Disusun oleh :
1. Alfi Kurnia Adha 17/420944/KU/20129
2. Fajrul Falah Farhany 17/422902/KU/20203
3. Khulatul Bariroh 17/420981/KU/20166
4. Lilin Krisnani 17/420985/KU/20170
5. Vini Febriyani Zulfa 17/421018/KU/20203
6. Widowati Budi Pratiwi 17/421020/KU/20205
A. Latar belakang
Keluyuran diartikan sebagai keadaan ketika seseorang tidak memiliki tujuan atau
mengalami disorientasi ambulasi, meliputi disorientasi tempat, mondar-mandir atau
pergerakan acak (Cipriani, Lucetti, Nuti, & Danti, 2014). Perilaku ini sering ditunjukkan oleh
pasien dengan demensia, sindrom psikiatri dan gangguan kognitif lainnya (Sheth, Krueger,
Bourdon, & Palmer, 2014). Hal ini sering kali menyebabkan keluarga atau yang bertugas
merawat merasa lelah.
Pasien dengan gangguan kognitif yang di rawat di rumah sakit memiliki risiko semakin
tinggi untuk keluyuran karena tempat yang tidak dikenal, efek pengobatan, delirium dan stres
psikologis (Sheth, Krueger, Bourdon, & Palmer, 2014). Tindakan yang sering dilakukan untuk
mencegah pasien keluyuran antara lain mengunci pagar atau jalan keluar, pemasungan dan
mengalungkan identitas pada pasien. Akibat yang cukup serius ketika pasien dengan gangguan
kognisi keluyuran adalah tersesat atau hilang, membahayakan diri sendiri dan orang lain
(Cipriani, Lucetti, Nuti, & Danti, 2014).
Namun, beberapa rumah sakit belum memiliki prosedur keamanan yang spesifik untuk
menghindari terjadinya pasien keluyuran seperti alarm pengawasan ketika pasien
meninggalkan area rumah sakit. Oleh karena itu perlu dikembangkan instrumen pengkajian
atau tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah pasien keluyuran.
B. Rumusan masalah
Bagaimana cara mencegah pasien dengan gangguan jiwa keluyuran selama masa
perawatan di rumah sakit?
C. Manfaat
Mengetehui cara mencegah pasien dengan gangguan jiwa keluyuran selama masa
perawatan di rumah sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demensia
Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang
menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan
fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
Demensia adalah sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding sebelumnya yang
cukup berat sehingga mengganggu aktivitas sosial dan profesional yang tercermin dalam
aktivitas hidup keseharian, biasanya ditemukan juga perubahan perilaku dan tidak
disebabkan oleh delirium maupun gangguan psikiatri mayor (Ong dkk, 2015). Ada tiga
kategori utama demensia :
1. Penyakit Alzheimer (AD) merupakan jenis demensia yang paling umum. Penyebab AD
belum diketahui dengan jelas saat ini, dan merupakan proses degenerasi yang progresif.
2. Demensia vaskular dipicu oleh stroke dan gangguan serebrovaskular yang
menyebabkan kerusakan otak. Degenerasi bisa terjadi secara tiba-tiba dan cepat.
3. Jenis lain dari demensia bisa disebabkan oleh depresi, kurangnya asupan nutrisi,
hipotiroidisme, dan keracunan obat.
D. Tahapan Dementia
Stadium I / awal : Berlangsung 2-4 tahun dan disebut stadium amnestik dengan gejala
gangguan memori, berhitung dan aktivitas spontan menurun. Fungsi memori yang
terganggu adalah memori baru atau lupa hal baru yang dialami, dan tidak menggangu
aktivitas rutin dalam keluarga (Stanley, 2007).
Stadium II / pertengahan : Berlangsung 2-10 tahun dan disebut fase demensia.
Gejalanya antara lain, disorientasi, gangguan bahasa (afasia). Penderita mudah bingung,
penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tidak dapat melakukan kegiatan
sampai selesai, gangguan kemampuan merawat diri yang sangat besar, gangguan siklus
tidur, mulai terjadi inkontinensia, tidak mengenal anggota keluarganya, tidak ingat sudah
melakukan suatu tindakan sehingga mengulanginya lagi. Dan ada gangguan visuospasial
yang menyebabkan penderita mudah tersesat di lingkungan (Stanley, 2007).
Stadium III / akhir : Berlangsung 6-12 tahun. Penderita menjadi vegetatif, tidak
bergerak dengan gangguan komunikasi yang parah (membisu), ketidakmampuan untuk
mengenali keluarga dan teman-teman, gangguan mobilisasi dengan hilangnya kemampuan
untuk berjalan, kaku otot, gangguan siklus tidur-bangun, dengan peningkatan waktu tidur,
tidak bisa mengendalikan buang air besar atau kecil. Kegiatan sehari-hari membutuhkan
bantuan orang lain dan kematian terjadi akibat infeksi atau trauma (Stanley, 2007).
E. Cara mendeteksi dan mendiagnosis Dementia
Untuk memastikan kemungkinan kondisi lainnya yang bisa menyebabkan gejala yang
sama, dokter akan melakukan serangkaian tes untuk mendiagnosis demensia serta
melakukan anamnesis dan pemeriksaan kondisi mental secara terperinci.
1. Tes darah: untuk membantu memastikan adanya gangguan lain seperti hipotiroidisme
atau kekurangan vitamin B12, dll.
2. Evaluasi perilaku dan uji kognitif: Sejumlah tes terstruktur untuk mengukur ingatan dan
keterampilan mental, untuk menentukan apakah ada penyakit demensia.
3. Pemindaian MRI (pencitraan resonansi magnetik): Menggunakan medan dan
gelombang radio magnetik untuk membuat citra otak secara terperinci, untuk
membantu mengidentifikasi ukuran dan perubahan struktural otak serta masalah
lainnya, seperti gumpalan darah atau tumor di otak.
4. Pemindaian PET (Tomografi Emisi Positron): Jenis pencitraan yang bisa
mendeteksikelainan beta-amiloid di otak. Pemindaian ini dilakukan dengan
menyuntikkan sejumlah kecil zat radioaktif (pelacak) ke dalam vena. Pelacak diangkut
menuju otak untuk mendeteksi beta-amiloid. Pemindaian ini membantu untuk
mengevaluasi tingkat keparahan kondisi kesehatan dan respons pasien terhadap obat-
obatan.
F. Cara untuk merawat pasien dementia
Pasien penderita demensia membutuhkan dukungan dan perhatian dari anggota
keluarga mereka. Tim medis akan memandu anggota keluarga untuk merawat pasien. Ada
kelompok pasien dan organisasi amal yang menyediakan kursus pelatihan bagi anggota
keluarga. Berikut adalah beberapa kiat untuk merawat penderita demensia:
a. Perawatan harian
1. Menetapkan jadwal bagi pasien, agar pasien tidak bingung karena kehilangan daya
ingat. Misalnya, menetapkan waktu makan dan jadwal kegiatan. Cobalah untuk
menghindari kegiatan yang drastis di malam hari.
2. Pilih hal-hal yang pasien sukai, seperti pakaian dan makanan.
3. Bantu pasien untuk merawat kebersihan diri dan kerapiannya. Dorong pasien untuk
melakukan hal-hal sederhana seperti berpakaian dan menyikat gigi. Bantu pasien hanya
bila diperlukan.
4. Pilih pakaian yang mudah dikenakan oleh pasien, seperti pakaian dengan jumlah
kancing yang sedikit. Tempatkan tanda di lemari atau laci sehingga pasien bisa
mengambil berbagai hal dengan mudah.
b. Lingkungan
1. Gunakan tanda yang berukuran besar dan jelas untuk membantu pasien mengenali
tempat dan waktu, seperti jam dan kalender yang berukuran besar.
2. Tempatkan lampu di rumah atau di samping tempat tidur, sehingga pasien tidak akan
merasa cemas saat bangun di tengah malam.Lampu ini juga bisa mencegah pasien
tersandung.
3. Cobalah untuk tidak mengubah lingkungan sekitar rumah, terutama kamar mandi, toilet,
dan dapur.
4. Jangan pindah rumah, karena lingkungan yang baru bisa menyebabkan rasa bingung
dan takut.
c. Teknik komunikasi
1. Berbicara secara perlahan kepada pasien. Gunakan kalimat pendek dan langsung.
Katakan satu titik kunci saja dalam satu kalimat. Jangan membuat hal-hal menjadi rumit.
2. Ajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Biarkan pasien menjawab ya atau tidak. Beri
cukup waktu bagi pasien untuk memikirkan jawabannya.
3. Ulangi pertanyaan jika pasien lupa.
4. Jika pasien tidak bisa langsung menjawab pertanyaan, bersabarlah dan pasien masih
tidak bisa menjawab, jangan memaksanya. Coba dan ulangi lagi.
5. Gunakan bahasa tubuh. Lakukan kontak mata saat Anda berbicara atau mendengarkan
pasien. Berikan tanggapan seperti menganggukkan kepala.
d. Lainnya
1. Jika pasien menolak untuk ikut serta dalam kegiatan, jangan memaksanya.
2. Jika Anda ingin pasien melakukan hal-hal yang tidak dikenalnya atau pergi ke tempat
yang asing, berikan waktu yang cukup kepada pasien untuk beradaptasi dengan
lingkungan baru, atau tinggal bersama dengan dirinya hingga pasien merasa tidak asing
dengan lingkungan sekitarnya.
BAB III
ANALISIS JURNAL
A. Identitas Jurnal
Judul Jurnal : A New Tool to Asses Risk of Wandering in Hospitalized
Patients
Penulis : Heena Sheth, Robert Palmer, Susan Bourdon
Penerbit : Journal of Gerontological Nursing
Tahun Terbit : Februari, 2014
B. Metode
Pengembangan alat skrining dimulai pada tahun 2010 di Pittsburgh, Pennsylvania oleh
tim multidisipliner yang terdiri atas doker, administrasi rumah sakit, termasuk perawat
pelaksana, perawat primer, dan tenaga kesehatan lainnya yang ahli dalam manajemen risiko,
manajemen lingkungan, keamanaan, dan keselamatan. Tim multidisipliner dipimpin oleh
dokter. Pembuatan alat skrining ini akan diimplementasikan di rumah sakit sebagai acuan
intervensi untuk pasien di rumah sakit.
E. Pembahasan
Alat pengkajian untuk mengidentifikasi pasien rawat inap yang berisiko keluyuran telah
dikembangkan oleh multidisiplin tim dan diimplementasikan dalam satu rumah sakit oleh
perawat jaga yang dilatih oleh perawat primer. Pendokumentasian perawat jaga meningkat
setelah mendapatkan evaluasi dari perawat primer, yang artinya pengkajian itu berhasil
diimplementasikan di seluruh rumah sakit yang terkoneksi dengan Perekam Data
Kesehatan Elektronik. Perlu diketahui, ini adalah kali pertama alat pengkajian keluyuran
dengan Perekam Data Kesehatan Elektronik digunakan oleh perawat jaga di rumah sakit.
Pengkajian yang dilakukan oleh perawat jaga ternyata akurat dan dapat mencegah
keluyuran pada pasien yang beresiko tinggi. Umpan balik/evaluasi dari perawat primer
kepada perawat jaga terbukti efektif dalam membantu mereka meningkatkan kemampuan
untuk mengkaji pasien dengan intervensi yang tepat dalam mencegah pasien yang berisiko
berkeliaran.
Alat pengkajian ini bertujuan untuk menilai risiko pasien keluyuran dari fasilitas rawat
inap dengan intervensi yang umum digunakan untuk mencegah pasien keluyuran.
Pengkajian ini dirancang untuk memfasilitasi perawatan jangka panjang dan umumnya
tidak praktis untuk digunakan di rumah sakit karena belum adanya standar umum yang bisa
digunakan sebagai pedoman. Selain mengembangkan alat tersebut, perawat jaga dapat
melakukan intervensi berdasarkan hasil kajian dengan cepat dan mudah. Segala intervensi
yang dilakukan langsung terkoneksi dengan Perekam Data Kesehatan Elektronik. Alat
pengkajian ini pernah di uji coba di Departemen Urusan Veteran AS pada tahun 2010.
Intervensi yang diberikan berupa menempatkan pasien dekat dengan ners station dan
mengurangi restrain karena beresiko membuat pasien cedera atau tertekan.
Pencegahan dan manajemen delirium dapat dicapai dengan cara mengurangi faktor
risiko, mulai dari pengobatan, peningkatkan hidrasi dan mobilitas pasien merupakan
beberapa cara yang bisa dilakukan. Meskipun tergolong murah, beberapa intervensi seperti
terapi musik, aromaterapi, pengurangan stresor (misalnya mengurangi kebisingan) terbukti
efektif dalam mencegah pasien untuk keluyuran dari perawatan dalam jangka panjang.
Aktivitas pengkajian tersebut menyediakan pilihan intervensi yang praktis untuk
diterapkan di rumah sakit.
F. Batasan
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, Pertama, tidak adanya kriteria standar
untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki risiko keluyuran, penentuan kriteria standar
masih mempertimbangkan keputusan dari Perawat Primer. Keputusan Perawat Primer
dapat berbeda-beda dari waktu ke waktu, perbedaan ini bisa diatasi melalui program
pelatihan seperti Peningkatkan Perawatan untuk Kesehatan Lansia.
Kedua, pelajaran yang bisa diambil dari uji coba alat pengkajian ini adalah perawat
membutuhkan lebih banyak tempat tidur untuk menilai kognisi dan mobilisasi pasien.
Rumah sakit yang tidak memiliki perawat primer yang mampu memberikan pelatihan bisa
mempertimbangkan pelatihan dari NICHE untuk perawat jaga mereka.
Ketiga, keakuratan evaluasi perawat primer dari pengkajian ini hanya sebesar 3,1% dari
jumlah kasus pasien yang positif memiliki risiko keluyuran pada satu rumah sakit.
Penelitian selanjutnya bisa meneliti akurasi alat pengkajian di beberapa rumah sakit dan
subkelompok pasien.
Keempat, saat penelitian berlangsung, tidak ada kejadian pasien yang
berkeliaran/berkeluyuran saat pengkajian dan intervensi berlangsung, penelitian jangka
panjang dapat meneliti tentang efektivitas alat pengkajian dan intervensi tersebut.
BAB IV
IMPLIKASI KEPERAWATAN
1. Perawat menerapkan alat pengkajian keluyuran dan intervensi ini saat ada pasien yang
memiliki resiko keluyuran
2. Perawat berkolaborasi dengan dokter untuk saling mendukung antara pemberian terapi
farmakologi dan non farmakologi (seperti terapi musik, aromaterapi, pengurangan
stressor) dalam menangani pasien yang beresiko keluyuran
3. Perawat Primer memberikan pelatihan, memonitoring dan mengevaluasi tindakan yang
dilakukan oleh perawat jaga terhadap pasien yang beresiko keluyuran.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengkajian Resiko Keluyuran dan Intervensi adalah alat pengkajian berbasis Perekam
Data Kesehatan Elektronik yang dapat digunakan oleh perawat jaga secara cepat dan
mudah untuk pasien yang dirawat di rumah sakit. Dalam program ini terdapat juga daftar
intervensi yang sudah terkoneksi dengan Perekam Data Kesehatan Elektronik yang dapat
digunakan oleh perawat jaga dalam menangani pasien yang memiliki risiko keluyuran.
Hasil uji coba diatas menunjukkan bahwa dari 1.528 pasien yang ada di poli, bedah,
traumatik, dan Unit Perawatan Intensif (dalam sebuah rumah sakit), alat pengkajian ini
terbukti membantu dalam mengidentifikasi dan mencegah pasien yang berisiko keluyuran.
Kemudian, pelatihan yang dilakukan oleh Perawat Primer terbukti efektif dalam
meningkatkan kemampuan perawat jaga dalam menilai dan mengelola pasien yang berisiko
keluyuran.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan untuk penelitian setelahnya antara lain:
1. Perlu adanya kriteria standar untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami
keluyuran
2. Perlu adanya tindak lanjut dalam mengukur tingkat akurasi dan efektifitas instrumen
pengkajian tersebut di beberapa sub kelompok pasien
DAFTAR PUSTAKA
Cipriani, G., Lucetti, C., Nuti, A., & Danti, S. (2014). Wandering and Dementia.
Psychogeriatrics, 1-8.
Sheth, H. S., Krueger, D., Bourdon, S., & Palmer, R. M. (2014). A New Tools to
Assess Risk of Wandering Hospitalized Patients. Journal of Gerontological
Nursing, 27-33.
http://eprints.undip.ac.id/44525/3/Danu_Kamajaya_22010110110028_BAB_II.pdf
diakses pada 29 Agustus 2018 pukul 05.30 WIB
https://www21.ha.org.hk/smartpatient/EM/MediaLibraries/EM/EMMedia/Dementia-
Indonesian.pdf?ext=.pdf diakses pada 28 Agustus 2018 pukul 22.00 WIB