Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA


DENGAN STROKE

A. KONSEP LANJUT USIA


1. Definisi
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi
dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Contantinides, 1994 yang dikutip oleh
Wahjudi Nugroho, 2000).
Aging process dalam perjalanan hidup manusia merupakan suatu hal yang wajar
akan dialami semua orang yang dikaruniai umur panjang, hanya lambat cepatnya
proses tersebut bergantung pada masing-masing individu. Secara individu, pada
usia di atas 60 tahun tejadi proses penuaan secara ilmiah. Hal ini akan
menimbulkan masalah fisik, mental, sosial, ekonomi dan psikologis. Dengan
bergesernya pola perekonomian dari pertanian ke industri maka pola penyakit juga
bergeser dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular atau akibat
penuaan (degeneratif).
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh.
Walaupun demikian memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang
sering menghinggapi kaum lansia
2. Batasan Lansia
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
Lanjut Usia meliputi:
a. Usia pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.
b. Lanjut usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74 tahun.
c. Lanjut usia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90 tahun.
d. Usia sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90 tahun.

1
2

1. Karakteristik Lansia
Karakteristik LansiaMenurut Bustan (2007) ada beberapa karakterisktik lansia
yang perlu diketahui untuk mengetahui keberadaan masalah kesehatan lansia
yaitu:
a. Jenis Kelamin
Lansia lebih banyak wanita dari pada pria.
b. Status Perkawinan
Status pasangan masih lengkap dengan tidak lengkap akan mempengaruhi
keadaan kesehatan lansia baik fisik maupun psikologi.
c. Living Arrangement
Keadaan pasangan, tinggal sendiri, bersama istri atau suami, tinggal bersama
anak atau keluarga lainnya.
d. Kondisi Kesehatan
Pada kondisi sehat, lansia cenderung untuk melakukan aktivitas sehari-
harisecara mandiri. Sedangkan pada kondisi sakit menyebabkan lansia
cenderung dibantu atau tergantung kepada orang lain dalam melaksanakan
aktivitas sehari-hari.
e. Keadaan ekonomiP
ada dasarnya lansia membutuhkan biaya yang tinggi untuk kelangsungan
hidupnya, namun karena lansia tidak produktif lagi pendapatan lansia
menurun sehingga tidak semua kebutuhan lansia dapat terpenuhi.
2. Tipologi Lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho, 2000 dalam
buku R. Siti Maryam, dkk, 2008).
Tipe tersebut dapat dibagi sebagai berikut:
a. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
3

b. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari
pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
c. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah,
tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak
menuntut.
d. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan
melakukan pekerjaan apa saja.
e. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif,
dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe dependen
(ketergantungan), tipe defensif (bertahan), tipe militant dan serius, tipe
pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta
tipe putus asa (benci pada diri sendiri).
Sedangkan bila dilihat dari tingkat kemandiriannya yang dinilai berdasarkan
kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (indeks kemandirian Katz),
para lansia dapat digolongkan menjadi beberapa tipe yaitu lansia mandiri
sepenuhnya, lansia mandiri dengan bantuan langsung keluarganya, lansia
mandiri dengan bantuan secara tidak langsung, lansia dengan bantuan badan
sosial, lansia di panti werda, lansia yang dirawat di rumah sakit, dan lansia
dengan gangguan mental.
3. Mitos Lansia
a. Mitos Kedamaian Dan Ketenagan
Lanjut usia dapat santai menikmati hasil kerja dan jerih payahnya di masa
muda dan dewasanya, badai dan berbagai goncangan kehidupan seakan-akan
sudah berhasil dilewati.
Kenyataan :
4

1) Sering ditemui stres karena kemiskinan dan berbagai keluhan serta


penderitaan karena penyakit
2) Depresi
3) Kekhawatiran
4) Paranoid
5) Masalah psikotik
b. Mitos Konservatisme Dan Kemunduran
Pandangan bahwa lanjut usia pada umumnya
1) Konservatif
2) Tidak kreatif
3) Menolak inovasi
4) Berorientasi ke masa silam
5) Merindukan masa lalu
6) Kembali ke masa kanak-kanak
7) Susah berubah
8) Keras kepala
9) Cerewet
Kenyataan : Tidak semua lanjut usia bersikap dan berpikiran demikian
c. Mitos Berpenyakitan
Lanjut usia dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang disertai oleh
berbagai penderitaan akibat bermacam penyakit yang menyertai proses menua.
(lanjut usia merupakan masa berpenyakitan dan kemunduran)
Kenyataan :
1) Memang proses ketuaan disertai dengan menurunnya daya tahan tubuh dan
metabolisme sehingga rawan terhadap penyakit.
2) Tetapi banyak penyakit yang masa sekarang dapat dikontrol dan di obati
d. Mitos Senilitas
Lanjut usia dipandang sebagai masa pikun yang disebabkan oleh kerusakan
bagian tertentu dan otak
5

Kenyataan : Tidak semua lanjut usia dalam proses ketuaannya diiringi dengan
kerusakan bagian otak (banyak yang masih tetap sehat dan segar)
e. Mitos Aseksulaitas
Ada pandangan bahwa pada lanjut usia, hubungan seks itu menurun. Minat,
dorongan, gairah, kebutuhan dan daya seks berkurang.
Kenyataan : Menunjukan bahwa kehidupan seks pada usia lanjut normal saja.
Memang frekuensi hubungan seks menurun sejalan meningkatnya usia, tetapi
masih tetap tinggi
f. Mitos Ketidak Produktifitas
Lanjut usia dipandang sebagai usia tidak produktif
Kenyataan : Tidak demikian, banyak lanjut usia yang mencapai kematangan,
kemantapan dan produktifitas mental dan material pada lanjut usia.
4. Teori Penuaan
a. Teori – teori biologi
1) Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies –
spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia
yang diprogram oleh molekul – molekul / DNA dan setiap sel pada saatnya
akan mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel –
sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional sel).
2) Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel – sel tubuh lelah (rusak)
3) Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat
khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidaktahan terhadap zat tersebut
sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.
4) Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)
Sistem imune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya
virus kedalam tubuh dapat menyebabkab kerusakan organ tubuh.
6

5) Teori stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan
internal, kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah
terpakai.
6) Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
(kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen bahan-bahan organik
seperti karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini dapat menyebabkan sel-
sel tidak dapat regenerasi.
7) Teori rantai silang
Sel-sel yang tua atau usang , reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang
kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya
elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi.
8) Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah
setelah sel-sel tersebut mati.
b. Teori kejiwaan sosial
1) Aktivitas atau kegiatan (activity theory)
Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara
langsung. Teori ini menyatakan bahwa usia lanjut yang sukses adalah
mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia.
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap
stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia
2) Kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori
ini merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa
perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi
oleh tipe personality yang dimiliki.
7

3) Teori pembebasan (disengagement theory)


Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara
berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan
ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas
maupun kuantitas sehingga sering terjaadi kehilangan ganda (triple loss),
yakni :
a) kehilangan peran
b) hambatan kontak sosial
c) berkurangnya kontak komitmen
5. Masalah – Masalah Yang Terjadi Pada Lansia
Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan lanjut
usia, antara lain: (Setiabudhi, T. 2009 : 40-42)
a. Permasalahan umum
1) Makin besar jumlah lansia yang berada dibawah garis kemiskinan.
2) Makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang
berusia lanjut kurang diperhatikan , dihargai dan dihormati.
3) Lahirnya kelompok masyarakat industri.
4) Masih rendahnya kuantitas dan kulaitas tenaga profesional pelayanan lanjut
usia.
5) Belum membudaya dan melembaganya kegiatan pembinaan kesejahteraan
lansia.
b. Permasalahan khusus :
1) Berlangsungnya proses menua yang berakibat timbulnya masalah baik
fisik, mental maupun sosial.
2) Berkurangnya integrasi sosial lanjut usia.
3) Rendahnya produktifitas kerja lansia.
4) Banyaknya lansia yang miskin, terlantar dan cacat.
5) Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah pada tatanan
masyarakat individualistik.
8

6) Adanya dampak negatif dari proses pembangunan yang dapat mengganggu


kesehatan fisik lansia
6. Penyakit Yang Menyerang Lansia
Menurut the National Old People’s Welfare Council , dikemukakan 12 macam
penyakit lansia, yaitu :Depresi mental
a. Gangguan pendengaran
b. Bronkhitis kronis
c. Gangguan pada tungkai/sikap berjalan.
d. Gangguan pada koksa / sendi pangul\Anemia
e. Demensia
7. Faktor – Faktor Yang mempengaruhi Lansia
a. Hereditas atau ketuaan genetik
b. Nutrisi atau makanan
c. Status kesehatan
d. Pengalaman hidup
e. Lingkungan
f. Stres
8. Pengkajian Pada Lansia
a. Katz Indeks
Katz Indeks merupakan instrument pengkajian sederhana yang digunakan untuk
menilai kemampuan fungsional AKS (Aktivitas Kehidupan Sehari-hari), dapat
juga untuk meramalkan prognosis dari berbagai macam penyakit pada lansia.
Adapun format Indek Katz sbb :

Skore Kriteria
A Kemandirian dalam hal makan, berpindah tempat,
kekamar kecil, berpakaian dan mandi
B Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari – hari,
kecuali satu dari fungsi tersebut.
C Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari – hari,
9

kecuali mandi dan satu fungsi tersebut.


D Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari – hari,
kecuali mandi, berpakaian dan satu fungsi tambahan
E Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari – hari,
kecuali mandi, berpakaian, kekamar kecil dan satu
fungsi tambahan
F Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari – hari,
kecuali mandi, berpakaian, kekamar kecil, berpindah
dan satu fungsi tambahan
G Ketergantungan pada ke lima fungsi tersebut.
Lain - Lain Tergantung pada sedikitnya dua fungsi, tetapi tidak
dapat diklasifikasikan sebagai C, D, E atau F
b. Barthel Indeks
Indeks barthel (modifikasi Collin C, Wade DT) adalah suatu alat/ instrument
ukur status fungsional dasar berupa kuisioner yang berisi atas 10 butir
pertanyaan terdiri atas mengendalikan rangsang buang air besar, mengendalikan
rangsang buang air kecil, membersihkan diri (memasang gigi palsu, sikat gigi,
sisir rambut, bercukur, cuci muka), penggunaan toilet-masuk dan keluar WC
(melepas, memakai celana, membersihkan/ menyeka, menyiram), makan,
berpindah posisi dari tempat tidur ke kursi dan sebaliknya, mobilitas/ berjalan,
berpakaian, naik-turun tangga.

No. Kriteria Mandiri Dengan Tidak


Bantuan Mandiri
1 Makan 2 1 0
2 Mandi 1 0
3 Perawatan Diri 1 0
4 Berpakaian 2 1 0
5 Buang Air Kecil 2 1 0
6 Buang Air Besar 2 1 0
7 Berpindah dari kursi 2 1(Menggunakan 0
roda ketempat tidur Kursi roda)
sebaliknya 2 (berjalan
10

dengan batnuan
1 orang
8 Personal toilet (cuci 2 1 0
muka, menyisir rambut,
gosok gigi0
9 Aktivitas duduk / 1 1(bantuan 1 0
transfer orang)
2 (bantuan 2
orang
10 Naik Turun Tangga 2 1 0
Penilaian :
20 : Mandiri
12-10 : Ketergantuan Orang
9-10 : Ketergantungan Sedang
5-8 : Ketergantungan Berat
0-4 : Ketergantungan Total
c. SPSMQ
SPSMQ merupakan instrument pengkajian sederhana yang digunakan untuk
menilai fungsi intelektual maupun mental dari lansia. Adapun format
SPMSQsbb :
No. Pertanyaan
1. Tanggal berapa hari ini?
2. Hari apa sekarang?
3. Apa nama tempat ini?
4. Dimana alamat anda?
5. Berapa umur anda?
6. Kapan anda lahir?
7. Siapa presiden Indonesia sekarang?
8. Siapa presiden Indonesia sebelumnya?
9. Siapa nama ibu anda?
10. Kurangi 3 dari 20 & tetap pengurangan 3 dari setiap
angka baru, semua secara berurutan
11

Jumlah
Total Skor: Hasil:
Salah 0-3 : fungsi intelektual utuh
Salah 4-5 : kerusakan intelektual ringan
Salah 6-8 : kerusakan intelektual sedang
Salah 9-10 : kerusakan intelektual berat
d. GDS
Joseph J. Gallo mengatakan bahwa salah satu langkah awal yang penting dalam
penatalaksanaan depresi adalah mendeteksi atau mengidentifikasi. Salah satu
instrumen yang dapat membantu adalah GDS (Geriatri Depression Scale).
Skala depresi geriatri (GDS) adalah suatu kuesioner, terdiri dari 30 pertanyaan
yang harus dijawab. GDS ini dapat dimampatkan menjadi hanya 15 pertanyaan
yang harus dijawab. Sederhana saja, hanya dengan “YA atau TIDAK”, suatu
bentuk penyederhanaan dari skala yang mempergunakan lima rangkai respon
kategori. Kuesioner ini mendapatkan angka dengan memberi satu pokok untuk
masing – masing jawaban yang cocok dengan apa yang ada dalam sintesa di
belakang pertanyaan tertulis tersebut. Angka akhir antara 10 sampai 11,
biasanya dipergunakan sebagai suatu tanda awal untuk memisahkan pasien
tersebut masuk ke dalam kelompok depresi atau kelompok non depresi.
Geriatri Depression Scale ( GDS ) tersebut terpilah dari 100 pertanyaan yang
dirasakan berhubungan dengan ketujuh karakteristik depresi pada kehidupan
lansia. Secara khusus 100 pertanyaan tersebut dikelompokkan secara apriori ke
dalam beberapa sisi yaitu :
1) Kekuatiran somatis
2) Penurunan afek
3) Gangguan kognitif
4) Kurangnya orientasi terhadap masa yang akan datang
5) Kurangnya harga diri
12

Menurut Joseph J. Gallo ( 1998 : 85 ), secara umum terdapat 15 pertanyaan


yang harus diajukan pada lansia dalam instrumen Geriatri Depression Scale
(GDS) adalah sebagai berikut :
1) Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda ?
2) Apakah anda telah banyak menghentikan aktivitas dan minat – minat anda?
3) Apakah anda merasa kehidupan anda kosong ?
4) Apakah anda sering merasa hidup anda bosan ?
5) Apakah anda mempunyai semangat yang baik setiap saat ?
6) Apakah anda takut bahwa sesuatu yang buruk akan akan terjadi pada anda?
7) Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup anda ?
8) Apakah anda sering merasa tidak berdaya ?
9) Apakah anda lebih senang tinggal di rumah dari pada pergi ke luar dan
mengerjakan sesuatu hal yang baru ?
10) Apakah anda merasa mempunyai banyak masalah dengan daya ingatan
anda di bandingkan kebanyakan orang ?
11) Apakah anda pikir bahwa hidup anda sekarang ini menyenangkan ?
12) Apakah anda merasa tidak berharga seperti perasaan anda saat ini ?
13) Apakah anda merasa penuh semangat ?
14) Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada harapan ?
15) Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya dari pada anda?
Menurut JA Yesavage dan TL Brink yang dikutip Josep J. Gallo penentuan
skornya adalah :
1) Skor 20 – 40 : Tidak ada depresi
2) Skor 41 – 60 : Depresi ringan
3) Skor 61 – 80 : Depresi sedang
4) Skor 81 - 100 : Depresi berat
e. APGAR Keluarga
Skor APGAR adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga ditinjau dari
sudut pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungannya dengan anggota
keluarga yang lain. Skor APGAR meliputi :
13

1) Adaptation :Kemampuan anggota keluarga tersebut beradaptasi dengan anggota


keluarga yang lain, serta penerimaan, dukungan dan saran dari anggota keluarga
yang lain.
2) Partnership:menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi antara
anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami keluarga tersebut.
3) Growth menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal$hal baru yang
dilakukan anggota keluarga tersebut.
4) Affection menggambarkan hubungan kasih sayang daninteraksi antar anggota
keluarga.
5) Revolse menggambarkan kepuasan anggota keluargatentang kebersamaan dan
waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain
APGAR Keluarga

No Fungsi Uraian Skore


0 = Tidak
Pernah
1 = Kadang –
kadang
2 = Selalu
1 Adaptasi Saya puas bahwa saya dapat
kembali pada keluarga (
teman-teman) saya untuk
membantu pada waktu sesuatu
menyusahkan saya
2 Hubungan Saya puas dengan cara
keluarga ( teman-teman) saya
membicarakan sesuatu dengan
saya dan mengungkapkan
masalah dengan saya
3 Pertumbuhan Saya puas bahwa keluarga (
teman-teman) saya menerima
dan mendukung keinginan saya
untuk melakukan aktivitas atau
arah baru
4 Afeksi Saya puas dengan cara
keluarga ( teman-teman) saya
mengekspresikan afek dan
berespon terhadap emosi –
emosi saya seperti marah,
sedih atau mencintai
14

5 Pemecahan Saya puas dengan cara teman-


teman saya dan saya
menyediakan waktu bersama -
sama
Analisa Hasil :
Skor : 8-10 : Funsi sosial normal
Skor : 6-7 : Fungsi sosial cuko
Skor : 0-4 : Fungsi sosial kurang / suka menyendiri
f. MMSE
Mini Mental Stage Examination (MMSE) adalah pemeriksaan yang
dilakukan petugas medis untuk menilai status mental pasien. MMSE
merupakan penilaianyang sederhana dan sangat banyak digunakan untuk
menilai status mental pasien.MMSE dilakukan untuk menilai bagaimana
orientasi waktu dan tempat, pengujian Memori jangka pendek dan jangka
panjang, berhitung, Kemampuan bahasa, dan Kemampuan Konstruksional.
MMSE sering digunakan untuk menilai penurunan status mental pada lansia
seiring bertambahnya umur pasien tersebut

Item Tes Nilai Nilai


maks.
ORIENTASI
1 Sekarang (tahun), (musim), (tanggal), hari apa? 5
2 Kita berada dimana? (negara), (propinsi), (kota), 5
(rumah sakit), (lantai/kamar)
REGISTRASI
3 Sebutkan 3 buah nama benda ( jeruk, uang, mawar), 3
tiap benda 1 detik, pasien disuruh mengulangi ketiga
nama benda tadi. Nilai 1 untuk tiap nama benda yang
benar. Ulangi sampai
pasien dapat menyebutkan dengan benar dan catat
jumlah pengulangan.
ATENSI DAN KALKULASI
4 Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban 5
yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban.
Atau disuruh mengeja terbalik kata “ WAHYU”
(nilai diberi pada huruf yang benar sebelum
kesalahan; misalnya uyahw=2 nilai
MENGINGAT KEMBALI
15

5 Minta klien untuk mengulangi ketiga obyek pada No 3


2 (registrasi) tadi. Bila benar, 1 point untuk masing-
masing obyek.
BAHASA
6 Tunjukan pada klien suatu benda dan tanyakan 2
namanya pada klien (pensil, arloji).
7 Minta klien mengulang kata berikut “tak ada jika,
dan, atau, tetapi” bila benar nilai satu poin. 1
8 Minta klien untuk mengikuti perintah yang terdiri
dari 3 langkah “Ambil kertas ini dengan tangan 3
kanan, lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai”
9 Perintahkan pada klien untuk hal berikut “angkatlah 1
tangan kiri anda”
10 Minta pasien menulis sebuah kalimat 1
11 Minta pasien meniru sebuah gambar 1
Skor total 30
Interpretasi hasil :
>23 : aspek kognitif dari fungsi mental baik
18-22 : kerusakan aspek mental ringan
< 17 : kerusakan aspek fungsi mental berat

B. PENYAKIT GANGGUAN
1. Definisi
Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini adalah
kulminasi penyakit serebrovaskuler selama beberapa tahun. (Smeltzer C. Suzanne,
2002 dalam ekspresiku-blogspot 2008)
Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun
menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24
jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain daripada
gangguan vascular,
2. Etioologi
Menurut Smeltzer (2001) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari
empat kejadian yaitu:
a. Trombosis serebral
16

Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah


penyebab utama trombosis serebral, yang merupakan penyebab paling umum
dari stroke. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi. Sakit kepala adalah
awitan yang tidak umum. Beberapa pasien dapat mengalami pusing,
perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa mengalami awitan yang tidak
dapat dibedakan dari haemorrhagi intracerebral atau embolisme serebral.
Secara umum, trombosis serebral tidak terjadi dengan tiba-tiba, dan
kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau parestesia pada setengah tubuh
dapat mendahului awitan paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
b. Embolisme serebral
Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang -
cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral. Awitan hemiparesis atau
hemiplegia tiba-tiba dengan afasia atau tanpa afasia atau kehilangan kesadaran
pada pasien dengan penyakit jantung atau pulmonal adalah karakteristik dari
embolisme serebral.
c. Iskemia serebral
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena
konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
d. Haemorhagi serebral
1) Haemorhagi ekstradural (haemorrhagi epidural) adalah kedaruratan
bedah neuro yang memerlukan perawatan segera. Keadaan ini biasanya
mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah arteri meninges
lain, dan pasien harus diatasi dalam beberapa jam cedera untuk
mempertahankan hidup.
2) Haemorhagi subdural pada dasarnya sama dengan haemorrhagi epidu ral,
kecuali bahwa hematoma subdural biasanya jembatan vena
robek.Karenanya periode pembentukan hematoma lebih lama dan
menyebabkan tekanan pada otak. Beberapa pasien mungkin mengalami
haemorrhagi subdural kronik tanpa menunjukkan tanda atau gejala.
17

3) Haemorrhagi subarakhnoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau


hipertensi, tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisme
pada area sirkulus Willisi dan malformasi arteri vena kongenital pada
otak.
4) Haemorrhagi intracerebral adalah perdarahan di substansi dalam otak
paling umum pada pasien dengan hipertensi dan aterosklerosis serebral,
karena perubahan degeneratif karena penyakit ini biasanya menyebabkan
rupture pembuluh darah. Biasanya awitan tiba -tiba, dengan sakit kepala
berat. Bila haemorrhagi membesar, makin jelas deficit neurologik yang
terjadi dalam bentuk penurunan kesadaran dan abnormalitas pada tanda
vital.
3. Patofisiologi
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola mengalami perubahan
patologik pada dinding pembuluh darah tersebut berupa hipohialinosis, nekrosis
fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Arteriol-arteriol dari cabang-
cabang lentikulostriata, cabang tembus arteriotalamus dan cabang-cabang
paramedian arteria vertebro-basilar mengalami perubahan-perubahan degeneratif
yang sama . Kenaikan darah yang “abrupt” atau kenaikan dalam jumlah yang
secara mencolok dapat menginduksi pecahnya pembuluh darah terutama pada pagi
hari dan sore hari.
Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut sampai
dengan 6 jam dan jika volumenya besar akan merusak struktur anatomi otak dan
menimbulkan gejala klinik
Jika perdarahan yang timbul kecil ukurannya, maka massa darah hanya dapat
merasuk dan menyela di antara selaput akson massa putih tanpa merusaknya. Pada
keadaan ini absorbsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi.
Sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peninggian
tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada
falk serebri atau lewat foramen magnum. Kematian dapat disebabkan oleh
kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau
18

ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi


pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus dan pons.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak
akan mengakibatkan peningian tekanan intrakranial dan menebabkan menurunnya
tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena
darah dan sekitarnya tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan
prognosis. Apabila volume darah lebih dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93
% pada perdarahan dalam dan 71 % pada perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi
perdarahan serebral dengan volume antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan
kematian sebesar 75 % tetapi volumen darah 5 cc dan terdapat di
ponssudahberakibat fatal. (Jusuf Misbach, 2009).
3. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer (2001) manifestasi klinis stroke terdiri atas:
a. Defisit Lapang Penglihatan
1) Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang penglihatan), Tidak
menyadari orang atau objek ditempat kehilangan, penglihatan, engabaikan
salah satu sisi tubuh, kesulitan menilai jarak.
2) Kehilangan penglihatan perifer, Kesulitan melihat pada malam hari, tidak
menyadari objek atau batas objek.
3) Diplopia (Penglihatan ganda).
b. Defisit Motorik
1) Hemiparesis
Kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama. Paralisis wajah
(karena lesi pada hemisfer yang berlawanan).
2) Ataksia
Berjalan tidak mantap atau tegak, Tidak mampu menyatukan kaki, perlu
dasar berdiri yang luas.
19

3) Disartria
Kesulitan dalam membentuk kata.
4) Disfagia
Kesulitan dalam menelan.
c. Defisit Verbal
1) Afasia Ekspresif
Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami, mungkin mampu
bicara dalam respon kata tunggal.
2) Afasia Reseptif
Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan, mam pu bicara tetapi
tidak
masuk akal.
3) Afasia Global
Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif.
4) Defisit Kognitif
Pada penderita stroke akan kehilangan memori jangka pendek dan panjang,
penurunan lapang perhatian, kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi ,
alasan abstrak buruk, perubahan penilaian.
5) Defisit Emosional
Penderita akan mengalami kehilangan kontrol diri, labilitas emosional,
penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress, depresi,
menarik
diri, rasa takut, bermusuhan dan marah, perasaan isolasi
4. Klasifikasi
Menurut Satyanegara (1998), gangguan peredaran darah otak atau stroke dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Non Haemorrhagi/Iskemik/Infark
1) Transient Ischemic Attack (TIA)/Serangan Iskemi Sepintas TIA
merupakan tampilan peristiwa berupa episode-episode serangan sesaat dari
20

suatu disfungsi serebral fokal akibat gangguan vaskuler, dengan lama


serangan sekitar 2 -15 menit sampai paling lama 24 jam.
2) Defisit Neurologis Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurologi
Defisit(RIND) Gejala dan tanda gangguan neurologis yang berlangsung
lebih lama dari 24 jam dan kemudian pulih kembali (dalam jangka waktu
kurang dari tiga minggu).
3) In Evolutional atau Progressing Stroke merupakan Gejala gangguan
neurologis yang progresif dalam waktu enam jam atau lebih.
4) Stroke Komplit (Completed Stroke / Permanent Stroke ) merupakan Gejala
gangguan neurologis dengan lesi -lesi yang stabil selama periode waktu 18-
24 jam, tanpa adanya progesifitas lanjut.
b. Stroke Haemorrhagi
Perdarahan intrakranial dibedakan berdasarkan tempat perdarahannya, yakni
di rongga subararakhnoid atau di dalam parenkhim otak (intraserebral). Ada
juga perdarahan yang terjadi bersamaan pada kedua tempat di atas seperti:
perdarahan subarakhnoid yang bocor ke dalam otak atau sebaliknya.
Selanjutnya gangguan-gangguan arteri yang menimbulkan perdarahan otak
spontan dibedakan lagi berdasarkan ukuran dan lokasi regional otak.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologi
1) CT scan: didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ventrikel,
atau menyebar ke permukaan otak.
2) MRI untuk menunjukkan area yang mengalami infark, hemoragik.
3) Angiografi serebral: Membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.
4) Pemeriksaan foto thorax dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah
terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda
hipertensi kronis pada penderita stroke.
21

b. Pemeriksaan laboratorium
1) Fungsi lumbal: Menunjukan adanya tekanan normal dan cairan tidak
mengandung darah atau jernih.
2) Pemeriksaan darah rutin
3) Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia.
(Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian
berangsur-angsur turun kembali.)
4) Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri.
6. Penatalaksanaan
Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis sebagai
berikut:
a. Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan:
1) Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan lendir
yang sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu
pernafasan.
2) Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk usaha
memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
3) Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
4) Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
5) Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat
mungkin pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-
latihan gerak pasif.
b. Pengobatan Konservatif
1) Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara percobaan,
tetapi maknanya pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
2) Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra
arterial.
22

3) Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat


reaksi pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi
alteroma.
c. PengobatanPembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral:
1) Endosterektomikarotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan
membuka arteri karotis di leher.
2) Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya
paling dirasakan oleh pasien TIA.
3) Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut.
4) Liga siarterikarotiskomunis di leher khususnya pada aneurisma.
7. Diagnosa Keperwatan Dan Intervensi
a. Diagnosa Keperawatan
1) Defisit Self Care : toileting b.d Kerusakan neuromuskular.
2) Gangguan Mobilitas Fisik b.d Kerusakan muskuloskeletal &
neuromuscular.
b. Rencana Keperawatan
DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN
KEPERAWAT
TUJUAN INTERVENSI
AN
Defisit Self Care TIU: i. Monitor kemempuan klien
: toileting b.d Setelah dilakukan untuk perawatan diri yang
Kerusakan perawatan selama 1 mandiri.
neuromuskular minggu klien dapat 2. Monitor kebutuhan klien
melakukan ADLS untuk alat-alat bantu untuk
dengan bantuan kebersihan diri, berpakaian,
TIK: berhias, toileting dan makan.
Setelah dilakukan 4 x 3. Sediakan bantuan sampai
kunjungan klien dapat : klien mampu secara utuh
1. Terbebas dari bau untuk melakukan self-care
badan 4. Ajarkan klien/ keluarga
2. dapat melakukan untuk mendorong
ADLS dengan kemandirian, untuk
bantuan memberikan bantuan hanya
jika pasien tidak mampu
untuk melakukannya.
23

Gangguan TIU:
Mobilitas Fisik Setelah dilakukan 1. Kaji faktor penyebab
b.d Kerusakan perawatan selama 1 imobilitas
muskuloskeletal minggu klien mengerti 2. Ajarkan pasien atau tenaga
& tujuan dari peningkatan kesehatan lain tentang
neuromuscular mobilitas. teknik ambulasi
TIK: 3. Kaji kemampuan pasien
Setelah dilakukan 4 kali dalam mobilisasi
kunjungan klien dapat: 4. Latih pasien dalam
1. Klien meningkat pemenuhan kebutuhan
dalam aktivitas fisik ADLs secara mandiri sesuai
2. Mengerti tujuan dari kemampuan
peningkatan mobilitas 5. Dampingi dan Bantu pasien
saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADLs ps.
6. Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan.
5. Anjurkan klien untuk
meningkatkan aktifitas
fisik.
24

8. Daftar Pustaka
a. Bulechek, Gloria M., dkk., 2013. Nursing Intervention Classification (NIC).
Mocomedia: Yogyakarta
b. Doenges,Marilynn E dkk. (1999).Rencana Asuhan
Keperawatan.Jakarta:EGC
c. Underwood,J.C.E.(1999).Patologi Umum dan Sistematik.Edisi
2.Jakarta:EGC
d. Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah, Jakarta, EGC ,2002
e. http://lisa86.wordpress.com/askep-pasien-stroke-non-hemoragik/
f. http://www.scribd.com/doc/22475411/KTI-Hemiparese-Post-Stroke-Non-
Hemoragik

Anda mungkin juga menyukai