Anda di halaman 1dari 22

MODUL 2

Penyandang Disabilitas dan


Masyarakat
Fitri Dwi Arini, M.Pd.
Dr. Ismaniar, M.Pd

Pendahuluan
Selamat jumpa di Modul 2 Pendidikan Non Formal bagi Penyandang
Disabilitas. Sesuai dengan judul modul ini Penyandang Disabilitas dan
Masyarakat, maka anda akan belajar mengenai konsep dari istilah
penyandang disabilitas, dan cara pandang masyarakat kita yang beragam
terhadap penyandang disabilitas
Ini merupakan bagian kedua dari lima modul PNF bagi Disabilitas. Setiap
modul berisi 1-4 kegiatan belajar (KB) untuk mendefinisikan pokok bahasan
secara lengkap dan rinci. Dalam setiap kegiatan belajar disajikan penjelasan
yang memudahkan anda untuk belajar mandiri dengan memahami materi
disertai dengan soal-soal Latihan, Tes Formatif, dan Kunci Jawaban.
Setelah mengkaji Modul 2, anda diharapkan dapat menjelaskan
paradigma dibalik penggunaan istilah penyandang disabilitas, dan cara
pandang apa saja yang ada di masyarakat mengenai penyandang disabilitas.
Sedangkan secara khusus, setelah mempelajari modul ini Anda diharapkan
mampu untuk menjelaskan tentang:
1. Konsep istilah penyandang disabilitas
2. Perbedaan paradigma yang digunakan dibalik penggunaan istilah
penyandang cacat, difabel, dan penyandang disabilitas.
3. Jenis-jenis cara pandang masyarakat terhadap penyandang disabilitas.

Selamat Belajar!
KEGIATAN BELAJAR 1
Mengenal Penyandang Disabilitas

D
isabilitas adalah bagian dari kondisi manusia. Setiap orang
suatu saat dalam hidupnya, secara temporer atau permanen
akan mengalami disabilitas. Penyandang disabilitas merupakan
bagian dari keberagaman manusia. Tidak hanya ada laki- laki, perempuan,
tinggi-pendek, hitam-putih, orangtua-anak, begitupun penyandang
disabilitas dan non penyandang disabilitas. Oleh karena itu, penyandang
disabilitas memiliki hak asasi yang sama dengan manusia lainnya, yang
tidak dapat dikurangi, dibatasi, dihalangi, apalagi dicabut atau dihilangkan
oleh siapapun. Penyandang disabilitas adalah bagian dari warga negara
yang hak asasinya wajib dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh keluarga,
pendamping, masyarakat maupun negara.
Dalam kajian literatur, ada yang membedakan makna dari istilah
difabel, disabilitas, dan disable (cacat). Dalam beberapa istilah tersebut
mengandung konotasi yang berbeda serta norma penggunaan dan
penyebutannya. Secara harfiah bahwa pengertian atau makna dari
ketiganya memiliki keterikatan dan persamaan. Namun, istilah yang
digunakan di masyarakat seringkali tidak merujuk pada yang digunakan
oleh kebanyakan. Padahal penggunaan istilah ini mencerminkan
perspektif masyarakat terhadap penyandang disabilitas dan memiliki
makna tersendiri. Istilah disabilitas berbeda dengan istilah cacat, bahkan
istilah disabilitas hadir untuk menggantikan istilah cacat, yang bermakna
negatif dan bahkan identik dengan kata rusak atau tidak normal.

A. Sejarah Makna dan Istilah


1) Penyandang Cacat
Istilah Penyandang Cacat di Indonesia digunakan secara resmi
pada Undang-undang No.4 tahun 1997. Definisi Penyandang Cacat
dalam UU tersebut yaitu “… setiap orang yang mempunyai
kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
secara selayaknya, yang terdiri dari: (a) penyandang cacat fisik;
(b) penyandang cacat mental; (c) penyandang cacat fisik dan
mental”
Penyandang cacat yang banyak digunakan masyarakat
sebagai sebutan, dilihat sebagai orang yang mempunyai
kekurangan pada fisik dan mental bahkan keduanya. Kelompok
minoritas ini danggap berbeda dengan masyarakat pada
umumnya dan dipandang sebagai kelompok yang membutuhkan
bantuan orang lain.
Istilah cacat fokus dengan cara pandang medis, yaitu menilai
hambatan yang dimiliki seseorang adalah karena hambatan
fisiknya. Misalnya seorang anak yang terhambat untuk naik ke
lantai dua suatu bangunan adalah karena fisiknya yang
menggunakan kursi roda. Sedangkan disabilitas memandang
hambatan yang dialami seseorang adalah karena lingkungan atau
fasilitas yang tidak aksesibel. Misalnya tidak bisanya pengguna
kursi roda naik ke lantai dua bukan karena fisiknya, namun
karena bangunan tersebut kurang dilengkapi fasilitas dengan
bidang landai/ramp atau lift.
2) Penyandang Disabilitas
Ditinjau dari sisi kebijakan di Indonesia, istilah Penyandang
Disabilitas masuk dalam nomenklatur Undang-undang No. 8
tahun 2016. Dalam UU ini Penyandang Disabilitas memiliki
pengertian:

“… setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual,


mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam
berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan
kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan
warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.”

Definisi menurut World Health Organization (WHO) menyebutkan


disabilitas sebagai “A restriction or inability to perform an activity
in the manner or within the range considered normal for a human
being, mostly resulting from impairment”. Singkatnya, WHO
mendefinisikan disabilitas sebagai, keterbatasan fungsi/struktur
tubuh, keterbatasan aktivitas, dan hambatan berpartisipasi.
Keterbatasan-keterbatasan ini tercipta dari proses interaksi
antara kondisi/kelainan, kondisi lingkungan, dan kondisi pribadi.
3) Difabel
Difabel berasal dari singkatan bahasa Inggris yaitu Different
Abilities, yang berarti orang yang mempunyai kemampuan
berbeda. Istilah ini banyak digunakan dalam komunitas
masyarakat khususnya di wilayah Asia dan Indonesia. Istilah ini
muncul sebagai salah satu upaya dekonstruksi terhadap diskursus
“penyandang cacat”. Wacana yang muncul sejalan
berkembangnya istilah ini yaitu adil dan memberdayakan.
Difabel adalah sebutan bagi seseorang yang melihat bahwa
mereka adalah orang-orang yang mampu dan mempunyai
kemampuan berbeda. Difabel muncul dari aktivitas organisasi
yang memperjuangkan bahwa kelompok ini membutuhkan suatu
identitas kelompok. Dalam konteks sosial, istilah ini banyak
digunakan oleh organisasi yang memperjuangkan hak
penyandang disabilitas.

Berdasarkan penjelasan di atas, istilah penyandang disabilitas adalah


konsep yang berkembang. Bahwa penyandang disabilitas adalah istilah
resmi yang digunakan, baik pada dokumen kenegaraan dan dialog
akademik. Disabilitas merujuk pada kondisi hasil interaksi antara orang
dengan keterbatasan fungsi/struktur tubuh fisik dan/atau mental,
dengan hambatan lingkungan, sehingga berakibat pada ketidakmampuan
mereka berpartisipasi secara efektif di masyarakat seperti masyarakat
umumnya.
B. Perkembangan Sistem Layanan Pendidikan bagi Penyandang
Disabilitas di Indonesia
Sejak tahun 1901 hingga sekitar 1970an pendidikan bagi
penyandang disabilitas terfokus pada layanan pendidikan yang
segregatif (terpisah). Penyandang disabilitas dididik di lembaga
yang terpisah dari lembaga pendidikan umumnya. Dalam paradigma
baru pendidikan bagi penyandang disabilitas, konsep ini dianggap
tidak manusiawi lagi. Pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-
hari penyandang disabilitas hidup di lingkungan bersama
masyarakat, sehingga memisahkannya melalui sekolah segregasi
dapat menghambat proses sosialisasi mereka.
Pada tahun 1970an, Indonesia telah mengenalkan system layanan
pendidikan dimana penyandang disabilitas dapat menerima
pendidikan bersama dengan anak pada umumnya di sekolah biasa
(reguler) yang disebut sekolah terpadu (integrasi). Sistem layanan
pendidikan ini sebagian besar melayani anak dengan gangguan
penglihatan sementara anak dengan jenis disabilitas lain belum
banyak yang mengikuti system terpadu ini.
Selanjutnya, melalui amanat PBB “Education for All” di tahun
2000 Indonesia menyusun rencana pelaksanaan program dan mulai
memperkenalkan layanan pendidikan yang didasari filosofi inklusi.
Tahun 2009 Pendidikan Inklusif mulai di implementasikan di
Indonesia, sehingga Penyandang disabilitas dapat belajar di mana
saja tidak terbatas hanya di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Seiring dengan berjalannya implementasi pendidikan inklusif
pada jalur pendidikan formal. Jalur pendidikan nonformal mulai
mengadopsi sistem layanan pendidikan ini pula. Pada PKBM
Srikandi di Jawa Barat, tutor melayani pendidikan kesetaraan bagi
penyandang disabilitas pada Program Paket B (Yayu et al., 2018).
Selain itu, pendamping sosial bagi penyandang disabilitas mulai
direkrut pemerintah untuk mendampingi masyarakat yang memiliki
masalah kompleks seperti penyandang disabilitas (Mardiyati, 2017).
Pendamping sosial ini memiliki tugas dan tanggung jawab mulai dari
menangani keberfungsian sosial, membantu masyarakat dalam
mengakses sumber informasi dan layanan yang dibutuhkan.
Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah
latihan berikut!
Cobalah bertanya kepada lima teman anda. Jika anda mendengar istilah
penyandang disabilitas, kira-kira apa yang tergambar dalam pikirannya?
Setelah itu, tuliskan definisi yang benar dan sampaikanlah kepada teman anda
tersebut!

Rangkuman
Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu
lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan
dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga
Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Ada beberapa istilah yang sering digunakan dalam merujuk penyandang
disabilitas, seperti penyandang cacat, dan difabel. Hal ini berkaitan dengan
paradigma yang ada dibelakangnya.

Tes Formatif 1
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1. Istilah Penyandang Disabilitas masuk dalam nomenklatur Undang-
undang…
a. Undang-undang No.4 tahun 1997
b. Undang-undang No.4 tahun 1994
c. Undang-undang No.8 tahun 2016
d. Undang-undang No.8 tahun 2018

2. Kondisi hasil interaksi antara orang dengan keterbatasan


fungsi/struktur tubuh fisik dan/atau mental, dengan hambatan
lingkungan, sehingga berakibat pada ketidakmampuan mereka
berpartisipasi secara efektif di masyarakat seperti masyarakat
umumnya, adalah makna dari istilah…
a. Penyandang difabel
b. Penyandang cacat
c. Disable
d. Penyandang disabilitas

3. Difabel berasal dari singkatan bahasa Inggris yaitu…


a. Different Abilities
b. Different Abnormal
c. Disabled Person
d. Handicapped People

4. Salah satu contoh praktik baik pelaksanaan PNF bagi penyandang


disabilitas yaitu tutor melayani pendidikan kesetaraan bagi
penyandang disabilitas pada Program Paket B yaitu di….

a. PKBM Srikandi di Jawa Barat


b. SKB Bunda di Serang
c. PKBM Mutiara Bunda di Sumatera Selatan
d. SKB Satya Lencana di DIY

5. Wacana yang muncul sejalan berkembangnya istilah difabel yaitu…


a. Diskriminasi
b. Charity
c. Adil dan memberdayakan
d. Hak asasi manusia
Cocokkan jawaban anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang
terdapat pada bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Lalu
gunakanlah rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan anda
terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah jawaban yang benar


Tingkat Penguasaan= x 100 %
Jumlah soal

Kategori tingkat penguasaan: 90-100% =baik sekali


80-89% = baik
70-79% = cukup
<70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, maka anda dapat
meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Jika masih berada di bawah 80%,
maka anda harus mengulangi kembali materi Kegiatan Belajar 1, terutama
pada bagian yang belum anda kuasai.
Kegiatan Belajar 2
MODEL CARA PANDANG MASYARAKAT
TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS

A. Konsep Disabilitas dan Cara Pandang


Disabilitas merupakan istilah umum (umbrella term) yang digunakan
untuk merujuk pada kondisi keterbatasan fungsi/struktur tubuh
(keterbatasan fisik, sensoris, intelektual, dan mental), keterbatasan
aktivitas, dan hambatan berpartisipasi (WHO, 2007). Keterbatasan-
keterbatasan ini tercipta dari proses interaksi antara kondisi kesehatan
(seperti penyakit/kelainan), kondisi lingkungan (seperti perilaku, akses
Kondisi kesehatan
(kelainan atau penyakit)

Fungsi dan struktur Aktivitas Partisipasi


tubuh (terbatas) (terbatas) (terhambat)

Faktor lingkungan Faktor pribadi

Bagan 1 Kerangka Pengukuran Kesehatan WHO

fisik, dan ketersediaan teknologi), dan kondisi pribadi (seperti


kepercayaan diri dan motivasi diri). Kerangka disabilitas tersebut secara
garis besar dapat dilihat pada Gambar 1.
Sejauh ini, terdapat lima cara pandang yang memengaruhi cara
berpikir masyarakat terhadap isu disabilitas. Kelima cara pandang
tersebut meliputi cara pandang moral, belas kasihan, kesehatan, sosial,
dan hak asasi manusia (HAM) (MDRC, 2001; Miller dan Ziegler, 2006;
Worm, 2012). Tiga cara pandang pertama (moral, belas kasihan, dan
kesehatan) berfokus pada keterbatasan yang dimiliki individu
penyandang disabilitas; cara pandang ini berkontribusi terhadap eksklusi
sosial dari lingkungannya yang dialami penyandang disabilitas.
Sementara itu, dua cara pandang terakhir (model sosial dan HAM) lebih
berfokus pada kondisi masyarakat, lingkungan, dan institusi yang
berperan dalam menciptakan kondisi disabilitas.
Cara pandang moral menganggap keberadaan penyandang
disabilitas sebagai hukuman kepada keluarga/individu atas
perbuatannya yang melanggar norma (Haryono, Kinasih, dan Mas’udah,
2013). Perspektif belas kasihan menganggap penyandang disabilitas
sebagai individu yang tidak mampu melakukan sesuatu secara mandiri
sehingga memerlukan bantuan orang lain dan patut dikasihani.
Perspektif kesehatan menganggap penyandang disabilitas sebagai
individu yang “tidak normal” sehingga harus diperbaiki agar mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan (Laurin- Bowie, 2005). Sementara
itu, perspektif sosial menganggap masyarakat/lingkungan memiliki
peran dalam menciptakan kondisi disabilitas bagi penyandang
keterbatasan fisik/mental/sensoris; dan perspektif HAM mengakui
keberadaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari keberagaman
dalam masyarakat dan mengakui bahwa penyandang disabilitas memiliki
hak yang sama dengan masyarakat nondisabilitas (UPIAS dan The
Disability Alliance, 1975; Mji et al., 2009). Model sosial berprinsip bahwa
masyarakatlah yang harus berubah/diubah agar mampu menyesuaikan
diri dengan penyandang disabilitas, sementara model HAM berprinsip
bahwa pemenuhan HAM merupakan solusi untuk menjamin individu
dengan keterbatasan fisik/mental/sensoris tidak mengalami eksklusi
sosial.
Model sosial dan HAM bagi penyandang disabilitas telah diakui
dalam Konvensi PBB tentang Hak- hak Penyandang Disabilitas
(Convention on The Rights of Persons with Disabilities, CRPD) pada 2007
sebagai pendekatan untuk menjamin inklusi sosial penyandang
disabilitas. Selain itu, pada 2008 model ini terkandung dalam Undang-
Undang (UU) Internasional (Mji et al., 2009) dan menjadi agenda TPB
2030. Dengan pendekatan ini, penyandang disabilitas dianggap sebagai
bagian dari keberagaman, dan masing-masing individu yang beragam ini
memiliki hak asasi yang sama. Dengan pendekatan ini, Pasal 1 Resolusi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) No. A/61/106 Tahun 2006
mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai orang “yang memiliki
keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensoris dalam jangka lama,
yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan masyarakat dapat
mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh
dan efektif berdasarkan kesamaan hak dengan warga negara lainnya”
(United Nations, 2006:3).

B. Model-Model Cara Pandang terhadap Penyandang Disabilitas


1. Cara Pandang Moral
Model disabilitas moral adalah model tertua cara pandang
terhadap disabilitas dan masih ditemukan dalam sejumlah tradisi
keagamaan. Menurut salah satu bentuk utama moral, disabilitas
harus dianggap sebagai hukuman dari Tuhan untuk dosa tertentu
atau dosa yang mungkin dilakukan oleh orang yang menyandang
disabilitas tersebut.
Henderson dan Bryan (2011) menjelaskan secara komprehensif
model disabilitas moral, bahwa beberapa orang percaya bahwa
disabilitas adalah akibat atau dosa dari kurangnya kepatuhan
terhadap moralitas sosial atau ibadah dari suatu agama. Jadi,
disabilitas dipandang sebagai suatu peringatan agar manusia
menjauhi perilaku buruk tertentu. Beberapa keyakinan juga
berasumsi bahwa disabilitas adalah hukuman dari Tuhan atas suatu
perbuatan yang melanggar ketetapan agama yang berlaku. Tidak
hanya dipandang sebagai hukuman atas dosa pribadi, namun juga
dosa orang tua.
Cara pandang model ini dapat menyebabkan seluruh keluarga
dengan penyandang disabilitas tereksklusi dari masyarakat dan
partisipasi sosial. Konsepsi disabilitas pada cara pandang agama
dipandang sebagai ujian iman, dimana keluarga atau individu dipilih
khusus oleh Tuhan untuk menerima disabilitasnya dan diberikan
kesempatan untuk menebus diri melalui ketekunan mereka.

2. Cara Pandang Medis


Cara pandang model medis memandang disabilitas sebagai
masalah medis. Disabilitas adalah suatu kegagalan sistem tubuh dan
dipandang sebagai abmornal dari segi patologis. Tujuan dari
intervensi dalam cara pandang model ini adalah penyembuhan,
perbaikan kondisi fisik semaksimal mungkin, dan rehabilitasi
(penyesuaian penyandang disabilitas dengan kondisi lingkungan).
Penyandang disabilitas secara objektif dianggap sebagai kondisi
menyedihkan, tragedi pribadi bagi individunya. Menurut model
medis, penyandang disabilitas dianggap menyimpang dari apa yang
dianggap “normal”. Penggunaan istilah “cacat”, “terbelakang”
merupakan manifestasi dari cara pandang model ini.

3. Cara Pandang Sosial


Gerakan aktivis Inggris di tahun 1960-1970an menginspirasi
berkembangnya model sosial penyandang disabilitas. Menurut
model ini, masyarakatlah yang menyebakan keterbatasan dan
gangguan pada penyandang disabilitas. Solusi yang diarahkan oleh
cara pandang ini adalah perubahan perilaku masyarakat,
penyesuaian individu dan rehabilitas ditujukan pada masyarakat.
Disabilitas adalah suatu keadaan, yang disebabkan oleh kondisi
sosial yang mensyarakatkan dihapuskannya: a) pekerjaan, atau
layanan pendidikan yang terpisah, b) penyandang disabilitas dengan
saran dan bantuan orang lain memiliki kendali penuh atas hidup
mereka sendiri, c) para professional, ahli yang membantu harus
berkomitmen untuk mempromosikan kontrol penuh atas hidup
penyandang disabilitas.
Dari sudut pandang ini, penyandang disabilitas adalah kontruksi
sosial, yang dalam arti nyata merupakan bentuk dari penindasan
sosial. Teori model sosial berpendapat bahwa istilah penyandang
disabilitas secara langsung terkait dengan filosofi yang mendasari
model medis dan memandang istilah “cacat” mencerminkan
penindasan sosial yang dialami oleh penyandang disabilitas.

4. Cara Pandang Model Hak Asasi


Model lain yang memiliki kesamaan dengan teori model sosial
disabilitas adalah model hak asasi manusia. Meskipun beberapa
peneliti memperlakukan model sosial dan hak asasi manusia hampir
serupa, namun ada sejumlah perbedaan diantaranya. Pertama,
model sosial membantu orang untuk memahami bahwa yang
membentuk persepsi masyarakat terhadap penyandang disabilitas
adalah faktor sosial, sedangkan pada model hak asasi menekankan
kepada martabat penyandang disabilitas sebagai manusia. Kedua,
model hak asasi manusia menjunjung hak penyandang disabilitas
sebagai bagian dari masyarakat, baik itu hak sipil, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Ketiga, model hak asasi manusia menghormati
fakta bahwa beberapa penyandang disabilitas memang dihadapkan
pada situasi kehidupan yang menantang dan faktor-faktor yang
membuat tantangan tersebut harus diperhitungkan dalam
pengembangan teori keadilan sosial.
Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah
latihan berikut!
1. Mengapa penyandang disabilitas termasuk dalam sasaran program
pendidikan non formal?
2. Menurut saudara, cara pandang terhadap disabilitas model apa yang
saat ini berkembang di masyarakat? Jelaskan dan beri contoh perilaku
yang mencerminkan cara pandang tersebut!
3. Berdasarkan perspektif saudara, cara pandang model apa yang paling
baik? Jelaskan disertai contoh!
4. Jelaskan salah satu program pendidikan/kesejahteraan sosial dari
pemerintah dan kaitkan dengan cara pandang apa yang mendasari
program tersebut!
5. Apa dampak pendidikan dari paradigma yang mendiskrimikasi
Penyandang Disabilitas?

Rangkuman
Disabilitas merupakan istilah umum (umbrella term) yang digunakan
untuk merujuk pada kondisi keterbatasan fungsi/struktur tubuh
(keterbatasan fisik, sensoris, intelektual, dan mental), keterbatasan aktivitas,
dan hambatan berpartisipasi (WHO, 2007).
Sejauh ini, terdapat lima cara pandang yang memengaruhi cara berpikir
masyarakat terhadap isu disabilitas. Kelima cara pandang tersebut meliputi
cara pandang moral, belas kasihan, kesehatan, sosial, dan hak asasi manusia
(HAM) (MDRC, 2001; Miller dan Ziegler, 2006; Worm, 2012). Tiga cara
pandang pertama (moral, belas kasihan, dan kesehatan) berfokus pada
keterbatasan yang dimiliki individu penyandang disabilitas; cara pandang ini
berkontribusi terhadap eksklusi sosial dari lingkungannya yang dialami
penyandang disabilitas. Sementara itu, dua cara pandang terakhir (model
sosial dan HAM) lebih berfokus pada kondisi masyarakat, lingkungan, dan
institusi yang berperan dalam menciptakan kondisi disabilitas.
Tes Formatif 1
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1. Istilah Penyandang Disabilitas akibat terciptanya keterbatasan pada,
kecuali…
a. Kondisi pribadi
b. Kondisi kesehatan
c. Kondisi lingkungan
d. Kondisi pendapatan ekonomi

2. Cara pandang yang menganggap bahwa disabilitas adalah hukuman dari


Tuhan untuk dosa tertentu yaitu…
a. Moral
b. Medis
c. Sosial
d. Hak Asasi Manusia

3. Cara pandang yang memandang disabilitas sebagai suatu kegagalan


sistem tubuh yaitu…
a. Moral
b. Medis
c. Sosial
d. Hak Asasi Manusia

4. Cara pandang yang menanggap bahwa disabilitas adalah akibat dari


konstruksi sosial yang diskriminatif adalah…

a. Moral
b. Medis
c. Sosial
d. Hak Asasi Manusia

5. Model cara pandang yang menekankan pada martabat penyandang


disabilitas sebagai manusia yang sama yaitu…
a. Moral
b. Medis
c. Sosial
d. Hak Asasi Manusia
Cocokkan jawaban anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang
terdapat pada bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Lalu
gunakanlah rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan anda
terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah jawaban yang benar


Tingkat Penguasaan= x 100 %
Jumlah soal

Kategori tingkat penguasaan: 90-100% =baik sekali


80-89% = baik
70-79% = cukup
<70% = kurang
Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, maka anda dapat
meneruskan dengan Modul 3. Jika masih berada di bawah 80%, maka anda
harus mengulangi kembali materi Kegiatan Belajar 2, terutama pada bagian
yang belum anda kuasai.
DAFTAR RUJUKAN

Mardiyati, A. (2017). Peran Pendamping Berbasis Masyarakat Bagi


Penyandang Disabilitas Dalam Membangun Kemandirian. Media Informasi
Penelitian Kesejahteraan Sosial, 41(2), 133–144.

Yayu, S., Hamdani, D. I. A., & Nurhayati, S. (2018). Penerapan Pendidikan


Inklusif pada Program Kesetaraan di PKBM Srikandi. Jurnal Comm-Edu,
1(3), 14–19.
Kunci Jawaban Tes Formatif 1
1. C
2. D
3. A
4. A
5. D

Kunci Jawaban Tes Formatif 2


1. D
2. A
3. B
4. C
5. D

Anda mungkin juga menyukai