Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Vertigo merupakan keluhan yang sering dijumpai dalam praktik,

yang sering digambarkan sebagai rasa berputar,rasa oleng,tak stabil

(giddiness, unsteadiness ), atau rasa pusinh (dizziness). Deskripsi keluhan

tersebut penting diketahui agar tidak dikacaukan dengan nyeri kepala atau

sefalgia, terutama karena dikalangan awam kedua istilah tersebut (pusing

dan nyeri kepala) sering digunakan secara bergantian (Wreksoatmojo,2004

dalam buku sutarni,2015)

Vertigo Merupakan suatu gejala atau keluhan berupa rasa berputar

seolah-olah sedang bergerak, penyakit ini menyebabkan kehilangan

keseimbangan yang biasanya disertai dengan mual dan muntah pada

penderita sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari dan menghambat

tugas-tugas fungsional pada penderita intervensi fisioterapi yang akan

dilakukan pada penelitian ini adalah brandt daroff. ( kurnia, 2017).

Vertigo merupakan suatu fenomena yang terkadang sering ditemui

dimasyarakat. Vertigo adalah suatu gejala atau perasaan dimana seseorang

atau benda di sekitarnya seolah-olah sedang bergerak atau berputar, yang

biasanya disertai dengan mual dan kehilangan keseimbangan. Jika sensasi

atau ilusi berputar yang dirasakan adalah diri sendiri. Hal tersebut

1
Poltekkes Kemenkes Palembang
merupakan vertigo subjektif. Sebaliknya, jika yangbeputar adalah

lingkungan sekitarnya, maka itu disebut vertigo objektif (Mudzakir,2009

dalam Triyanti, 2018).

Vertigo adalah gangguan orientasi spasial atau persepsi dari

pergerakan tubuh (rasa berputar) dan/atau lingkungan sekitarnya. Hal ini

dapat berhubungan dengan gejala lain, seperti impulsion (sensasi tubuh

seperti mengembangkan), oscillopsia (ilusi visual dari mata sehingga

pandangan seperti maju atau mundur), nausea, muntah, atau gangguan

melangkah. (Li JC, Epley JM.2009, dalam widjajalaksmi, 2015).

Prevalensi Vertigo di Jerman Berusia 18 tahun hingga 79 tahun

adalah 30%, 24% diasumsikan karena kelainan vestibuler. Penelitian di

Prancis menemukan 12 bulan setelahnya prevalensi vertigo 48% (Grill et

al., 2013 dalam jurnal Triyanti,dkk 2018). Pasien yang mengalami vertigo

vestibular 75% mendapatkan gangguan vertigo perifer dan 25%

mengalami vertigo sentral (Chaker, 2012 dalam Triyanti, 2018).

Di Indonesia angka kejadian vertigo juga sangat tinggi, pada

tahun 2010 dari usia 40 sampai 50 tahun sekitar 50% yang merupakan

keluhan nomor tiga paling sering dikeluhan oleh penderita yang datang

ke rumah sakit, setelah nyeri kepala, dan stroke (Sumarilyah,2010 dalam

Nike, 2018). Umumnya vertigo ditemukan sebesar 15% dari keseluruhan

populasi dan hanya 4-7% yang diperiksakan ke dokter (Sumarilyah,2018

dalam Triyanti, 2018).

2
Poltekkes Kemenkes Palembang
Satu-Satunya terapi untuk Penderita Vertigo adalah terapi

farmakologi atau obat. Seperti halnya upaya yang sudah dilakukan di

praktik mandiri dokter yang akan diteliti yaitu memberikan obat untuk

meringankan vertigo. Untuk penderita vertigo biasa mengkonsumsi obat

untuk meringankan atau menghilangkan gejala vertigo. Namun obat yang

di konsumsi tentu saja memiliki efek samping. (Wratsongko,2006 dalam

Triyanti, 2018).

Salah satu tindakan non farmakologis yang dapat mengurangi atau

menghilangkan gejala tersebut adalah dengan menggunakan metode

Brandt Daroff yang merupakan bentuk terapi fisik atau senam fisik

vestibuler untuk mengatasi gangguan vestibular seperti vertigo. Terapi

fisik ini dilakukan untuk mengadaptasi diri terhadap gangguan

keseimbangan. Latihan Brandt Daroff memiliki keuntungan atau kelebihan

dari terapi fisik lainnya atau dari terapi Farmakologi yaitu dapat

mempercepat sembuhnya vertigo dan untuk mencegahnya terjadinya

kekambuhan tanpa harus mengkosnsumikan obat. Selain itu Latihan

Brandt Daroff dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan pasien tidak

perlu berkeliling mencari dokter yang bisa menyembuhkan vertigonya.

(Bahrudin,2013 dalam jurnal Triyanti, 2018).

Latihan Brandt Daroff merupakan latihan fisik yang bertujuan

untuk melakukan habituasi terhadap sistem vestibuler sentral. Selain itu,

sebagian ahli berpendapat bahwa gerakan pada latihan Brandt Daroff

dapat melepaskan otokonia dari kupula berdasarkan teori cupulolithiasis.

3
Poltekkes Kemenkes Palembang
Latihan ini mudah diajarkan pada pasien VPPJ dan mudah pula

dilakukan di rumah. Selain itu, latihan ini tidak memerlukan waktu lama

dalam pelaksanaannya. Di Departemen THT FKUI-RSCM, latihan

Brandt Daroff ini telah sering diajarkan pada pasien VPPJ.(Rully, 2016).

Menurut Dongwook Han (2012), Latihan Brandt Daroff yang

dilakukan selama 2 minggu akan memperbaiki kondisi vestibular wanita

yang mengalami vertigo. (Hastuti, 2017)

Penelitian Helminski (2005) pada pasien yang diberikan latihan

brandt daroff dirumah sebanyak 4 kali sehari selama seminggu

menunjukkan bahwa pasien yang diberikan latihan brandt daroff

mengalami penurunan gejala-gejala vertigo dan berkurangnya risiko

kekambuhan gejala. Hasil penelitian sesuai dengan teori bahwa latihan

brandt daroff dapat meningkatkan keseimbangan pada pasien benign

paroxismal positional vertigo. (Hastuti, 2017)

Hal ini telah dibuktikan oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh widjajalaksami dkk yang melakukan penelitian dengan tema

pengaruh latihan brandt daroff dan modifikasi manuver epley pad vertigo

posisi paroksismal jinak. Hasil penelitian tersebut menunjukkan terdapat

perbedaan bermakna pada nilai SSS Pada Latihan BD dan Latihan MME

(p<0,05). Tidak ditemukan perbedaan bermakna pada nilai posturografi

dengan latihan MME. Ditemukan perbedaan bermakna (p<0,05) pada

sepuluh variabel posturografi dengan latiahn BD. Tidak ditemukan

4
Poltekkes Kemenkes Palembang
perbedaan bermakna (p>0,05) dari nilai SSS dan posturografi antara

latihan brandt daroff dan MME. (kusumaningsih, 2015).

Hal ini dibuktikan oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Triyanti,dkk yang melakukan

Dari Berbagai Penelitian terbukti bahwa latihan brandt daroff

dapat memberikan efek bagi pasien vertigo. Berdasarkan pemaparan

masalah tersebut, peneliti tertarik untuk mengindetifikasi pengaruh

pemberian terapi fisik brandt daroff terhadap vertigo.

B. Rumusan Masalah

.Vertigo Merupakan suatu gejala atau keluhan berupa rasa berputar

seolah-olah sedang bergerak, penyakit ini menyebabkan kehilangan

keseimbangan yang biasanya disertai dengan mual dan muntah pada

penderita sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari dan menghambat

tugas-tugas fungsional pada penderita intervensi fisioterapi yang akan

dilakukan pada penelitian ini adalah brandt daroff. Salah satu terapi non

farmakologi yang dapat mengurangi atau menghilangkan gejala tersebut

adalah dengan menggunakan metode Brandt Daroff. Oleh karena itu,

peneliti tertarik untuk meneliti tentang “apa pemberian terapi brandt

daroff dapat memberikan pengaruh vertigo”.

5
Poltekkes Kemenkes Palembang
C. Tujuan penelitian

a. Tujuan Umum

Untuk Mengetahui pengaruh pemberian terapi fisik brandt daroff

terhadap pasien vertigo di Rumah Sakit Siti Khodijah Palembang

2019.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk Mengetahui karekteristik penderita Vertigo.

2. Untuk Mengetahui pengaruh pemberian terapi fisik brandt daroff

terhadap vertigo.

3. Untuk Mengetahui rata-rata keseimbangan sesudah dilakukan

pemberian terapi fisik brandt daroff.

4. Untuk Mengetahui perbedaan pengaruh latihan brandt daroff

terhadap gangguan keseimbangan pada pasien vertigo.

D. Ruang lingkup

Penelitian ini membahas tentang pengaruh pemberian terapi fisik

brandt daroff terhadap vertigo. Yang menjadi sampel dari

penelitian ini adalah pasien vertigo.

6
Poltekkes Kemenkes Palembang
E. Manfaat Penelitian

a. Teoritis

Diharapkan dapat menambahkan pengetahuan dan wawasan sehingga

pada Latihan Brandt Daroff dapat memperbaiki keseimbangan tubuh.

b. Praktis

Meningkatkan pengetahuan bagi perawat, pasien,dan masyarakat

tentang pengaruh pemberian terapi fisik brandt daroff terhadap vertigo,

sehingga dapat memperbaiki keseimbangan, dengan metode ini.

F. Keaslian Skripsi

Nike ( 2017 ) mengenai pengaruh pemberian terapi fisik brandt

daroff terhadap vertigo di rsud dr.r soedarsono pasuruan. penelitian yang

akan dilakukan yaitu Rancangan peneliti ini menggunakan rancangan

penelitian Quasi experimental. dengan rancangan penelitian yaitu non-

Probability. Dan Puji Hastuti (2016) pengaruh latihan brandt daroff

terhadap keseimbangan dan resiko jatuh pada pasien benign paroxismal

positional vertigo di rsud dr. Soedono madiun.Rancangan : Quasi

Exsperimental Pendekatan Pretest-posttest conrol group design Perbedaan

subjek penelitian,lokasi penelitian dan tempat penelitian.

7
Poltekkes Kemenkes Palembang
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. VERTIGO

1. Definisi

Vertigo merupakan keluhan yang sering dijumpai dalam praktik,

yang sering digambarkan sebagai rasa berputar, rasa oleng tak stabil

(giddiness,unsteadiness), atau rasa pusing (diziness). Deskripsi

keluhan tersebut pentin diketahui agar tidak dikacaukan dengan

nyeri kepala atau sefalgia, terutama karena dikalangan awam kedua

istilah tersebut ( pusing dan nyeri kepala ) sering digunakan secara

bergantian.

Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari

tubuh atau lingkungan sekitarnya dengan gejala lain yang timbul

terutama dari sistem otonom, yang disebabkan oleh gangguan alat

keseimbangan tubuh berbagai keadaan atau penyakit.

Vertigo adalah gangguan orientasi spasial atau persepsi dari

pergerakan tubuh (rasa berputar) dan/atau lingkungan sekitarnya.

Hal ini dapat berhubungan dengan gejala lain, seperti impulsion

(sensasi tubuh seperti mengembangkan), oscillopsia (ilusi visual dari

mata sehingga pandangan seperti maju atau mundur), nausea,

8
Poltekkes Kemenkes Palembang
muntah, atau gangguan melangkah. (Li JC, Epley JM.2009, dalam

jurnal widjajalaksmi dkk, 2015).

a. Etiologi

Ada beberapa penyebab dari Vertigo Perifer menurut

Kelompok Studi Vertigo UGM (2015) yaitu:

1) Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) : menyebabkan

serangan pusing transien (berlangsung beberapa detik) yang rekuren.

Vertigo terjadi karena perubahan posisi kepala yang menyebabkan kristal

kalsium karbonat dari otolit yang lepas ke dalam kanalis semisirkularis

akibat gerakan kepala atau perubahan posisi. Serangan biasanya menetap

selama berminggu-minggu sebelum akhirnya sembuh sendiri.

2) Infeksi: Neuritis vestibular akut atau labirinitis.

3) Ototoksik.

4) Vaskuler: oklusi dari arteri vestibular yang merupakan cabang dari

arteri auditori internal dari arteri cerebelar inferior anterior.

5) Struktural: Fistula perilimfatik baik spontan maupun akibat trauma.

6) Metabolik: Meniere sindrom.

7) Tumor: Neuroma akustik.

9
Poltekkes Kemenkes Palembang
b. Gejala

Menurut Sutarni,dkk (2015) bahwa Seseorang dikategorikan

menderita Vertigo bila mengalami beberapa gangguan menurut berikut:

1) Pusing.

2) rasa terayun.

3) Mual.

4) Keringat dingin.

5) Muntah.

6) Sempoyongan sewaktu berdiri atau berjalan.

7) Nistagmus.

c. Patofisiologi

Pada telinga dalam terdapat 3 kanalis semisirkularis. Ketiga

kanalis semisirkularis tersebut terletak pada bidang yang saling tegak lurus

satu sama lain. Pada pangkal setiap kanalis semisirkularis terdapat bagian

yang melebar yakni ampula. Di dalam ampula terdapat kupula, yakni alat

untuk mendeteksi gerakan cairan dalam kanalis semisirkularis akibat

gerakan kepala. Sebagai contoh, bila seseorang menolehkan kepalanya ke

arah kanan, maka cairan dalam kanalis semisirkularis kanan akan tertinggal

sehingga kupula akan mengalami defleksi ke arah ampula. Defleksi ini

diterjemahkan dalam sinyal yang diteruskan ke otak sehingga timbul sensasi

10
Poltekkes Kemenkes Palembang
kepala menoleh ke kanan. Adanya partikel atau debris dalam kanalis

semisirkularis akan mengurangi atau bahkan menimbulkan defleksi kupula

ke arah sebaliknya dari arah gerakan kepala yang sebenarnya. Hal ini

menimbulkan sinyal yang tidak sesuai dengan arah gerakan kepala,

sehingga timbul sensasi berupa vertigo.

Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan

tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang

sebenarnya dengan apayang dipersepsi oleh susunan saraf pusat.

(Sri Sutarni,dkk.2018) Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan

kejadian tersebut :

1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)

Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan

menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya

terganggu, akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.

2. Teori konflik sensorik.

Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal

dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan

proprioceptif, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang

berasal dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan

kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat

berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan

(gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal

11
Poltekkes Kemenkes Palembang
dari sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini

lebih menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.

3. Teori neural mismatch

Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori

ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu,

sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai

dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan

saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang -

ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak

lagi timbulgejala.

4. Teori otonomik

Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai

usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim

simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai

berperan.

5. Teori Sinap

Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai peranan

neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada

proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan

stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor),

peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf

simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa

meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat

12
Poltekkes Kemenkes Palembang
meneangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat

di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang

menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat

dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.

d. Pengobatan

Vertigo dapat diatasi dengan Obat untuk mengurangi atau

menghilangkan gejala vertigo. Namun obat yang di konsumsi tentu

saja memiliki efek samping. Banyak Terapi-terapi selain

farmakologi. Salah satunya terapi rehabilitas vestibular yaitu epley

manuver, semount manuver dan brandt daroff exercis. lain secara

Sudah banyak penderita yang sembuh dengan cara ini. Terapi seperti

Latihan Brandt Daroff memiliki keuntungan dan kelebihan dari

terapi fisik lainnya atau dari terapi farmakologi yaitu dapat

mempercepat sembuhnya vertigo dan untuk mencegah terjadinya

kekambuhan atau harus mengkomsumsi obat, latihan brandt daroff

dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. (Bahrudin 2013 ,dalam

jurnal Nike Chusnul,dkk, 2018 )

a. Definisi Terapi Fisik

Terapi Fisik adalah jenis perawatan medis yang membantu

seseorang dalam upaya menggerakan tubuhnya. Kita mungkin akan

13
Poltekkes Kemenkes Palembang
bertanya-tanya mengapa ada orang yang sampai perlu membutuhkan

bantuan untuk bergerak.

Ahli terapis fisik adalah tenaga kesehatan profesional yang tahu

banyak tentang bagaimana cara memperbaiki tubuh yang tidak benar.

Mereka dapat menangani berbagai macam orang dari mulai bayi kecil

dan setua kakek-nenek. (Andri Priyatna,2011).

1. Latihan Brandt Daroff

a. Pengertian Brandt Daroff

Latihan Brandt Daroff adalah salah satu vestibular, latihan

teraupetik berupa adaptasi vestibular subtitusi dan habituasi gejala

menggunakan gerakan kepala. Latihan akan memperbaiki

keseimbangan, mengurangi resiko jatuh, dan memperbaiki kebugaran

(dalam jurnal Puji Tri A,dkk.2017).

Latihan Brandt Daroff merupakan latihan fisik yang bertujuan

untuk melakukan habituasi terhadap sistem vestibuler sentral,

sebagian ahli berpendapat bahwa gerakan pada latihan brandt daroff

dapat melepaskan otokonia dari kupula berdasarkan latihan

cupulolithiasis. Terapi Latihan Brandt Daroff dapat dilakukan dengan

aman dirumah dan tidak memerlukan seseorang praktisi yang terlatih

(Kusumaningsih,2015.dlm jurnal Putri Indrawati,2018)

14
Poltekkes Kemenkes Palembang
b. Klasifikasi Vertigo

Vertigo Patologik diklasifikasikan menjadi dua kategori

berdasarkan saluran vestibular yang mengalami kerusakan, yaitu

vertigo periferal dan vertigo sentral. Saluran vestibular adalah salah

satu organ bagian dalam telinga yang senantiasa mengirimkan

informasi tentang posisi tubuh ke otak untuk menjaga keseimbangan.

Gambar 2.1 skema klasifikasi Vertigo

(Sumber Joesoef & Kusumastuti,2002 ; Kelompok Studi Vertigo

PERDOSSI,2012, Sutarni,Dkk, 2015)

15
Poltekkes Kemenkes Palembang
A. Vertigo fisiologik

Vertigo fisiologik adalah keadaan vertigo yang ditimbulkan oleh

stimulasi dari sekitar penderita, dimana sistem vestibulum, mata, dan

somatosensorik berfungsi baik. Yang termasuk dalam kelompok ini antara

lain:

 Mabuk gerakan (motion sickness) Mabuk gerakan ini akan

ditekan bila dari pandangan sekitar (visual surround) berlawanan

dengan gerakan tubuh yang sebenarnya. Mabuk gerakan akan

terasa bila sekitar individu bergerak searah dengan gerakan badan.

Keadaan yang memperovokasi antara lain duduk di jok belakang

mobil, atau membaca waktu mobil bergerak.

 Mabuk ruang angkasa (space sickness) Mabuk ruang angkasa

adalah fungsi dari keadaan tanpa berat (weightlessness). Pada

keadaan ini terdapat suatu gangguan dari keseimbangan antara

kanalis semisirkularis dan otolit.

 Vertigo ketinggian (height vertigo) Adalah suatu instabilitas

subjektif dari keseimbangan postural dan lokomotor oleh karena

induksi visual, disertai rasa takut jatuh, dang gejala-gejala

vegetatif.

B. Vertigo periferal

16
Poltekkes Kemenkes Palembang
Terjadi jika terdapat gangguan di saluran yang disebut kanalis

semisirkularis, yaitu telinga bagian tengah yang bertugas mengontrol

keseimbangan. Vertigo jenis ini biasanya diikuti gejala-gejala seperti:

pandangan gelap, rasa lelah dan stamina menurun, jantung berdebar,

hilang keseimbangan, tidak mampu berkonsentrasi, perasaan seperti

mabuk, otot terasa sakit, mual dan muntah-muntah, memori dan daya pikir

menurun, sensitif pada cahaya terang dan suara, berkeringat.

Gangguan kesehatan yang berhubungan dengan vertigo periferal

antara lain penyakit-penyakit seperti benign parozysmal positional vertigo

(gangguan akibat kesalahan pengiriman pesan), penyakit meniere

(gangguan keseimbangan yang sering kali menyebabkan hilang

pendengaran),vestibular neuritis (peradangan pada sel-sel saraf

keseimbangan) , dan labyrinthitis (radang di bagian dalam pendengaran).

a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo

merupakan penyakit yang sering ditemukan, dimana vertigo terjadi

secara mendadak dan berlangsung kurang dari 1 menit. perubahan posisi

kepala (biasanya terjadi ketika penderita berbaring, bangun, berguling

diatas tempat tidur atau menoleh ke belakang) biasanya memicu terjadinya

episode vertigo ini. penyakit ini tampaknya disebabkan oleh adanya

endapan kalsium di dalam salah satu kanalis semisirkularis di dalam

telinga bagian dalam. vertigo jenis ini mengerikan, tetapi tidak berbahaya

dan biasanya menghilang dengan sendirinya dalam beberapa minggu atau

17
Poltekkes Kemenkes Palembang
bulan. tidak disertai hilangnya pendengaran maupun telinga berdenging

Saat ini dikaitkan dengan kondisi otoconia (butir kalsium di dalam kanalis

semisirkularis) yang tidak stabil. Terapi fisik dan manuver Brandt-Daroff

dianggap lebih efektif daripada medikamentosa.

b. Penyakit Menier

Dianggap disebabkan oleh pelebaran dan ruptur periodik

kompartemen endolimfatik di telinga dalam. Selain vertigo, biasanya

disertai juga dengan tinitus dan gangguan pen-dengaran. Belum ada

pengobatan yang terbukti efektif; terapi profilaktik juga belum

memuaskan; tetapi 60-80 % akan remisi spontan. Dapat dicoba

pengggunaan vasodilator, diuretik ringan bersama diet rendah garam.

Kadang-kadang dilakukan tindakan operatif berupa dekompresi ruangan

endolimfatik dan pe-motongan n.vestibularis. Pada kasus berat atau jika

sudah tuli berat, dapat dilakukan labirintektomi atau merusak saraf

dengan instilasi aminoglikosid ke telinga dalam (ototoksik lokal).

Pencegahan antara lain dapat dicoba dengan menghindari kafein, berhenti

merokok, membatasi asupan garam. Obat diuretik ringan atau antagonis

kalsium dapat meringankan gejala. Simtomatik dapat diberi obat

supresan vestibluer.

18
Poltekkes Kemenkes Palembang
c. Neuritis vestibularis

Merupakan penyakit yang self limiting, diduga disebabkan oleh

infeksi virus; jika disertai gangguan pendengaran disebut labirintitis.

Sekitar 50% pasien akan sembuh dalam dua bulan. Di awal sakit, pasien

dianjurkan istirahat di tempat tidur, diberi obat supresan vestibuler dan

anti emetik. Mobilisasi dini dianjurkan untuk merangsang mekanisme

kompensasi sentral.

d. Vertigo akibat obat

Beberapa obat ototoksik dapat menyebabkan vertigo yang di sertai

tinitus dan hilangnya pendengaran. Obat-obat itu antara lain

aminoglikosid, diuretik loop, antiinflamasi nonsteroid, derivat kina atau

antineoplasitik yang mengandung platina. Streptomisin lebih bersifat

vestibulotoksik, demikian juga gentamisin;sedangkan kanamisin,

amikasin dan netilmisin lebih bersifat ototoksik.

C. Vertigo sentral

Terjadi jika ada sesuatu yang tidak normal di dalam otak,

khususnya di bagian saraf keseimbangan, yaitu daerah percabangan otak

dan serebelum (otak kecil). Gejala vertigo sentral biasanya terjadi secara

bertahap, penderita akan mengalami hal-hal seperti: penglihatan ganda,

sukar menelan, kelumpuhan otot-otot wajah, sakit kepala yang parah,

19
Poltekkes Kemenkes Palembang
kesadaran terganggu, tidak mampu berkata-kata, hilangnya koordinasi,

mual dan muntah-muntah, tubuh terasa lemah.

Gangguan kesehatan yang berhubungan dengan vertigo sentral

termasuk antara lain stroke, multiple sclerosis (gangguan tulang belakang

dan otak), tumor, trauma dibagian kepala, migren, infeksi, kondisi

peradangan, neurodegenerative illnesses (penyakit akibat kemunduran

fungsi saraf) yang menimbulkan dampak pada otak kecil. Penyebab dan

gejala keluhan vertigo biasanya datang mendadak, diikuti gejala klinis

tidak nyaman seperti banyak berkeringat, mual,dan muntah. Faktor

penyebab vertigo adalah Sistemik, Neurologik, Ophtalmologik,

Otolaringologi, Psikogenik, dapat disingkat SNOOP.

Yang disebut vertigo sistemik adalah keluhan vertigo yang

disebabkan oleh penyakit tertentu, misalnya diabetes mellitus, hipertensi

dan jantung. Sementara itu, vertigo neurologik adalah gangguan vertigo

yang disebabkan oleh gangguan saraf. Keluhan vertigo yang disebabkan

oleh gangguan mata atau berkurangnya daya penglihatan disebut vertigo

ophtalmologis; sedangkan vertigo yang disebabkan oleh berkurangnya

fungsi alat pendengaran disebut vertigo otolaringologis.

Selain penyebab dari segi fisik, penyebab lain munculnya vertigo

adalah pola hidup yang tak teratur, seperti kurang tidur atau terlalu

memikirkan suatu masalah hingga stres. Vertigo yang disebabkan oleh

stres atau tekanan emosional disebut vertigo psikogenik. Vertigo sering

20
Poltekkes Kemenkes Palembang
kali disebabkan oleh adanya gangguan keseimbangan yang berpusat di

area labirin atau rumah siput di rongga telinga. kemungkinan penyebab

vertigo antara lain: Infeksi virus seperti influenza yang menyerang area

labirin, Infeksi bakteri di telinga bagian tengah, Radang sendi di daerah

leher, Serangan migren, Sirkulasi darah yang terlalu sedikit sehingga

menyebabkan aliran darah ke pusat keseimbangan otak menurun, Mabuk

kendaran, Alkohol dan obat-obatan tertentu.

21
Poltekkes Kemenkes Palembang
22
Poltekkes Kemenkes Palembang
A. Kerangka Teori

EFFECTOR
CONTROL PROCESS

Mode Adaptasi Fisiologi OUTPUT


INPUT
Regulator
Latihan Brandt Daroff
Latihan Brandt Daroff

Stimulus Fokal 1. Pasien duduk tegak ditepi tempat Latihan BD berperan meningkatkan efek
Latihan terapeutik
tidur dengan tungkai tergantung. adaptasi dan habituasi sistem vestibular,
berupa adaptasi
Gangguan vestibular 2. Tutup kedua mata. dan pengulangan yang lebih sering pada
3. Baringkan tubuh dengan cepat ke vestibular subtitusi dan
latihan BD berpengaruh dalam proses
salah satu sisi tubuh, tahan selama 30 habituasi gejala
Stimulus Kontekstual adaptasi pada tingkat integrasi sensorik.
detik. menggunakan gerakan
Integrasi sensorik juga bekerja dalam
Vertigo, Gangguan 4. Duduk tegak kembali selama 30 detik kepala (brandt daroff
5. Baringkan tubuh dengan cara yang penataan kembali ketidakseimbangan
keseimbangan, Risiko jatuh exercise). Latihan akan
sama ke sisi yang lain, tahan selama input antara sistem organ vestibular dan
memperbaiki :
Stimulus Residual 30 detik. persepsi sensorik lainnya. Mendorong
Keseimbangan dan
6. Duduk tegak kembali, otokonia untuk kembali ke utrikulus
7. Latihan ini dilakukan berulang (3 x risiko jatuh
Vertigo berulang melalui ujung non ampulatory kanal
sehari)dan masing-masing dikerjakan
dengan bantuan gravitasi
10 menit lamanya (Sjahrir H, 2008).

Skema 2.2 kerangka Teori penelitian

sumber prieharti , mumpuni (2016); Hamlin, 2009; Eriawan 2013; Barbara C.Long, 2010; Widyastuti,
Hastuti, dkk. 2015; Widayarti, 2011).

23
Poltekkes Kemenkes Palembang
2. Penelitian Terkait
.

Kusumaningsih,dkk (2015) mengenai pengaruh latihan brandt

daroff dan modidikasi manuver epley pada vertigo posisi paroxymal jinak

menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan bermakna pada nilai SSS

pada latihan BD dan Latihan MME (p<0,05). Tidak ditemukan perbedaan

bermakna pada nilai posturografi dengan latihan MME ditemukan

perbedaan bermakna (p<0,05) pada sejumlah variabel postural gravi

dengan latihan BD. Tidak ditemukan perbedaan bermaka (p>0,05) dari

nilai SSS dan postural gravi antara latihan BD dan MME kesimpulannya

terdapat perbaikan bermakna nilai SSS yang lebih cepat pada kelompok

yang diberikan latihan BD dibandingkan kelompok MME.

Puji Asuti,dkk (2017) mengenai pengaruh latihan brandt daroff

terhadap keseimbangan dan resiko jatuh pada pasien benign paroxismal

positional vertigo menunjukkan hasil bahwa adanya pengaruh latihan BD

terhadap keseimbangan (p=0,0001) dan resiko jatuh (p=0,002). Sedangkan

perbandingan antara pengelompok kontrol dan intervensi terdapat

keseimbangan terdapat perbedaan (p=0,0001) terdapat resiko jatuh tidak

ada perbedaan (p=0,616).

Penelitian Nike,dkk. (2018) mengenai pengaruh pemberian terapi

fisik Brandt Daroff terhadap vertigo menunjukkan adanya pengaruh

pemberian terapi fisik brandt daroff terhadap vertigo

(pValue=0,000<0,05), artinya Ha diterima.

24
Poltekkes Kemenkes Palembang
BAB III

KERANGKA KONSEP , DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah model pendahuluan dari sebuah masalah

penelitian dan merupakan refleksi dari hubungan variabel-varibel

yang diteliti (Shi, 2008 dalam Swarjana K, 2015)

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor-Faktor :
Terapi Latihan Brandt
Jenis Kelamin Daroff
Usia

Kebiasaan Olahraga

Riwayat Penyakit

Skema 1.Kerangka Konsep Penelitian

25
Poltekkes Kemenkes Palembang
Definisi operasional

Definisi operasional variabel penelitian ini dapat dilihat

Tabel 1.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian


Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Variabel
Independen Lembar
Terapi Fisik Responden observasi Panduan(SOP) Sebelum dan -
Latihan Brandt mengikuti dan (lampiran) terapi fisik sesudah terapi
Daroff menjalani terapi Latihan Brandt Daroff
fisik latihan Brandt Daroff
brandt daroff (lampiran)
dalam posisi yang
nyaman

Variabel
dependen mengalami vertigo
Vertigo ringan dan yang Lembar Panduan(SOP) Nilai Mengalami rasio
sebelum mengalami vertigo Observasi terapi fisik vertigo ringan
perlakuan berat (Lampiran) Latihan dan yang
responden diukur Brandt Daroff mengalami
dengan terapi (lampiran vertigo berat
latihan fisik brandt
daroff sebelum
perlakuan
dilakukan terapi
latihan brandt
daroff

Variabel
dependen
Vertigo Nilai mengalami Lembar Panduan(SOP) Mengalami rasio
setelah vertigo ringan dan Observasi terapi fisik vertigo ringan
perlakuan yang mengalami (Lampiran) Latihan dan yang
vertigo berat yang Brandt Daroff mengalami
diukur dengan (lampiran vertigo bera
latihan brandt dalam dilakukan
daroff setelah terapi latihan
perlakuan setelah brandt
dilakukan terapi

26
Poltekkes Kemenkes Palembang
B. Hipotesis

Hipotesis adalah hasil yang diharapkan atau hasil yang

diantisipasi dari sebuah dari sebuah penelitian. Apabila kita mau

melakukan penelitian, umumnya kita memiliki ide tentang outcome

dari studi tersebut. ( Thomas et al., 2010 dalam swarjana K 2015 ).

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ha : Ada pengaruh Terapi Fisik Latihan Brandt Daroff Terhadap

Pasien Vertigo di Rumah Sakit Siti Khodijah Palembang.

27
Poltekkes Kemenkes Palembang
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dengan

desain eksperimen yaitu Quasi Eksperiment. Rancangan penelitian

yang digunakan adalah pre-test and post test Group, di dalam desain

kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi (pretest),

kemudian diobservasi lagi setelah intervensi (posttest) (Nursalam,

2016).

Alur dari penelitian ini adalah kelas yang digunakan kelas

penelitian (kelas eksperimen) diberi pre-test (O1) kemudian

dilanjutkan dengan pemberian perlakuan/treatment (O2) yaitu

pemberian terapi fisik latihan brandt daroff setelah itu diberi post-

test. Secara sederhana desain penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1

berikut :

Tabel 2.1 One Grup Pre test-Post test Design

Pre-Test Intervensi Post-Test

O1 X O2

28
Poltekkes Kemenkes Palembang
Keterangan :

O1 : Pengukuran Pemberian Terapi fisik (Pre-Test) dilakukan

sebelum diberikan intervensi latihan brandt daroff.

X : 2 Perlakuan (treatment) pemberian intervensi Latihan Brandt

daroff sebagai terapi untuk menurunkan gangguan keseimbangan

tubuh.

O2 : Pengukuran Pemberian Terapi Fisik (Pro-Test) dilakukan

sesudah diberikan intervensi Latihan Brandt Daroff .

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah kumpulan dari individu atau objek atau

fenomena yang secara potensial dapat diukur sebagian bagian

dari penelitian (Mazhindu and scott, 2005 dalam swarjana

2015). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien

Vertigo di RS Siti Khodijah Palembang.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian diambil dari seluruh objek diteliti

dan dianggap dapat mewakili seluruh populasi yang diambil

dengan teknik tertentu (Notoadmojo, 2010).

Dalam menentukan sample dalam penelitian ini penulis

menggunakan cara Non Probability Sampling. Hal ini

29
Poltekkes Kemenkes Palembang
dilakukan dengan jenis Consecutive Sampling mengambil

subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi

didasarkan atas adanya tujuan tertentu (Sugiono, 2012).

Menjelaskan bahwa Non Probability Sampling adalah teknik

penentuan sample dengan pertimbangan tertentu.

a. Kriteria Inklusi

Sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan kriteria inklusi

berikut ini :

1) Pasien Bersedia Menjadi Responden

2) Mampu berkomunikasi dengan baik.

3) Pasien bersedia mengikuti dan menjalani terapi fisik selama

penelitian berlangsung.

4) Kesadaran Responden Compos mentis.

5) Bersedia menjadi responden dan menandatangani informed

concent,

b. Kriteria Eksklusi

1) Pasien yang kurang kooperatif.

2) Pasien yang mengalami keterbatasan gerak

Besar sampel minimal pada penelitian ini dihitung

berdasarkan rumus (Lameshow Stanley, dkk, 1997 dalam

Nursalam, 2016) :

30
Poltekkes Kemenkes Palembang
𝑁.𝑧 2 .𝑝.𝑞
Rumus :n=
𝑑 2 (𝑁−1)+𝑧 2 .𝑝.𝑞

Keterangan :

n = perkiraan besar sample

N = perkiraan besar populasi (30)

z = nilai standar α = 0,05 (1,96)

p = perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50%

q = 1-p (100%-p)

d = tingkat kesalahan atau eror (d=0,01)

𝑁.𝑧 2 .𝑝.𝑞
n=
𝑑 2 (𝑁−1)+𝑧 2 .𝑝.𝑞

n = 84.( 1,96)2 .0,1.0,9

(0,1)2 (83) +(1,96)2 .( 0,1)(0,9)

n=29,042496

1,175744

n=25

C. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Siti Khodijah

Palembang.

31
Poltekkes Kemenkes Palembang
D. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

1. Sumber data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data

primer yaitu data diambil secara langsung melalui Lembar

Observasi, dan kuisioner.

2. Teknik pengumpulan data

a. Data Primer

Data responden yang didapatkan dari Penggunaan lembar

observasi sesudah diberikan Latihan Brandt Daroff.

b. Data Sekunder

Data sekunder dari penelitian adalah data kunjungan pasien

yang menjalani Terapi Latihan Brandt Daroff di RS Siti

Khodijah Palembang.

E. Instrumen dan Bahan Penelitian

Merupakan alat bantu bagi peneliti dalam mengumpulkan data.

Alat ukur atau instrument yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Lembar observasi untuk mencatat hasil Latihan Brandt Daroff

sebelum dan sesudah dilakukan intervensi.

2. Lembar Vertigo symptom scale-short form (VSS-SF).

3. Kuisioner Responden terapi fisik latihan brandt daroff.

4. Standar operasional prosedur (SOP) terapi fisik latihan brandt

daroff.

32
Poltekkes Kemenkes Palembang
F. Prosedur penelitian

1. Tahap Persiapan

a. Peneliti menunjukkan surat ijin kepada institusi Poltekkes

Kemenkes Palembang Prodi D.IV Keperawatan, peneliti

mengajukan ijin penelitian kepada Direktur RS Siti Khodijah

Palembang.

b. Setelah mendapatkan ijin dari Direktur RS Siti Khodijah

Palembang, peneliti melakukan penelitian dengan memilih

responden sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang telah

ditetapkan oleh peneliti, setelah itu peneliti menjelaskan tujuan

penelitian kepada responden serta memberikan lembar informed

consent untuk ditanda tangani.

c. Menyiapkan semua perlengkapan yang digunakan meliputi

lembar observasi, Kuisioner , Lembar vertigo symptom scale-

short form (VSS-SF), dan alat tulis.

2. Tahap Pelaksanaan

a. Memperkenalkan diri kepada responden

b. Menanyakan dan mencatat identitas responden pada lembar

observasi.

c. Melakukan pre-test dengan cara pemberian terapi fisik

latihan brandt daroff, kemudian hasilnya dicatat pada lembar

observasi.

33
Poltekkes Kemenkes Palembang
d. Lalu setelah itu melakukan terapi fisik latihan brandt daroff

dengan cara Duduk tegak di tepi tempat tidur Selanjutnya

Putar kepala 45 derajat ke kiri dan Berbaringlah di sisi kanan

Pertahankan posisi ini selama 30 detik atau sampai pusing

mereda, Maka lakukan sebaliknya.

e. Melakukan post test dengan cara Terapi Fisik responden

setelah dilakukan intervensi Latihan Brandt Daroff,

kemudian hasilnya dicatat pada lembar observasi.

f. Data-data yang telah diperoleh kemudian dikumpulkan untuk

dianalisis.

G. Manajemen Data

Peneliti Melakukan Beberapa tahp dalam pengolahan data

meliputi editing,cording,memasukan data/ pemrosesan (data entry)

dan pembersihkan data (cleaning) (Notoatmodjo, 2010) :

1. Editing

Dalam tahap ini, peneliti melakukan pengecekan data.

Setelah seluruh data terkumpul, peneliti melakukan

pemeriksaan ulang karakteristik responden dan hasil

pemberian latihan brandt daroff responden sebelum dan

sesudah dilakukan terapi untuk mengetahui apakah latihan

brandt daroff responden mengalami perubahan.

34
Poltekkes Kemenkes Palembang
2. Koding

Peneliti melakukan pengubahan data, data berbentuk huruf

diubah menjadi data berbentuk angka (bilangan). Hal ini

bertujuan untuk mempermudah analisis data dan mempercepat

pemasukan data.

3. Entry Data

Sebelum melakukan pemprosesan data, peneliti melakukan

pengecekan dan pengkodean pada semua data. Pemprosesan

data dilakukan dengan cara meng-entri data dari lembar

observasi ke dalam paket program komputer (SPSS).

4. Cleaning Data

Peneliti melakukan pengecekan kembali data yang sudah di

entri apakah ada kesalahan atau tidak. Setelah dipastikan tidak

ada kesalahan, maka pengolahan data dilanjutkan pada tahap

analisis data yaitu meliputi analisis univariat dan bivariat.

H. Analisa Data

Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah

dengan menggunakan komputer meliputi ;

1. Analisa Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian

(Notoatmodjo, 2010). Analisis univariat dalam penelitian ini

35
Poltekkes Kemenkes Palembang
bertujuan untuk menggambarkan karakteristik variabel yang

diteliti, yaitu data karakteristik responden usia, jenis kelamin, dan

pendidikan. Hasil analisis data berupa distribusi frekuensi dan

presentase dari masing-masing variabel termasuk mean, median,

dan standar deviasi.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk membuktikan hipotesi

yang telah dirumuskan yaitu apakah ada pengaruh Terapi Fisik

Latihan Brandt Daroff terhadap Pasien Vertigo. Uji statistik yang

digunakan adalah uji wilxoson, dilakukan untuk mengetahui

apakah ada perbedaan yang bermakna terhadap Latihan Brandt

Daroff sebelum dan sesudah pada intervensi. Dalam penelitian ini

menggunakan tingkat kemaknaan 0,05 dan CI 95%.

I. Etika Peneliti

Menurut Sugiyono (2010), dalam melaksanakan sebuah

penelitian, ada beberapa prinsip etis atau etika penelitian yang

harus diperhatikan, sebagai berikut:

1. Informed Consent (lembar persetujuan)

Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang

sebelumnya diberi penjelasan secukupnya tentang tujuan

penelitian untuk menandatangani inform consent tersebut.

36
Poltekkes Kemenkes Palembang
2. Anonymity (Kerahasiaan Identitas)

Kerahasiaan identitas responden dijaga oleh peneliti dan

hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Identitas

penelitian hanya diketahui oleh peneliti dan tidak

disebarluaskan.

3. Confidentiality (Kerahasiaan Informasi)

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti,

hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan

sebagai hasil penelitian.

37
Poltekkes Kemenkes Palembang

Anda mungkin juga menyukai