Anda di halaman 1dari 11

Nama : Astri Elvetta Mendrofa

NIM : 032017047
M.K : Keperawatan Komunitas 2
Dosen : Lindawati Simorangkir, S. Kep., Ns., M. Kes

Askep Kesehatan Komunitas Populasi Rentan: Kecacatan


1. Penilaian Diri: Respon Terhadap Difabel
Difabel menurut Undang-Undang No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,
adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
aktivitas secara selayaknya, yang terdiri dari (a) penyandang cacat fisik, (b)
penyandang cacat mental, dan (c) penyandang cacat fisik dan mental. Warga difabel
mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan, menciptakan
lapangan pekerjaan sendiri dan dalam pengembangan usahanya seperti warga pada
umumnya (Widiantoro et al., 2016).
UU Nomor 8 tahun 2016 Pasal 1 ayat 1 mendefinisikan penyandang disabilitas
sebagai: Setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental,
dan/atau sensorik dalam jangka waktu yang lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara
penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak
(Widinarsih, 2019).
Penyandang difabel sering dianggap tidak berguna di masyarakat, bahkan
penyandang difabel beranggapan bahwa dirinya hanya merepotkan orang-orang di
sekitarnya. Individu yang mengalami kecacatan, apapun faktor-faktor penyebabnya,
baik faktor dari dalam (bawaan/congenital) maupun faktor dari luar (lingkungan
setelah individu lahir/kecacatan mendadak), mempunyai pandangan negatif terhadap
kondisi cacatnya, dan menjadi subjek stereotype prejudice, serta limitation baik dari
masyarakat yang memandangnya maupun dirinya sendiri karena merasa tidak
mampu.
Dampak psikososial yang sering dialami para difabel yaitu individu dengan
difabilitas seringkali merasa terkucilkan bahkan menimbulkan perasaan rendah diri,
rasa berbeda, persepsi yang rendah terhadap diri, depresif, penolakan diri serta
terganggunya pembentukan konsep diri.
Dukungan yang dapat diberikan sebagai upaya pemberdayaan diri warga
difabel yaitu dengan penggalian potensi diri yang dimiliki bertujuan agar warga
difabel mampu bekerja lebih giat dan lebih mandiri. Pemberdayaan warga difabel
merupakan alternatif dukungan secara nyata dan apresiasi terhadap motivasi kerja
bagi sekelompok warga difabel yang telah membuktikan kegigihannya dalam
pengembangan potensi diri ditengah stigma yang ada pada masyarakat yang hanya
memandang keterbatasan fisik sehingga tidak mampu melakukan suatu pekerjaan
(Widiantoro et al., 2016).
2. Karakteristis Difabel
UU Nomor 8 tahun 2016 pasal 4 ayat 1 mendefinisikan bahwa: Ragam
Penyandang Disabilitas meliputi:
a. Penyandang Disabilitas fisik adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain
amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat
stroke, akibat kusta, dan orang kecil.;
b. Penyandang Disabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir karena
tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas
grahita dan down syndrom;
c. Penyandang Disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi,
dan perilaku, antara lain: c.1. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar,
depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan c.2. disabilitas
perkembangan yang ber- pengaruh pada kemampuan interaksi sosial di
antaranya autis dan hiperaktif; dan/atau
d. Penyandang Disabilitas sensorik adalah terganggunya salah satu fungsi dari
panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau
disabilitas wicara.
Pasal 4 Ayat 2 mendefinisikan bahwa: Ragam Penyandang Disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialami secara tunggal, ganda, atau multi
((penyandang disabilitas yang mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas, antara
lain disabilitas runguwicara dan disabilitas netra-tuli) dalam jangka waktu lama
(jangka waktu paling singkat 6 (enam) bulan dan/atau bersifat permanen) yang
ditetapkan oleh tenaga medis sesuai dengan ketentuan undangan (Widinarsih, 2019).
Penyandang disabilitas merupakan istilah untuk merujuk kepada mereka yang
memiliki kelainan fisik atau non-fisik. Di dalam penyandang disabilitas terdapat tiga
jenis, yaitu
a. Pertama, kelompok kelainan secara fisik, terdiri dari tunanetra, tunadaksa,
tunarungu, dan tunarungu wicara.
b. Kedua, kelompok kelainan secara non-fisik, terdiri dari tunagrahita, autis,
dan hiperaktif.
c. Ketiga, kelompok kelainan ganda, yaitu mereka yang mengalami kelainan
lebih dari satu jenis kelainan.
(Sholeh, 2015).

3. Difabel Dan Kebijakan Publik


Kebijakan-kebijakan sebagai wujud kepedulian terhadap penyandang disabilitas
dalam memberikan ruang gerak yang lebih luas dalam mengakses pendidikan tinggi
dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu pertama, kebijakan yang berbentuk
peraturan pemerintah yang memberikan kesempatan Pendidikan bagi penyandang
disabilitas, seperti tercantum dalam kebijakan internasional Declaration of Human
Rights (1989), Convention on the Rights of the Child (1989), Life Long Education-
Education for All (Bangkok, 1991), Dakkar Statement (1990), Standard Rules on the
Equalization of Opportunities for Person with Disabilities (Resolusi PBB Nomor
48/46 Tahun 1993), Salamanca Statement (1994), The Four Pillars of Education
(Unesco, 1997), ASEAN Pacific Decade for Disabled (Biwako, 2002), Deklarasi
Bukit Tinggi (2005), dan The Convention on The Human Rights of Person with
Disabilities (Resolusi PBB Nomor 61/106 Tahun 2006). Sedangkan kebijakan yang
tertuang dalam peraturan nasional tercantum dalam UUD 1945 (amandemen) Pasal
131 Ayat 1 dan 2, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan
Luar Biasa, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) Pasal 3, Pasal 5, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 53. UU Nomor 4
Tahun 1997 Pasal 7 tentang Penyandang Cacat (Sholeh, 2015).
Istilah-istilah yang digunakan sebagai klasifikasi jenis atau tipe sekolah luar
biasa/SLB yaitu sebagai berikut:
a. SLB tipe A: untuk siswa tunanetra
b. SLB tipe B: untuk siswa tunarungu
c. SLB tipe C : untuk siswa tunawicara
d. SLB tipe D : untuk siswa tunadaksa
e. SLB tipe E: untuk siswa tunalaras
f. SLB tipe F : untuk siswa tunagrahita
g. SLB tipe G : untuk siswa tunaganda, yaitu mengalami lebih dari satu
kecacatan
(Widinarsih, 2019)
Kedua, kebijakan yang berbentuk sikap pemerintah dalam mendukung
terselenggaranya pendidikan bagi penyandang disabilitas, terutama pejabat yang
mengurus pendidikan, dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Menteri Agama.
Kebijakan ini terdiri dari dua macam, yaitu: 1) berupa sikap resmi, misalnya
berbentuk Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor: 380/e.C8/ MN/2003
Tanggal 20 Januari 2003 atau Surat Keputusan Menteri Agama yang berkaitan
dengan pendidikan penyandang disabilitas, unit-unit yang menangani penyandang
disabilitas, penyediaan fasilitas pendidikan dan penyediaan sarana dan prasarana
pendidikan bagi penyandang ketunaan; 2) berupa sikap tidak resmi, misalnya
komentar atau pernyataan Menteri Pendidikan atau Menteri Agama melalui media
massa yang berkaitan dengan persamaan dan kesempatan pendidikan bagi
penyandang disabilitas sehingga masyarakat dapat mengetahui (Sholeh, 2015).
Kementerian Kesehatan RI sedang mengembangkan upaya untuk
meningkatkan kemandirian keluarga/orang tua dari anak penyandang disabilitas
(difabel). Pemberdayaan dilakukan dengan memberikan perawatan kesehatan, pola
asuh anak, dan upaya perlindungan dari penyakit, serta rehabilitasi disabilitas di
tingkat keluarga. Program ini difokuskan pada peningkatan kemampuan tenaga
kesehatan dalam membina orang tua/keluarga dari anak difabel. Program ini berguna
untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemandirian keluarga/orangtua dari anak
dengan disabilitas dalam memberikan perawatan kesehatan, pola asuh anak dan upaya
perlindungan terhadap penyakit serta rehabilitasi disabilitas di tingkat keluarga
(Kuliah et al., 2018).
Undang-undang No. 4 tahun 1997 menegaskan bahwa difabel merupakan
bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan
peran yang sama. Mereka juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam
segala aspek kehidupan dan penghidupan. Pada pasal 6 dijelaskan bahwa setiap
difabel berhak memperoleh: (a) pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan
jenjang pendidikan; (b) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai jenis dan
derajat kecacatan , pendidikan, dan kemampuannya; (c) perlakuan yang sama untuk
berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; (d) aksesibilitas dalam
rangka kemandiriannya; (e) rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf
kesejahteraan sosial; dan (f) hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat,
kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi difabel anak dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat. Pada prakteknya difabel memang diberikan hak-hak
tersebut. Hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan sesuai kecacatan, aksesibilitas, dan
yang lainnya. Akan tetapi hak tersebut semata mata difasilitasi oleh pemerintah tanpa
ada pengarahan kepada difabel dan masyarakat keluarga penyandang cacat tersebut.

4. Pengalaman Mengalami Difabel


Kondisi kehidupan seseorang normal dengan orang difabel pastilah berbeda.
Perlakuan masyarakat juga berbeda antara orang normal dengan orang difabel.
Dengan perbedaan tersebut dapat mempengaruhi kualitas kehidupan seseorang.
Para penyandang cacat sering mendapat perlakuan yang kurang baik bahkan
terkesan tidak adil dari lingkungan maupun keluarganya sendiri. Kehidupan yang
dijalani oleh setiap manusia tentunya tidak lepas dari berbagai permasalahan,
permasalahan yang muncul pun semakin kompleks seiring dengan perkembangan
jaman, misalnya dalam hal ekonomi, pendidikan, sosial, dan psikologi. masalah-
masalah tersebut dialami pula oleh para penyandang cacat, karena selain menghadapi
masalah umum sebagaimana manusia pada umumnya juga menghadapi masalah
khusus karena kecacatan yang dimiliki.
Apabila seseorang menjalani kehidupannya dengan memiliki penerimana diri,
hubungan positif dengan sesame, autonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan
pertumbuhan pribadi, maka dapat dikatakan bahwa seseorang memiliki kesejahteraan
psikologis. Dalam menunjang hal ini bagi difabel maka dibutuhkannya dukungan dari
keluarga, orang terdekat, dan masyarakat (Faruqi, 2018).

5. Strategi Perawat Kesehatan Dalam Merawat Penyandang Difabel


a. Proses kelompok (group process)
Seseorang dapat mengenal dan mencegah penyakit, tentunya setelah
belajar dari pengalaman sebelumnya, selain faktor
pendidikan/pengetahuan individu, media masa, televisi, penyuluhan yang
dilakukan petugas kesehatan dan sebagainya. Begitu juga dengan masalah
kesehatan di lingkungan sekitar masyarakat, tentunya gambaran penyakit
yang paling sering mereka temukan sebelumnya sangat mempengaruhi
upaya penangan atau pencegahan penyakit yang mereka lakukan. Jika
masyarakat sadar bahwa penangan yang bersifat individual tidak akan
mampu mencegah, apalagi memberantas penyakit tertentu, maka mereka
telah melakukan pemecahan-pemecahan masalah kesehatan melalui
proses kelompok.
b. Pendidikan Kesehatan (Health Promotion)
Pendidikan kesehatan adalah proses perubahan perilaku yang dinamis,
dimana perubahan tersebut bukan hanya sekedar proses transfer
materi/teori dari seseorang ke orang lain dan bukan pula seperangkat
prosedur. Akan tetapi, perubahan tersebut terjadi adanya kesadaran dari
dalam diri individu, kelompok atau masyarakat sendiri. Sedangkan tujuan
dari pendidikan kesehatan menurut Undang-Undang Kesehatan No. 23
Tahun 1992 maupun WHO yaitu ”meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan; baik fisik, mental
dan sosialnya; sehingga produktif secara ekonomi maupun secara sosial.
c. Kerjasama (Partnership)
Berbagai persoalan kesehatan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat
jika tidak ditangani dengan baik akan menjadi ancaman bagi lingkungan
masyarakat luas. Oleh karena itu, kerja sama sangat dibutuhkan dalam
upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan komunitas melalui upaya ini
berbagai persoalan di dalam lingkungan masyarakat akan dapat diatasi
dengan lebih cepat.
Perawat atau pelayan kesehatan bekerja sama dengan seluruh perangkat
yang ada di masyarakat untuk mengurangi masalah kesehatan. Ini juga
merupakan bentuk agar masyarakat bisa lebih mandiri (Dianti &
Findyartini, 2019)
6. Isu Etik Untuk Difabel
Perilaku diskriminatif terhadap penyandang disabilitas itu umumny diakibatkan
oleh pemahaman negatif/negative awareness tentang apa itu disabilitas dan siapa itu
penyandang disabilitas.
Pemahaman negatif tentang disabilitas dan penyandang disabilitas antara lain
berakar dari pola pikir pada masyarakat yang didominasi oleh konsep normalitas.
Sejarah telah memperlihatkan bahwa orang-orang yang penampilan atau tubuhnya
kelihatan atau dipandang sebagai ‘berbeda’ dari yang dianggap oleh masyarakat
sebagai normatif, sebagai normalitas, akan dianggap sebagai yang tidak
diinginkan/not desirable dan tidak dapat diterima/not acceptable sebagai bagian dari
komunitas.
Pelabelan negatif sebagai ‘berbeda dari yang diterima sebagai normalitas’
adalah suatu proses stigmatisasi. Sikap dan perilaku diskriminatif akan muncul bila
stigmatisasi/ pelabelan negatif tersebut berlanjut dengan pembedaan lebih lanjut
antara lain berupa pemisahan secara paksa dan bersifat membatasi/segregation, atau
pengeluaran karena dianggap bukan bagian integral dan/atau setara/social exclusion,
atau dinilai kurang/tidak bernilai secara sosial/socially devalued.
Sikap dan perilaku diskriminasi berbasis/atas dasar disabilitas bertentangan
dengan hak-hak asasi manusia yang diakui secara universal di seluruh dunia. Juga
bertentangan dengan aspirasi hak-hak asasi manusia dan keadilan sosial yang menjadi
komitmen dalam disiplin Pekerjaan Sosial/Social Work (Widinarsih, 2019).

7. Pengkajian
Tuna Netra
a. Riwayat Kesehatan
b. Keadaan umum
c. Riwayat social
d. Kemampuan kemandirian
e. Pada pemeriksaan berfocus pada mata

8. Diagnosa Keperawatan
Tuna Netra
a. Gangguan (persepsi sensori) penglihatan total berhubungancacat sejak lahir.
b. Defisit kemandirian berhubungan dengan keterbatasan aktifitas fisik.

9. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan merupakan tahapan dalam proses keperawatan antara tahapan
diagnosis keperawatan dan intervensi keperawatan. Perencanaan keperawatan
bertujuan untuk menetapkan kebutuhan populasi komunitas secara efektif dengan
menggunakan proses pengambilan keputusan secara logika yang dituangkan dalam
perencanaan secara terinci. Perencanaan dapat didefinisikan sebagai “Penetapan
perencanaan tindakan untuk membantu klien untuk mencapai kondisi kesehatan
optimum“.

10. Pelaksanaan Keperawatan


Implementasi merupakan tahap kegiatan setelah perencanaan kegiatan
keperawatan komunitas dalam proses keperawatan komunitas. Fokus pada tahap
implementasi adalah bagaimana mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya, tetapi yang sangat penting dalam implementasi keperawatan kesehatan
komunitas adalah melakukan tindakan-tindakan berupa promosi kesehatan,
memelihara kesehatan atau mengatasi kondisi tidak sehat, mencegah penyakit, dan
dampak pemulihan.

11. Evaluasi Keperawatan


Evaluasi merupakan serangkaian prosedur untuk menilai suatu program dan
memperoleh informasi tentang keberhasilan pencapaian tujuan, kegiatan, hasil, dan
dampak serta biayanya. Fokus utama dari evaluasi adalah mencapai perkiraan yang
sistematis dari dampak program. Dengan demikian, evaluasi merupakan suatu usaha
untuk mengukur suatu pencapaian tujuan atau keadaan tertentu dengan
membandingkan dengan standar nilai yang sudah ditentukan sebelumnya. Juga
merupakan suatu usaha untuk mencari kesenjangan antara yang ditetapkan dengan
kenyataan hasil pelaksanaan.
Daftar Pustaka
Dianti, N. A., & Findyartini, A. (2019). Hubungan Tipe Motivasi terhadap Kejadian
Burnout pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada Masa
Transisi dari Pendidikan Preklinik ke Klinik Tahun 2018. EJournal Kedokteran
Indonesia, 7(2). https://doi.org/10.23886/ejki.7.10771.
Faruqi, H. (2018). PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ATLET DIFABEL (pp.
1–16). UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA.
Kuliah, M., Politik, I., Ngabiyanto, D., Si, M., Lestari, P., Pd, S., Si, M., Wiratomo,
G. H., Pd, S., Politik, J., & Kewarganegaraan, D. A. N. (2018). Jurusan politik
dan kewarganegaraan fakultas ilmu sosial universitas negeri semarang 1. 1–4.
Sholeh, A. (2015). Telaah Hak aksesibilitas Penyandang disabilitas dalam Sistem
Pendidikan di Indonesia. PALASTREN, 8(2), 293–320.
Widiantoro, W. F. W. D. K. S. P. P. D. B. B., Wartono, Shinta, A., & Hartosujono.
(2016). PEMBERDAYAAN WARGA DIFABEL: KUNCI SUKSES
PENGGALIAN POTENSI DALAM BIDANG BISNIS.
Widinarsih, D. (2019). PENYANDANG DISABILITAS DI INDONESIA:
PERKEMBANGAN ISTILAH DAN DEFINISI. Jurnal Ilmu Kesejahteraan
Sosial, 20(2), 127–142.

Anda mungkin juga menyukai