlunya disiplin, mematuhi segala peraturan demi keselamatan kerja bersama di
rumah sakit / instansi kesehatan. Sosialisasi perlu dilakukan terus menerus, karena
usaha pencegahan bahaya yang bagaimanapun baiknya akan sia-sia bila peraturan
diabaikan. Dalam rumah sakit / instansi kesehatan perlu dibentuk pengawasan rumah
sakit / instansi kesehatan yang tugasnya antara lain :
a. Memantau dan mengarahkan secara berkala praktek- praktek rumah sakit /
instansi kesehatan yang baik, benar dan aman.
b. Memastikan semua petugas rumah sakit / instansi kesehatan memahami cara- cara
menghindari risiko bahaya dalam rumah sakit / instansi kesehatan.
c. Melakukan penyelidikan / pengusutan segala peristiwa berbahaya atau
kecelakaan.
d. mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan tentang keamanan kerja rumah
sakit / instansi kesehatan .
e. Melakukan tindakan darurat untuk mengatasi peristiwa berbahaya dan mencegah
meluasnya bahaya tersebut.
E. Penegakan Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah sakit (K3RS) dan
Peran Dinas Kesehatan
1. Peraturan Kesehatan Kerja
UU Kesehatan Nomor 23 tahun 2002 pasal 23 tentang kesehatan kerja
menyatakan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.05/Men. 2006 juga
mengatur bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 100 orang atau
lebih dan atau yang mengandung potensi bahaya wajib menerapkan sistem
manajemen K3 (Bab III Pasal 3).
Rumahsakit tidak terlepas dari peraturan-peraturan ini karena teknologi dan
sarana kesehatan, kondisi fisik rumah sakit dapat membahayakan pasien, keluarga,
serta pekerja. Jika tidak dikelola, rumahsakit tidak terhindar dari kebakaran, bencana,
atau dampak buruk pada kesehatan. Ringkasan studi tentang penerapan K3RS di
bawah ini bisa dijadikan kasus bagaimana lemahnya komitmen rumahsakit dalam hal
ini.
K3RS di Indonesia telah memiliki 22 peraturan. Di antara seluruh peraturan itu,
paling banyak adalah peraturan menteri (9 buah) dan belum ada sama sekali peraturan
daerah. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat sendiri tidak memiliki semua
dokumen peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Dinas kesehatan bahkan
tidak memiliki satu staf yang mengurusi bidang ini. Tidak ada tim khusus K3RS.
Penjabaran dari regulasi tersebut oleh pemerintah daerah dalam bentuk peraturan
daerah belum ada sama sekali. Padahal mengacu pada PP No. 25 tahun 2000 tentang
kewenangan pemerintah dan propinsi sebagai otonom maka pemerintah daerah
mempunyai legalitas dalam mengatur regulasi K3RS. Kenyataan ini barang kali bisa
mencerminkan keadaan sebelum desentralisasi. Daerah melaksanakan apa yang
menjadi keputusan pusat dan barang kali karena keputusan pusat itu pula, regulasi
K3RS ini lemah.
Analisis Kasus
Hazard : Perawat mendapatkan kekerasan fisik sekaligus verbal pada saat
melakukan pengkajian kepada pasien.
Resiko : Perawat mengalami luka dan mentalnya tidak stabil.
Kejadian kekerasan fisik maupun verbal dalam kasus tersebut tidak disebut berasal
dari kesalahan perawat sendiri ataukah karena memang sang pasien memiliki emosional
yang tidak dapat dikontrol. Dalam proses pengkajian sendiri, terdapat beberapa hal yang
harus diperhatikan oleh perawat. Mulai dari pemahaman akan pengertian pengkajian,
tahap-tahapan pengkajian, hingga metode yang digunakan melakukan pengkajian.
Dalam mengkaji pasien, perawat pun harus menyadari akan adanya hazard dan resiko
yang mungkin mereka dapatkan. Berbagai macam upaya perlu dilakukan sebagai tidakan
pencegahan. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan baik dari pihak pasien, perawat itu
sendiri maupun dari pihak manajemen rumah sakit. Berikut beberapa upaya yang perlu
dilakukan untuk mecegah terjadinya kekerasan fisik dan verbal pada perawat saat
melakukan pengkajian:
1. Perawat harus melaporkan setiap adanya tindakan kekerasan dalam bentuk apapun
kepada pihak rumah sakit.
2. Memberikan pengertian kepada pasien agar memperlakukan sesama
manusiadengan dasar martabat dan rasa hormat.
3. Dalam melakukan kontak kepada pasien, perawat seharusnya menjadi pendengar
yang baik. Salah satu teknik pengumpulan data pada pengkajian adalah wawancara.
Saat melakukan wawancara, perawat harus mampu menempatkan diri sebagai tempat
curhat pasien sebaik mungkin.
4. Memberikan pelatihan dan pendidikan kepada perawat tentang cara menghindari
tindakan kekerasan verbal dan fisik.
5. Ketika pasien terlihat sedang dalam keadaan tidak terkontrol dan susah untuk
didekati, perawat dapat melakukan pengkajian kepada keluarga pasien terlebih
dahulu.
6. Saat mengkaji, perawat tidak boleh menyampaikan kata-kata yang menyinggung
pasien dan keluarganya.
7. Saat melakukan tindakan pemeriksaan fisik, perawat harus meminta persetujuan dari
pasien terlebih dahulu.
8. Manajemen rumah sakit perlu memfasilitasi perawat mempersiapkan diri untuk
menghadapi hazard dan resiko.
9. Manajemen harus terbuka serta tidak berusaha menutupi terhadap laporan-laporan
kekerasan fisik maupun verbal terhadap perawat.
10. Memodifikasi lingkungan yang nyaman di rumah sakit mulai dari poli, ruangan rawat
inap, sampai ke unit gawat darurat dan ruang intensif untuk menentramkan suasana
hati pasien dan keluarga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk
menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga
dapat mengurangi atau bebas dari kecelakaan kerja, dan penyakit akibat kerja yang pada
akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja
Bahaya yang dihadapi dalam rumah sakit ; Bahaya kebakaran dan ledakan dari
zat/bahan yang mudah terbakar atau meledak (obat– obatan), Bahan beracun, korosif dan
kaustik , Bahaya radiasi , Luka bakar ,Syok akibat aliran listrik ,Luka sayat akibat alat
gelas yang pecah dan benda tajam serta bahaya infeksi dari kuman, virus atau parasit.
Bahaya lingkungan baik fisik, biologis, maupun kimia perlu diidentifikasi secara
lanjut, bahaya fisik dapat berupa suhu dan kelembaban, pencahayaan, kebisingan, dan
radiasi. Bahaya lingkungan biologis dapat berupa virus, bakteri, jamur, dan parasit.
Bahaya kimia dapat berupa etilen oksida, eter, dan halotan.
B. Saran
Semoga dalam penulisan makalah ini dapat berguna bagi penulis khususnya, dan bagi
pembaca mungkin dalam penyusunan makalah ini penulis masih banyak kekurangan
karena keterbatasan ruang lingkup, waktu, situasi, kondisi dan ilmu yang penulis miliki.
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
perbaikan penulis makalah ini di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
http://melliyanasuciramadani.blogspot.com/2017/12/makalah-k3.html
395284002-Kelompok-2-K3-Ruang-IGD