Anda di halaman 1dari 71

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tekanan darah tinggi sering disebut sebagai pembunuh gelap/silent killer

karena termasuk penyakit yang mematikan. Hipertensi adalah penyakit yang dapat

menyerang siapa saja, baik muda maupun tua. Hipertensi merupakan salah satu

penyakit paling mematikan di dunia. Sebanyak 1 milyar orang di dunia atau 1 dari 4

orang dewasa menderita penyakit ini. Diperkirakan jumlah penderita hipertensi akan

meningkat menjadi 1,6 milyar menjelang tahun 2025 (Pudiastuti,2013).

Kasus hipertensi terus meningkat salah satunya disebabkan oleh gaya hidup

yang tidak sehat. Gaya hidup yang gemar makan makanan fast food yang kaya lemak,

asin, dan malas berolahraga ikut berperan dalam menambah jumlah pasien hipertensi.

Selain itu masih banyak lagi yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi seperti

kegemukan (obesitas), stres, merokok, dan mengkonsumsi alkohol juga dapat

memicu terjadinya hipertensi (Nainggolan, 2013).

Faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi adalah usia, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, aktivitas fisik (pekerjaan), faktor genetik (keturunan), asupan

makan, kebiasaan merokok, dan stres (Novitaningtyas, 2014).

Pendidikan secara tidak langsung mempengaruhi tekanan darah. Hasil

Riskesdas tahun 2013 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2013)
2

bahwa penyakit hipertensi cenderung tinggi pada pendidikan rendah dan menurun

sesuai dengan peningkatan pendidikan dikarenakan kurangnya pengetahuan pada

seseorang yang berpendidikan rendah terhadap kesehatan dan sulit atau lambat

menerima informasi (penyuluhan) yang diberikan oleh petugas sehingga berdampak

pada perilaku/pola hidup sehat (Anggara & Prayitno, 2013).

Genetik (keturunan) seseorang yang mempunyai riwayat hipertensi pada

keluarga akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk megalami hipertensi (Arifin,

dkk, 2016). Menurut penelitian Marys (2016) bahwa ada hubungan antara genetik

dengan kejadian hipertensi dikarenakan seseorang yang mempunyai riwayat keluarga

hipertensi beberapa gennya akan berinteraksi dengan lingkungan dan menyebabkan

peningkatan tekanan darah.

Status dietadalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis

makanan dengan maksud tertentu seperti mempertahankan kesehatan atau membantu

kesembuhan penyakit (Noviyanti, 2015). Menurut penelitian Herawati & Sartika

(2013) bahwa ada hubungan antara status diet dengan kejadian hipertensi dikarenakan

jika pola makan teratur dan benar maka jantung akan bekerja dengan normal.

Obesitas berkaitan dengan kegemaran mengkonsumsi makanan tinggi lemak

serta meningkatkan resiko terjadinya hipertensi akibat faktor lain. Menurut penelitian

Arifin, dkk (2015). Menurut penelitian Rahayu (2012) bahwa ada hubungan antara

obesitas dengan kejadian hipertensi dikarenakan obesitas terjadi penimbunan lemak

berlebih didalam jaringan tubuh. Yang mana jaringan lemak tidak aktif akan

menyebabkan beban kerja jantung meningkat.


3

Stres suatu keadaan non spesifik yang dialami penderita akibat tuntutan

emosi, fisik atau lingkungan yang melebihi daya dan kemampuan untuk mengatasi

dengan efektif (Artiyaningrum, 2015). Menurut penelitian Silvia (2016) bahwa ada

hubungan antara stres dengan kejadian hipertensi dikarenakan stres akan membuat

seseorang memiliki kecepatan denyut jantung yang tinggi dan akan meningkatkan

kebutuhan suplai darah sehingga, akan meningkatkan tekanan darah.

Organisasi Kesehatan Dunia Menurut World Health Organitation (WHO)

mencatat pada tahun 2012 sedikitnya sejumlah 839 juta kasus hipertensi, diperkirakan

menjadi 1,5 milyar pada tahun 2025 atau sekitar 29% daro total penduduk dunia,

dimana penderitanya lebih banyak pada wanita (30%) dibanding pria (29%). Sekitar

80% kenaikan kasus hipertensi terjadi terutama di negara0negara berkembang

(Triyanto, 2014).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013 didapatkan bahwa

prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran pada umur ≥n18

tahun sebesar 25,8%. Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui

kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,4%, yang terdiagnosis tenaga

kesehatan atau yang sedang minum obat sebesar 9,5%. Jadi, ada 0,1% yang minum

obat sendiri (Agustina, 2016).

Menurut Laporan Dinas Kesehatan Kota Palembang selama 3 tahun terakhir

bahwa hipertensi termasuk dalam 10 penyakit terbesar di kota Palembang pada tahun

(2014) dengan jumlah penderita hipertensi sebanyak 4.522 orang, pada tahun (2015)

jumlah penderita hipertensi sebanyak 6.892 orang, dan sedangkan pada tahun (2016)
4

yaitu jumlah penderita hipertensi sebanyak 13.530 orang (Dinkes Provinsi

Palembang, 2017).

Menurut Laporan Puskesmas Plaju Palembang selama 3 tahun terakhir bahwa

hipertensi termasuk dalam 10 penyakit tertinggi di Puskesmas Plaju Palembang pada

tahun (2014) hipertensi menduduki urutan ke dua dengan laki-laki 1.154 dan

perempuan 1.779, pada tahun (2015) hipertensi mangalami peningkatan pesat

menduduki urutan ke dua dengan laki-laki 1.489 dan perempuan 2.472, dan

sedangkan pada tahun (2016) yaitu laki-laki 1.118 dan perempuan 1.722 (Puskesmas

Plaju Palembang, 2017).

Dari hasil observasi terhadap 10 orang pasien hipetensi di Puskesmas Plaju

Palembang tahun 2017 didapatkan hasil bahwa ke seluruh pasien tersebut mengalami

hipertensi pada usia lanjut, banyak yang berjenis kelamin laki-laki, berpendidikan

rendah, aktifitas ringan, memiliki faktor genetik dari keluarga, pola makan tidak

terjaga dengan baik, sebagaian banyak yang merokok, dan mengkonsumi kopi setiap

hari.

Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti

“Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi di Puskesmas Plaju

Palembang Tahun 2017.


5

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi di

Puskesmas Plaju Palembang tahun 2017?

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka pertanyaan dalam penelitian ini

yaitu faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian hipertensi di

Puskesmas x tahun 2017?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian Hipertensi di Puskesmas x tahun 2017.

1.4.2 Tujuan Khusus

1.4.2.1 Diketahuinya distribusi frekuensi kejadian hipertensi, pendidikan, genetik,

status diet, obesitas, dan stres di Puskesmas x Tahun 2017.

1.4.2.2 Diketahuinya hubungan antara pendidikan dengan kejadian hipertensi di

Puskesmas x tahun 2017.

1.4.2.3 Diketahuinya hubungan antara genetik dengan kejadian hipertensi di

Puskesmas x tahun 2017.


6

1.4.2.4 Diketahuinya hubungan antara status diet dengan kejadian hipertensi di

Puskesmas Plaju tahun 2017.

1.4.2.5 Diketahuinya hubungan antara obesitasdengan kejadian hipertensi di

Puskesmas Plaju tahun 2017.

1.4.2.6 Diketahuinya hubungan antara stresdengan kejadian hipertensi di Puskesmas

Plaju tahun 2017.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.2 Bagi Puskesmas Plaju Palembang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan masukan bagi

petugas kesehatan khususnya putugas puskesmas untuk dapat meningkatkan

pelayanan kesehatan pada pasien hipertensi di Puskesmas Plaju Palembang dalam

mencegah hipertensi melalui hidup sehat.

1.5.2 BagiInstitusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai referensi dalam

pengembangan penelitian selanjutnya serta menambah wawasan atau pengetahuan,

serta dapat meningkatkan mutu pendidikan dan keterampilan dalam mengidentifikasi

masalah kesehatan khususnya dalam bidang keperawatan penyakit dalam, dan

sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan.
7

1.5.3 Bagi Peneliti

Diharapkan dapat memperluas wawasan dan untuk meningkatkan ilmu

pengetahuan peneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

hipertensi.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Fokus penelitian termasuk dalam area Keperawatan Komunitas. Penelitian ini

bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

hipertensi di Puskesmas Plaju Palembang tahun 2017. Penelitian ini menggunakan

desain Cross-Sectional dan pendekatan metode kuantitatif. Data yang digunakan

adalah data primer dan data sekunder. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 31 Juli -

04 Agustus 2017 di tempat Puskesmas Plaju Palembang. Adapun jumlah populasi

351 dengansampel 53 responden.


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Hipertensi

2.1.1 Definisi Hipertensi

Penyakit darah tinggi atau hipertensi (hypertension) adalah suatu keadaan

dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang

ditunjukkan oleh angka systolic (bagian atas) dan angka bawah (diastolic) pada

pemeriksaan tensi darah menggunakan alat pengukur tekanan darah baik yang berupa

cuff air raksa (sphygmomanometer) ataupun alat digital lainnya (Pudiastuti, 2013).

Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah tinggi persistem dimana

tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg.

Hipertensi dikategorikan ringan apabila tekanan diastoliknya antara 95-104 mmHg,

hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya antara 105 dan 114 mmHg, dan hipertensi

berat bila tekanan diastoliknya 115 mmHg atau lebih. Pembagian ini berdasarkan

peningkatan tekanan diastolik karena dianggap lebih serius dari peningkatan sistolik

(Padila, 2012).

Menurut WHO, penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik

lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolik sama atau lebih

besar 95 mmHg (Padila, 2012).

9
9

2.1.2 Etiologi

Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan

besar yaitu (Ardiansyah, 2012):

a. Hipertensi Primer (90%)

Hipertensi primer adalah hipertensi esensial atau hipertensi yang 90% tidak

diketahui penyebabnya. Beberapa faktor yang diduga berkaitan dengan

berkembangnya hipertensi esensial di antaranya (Ardiansyah, 2012):

1) Genetik

Individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi, berisiko

lebih tinggi untuk mendapatkan penyakit ini ketimbang mereka yang

tidak.

2) Jenis Kelamin dan Usia

Laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita pascamenopause beresiko tinggi

untuk mengalami hipertensi.

3) Diet

Konsumsi diet tinggi garam atau kandungan lemak, secara langsung

berkaitan dengan berkembangnya penyakit hipertensi.

4) Berat Badan/Obesitas

25% lebih berat di atas berat badan ideal juga sering dikaitkan dengan

berkembangnya hipertensi.
10

5) Gaya Hidup Merokok dan Konsumsi Alkohol

Dapat meningkatkan tekanan darah (bila gaya hidup yang tidak sehat

tersebut tetap diterapkan).

b. Hipertensi Sekunder (5-10%)

Hipertensi sekunder adalah jenis hipertensi yang penyebabnya diketahui.

Beberapa gejala atau penyakit yang menyebabkan hipertensi jenis ini antara

lain (Ardiansyah, 2012):

1) Coarctationaorta

Yaitu penyempitan aorta congenital yang (mungkin) terjadi pada

beberapa tingkat aorta torasik atau aorta abdominal. Penyempitan ini

menghambat aliran darah melalui lengkung aorta dan mengakibatkan

peningkatan tekanan darah di atas area konstriksi.

2) Penyakit Parenkim dan Vaskular Ginjal

Penyakit ini merupakan penyebab utama hipertensi sekunder. Hipertensi

renovaskular berhubungan dengan penyempitan satu atau lebih arteri

besar, yang secara langsung membawa darah ke ginjal. Sekitar 90% lesi

arteri renal pada pasien dengan hipertensi disebabkan oleh aterosklerosis

atau fibrous dysplasia (pertumbuhan abnormal jaringan fibrosus).

Penyakit parenkim ginjal terkait dengan infeksi, inflamasi, serta

perubahan struktur serta fungsi ginjal.


11

3) Penggunaan Kontrasepsi Hormonal (estrogen)

Oral kontrasepsi yang berisi estrogen dapat menyebabkan hipertensi

melalui mekanisme renin-aldosteron-mediate volume expansion. Dengan

penghentian oral kontrasepsi, tekanan darah kembali normal setelah

beberapa bulan.

4) Gangguan Endokrin

Disfungsi medulla adrenal atau korteks adrenal dapat menyebabkan

hipertensi sekunder. Adrenal-mediate hypertension disebabkan kelebihan

primer aldosteron, kortisol, dan katekolamin. Pada aldosteron primer,

kelebihan aldosteron menyebabkan hipertensi dan hipokalemia.

Aldosteonisme primer biasanya timbul dari adenoma korteks adrenal

yang benign (jinak).

5) Kegemukan (obesitas) dan gaya hidup yang tidak aktif (malas

berolahraga).

6) Stres, yang cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah untuk

sementara waktu. Jika stres telah berlaku, maka tekanan darah biasanya

akan kembali normal.

2.1.3 Klasifikasi Hipertensi

a. Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO

Klasifikasi hipertensi juga banyak diungkapkan oleh para ahli,

diantaranya WHO menetapkan klasifikasi hipertensi menjadi tiga tingkat


12

yaitu tingkat I tekanan darah meningkat tanpa gejala-gejala dari gangguan

atau kerusakan sistem kardiovaskuler. Tingkat II tekanan darah dengan

gejala hipertrofi kardiovaskuler, tetapi tanpa adanya gejala-gejala

kerusakan atau gangguan dari alat atau organ lain. Tingkat III tekanan

darah meningkat dengan gejala-gejala yang jelas dari kerusakan dan

gangguan fatal dari target organ (Ode, 2012).

b. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII

Tabel 2.1
Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII
Derajat Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal < 120 < 80
Pre-hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi derajat I 140-159 90-99
Hipertensi derajat II ≥ 160 ≥ 100
Sumber: Wijaya & Putri, 2013

c. Klasifikasi Menurut European Society of Cardiology

Tabel 2.2
Klasifikasi Menurut European Society of Cardiology
Kategori Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal 120-129 80-84
Normal tinggi 130-139 85-89
Hipertensi derajat I 140-159 90-99
Hipertensi derajat II 160-179 100-109
Hipertensi derajat III ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sistolik terisolasi ≥ 190 < 90
Sumber: Wijaya & Putri, 2013
13

2.1.4 Tanda dan Gejala Hipertensi

Gejala umum yang ditimbulkan akibat menderita hipertensi tidak sama pada

setiap orang, bahkan kadang timbul tanpa gejala. Secara umum gejala yang

dikeluhkan oleh penderita hipertensi sebagai berikut (Aspiani, 2014):

a. Sakit kepala.

b. Rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk.

c. Perasaan berputar seperti tujuh keliling serasa ingin jatuh.

d. Berdebar atau detak jantung terasa cepat.

e. Telinga berdenging.

2.1.5 Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak

dipusat vasomotor pada medula diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf

simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula

spinalis ke ganglia sympati di thoraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor

dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf

simpatis ke ganglia simpatis (Aspiani, 2014).

Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang

serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya

norefinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti

kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap

rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitive terhadap


14

norefinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi

(Padila, 2013).

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh

darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang

mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medulla adrenal mengsekresi

epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol

dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respon vasokonstriktor pembuluh darah.

Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan

pelepasan renin (Wijaya& Putri, 2013).

Renin diproduksi oleh ginjal ketika aliran darah ke ginjal menurun, akibatnya

terbentuklah angiotensin I, yang akan berubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II

meningkatkan tekanan darah dengan mengakibatkan kontraksi langsung pada arteriol.

Secara tidak langsung juga merangsang pelepasan aldosteron, yang mengakibatkan

retensi natrium dan air dalam ginjal. Respons tersebut meningkatkan volume cairan

ekstraseluler, yang pada gilirannya meningkatkan aliran darah yang kembali ke

jantung, sehingga meningkatkan volume sekuncup dan curah jantung (Muttaqin,

2014).

Sekresi renin yang tidak tepat diduga sebagai penyebab meningkatnya tahanan

perifer vascular pada hipertensi esensial. Pada tekanan darah tinggi, kadar renin harus

diturunkan karena peningkatan tekanan arteriolar renal mungkin menghambat sekresi

renal. Namun demikian, sebagian besar orang dengan hipertensi esensial mempunyai

kadar renin normal (Ardiansyah, 2012).


15

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik Hipertensi

Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dilakukan untuk memantapkan

diagnosa (Padila, 2012):

a. Riwayat dan pemeriksaan secara menyeluruh.

b. Pemeriksaan retina.

c. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kerusakan organ seperti ginjal

dan jantung.

d. EKG untuk mengetahui hipertropi ventrikel kiri.

e. Urinalisa untuk mengetahui protein dalam urin, darah, glukosa.

f. Pemeriksaan: Renogram, pielogram intravena arteriogram renal, pemeriksaan

fungsi ginjal terpisah dan penentuan kadar urin.

g. Foto dada dan CT scan.

2.1.7 Penatalaksanaan Hipertensi

Pengobatan pada hipertensi bertujuan untuk mengurangi morbiditas dan

mortalitas dan mengontrol tekanan darah. Dalam pengobatan hipertensi ada 2 cara

yaitu pengobatan nonfarmakologik (perubahan gaya hidup dan pengobatan

farmakologik (Pudiastuti, 2013).

a. Pengobatan Nonfarmakologik

Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan

sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini

meliputi (Pudiastuti, 2013):


16

1) Pengurangan Berat Badan

Penderita hipertensi yang obesitas dianjurkan untuk menurunkan berat badan,

membatasi asupan kalori dan peningkatan pemakaian kalori dengan latihan

fisik yang teratur.

2) Menghentikan Merokok

Merokok tidak berhubungan langsung dengan hipertensi tetapi merupakan

faktor utama penyakit kardiovaskuler. Penderita hipertensi sebaiknya

dianjurkan untuk berhenti merokok.

3) Menghindari Alkohol

Alkohol dapat meningkatkan tekanan darah dan menyebabkan resistensi

terhadap obat anti hipertensi. Penderita yang minum alkohol sebaiknya

membatasi asupan etanol sekitar satu ons sehari.

4) Melakukan Aktivitas Fisik

Penderita hipertensi tanpa komplikasi dapat meningkatkan aktivitas fisik

secara aman. Latihan fisik atau olahraga yang teratur dan terarah yang

dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah olahraga yang mempunyai

empat prinsip, yaitu.

a) Macam olahraga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging,

bersepeda, berenang, dan lain-lain.

b) Intensitas olahraga yang baik antara 60-80% dari kapasitas aerobik atau

72-87% dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Denyut

nadi maksimal dapat ditentukan dengan rumus 220-umur.


17

c) Lamanya latihan berkisar antara 20-25 menit berada dalam zona latihan.

d) Frekuensi latihan sebaiknya 3x perminggu dan paling baik 5x perminggu.

5) Membatasi Asupan Garam

Kurangi asupan garam sampai kurang dari 100 mmol perhari atau kurang dari

2,3 gram natrium atau kurang dari 6 gram NaCl. Penderita hipertensi

dianjurkan juga untuk menjaga asupan kalsium dan magnesium.

b. Pengobatan Farmakologik

Pengobatan farmakologik pada setiap penderita hipertensi memerlukan

pertimbangan berbagai faktor seperti beratnya hipertensi, kelainan organ, dan

faktor resiko lain. Adapun pengobatan hipertensi biasanya dikombinasikan

dengan beberapa obat yaitu (Muttaqin, 2014):

1) Diuretik

Hidroklorotiazid (HCT) adalah diuretik yang paling sering diresepkan untuk

mengobati hipertensi ringan. Hidroklorotiazid dapat diberikan sendiri pada

klien dengan hipertensi ringan atau klien yang baru. Banyak obat

antihipertensi dapat menyebabkan retensi cairan; karena itu, sering kali

diuretik diberi bersama antihipertensi.

2) Simpatolitik

Penghambat (adrenergik bekerja di sentral simpatolitik), penghambat

adrenergik alfa, dan penghambat neuron adrenergik diklasifikasikan sebagai

penekan simpatetik, atau simpatolitik. Penghambat adrenergik beta, dibahas


18

sebelumnya, juga dianggap sebagai simpatolitik dan menghambat reseptor

beta.

3) Penghambat Adrenergik-Alfa

Golongan obat ini memblok reseptor adrenergik alfa 1, menyebabkan

vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Penghambat beta juga

menurunkan lipoprotein berdensitas sangat rendah (very low-density

lipoprotein-VLDL) dan lipoprotein berdensitas rendah (low-density

lipoprotein-LDL) yang bertanggung jawab dalam penimbunan lemak di

arteri (arteriosklerosis).

4) Penghambat Neuron Adrenergik (Simpatolitik yang Bekerja Perifer)

Penghambat neuron adrenergik merupakan obat antihipertensi yang kuat

yang menghambat norepinefrin dari ujung saraf simpatis, sehingga pelepasan

norepinefrin menjadi berkurang dan ini menyebabkan baik curah jantung

maupun tahanan vaskular perifer menurun. Reserpin dan guanetidin (dua

obat yang paling kuat) dipakai untuk mengendalikan hipertensi berat.

5) Vasodilator Arteriol yang Bekerja Langsung

Vasodilator yang bekerja langsung adalah obat tahap III yang bekerja

dengan merelaksasikan otot-otot polos pembuluh darah, terutama arteri,

sehingga menyebabkan vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi, tekanan

darah akan turun dan natrium serta air tertahan, sehingga terjadi edema

perifer. Diuretik dapat diberikan bersama-sama dengan vasodilator yang


19

bekerja langsung untuk mengurangi edema. Refleks takikardia disebabkan

oleh vasodilatasi dan menurunnya tekanan darah.

6) Antagonis Angiotensin (ACE Inhibitor)

Obat dalam golongan ini menghambat enzim pengubah angiotensin (ACE),

yang nantinya akan menghambat pembentukan angiotensin II

(vasokonstriktor) dan menghambat pelepasan aldosteron. Aldosteron

meningkatkan retensi natrium dan ekskresi kalium. Jika aldosteron

dihambat, natrium dieksresikan bersama-sama dengan air. Captopril,

enalapril, dan lisinopril adalah ketiga antagonis angiotensin. Obat-obat ini

dipakai pada klien dengan kadar renin serum yang tinggi.

2.1.8 Komplikasi Hipertensi

Tekanan darah tinggi apabila tidak diobati dan ditanggulangi, maka dalam

jangka panjang akan menyebabkan kerusakan arteri di dalam tubuh sampai organ

yang mendapat suplai darah dari arteri tersebut. Komplikasi hipertensi dapat terjadi

pada organ-organ sebagai berikut(Ardiansyah, 2012):

a. Stroke

Stroke dapat timbul akibat pendarahan karena tekanan tinggi di otak atau

akibat embolus yang terlepas dari pembuluh nonotak. Stroke dapat terjadi

pada hipertensi kronis apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak

mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah

yang diperdarahinya menjadi berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami


20

arterosklerosis dapat melemah, sehingga meningkatkan kemungkinan

terbentuknya aneurisma.

b. Infark Miokardium

Dapat juga terjadi infark miokardium apabila arteri koroner yang mengalami

aterosklerotik tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau

apabila terbentuk thrombus yang dapat menghambat aliran darah melalui

pembuluh tersebut. Karena terjadi hipertensi kronik dan hipertrofi ventrikel,

maka kebutuhan oksigen miokardium tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi

iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga, hipertrofi ventrikel

dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik saat

melintasi ventrikel, sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan

peningkatan risiko pembentukan bekuan darah.

c. Gagal Ginjal

Dapat terjadi gagal ginjal karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi

pada kapiler-kapiler glomerulus. Dengan rusaknya glomerulus, darah akan

mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, neuron akan terganggu, dan dapat

berlanjut menjadi hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya membran

glomerulus, protein akan keluar melalui urine, sehingga tekanan osmotic

koloid plasma berkurang. Hal ini menyebabkan edema yang sering dijumpai

pada hipertensi kronik.


21

d. Ensefalopati

Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna

(hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi akibat kelainan

ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam

ruang intertisium di seluruh susunan saraf pusat. Akibatnya, neuron-neuron di

sekitarnya menjadi kolaps dan terjadi koma serta kematian. Wanita dengan

PIH dapat mengalami kejang. Bayi yang lahir mungkin memiliki berat lahir

rendah akibat perfusi plasenta yang tidak memadai. Bayi juga dapat

mengalami hipoksia dan asidosis apabila ibu mengalami kejang selama atau

sebelum proses persalinan.

2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi tekanan darah, yaitu (Casey &

Benson, 2012):

2.2.1 Usia

Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tekanan darah. Umur

berkaitan dengan tekanan darah tinggi (hipertensi). Semakin tua seseorang maka

semakin besar resiko terserang hipertensi (Novitaningtyas, T, 2014).

Hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif. Umumnya tekanan

darah bertambah secara perlahan dengan bertambahnya umur. Risiko untuk menderita

hipertensi pada populasi ≥ 55 tahun yang tadinya tekanan darahnya normal adalah

90%. Kebanyakan pasien mempunyai tekanan darah prehipertensi sebelum mereka


22

didiagnosis dengan hipertensi, dan kebanyakan diagnosis hipertensi terjadi pada umur

di antara dekade ketiga dan dekade kelima (Triyanto, 2014).

Walaupun penuaan tidak selalu memicu hipertensi, tekanan darah tinggi

biasanya terjadi pada usia lebih tua. Pada usia antara 30 dan 65 tahun, tekanan sistolik

meningkat rata-rata sebanyak 20 mmHg dan terus meningkat setelah usia 70 tahun.

Peningkatan risiko yang berkaitan dengan faktor usia ini sebagian besar menjelaskan

tentang hipertensi sistolik terisolasi dan dihubungakan dengan peningkatan peripheral

vascular resistance (hambatan aliran darah dalam pembuluh darah perifer) dalam

arteri (Casey & Benson, 2012).

2.2.2 Jenis Kelamin

Setiap jenis kelamin memiliki struktur organ dan hormon yang berbeda.

Demikian juga pada perempuan dan laki-laki. Berkaitan dengan hipertensi, laki-laki

mempunyai resiko lebih tinggi untuk menderita hipertensi lebih awal. Laki-laki juga

mempunyai resiko yang lebih besar terhadap morbiditas dan mortalitas

kardiovaskuler. Sedangkan pada perempuan, biasanya lebih rentan terhadap

hipertensi ketika mereka sudah berumur diatas umur 50 tahun. Sangatlah penting bagi

kita untuk menjaga kesehatan sejak dini. Terutama mereka yang memiliki sejarah

keluarga terkena penyakit (Silvia, 2016).

Pria sering mengalami tanda-tanda hipertensi pada usia akhir tiga puluhan,

sedangkan wanita sering mengalami hipertensi setelah menopause. Tekanan darah

wanita, khususnya sistolik, meningkat lebih tajam sesuai usia. Setelah usia 55 tahun,
23

wanita memang mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita hipertensi. Salah satu

penyebab terjadinya pola tersebut adalah perbedaan hormon kedua jenis kelamin.

Produksi hormon estrogen menurun saat menopause, wanita kehilangan efek

menguntungkannya sehingga tekanan darah meningkat (Casey & Benson, 2012).

2.2.3 Pendidikan

Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan

seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula

pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah

tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula (Saputra, 2016).

Tingkat pendidikan secara tidak langsung mempengaruhi tekanan darah.

Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap gaya hidup yaitu kebiasaan merokok,

minum alkohol, dan melakukan aktivitas fisik seperti olahraga. Hasil Riskesdas tahun

2013 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2013) menyatakan

bahwa penyakit hipertensi cenderung tinggi pada pendidikan rendah dan menurun

sesuai dengan peningkatan pendidikan (Anggara & Prayitno, 2013).

Tingginya resiko terkena hipertensi pada pendidikan yang rendah,

kemungkinan disebabkan karena kurangnya pengetahuan pada seseorang yang

berpendidikan rendah terhadap kesehatan dan sulit atau lambat menerima informasi

(penyuluhan) yang diberikan oleh petugas sehingga berdampak pada perilaku/pola

hidup sehat (Novitaningtyas, 2014).


24

2.2.4 Aktivitas Fisik (Pekerjaan)

Hampir semua orang di dalam kehidupan mereka mengalami stress

berhubungan dengan pekerjaan mereka. Hal ini dapat dipengaruhi karena tuntutan

kerja yang terlalu banyak (bekerja terlalu keras dan sering kerja lembur) dan jenis

pekerjaan yang harus memberikan penilaian atas penampilan kerja bawahannya atau

pekerjaan yang menuntut tanggung jawab bagi manusia. Stres pada pekerjaan

cenderung menyebabkan hipertensi berat (Martuti, 2009).

Dibandingkan dengan mereka yang aktif secara fisik, orang yang sering duduk

secara signifikan lebih mungkin mengalami hipertensi dan serangan jantung. Seperti

otot yang lain, jantung akan semakin kuat dengan olahraga. Jantung yang kuat akan

memompa darah lebih efisien. Keuntungan kardiovaskuler lain berkat olahraga

adalah menurunkan berat badan, meningkatkan level HDL, dan menurunkan

trigliserida (lemak dari makanan yang menjadi bagian dari sirkulasi darah dalam

aliran darah) (Casey & Benson, 2012).

Penyakit hipertensi sangat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi dan

pekerjaan yang menguras aktivitas masyarakat sehingga mengurangi pola aktivitas

yang baik untuk di lakukan. Pola aktivitas yang sehat dan makanan yang sehat

merupakan pilihan tepat untuk menjaga diri terbebas dari hipertensi. Semuanya

dilakukan secara terus menerus, tidak boleh temporer. Sekali kita lengah menjaga diri

dengan tidak mengikuti pola aktivitas yang sehat, dipastikan kita akan mudah terkena

hipertensi dan penyakit lainnya (Malara, 2014).


25

2.2.5 Faktor Genetik

Riwayat keluarga juga merupakan masalah pemicu terjadinya hipertensi,

hipertensi sering disebut dengan penyakit keturunan. Jika dari orang tua kita memiliki

riwayat hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki keturunan hipertensi (Silvia,

2016).

Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan

ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu

sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai

sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa

intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya

berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala

(Arifin, dkk, 2016).

2.2.6 Status Diet

Status diet adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis

makanan dengan maksud tertentu seperti mempertahankan kesehatan atau membantu

kesembuhan penyakit. Program diet khusus penderita darah tinggi yaitu program diet

DASH (Dietary Approach for Stop Hypertension), yang dikembangkan oleh dokter

Logeril merupakan strategi pengaturan menu berdasarkan hasil penelitian terhadap

pola makan penduduk mediterania. Prinsip utamanya adalah, menu makanan dengan

gizi seimbang yang terdiri atas buah-buahan, sayur-sayuran, produk susu rendah

lemak, ikan, daging unggas, biji-bijian, dan kacang-kacangan (Noviyanti, 2015).


26

Diet DASH bisa dilakukan secara bertahap selama beberapa hari atau

beberapa minggu. Langkah yangbisa dilakukan adalah sebagai berikut (Noviyanti,

2015):

a. Tingkatkan porsi sayuran pada menu makan siang, kemudian menu makan

malam di hari berikutnya, tingkatkan pula konsumsi buah untuk satu menu

makan atau sebagai makanan ringan.

b. Tingkatkan konsumsi produk-produk susu bebas lemak atau rendah lemak

pada ketiga menu makan.

c. Batasi konsumsi daging sapi sampai 6 ons perhari, atau 3 ons untuk sekali

waktu makan. Kurangi jumlahnya selama beberapa hari sebanyak setengah

atau sepertiga untuk setiap waktu makan.

d. Buatlah menu makan vegetarian atau tanpa daging dua kali atau lebih saat

makan dalam seminggu.

e. Tambahi poni sayur dan beras merah.

f. Gunakan buah dan makanan lain yang rendah lemak jenuh, lemak trans,

kolesterol, natrium, gula, dan kalori, misalnya kacang atau biji-bijian tanpa

garam, yoghurt tanpa lemak, atau beku; popcorn tanpa garam atau tanpa

tambahan mentega sebagai makanan ringan dan pencuci mulut.

g. Untuk makanan dalam kaleng pilih yang rendah sodium.


27

2.2.7 Ras

Orang Afrika-Amerika menunjukkan tingkat hipertensi lebih tinggi dibanding

populasi lain, dan cenderung berkembang lebih awal dan agresif. Mereka memiliki

peluang hampir dua kali lebih besar untuk mengalami stroke yang fatal, satu setengah

kali lebih mungkin meninggal karena penyakit jantung, dan empat kali lebih mungkin

untuk mengalami gagal ginjal dibandingkan dengan ras Kaukasia. Hipertensi

merupakan penyebab kematian nomor satu pada orang Afrika-Amerika (Casey &

Benson, 2012).

2.2.8 Obesitas

Obesitas berkaitan dengan kegemaran mengkonsumsi makanan tinggi lemak

serta meningkatkan resiko terjadinya hipertensi akibat faktor lain. Makin besar massa

tubuh, akan meningkat volume darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan

makanan ke jaringan tubuh. Akibatnya, dinding arteri akan mendapatkan tekanan

yang lebih besar yang menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan darah. Selain itu,

kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung (Arifin, dkk,

2016).

Semua faktor resiko yang dapat dikendalikan, berat badan adalah salah satu

yang paling erat kaitannya dengan hipertensi. Dibandingkan dengan yang kurus,

orang yang gemuk lebih besar peluangnya mengalami hipertensi. Penurunan berat

badan pada penderita hipertensi dapat dilakukan melalui perubahan pola makan dan
28

olahraga secara teratur. Menurunkan berat badan bisa menurunkan tekanan darah 5-

20 mmHg per 10 kg penurunan BB (Triyanto, 2014).

Kelebihan berat badan dan hipertensi sering berjalan beriringan, karena

tambahan beberapa kilogram membuat jantung bekerja lebih keras. Obesitas

dinyatakan bila berat badan lebih dari 20% berat badan ideal (Casey & Benson,

2012).

2.2.9 Kebiasaan Merokok

Merokok adalah kebiasaan/perilaku menghisap rokok dan pernah merokok

dalam kehidupan responden. Tembakau mengandung nikotin yang memperkuat kerja

jantung dan menciutkan arteri kecil hingga sirkulasi darah berkurang dan tekanan

darah meningkat. Berhenti merokok merupakan perubahan gaya hidup yang paling

kuat untuk mencegah penyakit kardiovaskular pada penderita hipertensi (Triyanto,

2014).

Dalam satu batang rokok yang dihisap akan dikeluarkan sekitar 4.000 bahan

kimia berbahaya, diantaranya yang paling berbahaya adalah nikotin, tar, dan carbon

monoksida (CO). Nikotin menyebabkan kerusakan sel paru-parudan kanker. Gas CO

menyebabkan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen, sehingga sel-sel

tubuh akan mati (Silvia, 2016).

Perokok aktif adalah orang yang mengkonsumsi rokok secara rutin dengan

sekecil apapun, walaupun itu cuma 1 batang dalam sehari atau orang yang menghisap

rokok walau tidak rutin sekalipun, hanya sekedar menghisap dan cara menghisap
29

rokok cuma dengan mengembuskan asap walau tidak diisap ke dalam paru-paru.

Sedangkan perokok pasif adalah orang yang tidak perokok tapi menghirup asap rokok

dari orang yang sedang merokok yang berada dalam satu ruangan (Silvia, 2016).

2.2.10 Konsumsi Kopi

Kopi merupakan minuman popular didunia. Kopi dapat mempengaruhi

tekanan darah karena mengandung Polifenol, Niacin, dan Kafein. Kafein memiliki

efek merangsang sistem saraf pusat (SSP). Kafein dapat merangsang pusat vasomotor

dan perangsangan langsung miokardium menyebabkan kenaikan tekanan darah.

Orang yang tidak mengkonsumsi kopi memiliki tekanan darah yang lebih rendah

dibandingkan orang yang mengkonsumsi 1-3 cangkir per hari, dan orang yang

mengkonsumsi 3-6 cangkir per hari memiliki tekanan darah tinggi (Rustam, 2016).

2.2.11 Stres

Stres adalah respons tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntunan

beban atasnya (stresor psikososial) yang berefek pada sistem kardiovaskuler. Stres

juga dapat merangsang ginjal melepaskan hormon adrenalin, yang menyebabkan

tekanan darah naik dan meningkatkan kekentalan darah (Arifin, dkk, 2016).

Hormon adrenalin berperan dalam mempercepat denyut jantung serta

berpengaruh pada penyempitan pembuluh darah. Akibatnya jantung akan berdenyut

lebih kuat sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Stres jelas memainkan
30

peranan dalam hipertensi. Bila level stres menurun tekanan darah juga menurun

(Casey & Benson, 2012).

Stres memang tidak menyebabkan hipertensi yang menetap namun jika

episode stres sering terjadi dapat menyebabkan kenaikan sementara yang sangat

tinggi. Menghindari stres dengan menciptakan suasana yang menyenangkan bagi

penderita hipertensi dan memperkenalkan berbagai metode relaksasi seperti yoga atau

meditasi yang dapat mengontrol sistem saraf yang akhirnya dapat menurunkan

tekanan darah (Wijaya & Putri, 2013).

2.3 Penelitian Terkait

Menurut penelitian Silvia (2016). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

Kejadian Hipertensi Primer di Puskesmas Prabumulih Barat Tahun 2016. Hasil

penelitian didapatkan masing-masing p-value variabel independen terhadap hipertensi

yaitu jenis kelamin (0,129) OR = 1,993, genetik (0,004) OR = 1,24, merokok (0,016)

OR = 3,150, dan stres (0,018) OR = 2,000. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan

bahwa ada hubungan antara jenis kelamin, genetik, merokok, dan stres dengan

kejadian hipertensi di Puskesmas Prabumulih Barat tahun 2016.

Menurut penelitian Artiyaningrum (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan

dengan Kejadian Hipertensi Tidak Terkendali pada Penderita yang Melakukan

Pemeriksaan Rutin di Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2015. Hasil

penelitian didapatkan faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi tidak

terkendali yaitu umur (p value = 0,022), status pasangan (p value = 0,001, konsumsi

garam (p value = 0,001), konsumsi kopi (p value = 0,033, stres (p value = 0,001), dan
31

konsumsi obat antihipertensi (p value = 0,001). Faktor yang tidak berhubungan yaitu

obesitas (p value = 0,280), konsumsi alkohol (p value = 0,502), merokok (p value =

0,265), dan aktivitas olahraga (p value = 0,509).

Menurut penelitian Rahayu (2012). Faktor Resiko Hipertensi pada Masyarakat

RW 01 Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa Kota Jakarta Selatan. Hasil

penelitian didapatkan bahwa ada hubungan umur (p value = 0,000) dan obesitas (p

value = 0,000). Sedangkan yang tidak ada hubungan jenis kelamin (p value = 0,902),

genetik (p value = 0,157), kebiasaan mengkonsumsi asin (p-value = 1,000), kebiasaan

mengkonsumsi lemak jenuh (p value = 0,092), kebiasaan merokok (p value = 1,000),

stres (p value = 1,000), dan kebiasaan olahraga (p value = 0,823).

Menurut penelitian Anggara & Prayitno (2012). Faktor-Faktor yang

Berhubungan dengan Tekanan Darah di Puskesmas Telaga Murni, Cikarang Barat

Tahun 2012. Hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan umur, pekerjaan, IMT,

kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, kebiasaan olahraga, asupan natrium, asupan

kalium berhubungan secara statistik dengan tekanan darah (p < 0,05). Sedangkan

jenis kelamin dan pendidikan tidak berhubungan secara statistik dengan tekanan

darah (p > 0,05).


32

2.4 Kerangka Teori

Bagan 2.1
Kerangka Teori

Faktor Predisposisi:
1. Genetik
2. Jenis kelamin dan usia
3. Diet
4. Berat badan/obesitas
5. Gaya hidup merokok dan
konsumsi alkohol

FaktorPemungkin:
1. Ketersediaan sumber daya
Kesehatan
2. Keterjangkauan sumber daya
kesehatan
3. Prioritas dan komitmen Kejadian Hipertensi
masyarakat/pemerintah terhadap
kesehatan
4. Keterampilan yang berkaitan
dengan kesehatan

Faktor Penguat:
1. Keluarga
2. Teman sebaya
3. Guru
4. Petugas kesehatan

Sumber:Lawrence Green (1980) dalam Notoadmodjo (2010)


33

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian

rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian

(Setiadi, 2013). Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain Cross-Sectional.

Penelitian Cross-Sectional merupakan objek penelitian diukur dan dikumpulkan

secara simultan, sesaat atau satu kali saja dalam satu kali waktu (dalam waktu yang

bersamaan) (Setiadi, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor

yang berhubungan dengan kejadian hipertensi di Puskesmas Plaju Palembang Tahun

2017.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Plaju Palembang. Pelaksanaan

penelitian ini dilakukan pada tanggal 31 Juli - 04 Agustus 2017.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien hipertensi yang ada di Puskesmas

Plaju Palembang yang berjumlah 351 orang.


34

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini diambil secara nonprobability sampling dengan

teknik Accidental Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel berdasarkan kebetulan

atau siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan

sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai

sumber data (Setiadi, 2013). Jumlah sampel yaitu sebesar 53 responden.

Peneliti menggunakan beberapa kriteria inklusi dan eksklusi pada populasi

yang menjadi responden dalam penelitian ini:

a. Kriteria Inklusi:

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Bersedia menjadi responden pada saat penelitian.

2) Mampu di ajak berkomunikasi.

3) Hasil pemeriksaan tekanan darah > 140/90 mmHg.

4) Usia responden muda (45 – 60 tahun), lansia (60 tahun ke atas).

5) Jenis kelamin perempuan dan laki-laki.

b. Kriteria Eksklusi:

1) Tidak bersedia untuk menjadi responden pada saat penelitian.

3.4 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelititan ini menggunakan metode

Accidental Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel berdasarkan kebetulan atau


35

siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai

sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data

(Setiadi, 2013).

3.5 Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini variabel yang akan diteliti adalah variabel independen

yang terdiri daripendidikan, genetik, status diet, obesitas, dan stres. Sedangkan

variabel dependen yang terdiri dari kejadian hipertensi. Sehingga kerangka konsep

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagan 2.1
Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Pendidikan

Genetik
Kejadian
Status Diet Hipertensi

Obesitas

Stres
36

3.5 Definisi Operasional

Tabel 3.1
Definisi Operasional
Skala
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur
1. Pendidikan Pengetahuan erat Wawancara Kuesioner Jumlah total Ordinal
kaitannya dengan skor jawaban
pendidikan dikategorikan:
dimana seseorang 1. Rendah:
pendidikan golongan
tinggi, maka tidak
semakin luas sekolah,
pengetahuannya SD, SMP
2. Tinggi:
golongan
SMA, dan
perguruan
tinggi
(Regen, 2015)
2. Genetik Seseorang yang Wawancara Kuesioner Jumlah total Ordinal
mempunyai skor jawaban
riwayat hipertensi dikategorikan:
pada keluarga 1. Tidak: tidak
akan mempunyai ada
resiko yang lebih keturunan
besar untuk 2. Ya: ada
mengalami keturunan
hipertensi (Silvia, 2016)
3. Status Diet Suatu cara atau Wawancaca Kuesioner Jumlah total Ordinal
usaha dalam skor jawaban
pengaturan dikategorikan:
jumlah dan jenis 1. Kurang:
makanan dengan jika nilai
maksud tertentu mean di
seperti bawah
mempertahankan (31,57)
kesehatan atau 2. Baik: jika
membantu nilai mean
kesembuhan di atas
penyakit (31,57)
(Subkhi, 2016)
37

4. Obesitas Kegemaran Wawancara Kuesioner Jumlah total Ordinal


mengkonsumsi skor jawaban
makanan tinggi dikategorikan:
lemak serta 1. Tidak: tidak
meningkatkan obesitas
resiko terjadinya 2. Ya:
hipertensi akibat obesitas
faktor lain. (Silvia, 2016)
5. Stres Respons tubuh Wawancara Kuesioner Jumlah total Ordinal
yang sifatnya non skor jawaban
spesifik terhadap dikategorikan:
setiap tuntunan 1. Tidak: tidak
beban atasnya stres
(stresor 2. Ya: stres
psikososial) yang (Silvia, 2016)
berefek pada
sistem
kardiovaskuler.
6. Kejadian Keadaan Wawancara Spigmoma- Jumlah total Ordinal
Hipertensi peningkatan nometer skor jawaban
tekanan darah dan dikategorikan:
berdasarkan stetoskop 1. Ringan: bila
diagnosa dari tekanan
petugas darah <
Puskesmas 140/90
mmHg
2. Berat: bila
tekanan
darah >
160/100
mmHg
(Regen, 2015)

3.6 Hipotesis

Adapun hipotesis dari penelitian ini yang diajukan sehubungan dengan

masalah di atas yaitu:


38

a. Ha :

1) Ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian hipertensi di

Puskesmas Plaju Palembang tahun 2017.

2) Ada hubungan antara genetik dengan kejadian hipertensi di Puskesmas

Plaju Palembang tahun 2017.

3) Ada hubungan antara status diet dengan kejadian hipertensi di Puskesmas

Plaju Palembang tahun 2017.

4) Ada hubungan antara obesitas dengan kejadian hipertensi di Puskesmas

Plaju Palembang tahun 2017.

5) Ada hubungan antara stres dengan kejadian hipertensi di Puskesmas Plaju

Palembang tahun 2017.

b. Ho :

1) Tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian hipertensi di

Puskesmas Plaju Palembang tahun 2017.

2) Tidak ada hubungan antara genetik dengan kejadian hipertensi di

Puskesmas Plaju Palembang tahun 2017.

3) Tidak ada hubungan antara status diet dengan kejadian hipertensi di

Puskesmas Plaju Palembang tahun 2017.

4) Tidak ada hubungan antara obesitas dengan kejadian hipertensi di

Puskesmas Plaju Palembang tahun 2017.

5) Tidak ada hubungan antara stres dengan kejadian hipertensi di Puskesmas

Plaju Palembang tahun 2017.


39

3.7 Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan di Puskesmas Plaju Palembang dengan tahapan

sebagai berikut:

a. Proposal penelitian mendapatkan persetujuan dari pembimbing akademik

dilanjutkan dengan mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada

institusi pendidikan sebagai landasan permohonan mengadakan penelitian di

Puskesmas Plaju Palembang yang dipilih sebagai tempat pelaksanaan

penelitian.

b. Setelah itu, peneliti mengajukan surat izin penelitian ke institusi pendidikan,

Kesbangpol, dan Dinkes Provinsi Palembang.

c. Setelah mendapatkan perizinan peneliti menyampaikan surat perizinan

tersebut ke ketua Puskesmas Plaju Palembang.

d. Setelah mendapatkan izin dari ketua Puskesmas Plaju Palembang, peneliti

memilih pasien hipertensi yang mempunyai karakteristik yang sama dan

terbanyak untuk dijadikan sebagai calon responden penelitian.

e. Setelah itu peneliti melakukan pendekatan pada masing-masing calon

responden untuk memperoleh kesediannya menjadi responden penelitian

dengan menjelaskan tujuan dari penelitian, keuntungan penelitian, dan cara

pengisian kuesioner dari peneliti.

f. Jika calon responden setuju untuk ikut serta dalam penelitian ini, maka

responden harus menandatangani lembar persetujuan (informed consent)

dengan tanpa paksaan.


40

g. Selanjutnya peneliti akan mengukur tekanan darah responden terlebih dahulu

sebelum membacakan kuesioner. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan

bahwa pengisian kuesioner dikhawatirkan dapat menyebabkan responden

cemas sehingga dapat meningkatkan nilai tekanan darah.

h. Setelah mengukur tekanan darah responden, peneliti membacakan kuesioner

yang telah memenuhi uji validitas dan reliabilitas kepada responden serta

menjelaskan terlebih dahulu kuesioner tersebut sehingga responden mampu

memahami pernyataan-pernyataan tersebut dan menjawabnya.

i. Jika ada pernyataan yang sulit dipahami, maka peneliti akan menjelaskan

kembali maksud pernyataan tersebut.

j. Setelah lembar kuesioner dipastikan terisi lengkap, kemudian dilakukan

pengolahan data mengunakan program SPSS.

3.8 Pengolahan Data

Proses pengolahan data penelitian melalui tahap-tahap sebagai berikut

(Notoatmodjo, 2012):

a. Editing

Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir

atau kuesioner. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau

setelah data terkumpul.


41

b. Coding

Setelah semua kuesioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan

peng”kodean” atau “coding”, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau

huruf menjadi data angka atau bilangan. Koding atau pemberian data ini

sangat berguna dalam memasukkan data (data entry).

c. Memasukkan Data (data entry) atau Processing

Data dari masing-masing responden yang dalam bentuk kode (angka atau

huruf) dimasukkan ke dalam program atau software komputer.

d. Pembersihan Data (cleaning)

Pembersihan data (cleaning) adalah proses pengecekan kembali data dari

setiap sumber data atau responden yang telah selesai dimasukkan untuk

melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode,

ketidaklengkapan, dan sebagainya. Kemudian dilakukan pembetulan atau

koreksi.

3.9 Analisa Data

Analisa data merupakan salah satu langkah dalam kegiatan penelitian yang

sangat menentukan ketepatan dan dari hasil penelitian (Yusuf, AM, 2014). Analisa

data suatu penelitian, dibedakan menjadi dua macam yaitu:


42

a. Analisa Univariat

Analisa data yang dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari tiap-

tiap variabel, dari variabel dependen yaitu kejadian hipertensi dan variabel

independen yaitu pendidikan, genetik, status diet, obesitas, dan stres di

Puskesmas Plaju Palembang tahun 2017.

b. Analisa Bivariat

Analisa ini bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel yaitu:

variabel dependen yaitu kejadian hipertensi dan variabel independen yaitu

pendidikan, genetik, status diet, obesitas, dan stres dengan menggunakan uji

statistik Chi-Square dengan batas kemaknaan α 0,05. Keputusan hasil statistik

diperoleh dengan cara membanding p value dengan α keputusannya hasil uji

statistik, yaitu :

1) Apabila P value < α 0,05 berarti ada hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen (Notoatmodjo, 2012).

2) Apabila P value > α 0,05 berarti tidak ada hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen (Notoatmodjo, 2012).

3.10 Instrumen Pengumpulan Data

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang

berbentuk pertanyaan, dan telah dilakukan uji validitas dan realibilitas oleh peneliti

terdahulu atas nama Sulistiyowati dengan judul faktor-faktor yang berhubungan


43

dengan kejadian hipertensi di Kampung Botton Kelurahan Magelang Kecamatan

Magelang Tengah Kota Magelang Tahun 2009, disertai dengan pertanyaan

pendidikan, genetik, status diet, obesitas, dan stres yang terdiri dari 20 pertanyaan dan

menggunakan analisa univariat dan bivariat dan uji validitas.

3.11 Etika Penelitian

Persetujuan dan kerahasiaan responden adalah hal utama yang perlu

diperhatikan. Oleh karena itu peneliti sebelumnya mengajukan persetujuan kepada

pihak yang terlibat langsung maupun yang tidak terlibat langsung dalam penelitian

agar tidak terjadi pelanggaran hak-hak manusia yang menjadi subjek penelitian

(Notoatmodjo, 2010).

Prinsip dalam etika meliputi:

a. Informed Consent (Persetujuan)

Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti,

tujuannya subjek mengetahui maksud penelitian serta dampak pada bahan

pengolahan data. Lembaran ini disertai dengan judul penelitian, bila subjek

menolak maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak subjek.

b. Annonimity (Tanpa Nama)

Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama

responden tetapi lembar tersebut hanya diberikan kode tertentu.


44

c. Confidentiality (Kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi dan data yang diperoleh dari responden, dijamin

peneliti hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil

penelitian.
45

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian

Puskesmas Plaju terletak sangat strategis ditepi jalan raya utama di Jalan D.I.

Panjaitan No. 40 Kelurahan Plaju Ulu Kecamatan Plaju Palembang. Puskesmas Plaju

relatif mudah dijangkau masyarakat dalam wilayah kerja maupun masyarakat

perbatasan wilayah kerja karena dilalui kendaraan umum maupun pribadi, baik dari

kalangan ekonomi yang kurang mampu sampai menengah ke atas. Dengan luas tanah

628 m² dan luas bangunan 480 m².

4.1.1 Sejarah Puskesmas Plaju

Puskesmas Plaju didirikan pada tahun 1957, dimulai dari pusat pelayanan

kesehatan ibu dan anak serta pengobatan umum. Letak gedung pelayanan disekitar

pasar Plaju. Pada tahun 1969 pelayanan dipindahkan oleh pemerintah kota Palembang

ketempat saat ini berada, sebelumnya tempat ini merupakan wakaf dari salah satu

warga kecamatan Plaju.

Pada tahun 1998 Puskesmas Plaju memperoleh kesempatan untuk

mengembangkan Program Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan salah satu upaya

dengan meningkatkan kemampuan SDM melalui pelatihan (Quality

Assurance).Program Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan berdampak positif dengan

45
46

meningkatkan jumlah kunjungan, sehingga Puskesmas Plaju dituntut untuk memiliki

sarana dan prasarana yang mendukung pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Tahun 1999 Puskesmas Plaju mendapatkan bantuan Spanyol berupa sarana

dan prasarana kesehatan. Pada tahun 2000 gedung Puskesmas Plaju direhab total,

kemudian direhab total kembali pada tahun 2014 menjadi bangunan 2 tingkat

sehingga tampak seperti penampilan saat ini. Jika dihitung dari awal didirikan

Puskesmas Plaju sudah mencapai usia 58 tahun.

4.1.2 Letak Geografi

Puskesmas Plaju merupakan salah satu Puskesmas Induk di Kecamatan Plaju

yang mempunyai 3 Puskesmas Pembantu, dan merupakan Puskesmas koordinator

untuk kecamatan Plaju dengan luas wilayah kerja 126,5 Km². Untuk memperluas

jangkauan pelayanan kesehatan Puskesmas Plaju dilengkapi dengan I (satu)

Puskesmas Keliling, 36 Posyandu, serta Puskesmas Plaju mempunyai wilayah kerja

meliputi 7 kelurahan.

Puskesmas Plaju mempunyai wilayah kerja meliputi 7 (tujuh) Kelurahan

yaitu:

a. Kelurahan Plaju Ulu

b. Kelurahan Plaju Ilir

c. Kelurahan Plaju Darat

d. Kelurahan Bagus Kuning

e. Kelurahan Talang Bubuk


47

f. Kelurahan Talang Putri

g. Kelurahan Komperta

Geografi wilayah kerja Puskesmas Plaju terdiri dari daerah daratan dan

sebagian kecil dipinggir sungai dan rawa. Batas wilayah kerja:

a. Utara berbatasan dengan Sungai Musi

b. Selatan berbatasan dengan Kabupaten Banyuasin

c. Timur berbatasan dengan Kabupaten OKI

d. Barat berbatasan dengan Kelurahan Sentosa

4.1.3 Visi, Misi, Motto, dan Tata Nilai Puskesmas Plaju

Visi

Menjadi Puskesmas dengan pelayanan kesehatan yang terpadu, bermutu, dan

profesional serta dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Misi

1. Memberi pelayanan kesehatan yang terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakat

yang meliputi: kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

2. Meningkatkan profesionalitas sumber daya manusia melalui peningkatan

pengetahuan dan keterampilan serta kesejahteraan karyawan.

3. Mengembangkan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat.

4. Memelihara dan meningkatkan upaya pelayanan kesehatan serta sarana dan

prasarana yang bermutu prima.


48

Motto

Kepuasan anda adalah kebahagian kami

Tata Nilai

P : Pelayanan Prima

L : Loyalitas

A : Akuntabel

J : Jujur

U : Unggul

4.1.4 Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Plaju

a. Konsultasi Dokter Spesialis

1) Penyakit Dalam

b. Pengobatan Umum

c. Pengobatan Gigi

d. Pelayanan Kesehatan Anak (MTBS)

e. Laboratorium Klinik

f. Pengobatan TB Paru dengan Strategi DOTS

g. Pemeriksaan KIUR Kesehatan Umum

h. Pemeriksaan Kesehatan Calon Jama’an Haji

i. Pemeriksaan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

1) Pelayanan KB

2) Pelayanan ANC
49

3) Pelayanan IVA

4) Konseling Remaja (Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja)

j. Konsultasi Gilingan Mas

1) Gizi

2) Imunisasi

3) Kesehatan Lingkungan

k. EKG

l. USG

4.2 Analisa Univariat

Dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari tiap-tiap variabel, dari

variabel dependen yaitu kejadian hipertensi dan variabel independen yaitu

pendidikan, genetik, status diet, obesitas, dan stres.

4.2.1 Kejadian Hipertensi

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan, maka

variabel kejadian hipertensi dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu ringan dan berat.

Hasil analisis dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.2.1
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kejadian Hipertensi di Puskesmas
Plaju Palembang Tahun 2017
No. Usia Jumlah (n) Persentase (%)
1. Ringan 18 34,0
2. Berat 35 66,0
Total 53 100
Sumber:Hasil Penelitian di Puskesmas Plaju, 2017
50

Berdasarkan tabel 4.2.1 didapatkan bahwa responden dengan hipertensi berat

yaitu sebesar 35 responden (66,0%) sedangkan responden dengan hipertensi berat

yaitu sebesar 18 responden (34,0%).

4.2.2 Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan, maka

variabel pekerjaan dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu rendah dan tinggi.

Hasilanalisis dapat dilihat pada tabel di bawah ini

Tabel 4.2.2
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan di Puskesmas
Plaju Palembang Tahun 2017
No. Pendidikan Jumlah (n) Persentase (%)
1. Rendah 15 28,3
2. Tinggi 38 71,7
Total 53 100
Sumber: Hasil Penelitian di Puskesmas Plaju, 2017

Berdasarkan tabel 4.2.2 didapatkan bahwa responden dengan pendidikan

rendah yaitu sebesar 15 responden (28,3%) sedangkan responden dengan pendidikan

tinggi yaitu sebesar 38 responden (71,7%).

4.2.3 Genetik

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan, maka

variabel genetik dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu tidak dan ya. Hasil analisis dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.


51

Tabel 4.2.3
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Genetik di Puskesmas
Plaju Palembang Tahun 2017
No. Genetik Jumlah (n) Persentase (%)
1. Tidak 20 37,7
2. Ya 33 62,3
Total 53 100
Sumber: Hasil Penelitian di Puskesmas Plaju, 2017

Berdasarkan tabel 4.2.3 didapatkan bahwa responden dengan memiliki

genetik yaitu sebesar 33 responden (62,3%) sedangkan responden dengan tidak

memiliki genetik yaitu sebesar 20 responden (37,7%).

4.2.4 Status Diet

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan, maka

variabel status diet dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu kurang baik dan baik. Hasil

analisis dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.2.4
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Diet di Puskesmas
Plaju Palembang Tahun 2017
No. Status Diet Jumlah (n) Persentase (%)
1. Kurang Baik 28 52,8
2. Baik 25 47,2
Total 53 100
Sumber: Hasil Penelitian di Puskesmas Plaju, 2017

Berdasarkan tabel 4.2.4 didapatkan bahwa responden dengan status diet

kurang baik yaitu sebesar 28 responden (52,8%) sedangkan responden dengan status

diet baik yaitu sebesar 25 responden (47,2%).


52

4.2.5 Obesitas

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan, maka

variabel obesitas dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu tidak obesitas dan obesitas.

Hasil analisis dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.2.5
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Obesitas di Puskesmas
Plaju Palembang Tahun 2017
No. Obesitas Jumlah (n) Persentase (%)
1. Tidak Obesitas 26 49,1
2. Obesitas 27 50,9
Total 53 100
Sumber: Hasil Penelitian di Puskesmas Plaju, 2017

Berdasarkan tabel 4.2.5 didapatkan bahwa responden dengan obesitas yaitu

sebesar 27 responden (50,9%) sedangkan responden dengan tidak obesitas yaitu

sebesar 26 responden (49,1%).

4.2.6 Stres

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan, maka

variabel stres dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu tidak stres dan stres. Hasil analisis

dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.2.6
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Stres di Puskesmas
Plaju Palembang Tahun 2017
No. Stres Jumlah (n) Persentase (%)
1. Tidak Stres 25 47,2
2. Stres 28 52,8
Total 53 100
Sumber: Hasil Penelitian di Puskesmas Plaju, 2017
53

Berdasarkan tabel 4.2.6 didapatkan bahwa responden dengan stres yaitu

sebesar 28 responden (52,8%) sedangkan responden dengan tidak stres yaitu sebesar

25 responden (47,2%).

4.3 Analisa Bivariat

Analisa bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel yaitu:

variabel dependen yaitu kejadian hipertensi dan variabel independen pendidikan,

genetik, status diet, obesitas, dan stres dengan menggunakan uji statistic Chi-Square

dengan batas kemaknaan α 0,05. Keputusan hasil statistic diperleh dengan cara

membanding pvalue dengan α keputusannya hasil uji statistik, yaitu: apabila p value

< α 0,05 berarti ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen,

apabila p value > α 0,05 berarti tidak ada hubungan antara variabel independen

dengan variabel dependen.

4.3.1 Hubungan Pendidikan dengan Kejadian Hipertensi

Tabel 4.3.1
Hubungan Pendidikan dengan Kejadian Hipertensi di Puskesmas
Plaju Palembang Tahun 2017
Penyakit Hipertensi Jumlah (n)
No. Pendidikan p value OR
Ringan % Berat % n %
1. Rendah 7 46,7 8 53,3 15 100
2. Tinggi 11 28,9 27 71,1 38 100 0,220 2.148
Total 53 100
Sumber: Hasil Penelitian di Puskesmas Plaju, 2017

Berdasarkan tabel 4.3.1 didapatkan bahwa dari 38 responden berpendidikan

tinggi sebanyak 27 responden (71,1%) mengalami penyakit hipertensi berat.


54

Sedangkan dari 15 responden berpendidikan rendah sebanyak 9 responden (53,3%)

mengalami penyakit hipertensi berat. Hasil uji Chi-Square pada tingkat kemaknaan 

= 0,05 diperoleh nilai p value = 0,220 yang berarta tidak ada hubungan antara

pendidikan dengan penyakit hipertensi di Puskesmas Plaju Palembang tahun 2017.

Dari hasil data tersebut didapat Odds Ratio (OR) = 2,148 yang menunjukkan

bahwa pendidikan tinggi berisiko 2,148 kali lebih besar mengalami hipertensi berat

dibandingkan dengan pendidikan rendah.

4.3.2 Hubungan Genetik dengan Kejadian Hipertensi

Tabel 4.3.2
Hubungan Genetik dengan Kejadian Hipertensi di Puskesmas
Plaju Palembang Tahun 2017
Penyakit Hipertensi Jumlah (n)
No. Genetik p value OR
Ringan % Berat % n %
1. Tidak 11 55,0 9 45,0 20 100
2. Ya 7 21,2 26 78,8 33 100 0,012 4,540
Total 53 100
Sumber: Hasil Penelitian di Puskesmas Plaju, 2017

Berdasarkan tabel 4.3.2 didapatkan bahwa dari 33 responden memiliki genetik

sebanyak 26 responden (78,8%) mengalami penyakit hipertensi berat. Sedangkan dari

20 responden yang tidak memiliki genetik sebanyak 9 responden (45,0%) mengalami

penyakit hipertensi berat. Hasil uji Chi-Square pada tingkat kemaknaan  = 0,05

diperoleh nilai p value = 0,012 yang berarti ada hubungan antara genetik dengan

penyakit hipertensi di Puskesmas Plaju Palembang tahun 2017.


55

Dari hasil data tersebut didapat Odds Ratio (OR) = 4,540 yang menunjukkan

bahwa genetik 4,540 kali lebih besar mengalami hipertensi berat dibandingkan

dengan yang tidak memiliki genetik.

4.3.3 Hubungan Status Diet dengan Kejadian Hipertensi

Tabel 4.3.3
Hubungan Status Diet dengan Kejadian Hipertensi di Puskesmas
Plaju Palembang Tahun 2017
Penyakit Hipertensi Jumlah (n)
No. Pola Makan p value OR
Ringan % Berat % n %
1. Kurang Baik 15 53,6 13 46,4 28 100 0,001 8,462
2. Baik 3 12,0 22 88,0 25 100
Total 53 100
Sumber: Hasil Penelitian di Puskesmas Plaju, 2017

Berdasarkan tabel 4.3.3 didapatkan bahwa dari 28 responden yang pola

makannya kurang sebanyak 13 responden (46,4%) mengalami penyakit hipertensi

berat. Sedangkan dari 25 responden yang pola makannya baik sebanyak 22 responden

(88,0%) mengalami penyakit hipertensi berat. Hasil uji Chi-Square pada tingkat

kemaknaan  = 0,05 diperoleh nilai p value = 0,001 yang berarti ada hubungan

antara status diet dengan penyakit hipertensi di Puskesmas Plaju Palembang tahun

2017.

Dari hasil data tersebut didapat Odds Ratio (OR) = 8,462 yang menunjukkan

bahwa status diet kurang baik 8,462 kali lebih besar mengalami hipertensi berat

dibandingkan dengan yang status diet baik.


56

4.3.4 Hubungan Obesitas dengan Kejadian Hipertensi

Tabel 4.3.4
Hubungan Obesitas dengan Kejadian Hipertensi di Puskesmas
Plaju Palembang Tahun 2017
Penyakit Hipertensi Jumlah (n)
No. Obesitas p value OR
Ringan % Berat % n %
1. Tidak Obesitas 13 50,0 13 50,0 26 100
2. Obesitas 5 18,5 22 81,5 27 100 0,016 4,400
Total 53 100
Sumber: Hasil Penelitian di Puskesmas Plaju, 2017

Berdasarkan tabel 4.3.4 didapatkan bahwa dari 27 responden yang obesitas

sebanyak 22 responden (81,5%) mengalami penyakit hipertensi berat. Sedangkan dari

26 responden yang tidak obesitas sebanyak 13 responden (50,0%) mengalami

penyakit hipertensi berat. Hasil uji Chi-Square pada tingkat kemaknaan  = 0,05

diperoleh nilai p value = 0,016 yang berarti ada hubungan antara obesitas dengan

penyakit hipertensi di Puskesmas Plaju Palembang tahun 2017.

Dari hasil data tersebut didapat Odds Ratio (OR) = 4,400 yang menunjukkan

bahwa yang obesitas 4,400 kali lebih besar mengalami hipertensi berat dibandingkan

dengan yang tidak obesitas.


57

4.3.5 Hubungan Stres dengan Kejadian Hipertensi

Tabel 4.3.5
Hubungan Stres dengan Kejadian Hipertensi di Puskesmas
Plaju Palembang Tahun 2017
Penyakit Hipertensi Jumlah (n)
No. Stres p value OR
Ringan % Berat % n %
1. Tidak Stres 13 52,0 12 48,0 25 100
2. Stres 5 17,9 23 82,1 28 100 0,009 4,983
Total 53 100
Sumber: Hasil Penelitian di Puskesmas Plaju, 2017

Berdasarkan tabel 4.3.5 didapatkan bahwa dari 27 responden yang stres

sebanyak 23 responden (82,1%) mengalami penyakit hipertensi berat. Sedangkan dari

25 responden yang tidak stres sebanyak 12 responden (48,0%) mengalami penyakit

hipertensi berat. Hasil uji Chi-Square pada tingkat kemaknaan  = 0,05 diperoleh

nilai p value = 0,009 yang berarti ada hubungan antara stres dengan penyakit

hipertensi di Puskesmas Plaju Palembang tahun 2017.

Dari hasil data tersebut didapat Odds Ratio (OR) = 4,983 yang menunjukkan

bahwa yang stres 4,983 kali lebih besar mengalami hipertensi berat dibandingkan

dengan yang tidak stres.

4.4 Pembahasan

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Plaju Palembang selama 5 hari pada

tanggal 31 Juli - 04 Agustus 2017. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan

alat pengukur tekanan darah (spigmomanometer dan stetoskop) yang dilakukan oleh
58

peneliti kepada 53 responden. Berikut uraian pembahasan serta keterbatasan

penelitian dari hasil penelitian yaitu analisa univariat dan bivariat.

4.4.1 Pembahasan Univariat

4.4.1.1 Kejadian Hipertensi

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh diketahui bahwa dari 53 reponden

di Puskesmas Plaju Palembang distribusi frekuensi responden dengan kejadian

hipertensi berat yaitu sebesar 35 responden (66,0%), lebih banyak dibandingkan

dengan kejadian hipertensi ringan yaitu sebesar 18 reponden (34,0%).

Tekanan darah adalah jumlah gaya yang diberikan oleh darah di bagian dalam

arteri saat darah dipompa ke seluruh sistem peredarah darah. Setiap kali otot jantung

berkontraksi, darah ditekan melawan dinding pembuluh darah dan dihitung sebagai

tekanan darah sistolik (angka bagian atas). Ketika jantung rileks di antara denyutan,

tekanan pada dinding pembuluh dihitung sebagai tekanan darah diastolik (angka

bagian bawah) (Casey& Benson, 2012).

Menurut asumsi peneliti pengukuran tekanan darah pada seseorang tidak

dapat di ukur dengan adekuat melalui satu kali pengukuran saja. Tekanan darah

sering berubah-ubah bahkan pada kondisi kesehatan yang optimal. Hal ini

dipengaruhi oleh usia, stres, etnis, jenis kelamin, merokok, aktifitas fisik.
59

4.4.1.2 Pendidikan

Berdasarkan pendidikan didapatkan responden penelitian terbanyak adalah

pendidikan rendah sebanyak 38 responden (71,7%), sedangkan yang pendidikan

tinggi sebanyak 15 responden (28,3%).

Tingkat pendidikan secara tidak langsung mempengaruhi tekanan darah.

Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap gaya hidup yaitu kebiasaan merokok,

minum alkohol, dan melakukan aktivitas fisik seperti olahraga. Hasil Riskesdas tahun

2013 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2013) menyatakan

bahwa penyakit hipertensi cenderung tinggi pada pendidikan rendah dan menurun

sesuai dengan peningkatan pendidikan (Anggara & Prayitno, 2013).

Menurut asumsi peneliti tingginya resiko terkena hipertensi pada pendidikan

yang rendah, kemungkinan disebabkan karena kurangnya pengetahuan pada

seseorang yang berpendidikan rendah terhadap kesehatan dan sulit atau lambat

menerima informasi (penyuluhan) yang diberikan oleh petugas sehingga berdampak

pada perilaku/pola hidup sehat.

4.4.1.3 Genetik

Berdasarkan tingkat genetik didapatkan responden penelitian yang memiliki

genetik sebanyak 33 responden (62,3%), sedangkan yang tidak memiliki genetik

sebanyak 20 responden (37,7%).

Riwayat keluarga juga merupakan masalah pemicu terjadinya hipertensi,

hipertensi sering disebut dengan penyakit keturunan. Jika dari orang tua kita memiliki
60

riwayat hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki keturunan hipertensi (Silvia,

2016).

Menurut asumsi peneliti bahwa faktor genetik merupakan penyebab terjadinya

hipertensi pada saat memasuki usia produktif karena faktor degenerative. Dan

seseorang yang memiliki keturunan hipertensi maka sangat beresiko untuk terkena

hipertensi pada dirinya.

4.4.1.4 Status Diet

Berdasarkan tingkat status diet didapatkan responden penelitian yang status

diet kurang baik sebanyak 28 responden (52,8%), sedangkan yang status diet baik

sebanyak 25 responden (47,2%).

Status diet yang baik adalah mengurangi asupan garam dan lemak tinggi. Diet

rendah garam diberikan kepada pasien dengan edema atau asites serta hipertensi.

Tujuan diet rendah garam adalah untuk menurunkan tekanan darah dan untuk

mencegah edema dan penyakit jantung (lemah jantung). Adapun yang disebut rendah

garam bukan hanya membatasi konsumsi garam dapur tetapi mengkonsumsi makanan

rendah sodium atau natrium (Na) (Triyanto, 2014).

Menurut asumsi peneliti modifikasi diet atau pengaturan diet sangat penting

pada klien hipertensi, tujuan utama dari pengaturan diet hipertensi ialah untuk

mengatur tentang makanan sehat yang dapat mengontrol tekanan darah tinggi dan

mengurangi penyakit hipertensi.


61

4.4.1.5 Obesitas

Berdasarkan tingkat obesitas didapatkan responden penelitian yang obesitas

sebanyak 27 responden (50,9%), sedangkan yang tidak obesitas sebanyak 26

responden (49,1%).

Semua faktor resiko yang dapat dikendalikan, berat badan adalah salah satu

yang paling erat kaitannya dengan hipertensi. Dibandingkan dengan yang kurus,

orang yang gemuk lebih besar peluangnya mengalami hipertensi. Penurunan berat

badan pada penderita hipertensi dapat dilakukan melalui perubahan pola makan dan

olahraga secara teratur. Menurunkan berat badan bisa menurunkan tekanan darah 5-

20 mmHg per 10 kg penurunan BB (Triyanto, 2014).

Menurut asumsi peneliti obesitas suatu keadaan dimana terjadi penimbunan

lemak berlebih didalam jaringan tubuh. Jaringan lemak tidak aktif akan meyebabkan

beban kerja jantung meningkat. Obesitas dinyatakan bila berat badan lebih dari 20%

berat badan ideal.

4.4.1.6 Stres

Berdasarkan tingkat stres didapatkan responden penelitian yang stres

sebanyak 28 responden (52,8%), sedangkan yang tidak stres sebanyak 25 responden

(47,2%).

Stres memang tidak menyebabkan hipertensi yang menetap namun jika episode stres

sering terjadi dapat menyebabkan kenaikan sementara yang sangat tinggi.

Menghindari stres dengan menciptakan suasana yang menyenangkan bagi penderita


62

hipertensi dan memperkenalkan berbagai metode relaksasi seperti yoga atau meditasi

yang dapat mengontrol sistem saraf yang akhirnya dapat menurunkan tekanan darah

(Wijaya & Putri, 2013).

Menurut asumsi peneliti stres suatu keadaan yang dialami penderita akibat

tuntutan emosi, fisik atau lingkungan yang melebihi daya dan kemampuan untuk

mengatasi dengan efektif. Apabila stres ini berlangsung lama dapat mengakibatkan

peninggian tekanan darah yang menetap.

4.4.1 Pembahasan Bivariat

4.4.2.1 Hubungan antara Pendidikan dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa dari 38 responden

berpendidikan tinggi sebanyak 27 responden (71,1%) mengalami penyakit hipertensi

berat. Sedangkan dari 15 responden berpendidikan rendah sebanyak 8 responden

(53,3%) mengalami penyakit hipertensi berat. Hasil uji Chi-Square pada tingkat

kemaknaan  = 0,05 diperoleh nilai p value = 0,220 yang berarti ada hubungan

antara pendidikan dengan penyakit hipertensi di Puskesmas Plaju Palembang tahun

2017. Odds Ratio (OR) = 2,148 yang menunjukkan bahwa pendidikan tinggi berisiko

2,148 kali lebih besar mengalami hipertensi berat dibandingkan dengan pendidikan

rendah.

Tingkat pendidikan secara tidak langsung mempengaruhi tekanan darah.

Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap gaya hidup yaitu kebiasaan merokok,

minum alkohol, dan melakukan aktivitas fisik seperti olahraga. Hasil Riskesdas tahun
63

2013 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2013) menyatakan

bahwa penyakit hipertensi cenderung tinggi pada pendidikan rendah dan menurun

sesuai dengan peningkatan pendidikan (Anggara & Prayitno, 2013).

Menurut penelitian Anggara & Prayitno (2012). Faktor-Faktor yang

Berhubungan dengan Tekanan Darah di Puskesmas Telaga Murni, Cikarang Barat

Tahun 2012. Hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan umur, pekerjaan, IMT,

kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, kebiasaan olahraga, asupan natrium, asupan

kalium berhubungan secara statistik dengan tekanan darah (p < 0,05). Sedangkan

jenis kelamin dan pendidikan tidak berhubungan secara statistik dengan tekanan

darah (p > 0,05).

Menurut asumsi peneliti tingginya resiko terkena hipertensi pada pendidikan

yang rendah, kemungkinan disebabkan karena kurangnya pengetahuan pada

seseorang yang berpendidikan rendah terhadap kesehatan dan sulit atau lambat

menerima informasi (penyuluhan) yang diberikan oleh petugas sehingga berdampak

pada perilaku/pola hidup sehat.

4.4.2.2 Hubungan antara Genetik dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa dari 33 responden yang

memiliki genetik sebanyak 26 responden (78,8%) mengalami penyakit hipertensi

berat. Sedangkan dari 20 responden yang memiliki genetik sebanyak 9 responden

(45,0%) mengalami penyakit hipertensi berat. Hasil uji Chi-Square pada tingkat

kemaknaan  = 0,05 diperoleh nilai p value = 0,012 yang berarti ada hubungan
64

antara merokok dengan penyakit hipertensi di Puskesmas Plaju Palembang tahun

2017. Odds Ratio (OR) = 4,540 yang menunjukkan bahwa yang memiliki genetik

4,540 kali lebih besar mengalami hipertensi berat dibandingkan dengan yang tidak

memiliki genetik.

Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan

ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu

sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai

sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa

intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya

berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala

(Arifin, dkk, 2016).

Menurut penelitian Silvia (2016), Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

Kejadian Hipertensi Primer di Puskesmas Prabumulih Barat Tahun 2016. Analisis

data secara univariat dan bivariat menggunakan uji statistik Chi-Square (α) = 0,05.

Dari hasil analisa bivariat diperoleh masing-masing p-value variabel independen

terhadap hipertensi yaitu jenis kelamin (0,129) OR = 1,993, genetik (0,004) OR =

1,24, merokok (0,016) OR = 3,150, dan stres (0,018) OR = 2,000. Dari hasil

penelitian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin, genetik,

merokok, dan stres dengan kejadian hipertensi di Puskesmas Prabumulih Barat tahun

2016.

Menurut asumsi peneliti faktor genetik merupakan penyebab terjadinya

hipertensi pada saat memasuki usia produktif karena faktor degenerative. Dan
65

seseorang yang memiliki keturunan hipertensi maka sangat beresiko untuk terkena

hipertensi pada dirinya.

4.4.2.3 Hubungan antara Status Diet dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa dari 28 responden yang status

diet kurang baik sebanyak 13 responden (50,0%) mengalami penyakit hipertensi

berat. Sedangkan dari 25 responden yang pola makannya baik sebanyak 22 responden

(88,0%) mengalami penyakit hipertensi berat. Hasil uji Chi-Square pada tingkat

kemaknaan  = 0,05 diperoleh nilai p value = 0,001 yang berarti ada hubungan

antara status diet dengan penyakit hipertensi di Puskesmas Plaju Palembang tahun

2017. Odds Ratio (OR) = 8,462 yang menunjukkan bahwa yang status diet kurang

baik 8,462 kali lebih besar mengalami hipertensi berat dibandingkan dengan yang

status diet baik.

Status Diet adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis

makanan dengan maksud tertentu seperti mempertahankan kesehatan atau membantu

kesembuhan penyakit. Program diet khusus penderita darah tinggi yaitu program diet

DASH (Dietary Approach for Stop Hypertension), yang dikembangkan oleh dokter

Logeril merupakan strategi pengaturan menu berdasarkan hasil penelitian terhadap

pola makan penduduk mediterania (Noviyanti, 2015).

Menurut penelitian Artiyaningrum (2015), Faktor-Faktor yang Berhubungan

dengan Kejadian Hipertensi Tidak Terkendali pada Penderita yang Melakukan

Pemeriksaan Rutin di Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2015. Hasil


66

penelitian didapatkan faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi tidak

terkendali yaitu umur (p value = 0,022), status pasangan (p value = 0,001, konsumsi

garam (p value = 0,001), konsumsi kopi (p value = 0,033, stres (p value = 0,001), dan

konsumsi obat antihipertensi (p value = 0,001).

Menurut asumsi peneliti modifikasi diet atau pengaturan diet sangat penting

pada klien hipertensi, tujuan utama dari pengaturan diet hipertensi ialah untuk

mengatur tentang makanan sehat yang dapat mengontrol tekanan darah tinggi dan

mengurangi penyakit hipertensi.

4.4.2.4 Hubungan antara Obesitas dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa dari 27 responden yang

obesitas sebanyak 22 responden (81,5%) mengalami penyakit hipertensi berat.

Sedangkan dari 26 responden yang tidak obesitas sebanyak 13 responden (50,0%)

mengalami penyakit hipertensi berat. Hasil uji Chi-Square pada tingkat kemaknaan 

= 0,05 diperoleh nilai p value = 0,016 yang berarti ada hubungan antara obesitas

dengan penyakit hipertensi di Puskesmas Plaju Palembang tahun 2017. Odds Ratio

(OR) = 4,400 yang menunjukkan bahwa yang obesitas 4,400 kali lebih besar

mengalami hipertensi berat dibandingkan dengan yang tidak obesitas.

Obesitas berkaitan dengan kegemaran mengkonsumsi makanan tinggi lemak

serta meningkatkan resiko terjadinya hipertensi akibat faktor lain. Makin besar massa

tubuh, akan meningkat volume darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan

makanan ke jaringan tubuh. Akibatnya, dinding arteri akan mendapatkan tekanan


67

yang lebih besar yang menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan darah. Selain itu,

kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung (Arifin, dkk,

2016).

Menurut penelitian Rahayu (2012). Faktor Resiko Hipertensi pada Masyarakat

RW 01 Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa Kota Jakarta Selatan. Hasil

penelitian didapatkan bahwa ada hubungan umur (p value = 0,000) dan obesitas (p

value = 0,000). Sedangkan yang tidak ada hubungan jenis kelamin (p value = 0,902),

genetik (p value = 0,157), kebiasaan mengkonsumsi asin (p-value = 1,000), kebiasaan

mengkonsumsi lemak jenuh (p value = 0,092), kebiasaan merokok (p value = 1,000),

stres (p value = 1,000), dan kebiasaan olahraga (p value = 0,823)

Menurut asumsi peneliti obesitas suatu keadaan dimana terjadi penimbunan

lemak berlebih didalam jaringan tubuh. Jaringan lemak tidak aktif akan meyebabkan

beban kerja jantung meningkat. Obesitas dinyatakan bila berat badan lebih dari 20%

berat badan ideal.

4.4.2.5 Hubungan antara Stres dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa dari 28 responden yang stres

sebanyak 23 responden (82,1%) mengalami penyakit hipertensi berat. Sedangkan dari

25 responden yang tidak stres sebanyak 12 responden (48,0%) mengalami penyakit

hipertensi berat. Hasil uji Chi-Square pada tingkat kemaknaan  = 0,05 diperoleh

nilai p value = 0,009 yang berarti ada hubungan antara stres dengan penyakit

hipertensi di Puskesmas Plaju Palembang tahun 2017. Odds Ratio (OR) = 4,983 yang
68

menunjukkan bahwa yang stres 4,400 kali lebih besar mengalami hipertensi berat

dibandingkan dengan yang tidak stres.

Stres mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap tingkat kejadian

hipertensi. Stres akan meningkat resistensi pembuluh darah perifer dan keluaran

jantung. Stres dapat memicu pengeluaran hormon kortisol dan epinefrin yang

berhubungan dengan imunosupresi, aritmia, dan peningkatan tekanan darah dan

denyut jantung. Stres yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan berbagai

penyakit yang salah satunya adalah hipertensi (Rahayu, 2012)

Menurut penelitian Artiyaningrum (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan

dengan Kejadian Hipertensi Tidak Terkendali pada Penderita yang Melakukan

Pemeriksaan Rutin di Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2015. Hasil

penelitian didapatkan faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi tidak

terkendali yaitu umur (p value = 0,022), status pasangan (p value = 0,001, konsumsi

garam (p value = 0,001), konsumsi kopi (p value = 0,033, stres (p value = 0,001), dan

konsumsi obat antihipertensi (p value = 0,001). Faktor yang tidak berhubungan yaitu

obesitas (p value = 0,280), konsumsi alkohol (p value = 0,502), merokok (p value =

0,265), dan aktivitas olahraga (p value = 0,509).

Menurut asumsi peneliti stres suatu keadaan yang dialami penderita akibat

tuntutan emosi, fisik atau lingkungan yang melebihi daya dan kemampuan untuk

mengatasi dengan efektif. Apabila stres ini berlangsung lama dapat mengakibatkan

peninggian tekanan darah yang menetap.


69

4.5 Keterbatasan Penelitian

Dalam pelaksanaannya, penelitian ini tidak terlepas dari keterbatasan-

keterbatasan yang saya alami.Jumlah sampel dalam penelitian ini memenuhi sampel

ideal sebanyak 53 responden.Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu penelitian.

Peneliti menggunakan instrumen penelitian yang bersifat subjektif sehingga

kebenaran informasi tergantung dari kesungguhan dan kejujuran responden pada saat

menjawab pertanyaan. Peneliti memakai teknik wawancara yaitu menerangan isi

kuesioner kepada respondenn hal ini dikarenakan kebanyakan responden tidak lancar

membaca sendiri kuesioner yang diberikan.


70

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan data yang diperoleh di

Puskesmas Plaju Palembang Tahun 2017 dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Distribusi frekuensi responden dengan kejadian hipertensi berat yaitu sebesar

35 responden (66,0%), responden berpendidikan tinggi yaitu sebesar 38

responden (71,7%), responden yang memiliki genetik yaitu sebesar 33

responden (62,3%), responden yang status diet kurang baik yaitu sebesar 28

responden (52,8%), responden yang obesitas yaitu sebesar 27 responden

(50,9%), dan responden yang stres yaitu sebesar 28 responden (52,8%).

2. Ada hubungan antara pendidikan dengan penyakit hipertensidi Puskesmas

Plaju Palembang Tahun 2017 (p value = 0,220).

3. Ada hubungan antara genetik dengan penyakit hipertensidi Puskesmas Plaju

Palembang Tahun 2017 (p value = 0,012).

4. Ada hubungan antara status diet dengan penyakit hipertensidi Puskesmas

Plaju Palembang Tahun 2017 (p value = 0,001).

5. Ada hubungan antara obesitas dengan penyakit hipertensidi Puskesmas Plaju

Palembang Tahun 2017 (p value = 0,016).

70
71

6. Ada hubungan antara stres dengan penyakit hipertensidi Puskesmas Plaju

Palembang Tahun 2017 (p value = 0,009).

5.2 Saran

5.2.1 Bagi Puskesmas Plaju Palembang

Diharapkan puskesmas dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pasien

dengan cara meningkatkan keterampilan perawat berupa diadakannya pelatihan

tentang pelayanan keperawatan setiap 1 tahun sekali agar perawat lebih berkualitas

dalam memberikan pelayanan kepada khususnya bagi penyakit pasien hipertensi.

5.2.2 Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan menambah

kepustakaan dalam melakukan penelitian khususnya yang berhubungan dengan

penyakit hipertensi.

5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi penelitian yang akan datang diharapkan dapat menggunakan variabel

yang lebih bervariasi dan menggunakan metode lainnya, sehingga penelitian tentang

penyakit hipertensi dapat terus berkembang.

Anda mungkin juga menyukai