Anda di halaman 1dari 29

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)

Disusun Oleh :
Kelas/Semester : D / V
Kelompok : 4
1. Yeni Nur Azizah (201501138)
2. Annisa Dwi Nur Azizah (201501140)
3. Agung Tri Anugrah (201501146)
4. Rozalina Hartianty (201501148)
5. Miftachul Chusnah (201501156)
6. Ahmad Rifqi Masyhuri (201501173)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


STIKES BINA SEHAT PPNI
MOJOKERTO
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Makalah Sistem
Perkemihan ini dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan BPH
(Benigna Prostat Hiperplasia)” tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah
ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak.

Penyusun menyadari bahwa tiada kesempurnaan yang abadi melainkan


kesempurnaan itu sendiri. Pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
bagi pembaca dimasa sekarang, maupun masa yang akan datang.

Mojokerto, 09 September 2017


Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1


1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 1
1.3 Tujuan .............................................................................................. 1
BAB II LAPORAN PENDAHULUAN......................................................... 2
2.1 Definisi ............................................................................................ 2
2.2 Klasifikasi......................................................................................... 2
2.3 Etiologi ............................................................................................ 5
2.4 Manifestasi Klinis ........................................................................... 5
2.5 Patofisiologi .................................................................................... 7
2.6 Pathway............................................................................................ 7
2.7 Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 8
2.8 Penatalaksanaan .............................................................................. 8
2.9 Komplikasi ...................................................................................... 11
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN .......................................................... 12
3.1 Pengkajian ....................................................................................... 12
3.2 Diagnosa Keperawatan .................................................................... 14
3.3 Intervensi ......................................................................................... 14
3.4 Evaluasi............................................................................................ 16

BAB IV PENUTUP ........................................................................................ 17


4.1 Simpulan .......................................................................................... 17
4.2 Saran ................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 18

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelenjar prostat adalah satu organ genetalia pria yang terletak disebelah
inferior buli buli dan melingkari uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram (Purnomo, 2011).
Bila mengalami pembesaran atau hiperplasy organ ini dapat menyumbat uretra
pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli
atau lebih dikenal Benigna Prostat Hiperplasy (BPH). Benigna Prostat Hiperplasy
(BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat yang disebabkan oleh karena
hiperplasi beberapa atau semua bagian prostat meliputi jaringan kelenjar/ jaringan
fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pers prostatika (Soetomo,
1994).
Pasien yang telah dilakukan tindakan pembedahan bukan berarti tidak
timbul masalah lain, masalah yang dapat terjadi setelah tindakan trans vesica
prostatectomy (TVP) seperti pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak,
retensi urine, inkontinensia urine, impotensi dan terjadi infeksi (Purnomo, 2011).
Dari 168 pasien yang menjalani trans vesica prostatectomy (TVP), 15 %
diperlukan tranfusi darah pasca operasi. Komplikasi lain yang biasa terjadi adalah
perforasi usus, infeksi luka bedah, disfungsi ereksi, diamati pada 164 pasien
(98%), perubahan berkemih pada 32 pasien (19%) dan perubahan usus (11%).
Diantara perubahan perubahan eliminasi urin ditemukan, yang paling sering
(64%) adalah inkontinensia urin (Escudero, 2006).
BPH merupakan penyakit yang biasa terjadi pada laki-laki usia lanjut,
ditandai dengan pertumbuhan yang sangat cepat pada epitel prostat dan daerah
transisi jaringan fibromuscular pada daerah periurethral yang bisa menghalangi
dan mengakibatkan pengeluaran urin yang tertahan. Data prevalensi tentang BPH
secara mikroskopi dan anatomi sebesar 40% dan 90 % terjadi pada rentang usia
50-60 tahun dan 80-90 tahun. Hasil penelitian menunjukkan faktor risiko yang
berpengaruh terhadap BPH adalah umur 50 tahun, riwayat keluarga, kurangnya

1
makan-makanan berserat dan kebiasaan merokok. Sedangkan faktor-faktor risiko
yang tidak berpengaruh terhadap BPH adalah riwayat obesitas, kebiasaan
berolahraga, riwayat penyakit Diabetes Mellitus, kebiasaan minum-minuman
beralkohol. Probabilitas untuk individu untuk terkena BPH dengan semua faktor
risiko diatas adalah sebesar 93,27 %. Faktor risiko terjadinya pembesaran prostat
jinak adalah umur, riwayat keluarga, kurangnya makan-makanan berserat dan
kebiasaan merokok (Amalia, 2010).

1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum :
Mahasiswa mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien
dengan BPH (Benigna Prostat Hiperplasia).
2. Tujuan Khusus :
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian asuhan keperawatan pada
pasien dengan BPH (Benigna Prostat Hiperplasia).
b. Mahasiswa mampu membuat pathways keperawatan pada pasien
dengan BPH (Benigna Prostat Hiperplasia).
c. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien
dengan BPH (Benigna Prostat Hiperplasia).
d. Mahasiswa mampu membuat perencanaan keperawatan pada pasien
dengan BPH (Benigna Prostat Hiperplasia).
e. Mahasiswa mampu melakukan pelaksanaan asuhan keperawatan pada
pasien dengan BPH (Benigna Prostat Hiperplasia).
f. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien
dengan BPH (Benigna Prostat Hiperplasia).

1.3 Manfaat
Penulisan makalah ini sangat diharapkan bermanfaat bagi seluruh pembaca
dan penyusun untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang konsep dasar
dan asuhan keperawatan pada pasien dengan BPH (Benigna Prostat Hiperplasia).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi BPH


Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat,
memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).
Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi
sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yulianaelin,
2011).
BPH merupakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang
tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral
menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang
menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).
BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun
atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat
mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar
ini dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat
Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh
proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang
mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih dapat menghambat pengosongan
kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.

2.2 Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen.
Faktor lain yang erat kaitannya dengan terjadinya BPH adalah proses penuaan.
Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
a. Dihydrotestosteron

3
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel
dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
b. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
c. Interaksi stroma-epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan
epitel.
d. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma
dan epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori sel stem
Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75). Sel stem yang meningkat
mengakibatkan proliferasi sel transit ( Roger Kirby, 1994 : 38 ).

2.3 Manifestasi Klinis


Gejala klinik dapat berupa :
 Frekuensi berkemih bertambah
 Nocturia
 Kesulitan dalam memulai (hesitency) dan mengakhiri berkemih
 Miksi terputus (hermittency)
 Urine masih tetap menetes setelah selesai berkemih (terminal dribbling)
 Pancaran miksi menjadi lemah (poor stream)
 Rasa nyeri pada waktu berkemih (dysuria)
 Rasa belum puas setelah miksi

Gejala kilinis tersebut diatas dapat terbagi 4 grade yaitu :

4
1. Pada Grade I (congestif)
a. Mula-mula pasien berbulan-bulan atau bertahun-tahun susah kencing
dan mulai mengedan
b. Kalau miksi merasa tidak puas
c. Urine keluar menetes dan puncuran lemah
d. Nocturia
e. Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal
f. Pada Citoscopy kelihatan hiperemia dan orifreum urether internal
lambat laun terjadi varises akhirnya bisa terjadi pendarahan (blooding)
2. Pada Grade 2 (residual)
a. Bila miksi terasa panas
b. Nocturi bertambah berat
c. Tidak dapat buang air kecil (kencing tidak puas)
d. Bisa terjadi infeksi karena sisa air kencing
e. Tejadi panas tinggi dan bisa meninggal
f. Nyeri pada daerah pinggang dan menjalar ke ginjal
3. Pada Grade 3 (retensi urine)
a. Ischuria paradorsal
b. Incontinential paradorsal
4. Pada Grade 4
a. Kandung kemih penuh
b. Penderita merasa kesakitan
c. Air kencing menetes secara periodik (overflow incontinential)
d. Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba
ada tumor kerena bendungan hebat
e. Dengan adanya infeksi penderita bisa meninggal dan panas tinggi
sekitar 40-41 oC
f. Kesadaran bisa menurun
g. Selanjutnya penderita bisa koma
Berdasarkan gambaran klinik hipertrofi prostat dapat dikelompokan
dalam empat (4) derajat gradiasi sebagai berikut :

5
Deraja Sisa Volume
Colok Dubur
t Urine
I Penonjolan prostat, batas atas mudah < 50 ml
II diraba. 50 – 100 ml
Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat
III mudah dicapai. > 100 ml
IV Batas atas prostat tidak dapat diraba Retensi urine
Batas atas prostat tidak dapat diraba total

Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH,
mempunyai tanda dan gejala:
1. Hemorogi
a. Hematuri
b. Peningkatan nadi
c. Tekanan darah menurun
d. Gelisah
e. Kulit lembab
f. Temperatur dingin
2. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
3. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
a. Bingung
b. Agitasi
c. Kulit lembab
d. Anoreksia
e. Mual
f. Muntah

2.4 Patofisiologi
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron
estrogen, karena produksi testoteron menurun dan terjadi konversi testoteron
menjadi estrogen pada jaringan adiposa diperifer. Bila perubahan mikroskopik ini
terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomik. Pada tahap awal

6
setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat
meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor kedalam
kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
tuberkulasi. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding.
Apabila kedaan ini berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi berkontraksi sehingga terjadi
retensi urine.
Biasanya ditemukan gejala obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi terjadi
karena detrusor gagal berkontraksi sehingga kontraksi menjadi terputus. Gejala
iritasi terjadi karena pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna saat miksi
atau pembesaran prostat yang menyebabkan rangsangan pada kandung kemih,
vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Apabila vesika menjadi
dekompensasi, akan terjadi retensi urine sihingga pada akhir miksi masih
ditemukan sisa urine dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada
akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan
total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi.
Karena produksi urine terus terjadi maka vesika tidak mampu lagi
menampung urine sehingga tekanan intra vesika terus meningkat melebihi tekanan
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga menimbulkan inkontinensia paradoks.
Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidroueter, hidronefrosis dan
gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat apabila terjadi infeksi. Sisa urine
yang terjadi selama miksi akan menyebabkan terbentuknya batu endapan yang
dapat menyebabkan hematuria, sistisis dan pielonefritis.

7
2.5 Pathway

Hormon estrogen & Faktor usia Sel prostat umur panjang Prolikerasi abnormal sel strem
testosteron tidak seimbang

Sel stroma pertumbuhan Sel yang mati kurang Produksi stroma dan epitel
berpacu berlebihan

Menghambat aliran urina MK: Retensi Urine Prostat membesar

MK: Resiko Perdarahan TURP


Penyempitan lumen ureter Penekanan serabut-serabut
prostatika saraf Nyeri
Iritasi mukosa kandung kencing, Pemasangan folley cateter
Peningkatan resistensi leher Kerusakan mukosa urogenital terputusnya jaringan, trauma
V.U dan daerah V.U bekas insisi
Obstruksi oleh jendolan
darah post op
Pe ketebalan otot destruksor Penurunan pertahanan tubuh Rangsangan syaraf
diameter kecil MK: Gangguan Eliminasi
Terbentuknya sakula/trabekula MK: Resiko Infeksi urine
Gate kontrol terbuka
Kelemahan otot destruksor Kurangnya informasi thd
Media pertumbuhan kuman
pembedahan
Pe↓ kemampuan fungsi V.U Residu urine berlebih MK: Nyeri Akut
MK: Ansietas
8
Refluk urine Hidronefrosis MK: Resiko ketidakefektifan
perfusi ginjal
2.6 Diagnosa Banding
Kondisi obstruksi saluran kemih bawah, yang menyebabkan resistensi
uretra meningkat disebabkan oleh penyakit seperti hyperplasia prostat jinak atau
ganas, atau kelainan yang menyumbatkan uretra seperti uretralitiasis, urethritis
akut atau kronik, striktur urethra, atau kekakuan leher kandung kemih yang
mengalami fibrosis, batu saluran kemih, prostatitis akut atau kronis dan
carcinoma prostat merupakan antara diagnosa banding apabila mendiagnosa
pasien BPH. Kandung kemih neuropati, yang disebabkan oleh kelainan
neurologik, neuropati perifer, diabetes mellitus, dan alkoholisme menjadi
antara diagnose banding BPH. Obstruksi fungsional seperti disenergi
detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor dengan
relaksasi sfingter juga merupakan diagnose banding BPH (Deters, 2014).

2.7 Penatalaksanaan Umum


Penatalaksanaan dapat dilakukan berdasarkan derajat berat-
ringannya hipertrofi prostat, adalah sebagai berikut:
1. Derajat I; biasanya belum membutuhkan tindakan pembedahan. Pengobatan
konservatif yang dapat diberikan adalah penghambat adrenoreseptor alfa
seperti; alfazosin, prazosin, dan terazosin.
2. Derajat II; merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya
dianjurkan untuk dilakukan reseksi endoskopik melalui urethra (trans urethra
resection).
3. Derajat III; pada derajat ini reseksi endoskopik dapat dilakukan secara terbuka.
Pembedaahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikel, retropibik atau
perineal.
4. Derajat IV; pada derajat ini tindakan pertama adalah membebaskan klien dari
retensi urine total, dengan memasang kateter atau sistostomi. Selanjutnya dapat
dilakukan pembedahan terbuka. Untuk klien dengan keadaan umum lemah
dapat diberikan pengobatan konservatif yaitu penghambat adrenoreseptor daan
obat antiandrogen.
5. Pengobatan invasif lainnya ialah pemanasan prostat dengan gelombang mikro
yang disalurkan kekelenjar prostat. Juga dapat digunakan cahaya laser yang
disebut transurethral ultrasound guide laser induced prostatecthomy.

9
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Soeparman (2000), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan
pada pasien dengan BPH adalah :
a. Laboratorium
1. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
2. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kumanterhadap beberapa antimikroba yang diujikan. b.
Pencitraan1). Foto polos abdomenMencari kemungkinan adanya batu
saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan
buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
3. IVP ( Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter
atau hidronefrosis,memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada
buli-buli.
4. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur
sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
5. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan
pada pasien dengan BPH adalah :
1. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
2. Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan
kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter

10
atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada
buli-buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur
sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

2.9 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan
tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain
seperti benjolan di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan
prostat harus diperhatikan :
1. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
2. Adakah asimetris
3. Adakah nodul pada prostate
4. Apakah batas atas dapat diraba
5. Sulcus medianus prostate
6. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba membesar,
konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus
kanan dan kiri simetris, tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum.
Semakin berat derajat hiperplasia prostat, batas atas semakin sulit untuk diraba.
Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul
dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba
krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian
atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan
disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat
teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan
untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk
melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan
miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra,
fimosis, condiloma di daerah meatus.

11
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh
dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang
terdapat nyeri tekan supra simfisis.

2.10 Prognosis
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap
individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak
segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi
kanker prostat. Menurut penelitian, kanker prostat merupakan kanker pembunuh
nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru5. BPH yang telah diterapi juga
menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita.

2.11 Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat
menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
1. Inkontinensia Paradoks
2. Batu Kandung Kemih
3. Hematuria
4. Sistitis
5. Pielonefritis
6. Retensi Urin Akut Atau Kronik
7. Refluks Vesiko-Ureter
8. Hidroureter
9. Hidronefrosis
10. Gagal Ginjal

2.12 Pencegahan
Kini, sudah beredar suplemen makanan yang dapat membantu mengatasi
pembesaran kelenjar prostat. Salah satunya adalah suplemen yang kandungan
utamanya saw palmetto. Berdasarkan hasil penelitian, saw palmetto menghasilkan
sejenis minyak, yang bersama-sama dengan hormon androgen dapat menghambat
kerja enzim 5-alpha reduktase, yang berperan dalam proses pengubahan hormon
testosteron menjadi dehidrotestosteron (penyebab BPH) 5. Hasilnya, kelenjar
prostat tidak bertambah besar.

12
Zat-zat gizi yang juga amat penting untuk menjaga kesehatan prostat di
antaranya adalah :
1. Vitamin A, E, dan C, antioksidan yang berperan penting dalam mencegah
pertumbuhan sel kanker, karena menurut penelitian, 5-10% kasus BPH dapat
berkembang menjadi kanker prostat.
2. Vitamin B1, B2, dan B6, yang dibutuhkan dalam proses metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein, sehingga kerja ginjal dan organ tubuh lain
tidak terlalu berat.
3. Copper (gluconate) dan Parsley Leaf, yang dapat membantu melancarkan
pengeluaran air seni dan mendukung fungsi ginjal.
4. L-Glysine, senyawa asam amino yang membantu sistem penghantaran
rangsangan ke susunan syaraf pusat.
5. Zinc, mineral ini bermanfaat untuk meningkatkan produksi dan kualitas
sperma.

Berikut ini beberapa tips untuk mengurangi risiko masalah prostat, antara lain:
1. Mengurangi makanan kaya lemak hewan
2. Meningkatkan makanan kaya lycopene (dalam tomat), selenium (dalam
makanan laut), vitamin E, isoflavonoid (dalam produk kedelai)
3. Makan sedikitnya 5 porsi buah dan sayuran sehari
4. Berolahraga secara rutin
5. Pertahankan berat badan ideal

BAB III

13
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Epidemiologi
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang
ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami
peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada
peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an.
Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan
hyperplasia.
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat
benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan
kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP
adalah nyeri yang berhubungan dengan spasme buli-buli. Pada saat
mengkaji keluhan utama perlu diperhatikan faktor yang mempergawat atau
meringankan nyeri (provokative/paliative), rasa nyeri yang dirasakan
(quality), keganasan/intensitas (saverity) dan waktu serangan, lama,
kekerapan (time).
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengeluh sulit BAK, mengejan saat BAK dan terasa tidak tuntas.
Urine masih menetes setelah BAK. Rasa sakit saat kencing,
ketidakmampuan untuk benar-benar mengosongkan kandung kemih.
Penderita biasanya merasa ragu untuk berkemih karena urine terasa
sedikit sehingga mereka menunda untuk berkemih.
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal
yang dapat menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya
gejala untuk pertama kali atau berulang.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan
keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan, misalnya Diabetes
Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis
dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit

14
pasca bedah. Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing dan
pembedahan terdahulu.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun
seperti : Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali.
4. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar hemoglobinnya dan
perlu diulang secara berkala bila urin tetap merah dan perlu di periksa
ulang bila terjadi penurunan tekanan darah dan peningkatan nadi. Kadar
serum kreatinin juga perlu diulang secara berkala terlebih lagi bila
sebelum operasi kadar kreatininnya meningkat. Kadar natrium serum
harus segera diperiksa bila terjadi sindroma TURP. Bila terdapat tanda
septisemia harus diperiksa kultur urin dan kultur darah.
a. Uroflowmetri yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin.
Dilakukan setelah kateter dilepas.
b. Analisa dan sintesa data
Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa
kemudian data tersebut dirumuskan ke dalam masalah keperawatan .
Adapun masalah yang mungkin terjadi pada klien BPH pasca TURP
antara lain : nyeri, retensi urin, resiko tinggi infeksi, resiko tinggi
kelebihan cairan, resiko tinggi ketidakefektifan pola napas, resiko
tinggi kekurangan cairan, kurang pengetahuan, inkontinensia dan
resiko tinggi disfungsi seksual .
anda vital, kesadaran, nyeri abdomen, akral dingin, output urine menurun
(terutama dala keadaan syok).
5. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan didasarkan pada sistem-sistem tubuh antara lain :
1) Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik,
kecuali bila terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal (6
jam) pasca operasi harus dimonitor tiap jam dan dicatat. Bila keadaan
tetap stabil interval monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam
sekali.
2) B1 (Breathing)
Inspeksi : bentuk dada normal dan simetris, tidak ada lesi

15
Palpasi : vocal fremitus kanan kiri sama, tidak ada nyeri tekan
Perkusi : sonor
Auskultasi : bunyi nafas vesikuler, tidak ada suara wheezing/ronchi
3) B2 (Blood)
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : PMI teraba,irama jantung normal/reguler
Perkusi : pekak
Auskultasi : S1, S2 bunyi tunggal
4) B3 (Brain)
Inpeksi : Pada penderita uretritis adanya mukosa merah udematus.
Terdapat cairan eksudat purulen. Ada ulserasi diuretra
Adanya pus. Peradangan akut uretra.
Palpasi : Ada nyeri tekan pada genetalia karena adanya inflamasi
Auskultasi : Adanya gangguan kontraksi otot polos uretra sehingga
terjadi kesulitan miksis
5) B4 (Bowel)
Inspeksi : tidak ada benjolan, bentuk abdomen simetris
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran hepar
Perkusi : Ada suara timpani
Auskultasi : bising usus normal 16x/menit
6) B5 (Bladder)
Inspeksi : penonjolan pada daerah supra publik-retensi urine
Palpasi : ada nyeri tekan pada genetalia. Akan terasa adanya
ballotement dan akan menimbulkan pasien ingin BAK.
7) B6 (Bone)
Kanan Kiri

Tangan 5555 5555

Kaki 5555 5555

Rentang gerak klien normal, tidak ditemukan deformitas pada


ekstremitas dan tonus otot baik

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan eliminasi urine b.d efek pembedahan pada spinter kandung
kemih akibat pascaprostatectomy
2. Nyeri akut b.d agent injury fisik (spasme kandung kemih)
3. Resiko infeksi b.d kerusakan jaringan sebagai efek sekunder dari prosedur
pembedahan
4. Resiko perdarahan b.d trauma efek samping pembedahan
5. Resiko ketidakefektifan perfusi ginjal b.d proses penyakit

16
6. Retensi urine b.d adanya hambatan uretra, kelemahan otot detrusor
7. Ansietas b.d perubahan status kesehatan terhadap tindakan pembedahan

3.3 Intervensi
1. Gangguan eliminasi urine b.d efek pembedahan pada spinter kandung
kemih akibat pascaprostatectomy
Tujuan dan KH:
a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan pasien menjadi kontinen.
b. Kriteria Hasil:
- Kontinensia urine
- Eliminasi urine tidak terganggu
- Berkemih >150 cc setiap kali
Intervensi:
1) Dorong klien untuk berkemih tiap 2-4 jam.
R/ : Meminimalkan retensi urine berlebihan pada kandung kemih
2) Observasi aliran urine. Perhatikan ukuran dari kekuatan.
R/ : Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pulihan intervensi
3) Awasi dan catat waktu, jumlah tiap berkemih. Perhatikan penurunan
pengeluaran urine dan perubahan berat jenis.
R/ : Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan
bagian atas yang dapat mempengaruhi ginjal
4) Anjurkan klien untuk minum air 3000 ml/hari.
R/ : Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan
membersihkan ginjal, kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
5) Lakukan katerisasi dan perawatan parianal.
R/ : Menurunkan resiko infeksi asendens
6) Kolaborasi pemberian obat antispasmodik, suoasitoria rektal, antibiotik.
R/ : Menghilangkan spasme kandung kemih, sedangkan antibiotik
untuk melawan infeksi

2. Nyeri akut b.d agent injury fisik (spasme kandung kemih)


Tujuan dan KH:
a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan pasien dapat mengontrol nyeri.
b. Kriteria Hasil:
- Nyeri berkurang atau hilang
- Skala nyeri 1-3 atau teratasi
- Pasien tampak rileks
Intervensi:
1) Observasi keadaan umum dan tingkat nyeri dengan standar PQRST
R/ : Mengamati adanya peningkatan tekanan pada bladder
2) Observasi tanda-tanda vital

17
R/ : Mengobservasi keadaan diluar batas normal
3) Pantau intake dan output
R/ : Memantau keseimbangan cairan tubuh
4) Latih bladder training
R/ : Melatih kemampuan berkemih mandiri saat pelepasan selang
kateter
5) Ajarkan posisi semifowler
R/ : Memberikan rasa aman dan nyaman
6) Anjurkan pasien melakukan teknik relaksasi dan nafas dalam
R/ : Memberikan pengalihan rasa nyeri terhadap hal yang
menyenangkan dan terapi pernafasan adekuat
7) Kolaborasi dalam pemberian antipiretik
R/ : Membantu mengurangi rasa nyeri

3. Resiko infeksi b.d kerusakan jaringan sebagai efek sekunder dari prosedur
pembedahan
Tujuan dan KH:
a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.
b. Kriteria Hasil:
- Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
- Tanda-tanda vital dalam batas normal
- Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi,
jumlah leukosit dalam batas normal
- Menunjukkan perilaku hidup sehat
Intervensi:
1) Observasi tanda-tanda vital
R/ : Mengobservasi keadaan diluar batas normal
2) Observasi tanda dan gejala infeksi
R/ : Mengawasi proses penyembuhan
3) Observasi suhu klien tiap 4 jam
R/ : Untuk mengetahui suhu klien
4) Catat dan laporkan nilai laboratorium (leukosit, protein, serum,
albumin)
R/ : Untuk mengetahui kadar air dalam tubuh pasien
5) Perawatan sirkulasi: insufisiensi arteri
R/ : Meningkatkan sirkulasi arteri
6) Perawatan luka insisi
R/ : Membersihkan, memantau dan memfasilitasi proses
penyembuhan luka yang ditutup dengan jahitan
7) Perawatan luka

18
R/ : Mencegah terjadinya komplikasi pada luka dan memfasilitasi
proses penyembuhan luka
8) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik
R/ : Mengontrol perkembangan bakteri tubuh dan meminimalisir
resiko infeksi

4. Resiko perdarahan b.d trauma efek samping pembedahan


Tujuan dan KH:
a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan pasien resiko perdarahan teratasi.
b. Kriteria Hasil:
- Tidak hematuria
- Hb dan Ht dalam batas normal
Intervensi:
1) Observasi tanda-tanda vital
R/ : Mengobservasi keadaan diluar batas normal
2) Observasi status cairan
R/ : Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan
membersihkan ginjal, kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
3) Pantau jumlah perdarahan
R/ : Mengetahui adanya syok hipovolemik
4) Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
R/ : Meningkatkan pengetahuan dan mengurangi cemas
5) Monitor balutan luka daerah pembedahan
R/ : Menghentikan perdarahan dan menghindari perluasan luka
6) Kolaborasi dengan petugas laboratorium untuk cek darah pasien
R/ : Mengetahui filtrasi glomerulus

5. Resiko ketidakefektifan perfusi ginjal b.d proses penyakit


Tujuan dan KH:
a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan pasien resiko ketidakefektifan perfusi ginjal teratasi.
b. Kriteria Hasil:
- Hematokrit dalam batas normal
- Warna urine dalam batas normal
- Tidak ada rasa haus
Intervensi:
1) Observasi tanda-tanda vital
R/ : Mengobservasi keadaan diluar batas normal
2) Monitor intake dan output cairan
R/ : Memantau keseimbangan cairan tubuh

19
3) Cek hematokrit dan urine pasien
R/ : untuk mengetahui adanya protein dalam urine
4) Dorong pasien untuk memperbanyak cairan
R/ : Memantau kebutuhan cairan klien
5) Dorong keluarga dalam memonitor status cairan pada pasien
R/ : Agar kebutuhan cairan terpenuhi dengan baik
6) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi pasien
R/ : Mempercepat proses penyembuhan

6. Retensi urine b.d adanya hambatan uretra, kelemahan otot detrusor


Tujuan dan KH:
a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan pasien dapat berkemih dengan normal.
b. Kriteria Hasil:
- Berkemih dengan jumlah yang cukup
- Tidak teraba distensi kandung kemih
Intervensi:
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
R/ : Meminimalkan retensi urine, distensi berlebihan pada kandung
kemih
2) Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan
R/ : Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
3) Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih
R/ : Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran berkemih atas
yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
4) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml/hari
R/ : Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan
membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
5) Awasi tanda-tanda vital
R/ : Kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi
cairan dan akumulasi sisa toksik
6) Kolaborasikan dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan anti
pasmodic
R/ : Menghilangkan spasme kandung kemih

7. Ansietas b.d perubahan status kesehatan terhadap tindakan pembedahan

20
Tujuan dan KH:
a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan pasien tidak gelisah.
b. Kriteria Hasil:
- Pasien tampak rileks
- Penurunan rasa takut dan perasaannya
Intervensi:
1) Berikan informasi tentang prosedur dan apa yang terjadi, contoh kateter,
iritasi kandung kemih
R/ : Membantu pasien memahami tujuan dari apa yang dilakukan dan
mengurangi masalah karena ketidaktahuan
2) Pertahankan perilaku nyata dalam melakukan prosedur atau menerima
pasien
R/ : Menyatakan penerimaan dan menghilangkan rasa malu pasien
3) Dorong pasien orang terdekat untuk menyatakan masalah atau perasaan
R/ : Mendefinisikan masalah, memberikan kesempatan untuk
menjawab pertanyaan dan solusi pemecahan masalah
4) Beri informasi pasien yang telah diberikan sebelumnya
R/ : Memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan
menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan atau informasi

BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering
diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Penyebab BPH belum
diketahui secara pasti, tetapi sampai saat ini berhubungan dengan proses
penuaan yang mengakibatkan penurunan kadar hormon pria, terutama

21
testosteron. Hormon Testosteron dalam kelenjar prostat akan diubah
menjadi Dehidrotestosteron (DHT). DHT inilah yang kemudian secara
kronis merangsang kelenjar prostat sehingga membesar. Faktor lain yang
mempengaruhi BPH adalah latar belakang kondisi penderita misalnya
usia, riwayat keluarga, obesitas, meningkatnya kadar kolesterol darah, pola
makan tinggi lemak hewani, olah raga, merokok, minuman beralkohol,
penyakit Diabetes Mellitus, dan aktifitas seksual (Amalia, Rizki, 2007).

4.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini penyusun menyadari tentu banyak
kekurangan dan kejanggalan baik dalam penulisan maupun penjabaran
materi serta penyusunan atau sistematik penyusunan.
Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca semua.Dan penyusun juga berharap semoga
makalah ini dapat member manfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Amin, Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1.
Jogjakarta: Mediaction.

Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran, EGC.

22
Purnomo, Basuki B. 2000. Dasar – Dasar Urologi. Malang: CV Infomedika.
Long, Barbara C. 1996. Pendekatan Medikal Bedah 3, Suatu pendekatan proses
keperawatan. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Padjajaran..

23
24
25
26

Anda mungkin juga menyukai