Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Usia Lanjut (Lansia) adalah seseorang yang mengalami tahap

akhir dalam perkembangan kehidupan manusia. Lansia ditandai

dengan perubahan fisik, emosional, dan kehidupan seksual. Gejala-

gejala kemunduran fisik seperti merasa cepat lelah, stamina menurun,

badan menjadi membungkuk, kulit keriput, rambut memutih, gigi mulai

rontok, fungsi panca indra menurun dan pengapuran pada tulang

rawan (Maramis, 2016)

Menurut Word Health Organization (WHO), pada tahun 2018

untuk pertama kalinya dalam sejarah, orang berusia di atas 65 tahun

melebihi jumlah anak di bawah lima tahun secara global, naik dari satu

dalam 11 di tahun 2019 (9%), pada tahun 2050, satu dari enam orang

di dunia akan berusia di atas 65 tahun (16%), jumlah orang berusia 80

tahun atau lebih diproyeksikan tiga kali lipat, dari 143 juta pada tahun

2019 menjadi 426 juta pada tahun 2050 (WHO, 2019).

Seiring bertambahnya usia harapan hidup berpengaruh

terhadap peningkatan usia lanjut dari tahun ketahun. Meningkatnya

usia lanjut berdampak pada populasi lansia. Hal ini berakibat pula

pada fasilitas pelayanan karena terjadinya kemunduran yang perlu

ditingkatkan karena terjadi penurunan baik secara fisik, psikologi dan

1
sosial pada lansia. Berdasarkan data proyeksi penduduk, diprediksi

jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2020 (27,08 juta)

jiwa, tahun 2025 (33,69 juta) jiwa, tahun 2030 (40,95 juta) jiwa, dan

tahun 2035 (48,19 juta) jiwa. Di provinsi Maluku jumlah populasi lansia

sebanyak 6,88 juta jiwa (Kementrian Kesehatan RI, 2017).

Lansia mengalami kemundururan fisik maupun psikis yang

mengarah pada degeneratif. Dengan seiring bertambahnya usia

akan terjadi penurunan komposisi tubuh seperti otot, tulang, sendi,

sistem kardiovaskuler, respirasi dan kognisi. Kemunduran atau

perubahan morfologis pada otot, tulang dan sendi akan menyebabkan

perubahan fungsional, yaitu terjadinya penurunan kekuatan kontraksi,

elastisitas dan fleksibilitas, serta kecepatan dan waktu. Penurunan

fungsi dan kekuatan otot, tulang dan sendi pada lansia akan

mengakibatkan penurunan kemampuan keseimbangan postural atau

keseimbangan tubuh lansia (Adit & Nanag, 2015).

Keseimbangan merupakan interaksi yang kompleks dari

integrasi sistem sensorik (visual, vestibular, somatosensor, termasuk

propoioseptor) dan muskuloskeletal yang diatur dalam otak sebagai

respon perubahan internal maupun eksternal (Batson, 2009). Faktor-

faktor yang mempengaruhi keseimbangan pada lansia yaitu faktor

instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik (host dan aktivitas) adalah

salah satu faktor yang menyebabkan jatuh pada lansia. Meliputi

gangguan muskuloskeletal yang menyebabkan gangguan gaya

2
berjalan, kelemahan ektremitas bawah, kekuatan sendi, dan sinkop

(Stanley, 2006). Faktor ekstrinsik (lingkungan sekitarnya) diantaranya

cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tersandung

benda-benda, tempat berpegang yang tidak kuat, tidak stabil, atau

tergelatak dibawah, tempat tidur atau kloset jongkok, obat-obatan

tertentu yaitu golongan sedative dan hipnotik yang dapat menganggu

stabilitas postur tubuh, yang mengakibatkan efek samping menyerupai

sindrom Parkinson seperti diuretik/ anti hipertensi, antidepresan,

antipsikotik, dan alkohol (Shobha, 2005). dan alat-alat bantu berjalan

(Maryam & Ratna 2010).

Insiden jatuh di Indonesia tercatat dari 115 penghuni panti

sebanyak 30 lansia atau sekitar 43,47% mengalami jatuh.

Berdasarkan data yang ditemukan di Panti Werdha Hargodelali

Surabaya didapatkan sekitar 60% lansia dari 39 penghuni pantai

pernah mengalami jatuh pada tahun 2011, kejadian jatuh tersebut

mengakibatkan 3 lansia dari 23 lansia tersebut dirawat dirumah sakit

karena 2 lansia yang jatuh mengalami fraktur femuralis dan 1 lansia

mengalami fraktur panggul dan sisanya dirawat sendiri oleh petugas

panti karena hanya terjadi memar dan keseleo (Nur af’idah, 2012).

Penanganan dan pengobatan terhadap risiko jatuh dapat

dilakukan dengan farmakologis dan non farmakologis. Pengobatan

menggunakan obat penenang yang membantu lansia untuk

melakukan aktivitas tanpa merasakan lingkunganya yang

3
menyebabkan pusing hebat dan akhirnya lansia mengalami jatuh atau

berisiko untuk cedera karena jatuh (Nugroho, 2008). Sedangkan

secara non-farmakologis dapat dilakukan latihan fisik pada lansia

yaitu dengan menggunakan teknik balance strategy exercise dan 5

balance exercise (Gleen, 2007).

Balance exercise merupakan latihan khusus untuk membantu

meningkatkan kekuatan otot pada anggota gerak bawah dan sistem

vestibular atau keseimbangan tubuh. Ada beberapa gerakan yang

digunakan dalam balance exercise, seperti gerakan plantar fleksi, hip

fleksi, hip ekstensi, knee fleksi, side leg rise. Program balance

exercise untuk meningkatkan keseimbangan postural pada lansia

dilakukan dengan frekuensi 3 kali dalam seminggu selama 3 minggu,

dengan intensitas 60-70% dari denyut jantung maksimal. Tipe latihan

kalistenik dan kelenturan, dan waktu 90 detik dengan repitisi 9-11 kali

dan istirahat 30 detik (Arifal & Primadani, 2018).

Manfaat yang akan diperoleh jika melakukan latihan balance

exercise secara teratur adalah peningkatan fungsi keseimbangan,

perbaikan sistem motoris, perbaikan kontrol postural, serta

peningkatan stabilitas dinamik. Adanya peningkatan kekuatan otot

pada lansia ini akan membuat tubuh semakin kokoh dalam

menompang badan, sehingga akan kokoh dalam mempertahankan

gerakanya. Hal ini akan membuat lansia semakin seimbang

posturalnya (Masitoh, 2013).

4
Menurut Ceranski (2006, dalam fefendi, 2008) salah satu

latihan yang direkomendasikan untuk meningkatkan keseimbangan

tubuh lansia adalah dengan latihan keseimbangan (balance exercise)

yaitu aktivitas fisik yang dilakukan untuk meningkatkan kestabilan

tubuh dengan meningkatkan kekuatan otot ekstremitas bawah. Hal ini

sesuai dengan beberapa hasil studi yang menyatakan bahwa aktivitas

fisik atau latihan fisik dapat meningkatkan keseimbangan tubuh untuk

mencegah jatuh pada lansia (Wiramihardja, 2005).

Berdasarkan data dari buku register pasien tahun 2018 di

Puskesmas Letwaru, terdapat 558 lansia yang datang memeriksakan

diri. Hasil wawancara dengan petugas kesehatan yang merupakan

penanggung jawab program lansia di Puskesmas Letwaru, di peroleh

informasi bahwa ada 8 lansia yang berisiko jatuh, disisi lain terapi

non farmakologis yang biasanya digunakan untuk mengatasai

masalah ini adalah edukasi di posyandu lansia dan senam lansia.

Hingga saat ini balance exercise belum pernah di terapkan pada

lansia.

Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik melakukan

penelitian konsep keperawatan dengan penerapan prosedural balance

exercise untuk mencegah jatuh pada lansia di wilayah Kerja

Puskesmas Letwaru.

5
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya maka

rumusan masalah pada karya tulis ilmiah ini adalah bagaimana

asuhan keperawatan dengan penerapan prosedur balance exercise

untuk mencegah jatuh pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas

Letwaru ?

C. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan asuhan

keperawatan dengan prosedur balance exercise untuk mencegah

jatuh pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Letwaru.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi lansia

Meningkatkan pengetahuan lansia dalam meningkatan

keseimbangan tubuh melalui balance exercise.

2. Bagi puskesmas

Dapat meningkatkan asuhan keperawatan dengan prosedur

balance exercise untuk mencegah jatuh pada lansia di Puskesmas

Letwaru.

3. Bagi institusi

Sumbangan ilmiah dan masukan untuk mengembangkan ilmiah

pengetahuan khususnya tentang teknik balance exercise dapat

meningkatkan keseimbangan postural dan menurunkan terjadinya

6
jatuh pada lansia. Serta dapat digunakan sebagai bahan pustaka

atau bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.

4. Bagi peneliti

Hasil karya tulis ini dapat digunakan sebagai acuan untuk

penelitian dan pengembangan lebih lanjut mengenai asuhan

keperawatan dengan penerapan prosedural balance exercise

untuk meningkatkan kestabilan tubuh dengan meningkatkan

kekuatan otot ekstremitas bawah dan menurunkan kejadian jatuh

pada lansia.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Risiko jatuh

1. Definisi lansia

Lanjut Usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai

60 tahun ke atas. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi

merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan

perubahan kumulatif, merupakan proses menurunya daya tahan

tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh.

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam

kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang

hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu tetapi dimulai

sejak awal permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses

yang alamia yang berarti seseorang yang telah melalui tiga tahap

kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Kholifa, 2016).

2. Definisi Risiko jatuh

Risiko jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita

atau keluarga yang melihat kejadian, yang mengakibatkan

seseorang mendadak berbaring, terduduk di lantai atau tempat

yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau

luka (Darmojo, 2009).

8
Menurut (Stanley, 2006), Risiko jatuh adalah suatu kejadian

yang menyebabkan subjek yang sadar menjadi berada dilantai

tanpa disengaja bukan merupakan jatuh bila kejadian jatuh

diakibatkan pukulan keras, kehilangan kesadaran atau kejang.

Kejadian jatuh merupakan penyebab spesifik yang berbeda dari

mereka yang dalam keadaan sadar mengalami jatuh.

Faktor risiko jatuh pada lansia terdiri dari faktor instrinsik

(host dan aktivitas) dan faktor ekstrinsik (lingkungan dan obat-

obatan)

a. Faktor host (diri lansia)

Faktor yang menyebabkan jatuh sangat kompleks dan

tergantung kondisi lansia. diantaranya adalah gangguan

keseimbangan, penyakit yang sedang diderita (vertigo

sebesar 13%, hipotensi sebesar 3%) perubahan akibat

proses penuaan (penurunan pendengaran, penurunan status

mental (bingung) sebesar 5% hidup sendiri (faktor gaya

hidup). Gangguan muskuloskeletal seperti kelemahan otot

ekstremitas bawah, gangguan keseimbangan, dan gaya

berjalan sebesar 17% serta serangan tiba-tiba sebesar 9%

(Shoba, 2005)

b. Faktor aktivitas

Penelitian yang dilakukan Probosuseno (2006) selama

setahun 4.862 penderita yang dirawat di rumah sakit atau

9
panti jompo. Didapatkan penderita dengan risiko jatuh paling

tinggi adalah penderita aktif, dengan sedikit gangguan

keseimbangan. Hal ini didukung oleh penelitian yang

dilakukan Bernerdh (2006) terhadap 300 lansia di

Puskesmas Tabet bahwa lansia dengan aktivitas rendah

(tidak teratur berolahraga) berisiko 7,63 kali menderita

gangguan keseimbangan dibandingkan lansia dengan

aktivitas tinggi. Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia

melakukan aktivitas biasa, seperti berjalan, naik atau turun

tangga, atau mengganti posisi. Jatuh sering juga terjadi pada

lansia dengan banyak kegiatan olahraga, disebabkan oleh

kelemahan atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Jatuh

juga sering terjadi pada lansia dengan yang imobilisasi

ketika tiba-tiba ingin pindah sesuatu tanpa pertolongan

(Darmojo, 2004).

c. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan mempunyai risiko terhadap jatuh sebesar

31% (Shoba, 2005). Faktor lingkungan terdiri dari

penerangan yang kurang, benda-benda di lantai (seperti

tersandung karpet), peralatan rumah yang tidak stabil,

tangga tanpa pagar, tempat tidur atau tempat buang air yang

terlalu rendah, lantai yang tidak rata, licin atau menurun,

serta alat bantu jalan yang tidak tepat. Sekitar 70% jatuh

10
pada lansia terjadi di rumah, 10% terjadi di tangga, dengan

kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak dibandingkan

saat naik, yang lainya terjadi karena tersandung atau

menabrak benda perlengkapan rumah tangga, lantai yang

licin atau tidak rata, atau penerangan ruangan yang tidak

kurang.

d. Faktor obat-obatan

Jumlah obat yang diminum merupakan faktor yang

bermakna terhadap penderita. Empat obat atau lebih

meningkatkan risiko jatuh. Jatuh akibat terapi obat

dinamakan jatuh iatrogenic. Obat-obat yang meningkatkan

risiko jatuh diantaranya obat golongan sedative dan hipnotik

yang dapat mengganggu stabilitas postur tubuh, yang

mengakibatkan efek samping yang menyerupai sindroma

parkinson seperti diuretik / anti hipertensi, antidepresan,

antipsikotik, obat-obatan hiplogikemik, dan alkohol (Shobha,

2005). Hal ini sesuai dengan pendapat Robbins, et al. (1989,

dalam newton, 2003) bahwa lansia yang memiliki tiga faktor

risiko jatuh, seperti kelemahan otot paha,

ketidakseimbangan, dan mendapat lebih dari empat

pengobatan berisiko jatuh sebesar 10% setiap tahunya.

11
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengkajian pada lansia

a. Interelasi (saling keterkaitan) antara aspek fisik dan

psikososial : terjadi penurunan kemampuan mekanisme

terhadap stres, masalah psikis meningkat dan terjadi

perubahan pada fisik lansia

b. Adanya penyakit dan ketidak mampuan status fungsional

c. Hah-hal yang perlu diperhatikan saat pengkajian, yaitu :

ruang yang adekuat, kebisingan minimal, suhu cukup

hangat, hindari cahaya langsung, posisi duduk yang nyaman,

dekat dengan kamarmandi, privasi yang mutlak bersikap

sabar, relaks, tidak tergesa-gesa, beri kesempatan pada

lansia untuk berfikir, waspada tanda-tanda keletihan.

(Nanda, 2014).

Menurut Betty (2013), pengkajian risiko jatuh pada

lansia meliputi pengkajian riwayat penyakit (jatuh)

pemeriksaan fisik, pemeriksaan fungsional.

4. Pengkajian

a. Anamnesis

Dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata

jatuh atau keluarganya. Anamnesis meliputi pertanyaan seputar

jatuh : mencari penyebab jatuh misalnya terjatuh, tersandung,

berjalan, perubahan posisi badan, waktu mau berdiri dari

jongkok, sedang makan, sedang buang air besar atau kecil,

12
sedang batuk atau bersin, sedang menoleh atau aktivitas lain.

Perawat juga menanyakan gejala yang menyertai seperti nyeri

dada, berdebar–debar, nyeri kepala tiba– tiba, vertigo, pingsan,

lemas, konfusio, inkontenensia, sesak napas atau penyakit

yang relevan terhadap kejadian jatuh seperti pernah strooke,

parkingkson, osteoporosis, sering kejang, penyakit jantung,

rematik, depresi, defisit sensorik. Selain itu, harus dirivew obat

–obatan yang diminum misalnya anti hipertensi, diuretik, anti

depresan, hipnotik, analgetik, psikotropik, serta meriview

tempat kejadian jatuh.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan

tanda vital : tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu badan :

kepala dan leher meliputi penurunan fisus, penurunan

pendengaran, gerakan yang menginduksi keseimbangan :

jantung (aritmia, kelainan katub), neurologi (perubahan status

mental, defisit lokal, nerupati perifer, kelemahan otot,

instabilitas, kekakuan, teromor), dan muskuloskeletal

(perubahan sendi, pembatasan gerak sendi, deformitas).

Pengkajian risiko jatuh dilakukan dengan dua cara yaitu

berdasarkan Format Morse Fall Scale (MFS) dan Berg Balance

Scale (BBS), Format Morse Fall Scale merupakan skala yang

cepat dan sederhana untuk mengkaji risiko jatuh pada pasien.

13
Dengan adanya skala ini akan mempermudah perawat untuk

melakukan pengkajian risiko jatuh pada lansia yang mengalami

penurunan muskuloskeletal. Pada lansia mengakibatkan lansia

mudah mengalami jatuh yang dapat menimbulkan komplikasi

seperti cedera kepala, cedera jaringan lunak, sampai dengan

patah tulang / fraktur. MFS terdiri dari 6 variabel yang mudah

untuk di nilai dan dapat menunjukan prediksi kesesuaian yang

tepat. Berdasarkan pengkajian skala menurut format Morse Fall

Scale terdapat beberapa penilaian yang dapat dilakukan untuk

menilai skala yaitu :

1) Riwayat jatuh : jika pasien tidak jatuh maka diberi skor 0,

dan jika pasien jatuh untuk pertama kalinya maka pasien

diberi skor 25.

2) Diagnosis sekunder : jika pasien memiliki lebih dari satu

diagnosa medis maka diberi skor 15 dan jika pasien tidak

memiliki diagnosa medis maka diberi skor 0

3) Bantuan ambulansi : diberi skor 0 jika pasien berjalan tanpa

menggunakan alat bantu jalan meskipun dibantu oleh

perawat, dengan kursi roda atau dalam keadaan tirah baring.

Jika pasien menggunakan kruk, tongkat atau walker, maka

kita beri skor 15. Sedangkan jika pasien menggunakan meja,

kursi, ataupun berupa perkakas rumah untuk berpindah

maka kita beri skor 30.

14
4) Terapi intravena : skor 20 diberikan jika pasien

menggunakan terapi intravena. Sedangkan jika tidak

menggunakan terapi intravena maka diberi skor 0

5) Cara berjalan : cara berjalan dikatakan normal jika pasien

berjalan dengan kepala tegak, lengan dapat diayunkan

dengan bebas kesamping, dan melangkah tanpa ragu-ragu

sehingga diberi skor 0. Cara berjalan dikatakan lemah

skornya 10, jika pasien berjalan membungkuk tetapi masih

mampu mengangkat kepala ketika mengalami kehilangan

keseimbangan. Cara berjalan dikatakan terganggu skornya

20, jika pasien mengalami kesulitan untuk bangun dari kursi,

atau mencoba bangun dari dari kursi, dan pasien yang

kepalanya menghadap ke bawah/ke tanah.

6) Status mental : jika pasien menjawab dengan jawaban yang

konsisten dengan aktvitas yang diperintah maka pasien

dikatakan normal dan diberi skor 0. Sedangkan jika respon /

jawaban pasien tidak konsisten dengan perintah maka diberi

skor 15

Keterangan :

Skor < 24 : risiko jatuh ringan

Skor 25-50 : risiko jatuh sedang

Skor > 50 : risiko tinggi (Betty, 2013).

15
Sedangkan berdasarkan Berg Balance Scale (BBS)

merupakan skala untuk mengukur keseimbangan static dan

dinamik secara objektif, yang terdiri dari 14 item tugas

keseimbangan ( balance task) yang umum dalam kehidupan

sehari-hari.

a) Duduk ke berdiri : dapat berdiri tanpa menggunakan

tangan dan menstabilkan independen skor :4, mampu

berdiri secara independen menggunakan tangan skor: 3,

mampu berdiri menggunakan tangan setelah mencoba

skor: 2, perlu bantuan minimal untuk berdiri atau

menstabilkan skor: 1, perlu asisten sedang atau

maksimal untuk berdiri skor :0

b) Berdiri tanpa penunjang : dapat berdiri dengan aman

selama 2 menit skor : 4, mampu berdiri 2 menit dengan

pengawasan skor : 3, dapat berdiri 30 detik yang tidak /

ditunjang skor: 2, membutuhkan beberapa waktu untuk

mencoba berdiri 30 detik yang tidak dibantu skor :1, tidak

dapat berdiri secara mandiri selama 30 detik skor : 0.

c) Duduk tanpa penunjang : bisa duduk dengan aman dan

aman selama 2 menit skor: 4, bisa duduk 2 menit

dengan pengawasan skor: 3, mampu duduk selama 30

detik skor: 2, bisa duduk 10 detik skor: 1, tidak dapat

duduk tanpa penunjang skor: 0.

16
d) Berdiri ke duduk : duduk dengan aman dengan

menggunakan minimal tangan skor: 4, mengontrol posisi

turun dengan menggunakan tangan skor: 3,

menggunakan punggung kaki terhadap kursi untuk

mengontrol posisi turun skor : 2, duduk secara

independen tetapi memiliki keturunan yang tidak

terkendali skor: 1, kebutuhan membantu untuk duduk

skor: 0.

e) Transfer : dapat mentransfer aman dengan penggunaan

ringan tangan skor : 4, dapat mentransfer kebutuhan

yang pasti aman dari ringan skor : 3, dapat mentransfer

denga pengawasan skor : 2, membutuhkan satu orang

untuk membantu skor : 1, membutuhkan 2 orang untuk

membantu atau mengawasi skor: 0.

f) Berdiri dengan mata tertutup : dapat berdiri 10 detik

dengan aman skor: 4, dapat berdiri 10 detik dengan

pengawasan skor : 3, mampu berdiri 3 detik skor: 2, tidak

dapat menjaga mata 3 detik tapi tetap aman skor: 1,

membutuhkan bantuan agar tidak jatuh skor : 0.

g) Berdiri dengan kaki rapat : mampu menempatkan kaki

bersama-sama secara indepnden dan berdiri 1 menit

aman skor: 4, mampu menempatkan kaki bersama-sama

secara independen dan berdiri 1 menit aman skor : 3,

17
mampu menenpatkan kaki bersama-sama secara

mandiri tetapi tidak dapat tahan lama selama 30 detik

skor : 2, memerlukan bantuan untuk mencapai posisi tapi

mampu berdiri 15 detik bersama-sama kaki skor : 1,

memerlukan bantuan untuk mencapai posisi dan tidak

dapat tahan selama 15 detik skor : 0.

h) Menjangkau ke depan dengan tangan : dapat mencapai

ke depan dengan percaya berdiri 25 cm (10 inci) skor : 4,

dapat mencapai ke depan 12 cm (5 inci) skor : 3, dapat

mencapai ke depan 5 cm (2 inci) skor : 2, mencapai ke

depan tetapi mebutuhkan pengawasan skor : 1,

kehilangan keseimbangan ketika mencoba / memerlukan

dukungan eksternal skor : 0.

i) Mengambil barang dari lantai : dapat mengambil sandal

dan mudah skor: 4, dapat mengambil sandal tetapi

mebutuhkan pengawasan skor: 3, tidak dapat mengambil

tetapi mencapai 2-5 cm (1-2 inci) dari sandal dan

menjaga keseimbangan secara bebas skor : 2, tidak

dapat mengambil dan memerlukan pengawasan ketika

mencoba skor : 1, tidak dapat mencoba / membantu

kebutuhan untuk menjaga dari kehilangan keseimbangan

atau jatuh skor : 0.

18
j) Menoleh ke belakang : tampak balakang dari kedua sisi

dan berat bergeser baik skor : 4, tampak belakang satu

sisi saja sisi lain menunjukan pergeseran berat badan

kurang skor : 3, hanya menyamping tetapi

mempertahankan keseimbangan skor : 2, perlu

pengawasan saat memutar skor : 1, butuh bantuan untuk

menjaga dari kehilangan keseimbangan atau jatuh skor :

0.

k) Berputar 3600 : mampu berputar 3600 dengan aman

dalam 4 detik atau kurang skor : 4, mampu berputar 3600

dengan aman satu sisi hanya 4 detik atau kurang skor :

3, mampu berputar 3600 dengan aman tetapi perlahan-

lahan skor: 2, membutuhkan pengawasan yang ketatat

atau dengan lisan skor : 1, membutuhkan bantuan saat

memutar skor : 0.

l) Mempertahankan kaki bergantian di bangku : mampu

berdiri secara independen dengan aman dan

menyelesaikan 8 langkah dalam 20 detik skor: 4, mampu

berdiri secara mandiri dan menyelesaikan 8 langkah

dalam > 20 detik skor : 3, dapat menyelesaikan 4

langkah tanpa bantuan dengan pengawasan skor : 2,

dapat menyelesaikan > 2 langkah perlu asisten minimal

19
skor : 1, membutuhkan bantuan agar tidak jatuh / tidak

mampu untuk mencoba skor : 0.

m) Berdiri dengan satu kaki di depan : mapu menempatkan

tendem kaki secara independen dan tahan 30 detik skor

: 4, mampu menempatkan kaki depan independen dan

tahan 30 detik skor : 3, dapat mengambil langkah kecil

secara mandiri dan tahan 30 detik skor: 2, kebutuhan

membantu untuk melangkah tapi dapat menyimpan 15

detik skor: 1, kehilangan keseimbangan saat melangkah

atau berdir skor : 0.

n) Berdiri dengan satu kaki : mampu mengangkat kaki

secara independen dan tahan > 10 detik skor : 4, mampu

mengangkat kaki secara independen dan tahan 5-10

detik skor : 3, mampu mengangkat kaki secara

independen dan tahan > 3 detik skor : 2, mencoba untuk

angkat kaki tidak bisa tahan 3 detik tetapi tetap berdiri

secara independen skor : 1, tidak dapat mencoba

kebutuhan membantu untuk mencegah jatuhnya skor : 0.

Total score = 56

Interpretasi

0-20 = harus memakai kursi roda (wheleehair bound)

21-40 = berjala dengan bantuan

41-56 =mandiri / independen (Gleen, 2007).

20
5. Diagnosa Keperawatan

Menurut Tim Pokja Standar Diagnosa Keperawatan (SDKI)

DPP PPNI (2016), Diagnosis yang muncul pada pasien lanjut

usia (lansia) dengan gangguan keseimbangan adalah :

a. Risiko jatuh b.d usia > 65 tahun

1) Definisi : berisiko mengalami kerusakan fisik dan

gangguan kesehatan akibat terjatuh

2) Faktor risiko

a) Usia >65 tahun (pada dewasa) atau <2 tahun (pada

anak)

b) Riwayat jatuh

c) Anggota gerak bawah prostesis (buatan)

d) Penggunaan alat bantu berjalan

e) Penurunan tingkat kesadaran

f) Perubahan fungsi kognitif

g) Lingkungan tidak aman (mis. Licin, gelap,lingkungan

asing)

h) Kondisi pasca operasi

i) Hipotensi ortostatik

j) Perubahan kadar glukosa darah

k) Anemia

l) Kekuatan otot menurun

m) Gangguan pendengaran

21
n) Gangguan keseimbangan

o) Gangguan penglihatan (mis. glaukoma, katarak,

ablasio, retina, neuritis optikus)

p) Neuropati

q) Efek agen farmakologis (mis. Sedasi, alkohol,

anastesi umum).

3) kondisi Klinis Terkait

a) Osteoporosis

b) Kejang

c) Penyakit sebrovaskuler

d) Glaukoma

e) Demensia

f) Hipotensi

g) Amputasi

h) Intoksikasi

i) Preeklampsia

b. Risiko intoleransi aktivitas b.d ganguan sirkulasi

1) Defensi : beresiko mengalami ketidak cukupan energi untuk

melakukan aktivitas sehari-hari.

2) Faktor risiko

a) Gangguan sirkulasi

b) Ketidak bugaran status fisik

c) Riwayat intoleransi aktivitas sebelumnya

22
d) Tidak berpengalaman dengan suatu aktivitas

e) Gangguan pernapasan

3) Kondisi klinis Terkait

a) anemia

b) gagal jantung kongestif

c) penyakit katup jantung

d) Aritmia

e) penyakit paru obstruktif Kronis (PPOK)

f) gangguan metabolik

g) ganggua mukuloskeletal

6. Perencanaan Keperawatan

a. Risiko jatuh b.d usia > 65 tahun

NOC : keseimbangan

1) Mempertahankan keseimbangan saat duduk tanpa

sokongan pada punggung tidak terganggu

2) Mempertahankan keseimbangan dari posisi duduk ke

posisi berdiri tidak terganggu

3) Mempertahankan keseimbangan ketika berjalan tidak

terganggu

NIC: Terapi latihan keseimbangan

1) Perkuat atau berikan intruksi dan bagaimana melakukan

gerakan untuk mempertahankan atau meningkatkan

keseimbangan selama latihan atau aktivitas sehari-hari

23
2) Bantu untuk berdiri (atau duduk) dan mengayun tubuh dari

sisi ke sisi untuk menstimulasi mekanisme keseimbangan

3) Instrusikan pasien untuk melakukan latihan keseimbangan,

seperti berdiri dengan satu kaki, membungkuk kedepan,

peregangan dan resistensi yang sesuai

b. Risiko intoleransi aktivitas b.d ketidak bugaran status fisik

NOC : toleransi terhadap aktivitas

1) Kekuatan tubuh bagian bawah tidak terganggu

2) Frekuensi pernapasan ketika beraktivitas tidak terganggu

3) Jarak berjalan tidak terganggu

NIC : terapi latihan keseimbangan

1) Bantu dengan program penguatan pergelangan kaki dan

berjalan

2) Evaluasi fungsi sensorik (misalnya penglihatan,

pendengaran, propiosepsi)

3) tentukan kemampuan pasien untuk berpatisipasi dalam

kegiatan-kegiatan yang mebutuhkan keseimbangan

7. Implementasi keperawatan

Menurut Lestari (2016) implementasi keperawatan

merupakan tahap yang ke-empat dalam proses keperawatan

yang dimulai setelah menyusun rencana keperawatan. Pada

tahap ini perawat akan mengimplementasikan tindakan yang

telah direncanakan berdasarkan hasil pengkajian dan penegakan

24
diagnosis keperawatan. Implementasi dari rencana keperawatan

yang dibuat berdasarkan diagnosis yang tepat diharapkan dapat

mencapai tujuan dan hasil yang diinginkan untuk mendukung

dan meningkatkan status kesehatan klien. Penerapan

implementasi keperawatan yang dilakukan harus berdasarkan

tindakan berbasis bukti atau telah ada penelitian yang dilakukan

terkait tindakan tersebut hal ini dilakukan akan menjamin bahwa

tindakan yang diberikan aman dan efektif bagi lansia. Pada

tahap ini implementasi perawat harus kritis dalam menilai dan

mengevaluasi respon lansia terhadap tindakan yang diberikan.

8. Evaluasi Keperawatan

Menurut Lestari (2016), evaluasi merupakan tahap kelima

dalam proses keperawatan. Tahap ini sangat penting untuk

menentukan adany perbaikan kondisi atau kesejahteraan klien.

Hal yang harus diingat adalah evaluasi merupakan proses

kontiniu yang terjadi saat perawat melakukan kontak dengan

klien. Selama proses evuluasi perawat membuat keputusan-

keputusan klinis dan secara terus menurus mengarah kembali ke

asuhan keperawatan.

25
B. Konsep Balance Exercise

1. Pengertian tindakan

Latihan keseimbangan adalah latihan khusus yang ditujukan

untuk membantu meningkatkan kekuatan otot pada anggota bawah

(kaki) dan untuk meningkatkan sistem vestibular / kesimbangan

tubuh.

2. Tujuan dari tindakan

Latihan keseimbangan sangat penting pada lansia (Lanjut

Usia) karena latihan ini sangat membantu mempertahankan

tubuhnya agar stabil sehingga mencegah terjatuh yang sering

terjadi pada lansia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusnanto,

Indarwati dan Mufidah (2007) juga mengungkapkan bahwa latihan

balance exercise yang dilakukan 3 kali seminggu selama 3 minggu

dapat menimbulkan kontraksi otot pada lansia yang kemudian

dapat mengakibatkan peningkatan serat otot (hipertropi), serat otot

yang hipertropi ini mengalami peningkatan komponen sistem

metabolisme fosfagen, termasuk ATP dan fosfokreatin sehingga

dapat meningkatkan kekuatan otot pada lansia. Dengan adanya

peningkatan kekuatan otot ini maka dapat meningkatkan

keseimbangan postural pada lansia.

3. Indikasi, kontra indikasi, dan komplikasi dari tindakan

a. Indikasi:

Klien yang memiliki gangguan keseimbangan yang dinilai dari

26
Berg Balance Scale.

b. Kontra indikasi:

1) Riwayat fraktur pada ekstremitas bawah

2) Hipotensi ortostatik

3) Atrofi di salah satu atau kedua tungkai

c. Komplikasi

1) Jatuh

2) Fraktur

3) Dislokasi

4. Peralatan yang digunakan yaitu kursi dan jam / stopwatch.

5. Prosedur tindakan

Latihan keseimbangan akan meghasilkan perubahan atau

manfaat bagi lansia jika dilakukan 1-3 kali seminggu, Senam

keseimbangan bagi lansia dapat dilakukan 3 kali seminggu (Tilarso,

2008). Penelitian telah membuktikan bahwa protein kontraktil otot

(aktin dan miosin) dapat diganti secara total sesingkat 2 minggu.

Menurut Gleen (2007) gerakan balance exercise terdiri dari 5

macam, yaitu Plantar flexion, Hip flexion, Hip extention, Kne flexion,

dan Side leg rais.

a. Plantar Flexion

1) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegang pada kursi

2) Perlahan angkat tumit ke atas (berdiri dengan ujung kaki)

3) Pertahankan posisi

27
4) Kembalikan kaki pada posisi semula

5) Gerakan dilakukan sebnyak 10 kali

Gambar 1.1 plantar flexion (Gleen, 2007)

b. Hip Flexion

1) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegang pada kursi

2) Angkat lutut kanan keatas tanpa menggerakan atau menekuk

pinggang

3) Pertahankan posisi

4) Perlahan turunkan lutut dan kembalikan ke posisi semula

5) Ulangi dengan menggunakan lutut kiri

6) Gerakan dilakukan sebanyak 10 kali

Gambar 1.2 hip flexion (Gleen, 2007)

c. Hip Extention

1) Berdiri dengan jarak 30 cm dari kursi

2) Perlahan gerakan kaki kanan kearah belakang (sampai

pinggang dalam keadaan lurus)

3) Perlahan kembalikan kaki pada posisi semula

4) Ulangi dengan menggunakan kaki kiri

5) Gerakan dilakukan sebanyak 10 kali

28
Gambar 1.3 hip extention (Gleen, 2007)

d. Knee flexion

1) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegang pada kursi

2) Perlahan tekuk lutut kanan kearah belakang sehingga kaki

kanan terangkat di belakang tubuh

3) Pertahankan posisi

4) Ulangi dengan menggunakan kaki kiri

5) Gerakan dilakukan sebanyak 10 kali

Gambar 1.4 knee extention (Gleen, 2007)

e. Side leg rais

1) Berdiri tegak dengan salah satu tangan berpegang pada kursi

Perlahan angkat kaki kanan kearah samping (sampai pinggang

dalam keadaan lurus)

2) Pertahankan posisi

3) Perlahan kembalikan kaki kanan pada posisi semula

4) Ulangi dengan menggunakan kaki kiri

5) Gerakan dilakukan sebanyak 10 kali

Gambar 1.5 side leg rais (Gleen, 2007)

29
BAB III

METODE STUDI KASUS

A. Rancangan Studi Kasus

Rancangan studi kasus penelitian ini merupakan penelitian

dengan rancangan studi kasus deskriptif. Rancangan studi kasus ini

menjelaskan bagaimana asuhan keperawatan dengan penerapan

prosedural balance exercise untuk mencegah jatuh pada lansia..

B. Subjek Studi Kasus

Dalam studi kasus ini subjek yang digunakan adalah 2 orang

lansia dengan gangguan keseimbangan di wilayah kerja puskesmas

Letwaru :

1. Kriteria Inklusi

a. Lansia yang berumur > 60 tahun

b. Risiko jatuh skor pengkajian 50

c. Bersedia menjadi subjek penelitian

2. Kriteria Eksklusi

a. Riwayat fraktur pada ekstremitas bawah

b. Hipotensi ortostatik

c. Atrofi di salah satu atau kedua tungkai

d. Mengalami gangguan pendengaran dan penglihatan

e. Strooke

f. parkinson

30
C. Fokus Studi Kasus

Fokus studi kasus pada peneliti ini adalah prosedur pemberian

latihan balance exercise pada lansia dengan risiko jatuh.

D. Definisi Operasional

1. Asuhan keperawatan dengan penerapan balance exercise adalah

suatu bentuk pelayanan keperawatan dalam bentuk latihan khusus

yang ditujukan pada lansia untuk membantu meningkatkan

kekuatan otot pada ekstremitas bawah (kaki) dan meningkatkan

sistem vestibular / keseimbangan tubuh. Dengan frekuensi 3 kali

dalam seminggu yang akan dilakukan selama 3 miggu dengan

durasi 15 menit di wilayah kerja Puskesmas Letwaru

2. Balance exercise adalah tindakan non farmakologi yang diberikan

pada lansia dengan gangguan keseimbangan tubuh. Latihan ini

dilakukan dengan cara angkat tumit ke atas, angkat lutut kanan ke

atas tanpa menggerakan atau menekuk, perlahan gerakan kaki

kanan ke arah belakang (sampai pinggang dalam keadaan lurus),

perlahan tekuk lutut kanan kearah belakang sehingga kaki kanan

terangkat di belakang tubuh, perlahan angkat kaki kanan ke arah

samping (sampai pinggang dalam keadaan lurus).

3. Risiko jatuh pada lansia adalah suatu keadaan yang terjadi pada

lansia yang mengalami gangguan pada keseimbangan tubuh dan

berpotensi untuk terjatuh yang diukur menggunakan format

31
pengkajian risiko jatuh yaitu Morse Fall Scale (MFS) dengan skor

50 risiko jatuh tinggi.

E. Tempat dan Waktu Penelitian

Adapun penelitian studi kasus ini akan dilakukan dengan

penggunaan waktu dan tempat sebagai berikut :

a. Waktu : penelitian dilaksanakan pada Bulan Januari 2020

b. Tempat : wilayah kerja Puskesmas Letwaru

F. Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian studi

kasus ini adalah dengan menggunakan instrumen pengkajian Morse

Fall Scale, Berg Balance Scale, catatan anecdotal dan Standar

Operasional Prosedur (SOP) Balance Exercise.

G. Penyajian Data

Untuk studi kasus ini, data disajikan secara terstruktural/ narasi dan

dapat disertai dengan cuplikan ungkapan verbal dari subjek studi

kasus yang merupakan data pendukungnya.

H. Etika Studi Kasus

Studi kasus ini pada dasarnya tidak menimbulkan resiko bagi klien,

namun penulis tetap perlu untuk sensitive terhadap isu-isuetik dalam

menjalankan studi kasus. Creswell (2008) menjelaskan bahwa interaksi

yang terjadinya masalah etika. Permasalaan etika dalam penetian

32
terjadi akibat bertemunya dua atau lebih kepentingan peneliti untuk

memperoleh hasil penelitian ilmiah dan penghormatan terhadap hak

informan atau pihak-pihak lain yang terkait.

Studi kasus ini juga tidak memberikan dampak negatif berupa

masalah etika karena sebelum memulai pengumpulan data untuk studi

kasus, peneliti telah melakukan langkah-langkah antisipasif dengan

memenuhi beberapa prinsip etika penelitian salah satunya adalah ijin/

dengan memenuhi prinsip-prinsip Fife Right of Human Subjects in

Research (Macnee & McCabe, 2008).

Lima hak tersebut meliputi hak untuk self determination; hak

terhadap privacy dan dignity; hak terhadap anonymity dan

confidentiality; hak untuk mendapatkan penangan yang adil dan hak

terhadap perlindungan dari ketidaknyamanan atau kerugian.

1. hak untuk self determination

Klien memiliki dan hak untuk membuat keputusa secara

sadar dan dipahami dengan baik, bebas dari paksaa untuk

berpatisipasi atau tidak dalam penelitian ini atau untuk

mengundurkan diri dari penelitian ini.

2. hak untuk privacy dan dignity

Hak ini berarti bahwa klien memiliki hak untuk dihargai

tentang apa yang merekan lakukan dan apa yang dilakukan

terhadap mereka serta untuk mengontrol kapan dan bagaimana

informs tentang mereka dibagi dengan orang lain.

33
Proses pengumpulan data juga berisiko mengungkapkan

pengalaman klien yang bersifat sangat rahasia bagi pribadinya,

peneliti menginformasikan bahwa klien juga berhak untuk tidak

menjawab pertanyaan wawancara yang mungkin menimbulkan rasa

malu atau tidak ingin di ketahui oleh orang lain. Jika klien merasa

tidak nyaman untuk berpatisipasi lebih lanjut, klien diperkenankan

untuk mengundurkan diri dari proses penelitian kapanpun ia

inginkan. Semua ini dilakukan untuk menghormati pinsip privacy dan

dignity.

3. Hak anonymity dan confidentiality

Maka semua informasi yang didapat dari klien harus dijaga

dengan sedemikian rupa sehingga informasi individual tertentu

tidak bisa langsung dikaitkan dengan klien, dan klien juga harus

dijaga kerahasiaan (confidentiality), maka peneliti menyimpan

seluruh dokumen hasil pengumpulan data berupa lembar

persetujuan mengikuti penelitian, biodata, kaset rekaman dan

transkrip wawancara dalam tempat khusus yang hanya bisa

diakses oleh peneliti. Dalam menyusun laporan penelitian, peneliti

menguraikan data tanpa mengungkapkan identitas klien

(anonymous).

4. Hak terhadap penanganan yang adil memberikan individu hak yang

sama untuk di pilih atau terlibat dalam penelitian tanpa diskriminasi

dan diberikan penanganan yang sama dengan menghormati seluruh

34
persetujuan yang disepakati, dan untuk memberikan penanganan

terhadap masalah yang muncul selama partisipasi dalam penelitian.

Semua klien mempunyai kesempatan yang sama untuk

berpatisipasi dalam penelitian ini dan mendapatkan perlakuan yang

sama dari peneliti.

5. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari ketidaknyamanan dan

kerugian mengharuskan agar klien dilindungi dari eksploitasi dan

peneliti harus menjamin bahwa semua usaha dilakukan untuk

meminimalkan bahaya atau kerugian dari suatu penelitian, serta

memaksimalkan manfaat dari penelitian (Macnee & McCabe, 2008).

Pada penelitian ini, untuk memenuhi hak-hak tersebut peneliti

memberikan informed consent yang memungkinkan peneliti untuk

mengevaluasi kesediaan klien berpaitisipasi dalam penelitian pada

berbagai tahap dalam proses penelitian. Maksud dari informed

consent adalah agar klien dapat membuat keputusan yang dipahami

dengan benar berdasarkan informasi yang tersedia dalam dokumen

informed consent (Macnee & McCabe, 2008). Klien diberikan

penjelasan singkat tentang penelitian yang meliputi tujuan

penelitian, prosedur penelitian, durasi keterlibatan klien, hak-hak

klien dan diharapkan dapat berpatisipasi dalam penelitian ini. Klien

yang menyatakan untuk berpatisipasi dalam penelitian ini kemudian

menandatangani lembar persetujuan.

35
36

Anda mungkin juga menyukai