Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN ANALISIS JURNAL

A NEW TOOL TO ASSES RISK OF WANDERING IN HOSPITALIZED PATIENTS


RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Praktik Profesi Ners Stase Keperawatan Jiwa

Disusun oleh :
1. Alfi Kurnia Adha 17/420944/KU/20129
2. Fajrul Falah Farhany 17/422902/KU/20203
3. Khulatul Bariroh 17/420981/KU/20166
4. Lilin Krisnani 17/420985/KU/20170
5. Vini Febriyani Zulfa 17/421018/KU/20203
6. Widowati Budi Pratiwi 17/421020/KU/20205

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT DAN
KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Keluyuran diartikan sebagai keadaan ketika seseorang tidak memiliki tujuan atau
mengalami disorientasi ambulasi, meliputi disorientasi tempat, mondar-mandir atau
pergerakan acak (Cipriani, Lucetti, Nuti, & Danti, 2014). Perilaku ini sering ditunjukkan oleh
pasien dengan demensia, sindrom psikiatri dan gangguan kognitif lainnya (Sheth, Krueger,
Bourdon, & Palmer, 2014). Hal ini sering kali menyebabkan keluarga atau yang bertugas
merawat merasa lelah.
Pasien dengan gangguan kognitif yang di rawat di rumah sakit memiliki risiko semakin
tinggi untuk keluyuran karena tempat yang tidak dikenal, efek pengobatan, delirium dan stres
psikologis (Sheth, Krueger, Bourdon, & Palmer, 2014). Tindakan yang sering dilakukan untuk
mencegah pasien keluyuran antara lain mengunci pagar atau jalan keluar, pemasungan dan
mengalungkan identitas pada pasien. Akibat yang cukup serius ketika pasien dengan gangguan
kognisi keluyuran adalah tersesat atau hilang, membahayakan diri sendiri dan orang lain
(Cipriani, Lucetti, Nuti, & Danti, 2014).
Namun, beberapa rumah sakit belum memiliki prosedur keamanan yang spesifik untuk
menghindari terjadinya pasien keluyuran seperti alarm pengawasan ketika pasien
meninggalkan area rumah sakit. Oleh karena itu perlu dikembangkan instrumen pengkajian
atau tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah pasien keluyuran.

B. Rumusan masalah
Bagaimana cara mencegah pasien dengan gangguan jiwa keluyuran selama masa
perawatan di rumah sakit?

C. Manfaat
Mengetehui cara mencegah pasien dengan gangguan jiwa keluyuran selama masa
perawatan di rumah sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Demensia
Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang
menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan
fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
Demensia adalah sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding sebelumnya yang
cukup berat sehingga mengganggu aktivitas sosial dan profesional yang tercermin dalam
aktivitas hidup keseharian, biasanya ditemukan juga perubahan perilaku dan tidak
disebabkan oleh delirium maupun gangguan psikiatri mayor (Ong dkk, 2015). Ada tiga
kategori utama demensia :
1. Penyakit Alzheimer (AD) merupakan jenis demensia yang paling umum. Penyebab AD
belum diketahui dengan jelas saat ini, dan merupakan proses degenerasi yang progresif.
2. Demensia vaskular dipicu oleh stroke dan gangguan serebrovaskular yang
menyebabkan kerusakan otak. Degenerasi bisa terjadi secara tiba-tiba dan cepat.
3. Jenis lain dari demensia bisa disebabkan oleh depresi, kurangnya asupan nutrisi,
hipotiroidisme, dan keracunan obat.

B. Faktor resiko demensia


1. Usia : demensia umumnya terjadi pada orang yang berusia di atas 65 tahun. Risiko
demensia meningkat secara signifikan seiring dengan bertambahnya usia.
2. Riwayat kesehatan keluarga: orang yang memiliki riwayat kesehatan keluarga yang
pernah menderita demensia memiliki faktor risiko yang lebih besar.
3. Jenis kelamin : demensia lebih sering terjadi pada wanita, sebagian besar terjadi karena
wanita hidup lebih lama daripada pria.
4. Gaya hidup : Orang yang menderita tekanan darah tinggi, kadar kolesterol yang tinggi
atau diabetes, dll, memiliki faktor risiko yang lebih tinggi terkena demensia jika mereka
tidak mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan kondisi kesehatan mereka.
5. Gangguan kognitif: Orang dengan gangguan kognitif karena berbagai macam gangguan
atau faktor lainnya memiliki faktor risiko yang lebih tinggi terkena demensia di tahun-
tahun selanjutnya.
6. Tingkat pendidikan: Penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan tingkat
pendidikan yang lebih rendah memiliki faktor risiko yang lebih tinggi terkena demensia.
Mungkin saja orang yang berpendidikan tinggi melakukan lebih banyak latihan mental,
yang melindungi otak mereka dari proses degenerasi.
C. Gejala-gejala dementia
Gejala demensia mencakup:
1. Kehilangan ingatan jangka pendek dan sering melupakan percakapan atau janji, yang
bisa memengaruhi aktivitas atau kemampuan kerja sehari-hari
2. Kesulitan dalam melakukan tugas biasa sehari-hari Masalah berbahasa, kesulitan
berkomunikasi dengan orang lain
3. Penilaian yang buruk
4. Disorientasi waktu dan tempat. Bingung tentang waktu, tanggal atau tempat
5. Masalah dengan pemikiran dan perhitungan
6. Perubahan suasana hati dan perilaku
7. Kehilangan inisiatif
8. Lupa tempat menaruh barang-barang
9. Perubahan kepribadian

D. Tahapan Dementia
Stadium I / awal : Berlangsung 2-4 tahun dan disebut stadium amnestik dengan gejala
gangguan memori, berhitung dan aktivitas spontan menurun. Fungsi memori yang
terganggu adalah memori baru atau lupa hal baru yang dialami, dan tidak menggangu
aktivitas rutin dalam keluarga (Stanley, 2007).
Stadium II / pertengahan : Berlangsung 2-10 tahun dan disebut fase demensia.
Gejalanya antara lain, disorientasi, gangguan bahasa (afasia). Penderita mudah bingung,
penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tidak dapat melakukan kegiatan
sampai selesai, gangguan kemampuan merawat diri yang sangat besar, gangguan siklus
tidur, mulai terjadi inkontinensia, tidak mengenal anggota keluarganya, tidak ingat sudah
melakukan suatu tindakan sehingga mengulanginya lagi. Dan ada gangguan visuospasial
yang menyebabkan penderita mudah tersesat di lingkungan (Stanley, 2007).
Stadium III / akhir : Berlangsung 6-12 tahun. Penderita menjadi vegetatif, tidak
bergerak dengan gangguan komunikasi yang parah (membisu), ketidakmampuan untuk
mengenali keluarga dan teman-teman, gangguan mobilisasi dengan hilangnya kemampuan
untuk berjalan, kaku otot, gangguan siklus tidur-bangun, dengan peningkatan waktu tidur,
tidak bisa mengendalikan buang air besar atau kecil. Kegiatan sehari-hari membutuhkan
bantuan orang lain dan kematian terjadi akibat infeksi atau trauma (Stanley, 2007).
E. Cara mendeteksi dan mendiagnosis Dementia
Untuk memastikan kemungkinan kondisi lainnya yang bisa menyebabkan gejala yang
sama, dokter akan melakukan serangkaian tes untuk mendiagnosis demensia serta
melakukan anamnesis dan pemeriksaan kondisi mental secara terperinci.
1. Tes darah: untuk membantu memastikan adanya gangguan lain seperti hipotiroidisme
atau kekurangan vitamin B12, dll.
2. Evaluasi perilaku dan uji kognitif: Sejumlah tes terstruktur untuk mengukur ingatan dan
keterampilan mental, untuk menentukan apakah ada penyakit demensia.
3. Pemindaian MRI (pencitraan resonansi magnetik): Menggunakan medan dan
gelombang radio magnetik untuk membuat citra otak secara terperinci, untuk
membantu mengidentifikasi ukuran dan perubahan struktural otak serta masalah
lainnya, seperti gumpalan darah atau tumor di otak.
4. Pemindaian PET (Tomografi Emisi Positron): Jenis pencitraan yang bisa
mendeteksikelainan beta-amiloid di otak. Pemindaian ini dilakukan dengan
menyuntikkan sejumlah kecil zat radioaktif (pelacak) ke dalam vena. Pelacak diangkut
menuju otak untuk mendeteksi beta-amiloid. Pemindaian ini membantu untuk
mengevaluasi tingkat keparahan kondisi kesehatan dan respons pasien terhadap obat-
obatan.
F. Cara untuk merawat pasien dementia
Pasien penderita demensia membutuhkan dukungan dan perhatian dari anggota
keluarga mereka. Tim medis akan memandu anggota keluarga untuk merawat pasien. Ada
kelompok pasien dan organisasi amal yang menyediakan kursus pelatihan bagi anggota
keluarga. Berikut adalah beberapa kiat untuk merawat penderita demensia:
a. Perawatan harian
1. Menetapkan jadwal bagi pasien, agar pasien tidak bingung karena kehilangan daya
ingat. Misalnya, menetapkan waktu makan dan jadwal kegiatan. Cobalah untuk
menghindari kegiatan yang drastis di malam hari.
2. Pilih hal-hal yang pasien sukai, seperti pakaian dan makanan.
3. Bantu pasien untuk merawat kebersihan diri dan kerapiannya. Dorong pasien untuk
melakukan hal-hal sederhana seperti berpakaian dan menyikat gigi. Bantu pasien hanya
bila diperlukan.
4. Pilih pakaian yang mudah dikenakan oleh pasien, seperti pakaian dengan jumlah
kancing yang sedikit. Tempatkan tanda di lemari atau laci sehingga pasien bisa
mengambil berbagai hal dengan mudah.
b. Lingkungan
1. Gunakan tanda yang berukuran besar dan jelas untuk membantu pasien mengenali
tempat dan waktu, seperti jam dan kalender yang berukuran besar.
2. Tempatkan lampu di rumah atau di samping tempat tidur, sehingga pasien tidak akan
merasa cemas saat bangun di tengah malam.Lampu ini juga bisa mencegah pasien
tersandung.
3. Cobalah untuk tidak mengubah lingkungan sekitar rumah, terutama kamar mandi, toilet,
dan dapur.
4. Jangan pindah rumah, karena lingkungan yang baru bisa menyebabkan rasa bingung
dan takut.
c. Teknik komunikasi
1. Berbicara secara perlahan kepada pasien. Gunakan kalimat pendek dan langsung.
Katakan satu titik kunci saja dalam satu kalimat. Jangan membuat hal-hal menjadi rumit.
2. Ajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Biarkan pasien menjawab ya atau tidak. Beri
cukup waktu bagi pasien untuk memikirkan jawabannya.
3. Ulangi pertanyaan jika pasien lupa.
4. Jika pasien tidak bisa langsung menjawab pertanyaan, bersabarlah dan pasien masih
tidak bisa menjawab, jangan memaksanya. Coba dan ulangi lagi.
5. Gunakan bahasa tubuh. Lakukan kontak mata saat Anda berbicara atau mendengarkan
pasien. Berikan tanggapan seperti menganggukkan kepala.
d. Lainnya
1. Jika pasien menolak untuk ikut serta dalam kegiatan, jangan memaksanya.
2. Jika Anda ingin pasien melakukan hal-hal yang tidak dikenalnya atau pergi ke tempat
yang asing, berikan waktu yang cukup kepada pasien untuk beradaptasi dengan
lingkungan baru, atau tinggal bersama dengan dirinya hingga pasien merasa tidak asing
dengan lingkungan sekitarnya.
BAB III
ANALISIS JURNAL

A. Identitas Jurnal
Judul Jurnal : A New Tool to Asses Risk of Wandering in Hospitalized
Patients
Penulis : Heena Sheth, Robert Palmer, Susan Bourdon
Penerbit : Journal of Gerontological Nursing
Tahun Terbit : Februari, 2014

B. Metode
Pengembangan alat skrining dimulai pada tahun 2010 di Pittsburgh, Pennsylvania oleh
tim multidisipliner yang terdiri atas doker, administrasi rumah sakit, termasuk perawat
pelaksana, perawat primer, dan tenaga kesehatan lainnya yang ahli dalam manajemen risiko,
manajemen lingkungan, keamanaan, dan keselamatan. Tim multidisipliner dipimpin oleh
dokter. Pembuatan alat skrining ini akan diimplementasikan di rumah sakit sebagai acuan
intervensi untuk pasien di rumah sakit.

C. Pengembangan alat skrining dan intervensi


Setelah melakukan tinjauan pada beberapa literature terkini terkait dengan pasien
wandering (keluyuran), tim multidisipliner melakukan diskusi tentang kriteria pasien yang
dapat diskrining, tempat, kapan dilakukan skrining, item pertanyaan penting yang dapat
ditanyakan kepada pasien, siapa yang melakukan skrining, siapa yang melatih orang yang
melakukan skrining, dan bagaimana cara menyatukan hasil skrining dan intervensi dengan
pelayanan rumah sakit terkini.
Pasien yang dilakukan skrining adalah pasien dengan usia >18 tahun, yang baru saja
masuk atau ditransfer ke bangsal, unit perawatan intensif, dari bangsal lainnya. Skrining
dilakukan oleh perawat jaga/perawat penanggung jawab pasien setelah perawat
berinteraksi dengan pasien dan keluarga. Terdapat dua pertanyaan yang harus diisi oleh
perawat sebelum mengkategorikan pasien berisiko atau tidak berisiko, yaitu (a) Apakah
berisiko untuk wandering (kaluyuran) saat ini atau dalam waktu dekat? (b) Apakah pasien
mobilisasi secara mandiri atau dapat bantuan secara minimal dan menunjukkan gangguan
kognitif? Jika jawabannya ‘ya’, maka pasien akan dikategorikan ke pasien berisiko
wandering (keluyuran).
Untuk pasien yang berisiko, tim mengembangkan sembilan intervensi dan tujuh
intervensi tambahan. Alat skrining dikoneksikan dengan sistem rekam medik elektronik.
Berikut daftar intervensi yang dicantumkan di skrining:
1. Memasang foto pasien di luar ruangan dan data rekam medik elektronik jika lokasi
pasien tidak dapat diakses dengan cepat oleh perawat.
2. Memberikan pakaian pasien dengan warna yang cerah (hijau terang) sehingga dapat
dideteksi oleh staff dengan mudahnya.
3. Memperbarui sistem rekam medis elektronik menggunakan Voice Care untuk
mengindikasikan bahwa pasien tersebut berisiko wandering (keluyuran).
4. Mendiskusikan/edukasi terkait intervensi pada pasien berisiko wandering (keluyuran)
dengan keluarga dan pasien.
5. Konsultasikan intervensi yang akan diberikan kepada perawat primer (perawat ahli)
dalam bidang jiwa atau geriatrik tentang risiko wandering (keluyura).
6. Memasang alarm di tempat tidur pasien.
7. Ketika pasien harus ditransfer ke departemen rumah sakit yang lain, pastikan sudah ada
pemberitahuan sebelumnya kepada departemen tersebut.
8. Memasang alat anti-wandering (anti-keluyuran) pada pasien.
9. Memantau pasien setiap jam bila memungkinkan.

Intervensi tambahan mencakup :


1. Menetapkan ruangan yang menyediakan lingkungan yang nyaman dan dapat dipantau
serta dimonitoring setiap waktu.
2. Simpan pakaian pasien di tempat yang aman dan tidak dapat diakses oleh pasien.
3. Fasilitasi aktivitas yang berbeda-beda kepada pasien.
4. Meninjau medikasi (pemberian obat-obatan)
5. Menggunakan restrain
6. Tempatkan penjaga (orang yang mengawasi pasien e.g. anggota keluarga) di kamar
pasien.
7. Pertimbangkan intervensi lain yang diberikan kepada individu.

D. Implementasi Alat Skrining


Alat skrining wandering(keluyuran) belum memiliki gold standard atau belum
memiliki alat validasi untuk menunjukkan pasien berisiko keluyuran, tim pembuat alat
skrining ini menggunakan opini dua orang perawat ahli sebagai standard atau penetapan
kriteria pasien tersebut berisiko keluyuran atau tidak. Hal ini dikarenakan banyaknya
ditemukan skrining yang salah yang dilakukan oleh perawat pelaksana atau perawat
pendamping. Untuk itu, perawat ahli bertanggung jawab untuk melatih perawat pelaksana
agar assessment pada alat skrining keluyuran lebih akurat.
Selama 3 minggu, alat skrining keluyuran ini diujicobakan (program pilot-testing)
mulai dari bulan Januari dan Februari 2010. Setiap pasien yang masuk, maka sistem rekam
medik elektronik secara otomatis akan menampilkan form pengkajian risiko keluyuran
yang harus diisi dan perawat jaga atau perawat pelaksana akan meninjau ulang kepada
pasien dan keluarga, lalu mengisi form tersebut.

Selama 3 minggu dilakukan studi, perawat pelaksana melakukan skrining sebanyak


1528 pasien. Hasil skrining tersebut disimpulkan terdapat 48 (3,1%) pasien yang positif
berisiko keluyuran dengan usia terbanyak yaitu lansia, ≥65 tahun (66,7%). Skrining
banyak ditemukan di unit bedah ( 41,7%) dengan ras Kaukasia (89,6%) serta berjenis
kelamin laki-laki (58,3%). Di antara pasien yang berisiko tersebut terdapat 13 orang
(27,1%) mengalami demensia dan 45 orang (93,8%) mengalami gangguan kognisi.
Perawat ahli dan perawat pelaksana mengambil 38 dari 48 orang pasien yang
dikategorikan positif keluyuran dan 34 orang pasien berhasil diberikan intervensi yang
sesuai. Perawat ahli meyakini bahwa dua orang pasien membutuhkan konsultasi dari
psikiater, satu orang membutuhkan konsultasi dari psikiater serta ditempatkan di kamar
yang dekat dengan nurse station. Dan satu pasien lainnya membutuhkan pengawasan atau
orang yang mendampingi di dalam ruangan. Pada akhirnya terdapat dua pasien yang
discharge planning. Melihat banyaknya jumlah pasien yang dilakukan skrining dan
hasilnya dinilai negatif keluyuran oleh perawat ahli, alat skrining ini menjadi termasuk alat
skrining yang tidak praktis. Namun, selama pasien berisiko di rawat inap, tidak
ditemukannya pelaporan adanya pasien yang keluyuran.

E. Pembahasan
Alat pengkajian untuk mengidentifikasi pasien rawat inap yang berisiko keluyuran telah
dikembangkan oleh multidisiplin tim dan diimplementasikan dalam satu rumah sakit oleh
perawat jaga yang dilatih oleh perawat primer. Pendokumentasian perawat jaga meningkat
setelah mendapatkan evaluasi dari perawat primer, yang artinya pengkajian itu berhasil
diimplementasikan di seluruh rumah sakit yang terkoneksi dengan Perekam Data
Kesehatan Elektronik. Perlu diketahui, ini adalah kali pertama alat pengkajian keluyuran
dengan Perekam Data Kesehatan Elektronik digunakan oleh perawat jaga di rumah sakit.
Pengkajian yang dilakukan oleh perawat jaga ternyata akurat dan dapat mencegah
keluyuran pada pasien yang beresiko tinggi. Umpan balik/evaluasi dari perawat primer
kepada perawat jaga terbukti efektif dalam membantu mereka meningkatkan kemampuan
untuk mengkaji pasien dengan intervensi yang tepat dalam mencegah pasien yang berisiko
berkeliaran.
Alat pengkajian ini bertujuan untuk menilai risiko pasien keluyuran dari fasilitas rawat
inap dengan intervensi yang umum digunakan untuk mencegah pasien keluyuran.
Pengkajian ini dirancang untuk memfasilitasi perawatan jangka panjang dan umumnya
tidak praktis untuk digunakan di rumah sakit karena belum adanya standar umum yang bisa
digunakan sebagai pedoman. Selain mengembangkan alat tersebut, perawat jaga dapat
melakukan intervensi berdasarkan hasil kajian dengan cepat dan mudah. Segala intervensi
yang dilakukan langsung terkoneksi dengan Perekam Data Kesehatan Elektronik. Alat
pengkajian ini pernah di uji coba di Departemen Urusan Veteran AS pada tahun 2010.
Intervensi yang diberikan berupa menempatkan pasien dekat dengan ners station dan
mengurangi restrain karena beresiko membuat pasien cedera atau tertekan.
Pencegahan dan manajemen delirium dapat dicapai dengan cara mengurangi faktor
risiko, mulai dari pengobatan, peningkatkan hidrasi dan mobilitas pasien merupakan
beberapa cara yang bisa dilakukan. Meskipun tergolong murah, beberapa intervensi seperti
terapi musik, aromaterapi, pengurangan stresor (misalnya mengurangi kebisingan) terbukti
efektif dalam mencegah pasien untuk keluyuran dari perawatan dalam jangka panjang.
Aktivitas pengkajian tersebut menyediakan pilihan intervensi yang praktis untuk
diterapkan di rumah sakit.

F. Batasan
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, Pertama, tidak adanya kriteria standar
untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki risiko keluyuran, penentuan kriteria standar
masih mempertimbangkan keputusan dari Perawat Primer. Keputusan Perawat Primer
dapat berbeda-beda dari waktu ke waktu, perbedaan ini bisa diatasi melalui program
pelatihan seperti Peningkatkan Perawatan untuk Kesehatan Lansia.
Kedua, pelajaran yang bisa diambil dari uji coba alat pengkajian ini adalah perawat
membutuhkan lebih banyak tempat tidur untuk menilai kognisi dan mobilisasi pasien.
Rumah sakit yang tidak memiliki perawat primer yang mampu memberikan pelatihan bisa
mempertimbangkan pelatihan dari NICHE untuk perawat jaga mereka.
Ketiga, keakuratan evaluasi perawat primer dari pengkajian ini hanya sebesar 3,1% dari
jumlah kasus pasien yang positif memiliki risiko keluyuran pada satu rumah sakit.
Penelitian selanjutnya bisa meneliti akurasi alat pengkajian di beberapa rumah sakit dan
subkelompok pasien.
Keempat, saat penelitian berlangsung, tidak ada kejadian pasien yang
berkeliaran/berkeluyuran saat pengkajian dan intervensi berlangsung, penelitian jangka
panjang dapat meneliti tentang efektivitas alat pengkajian dan intervensi tersebut.
BAB IV
IMPLIKASI KEPERAWATAN

1. Perawat menerapkan alat pengkajian keluyuran dan intervensi ini saat ada pasien yang
memiliki resiko keluyuran
2. Perawat berkolaborasi dengan dokter untuk saling mendukung antara pemberian terapi
farmakologi dan non farmakologi (seperti terapi musik, aromaterapi, pengurangan
stressor) dalam menangani pasien yang beresiko keluyuran
3. Perawat Primer memberikan pelatihan, memonitoring dan mengevaluasi tindakan yang
dilakukan oleh perawat jaga terhadap pasien yang beresiko keluyuran.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengkajian Resiko Keluyuran dan Intervensi adalah alat pengkajian berbasis Perekam
Data Kesehatan Elektronik yang dapat digunakan oleh perawat jaga secara cepat dan
mudah untuk pasien yang dirawat di rumah sakit. Dalam program ini terdapat juga daftar
intervensi yang sudah terkoneksi dengan Perekam Data Kesehatan Elektronik yang dapat
digunakan oleh perawat jaga dalam menangani pasien yang memiliki risiko keluyuran.
Hasil uji coba diatas menunjukkan bahwa dari 1.528 pasien yang ada di poli, bedah,
traumatik, dan Unit Perawatan Intensif (dalam sebuah rumah sakit), alat pengkajian ini
terbukti membantu dalam mengidentifikasi dan mencegah pasien yang berisiko keluyuran.
Kemudian, pelatihan yang dilakukan oleh Perawat Primer terbukti efektif dalam
meningkatkan kemampuan perawat jaga dalam menilai dan mengelola pasien yang berisiko
keluyuran.

B. Saran
Saran yang dapat diberikan untuk penelitian setelahnya antara lain:
1. Perlu adanya kriteria standar untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami
keluyuran
2. Perlu adanya tindak lanjut dalam mengukur tingkat akurasi dan efektifitas instrumen
pengkajian tersebut di beberapa sub kelompok pasien
DAFTAR PUSTAKA

Cipriani, G., Lucetti, C., Nuti, A., & Danti, S. (2014). Wandering and Dementia.
Psychogeriatrics, 1-8.

Sheth, H. S., Krueger, D., Bourdon, S., & Palmer, R. M. (2014). A New Tools to
Assess Risk of Wandering Hospitalized Patients. Journal of Gerontological
Nursing, 27-33.

http://eprints.undip.ac.id/44525/3/Danu_Kamajaya_22010110110028_BAB_II.pdf
diakses pada 29 Agustus 2018 pukul 05.30 WIB

www.neurona.web.id/paper/PPK%20demensia.pdf diakses pada 29 Agustus 2018


pukul 06.00 WIB

https://www21.ha.org.hk/smartpatient/EM/MediaLibraries/EM/EMMedia/Dementia-
Indonesian.pdf?ext=.pdf diakses pada 28 Agustus 2018 pukul 22.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai