Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH ADAPTASI PSIKOLOGIS PADA BAYI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Dalam Praktik Kehamilan

Dosen Pengajar : Wahyu Wijayanti, SSiT., M.Keb

Disusun Oleh :
1. Erna Aprilia (202107006)
2. Wilda Annisa F. (202107020)

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN


STIKES KARYA HUSADA KEDIRI

2023/2024
BAB I
LATAR BELAKANG

Adaptasi adalah suatu cara makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Selain itu, adaptasi merupakan salah satu persyaratan penting bagi
terciptanya kesehatan jiwa dan mental individu dan merupakan pertahanan yang bawa sejak
lahir atau diperoleh dari hasil belajar dan pengalaman. Penyesuaian atau adaptasi tidak
hanya dapat dilakukan oleh orang dewasa namun bayi pun dapat beradaptasi. Meski
adaptasi bayi satu dengan bayi yang lain pasti akan berbeda.
Bayi dan balita merupakan tahap awal menjadi seorang individu. Masa bayi atau neonatal
merupakan masa terjadinya penyesuaian yang radikal sedangkan pada balita merupakan
masa emas tumbuh kembang individu. Oleh karena itu akan banyak proses adaptasi yang
akan dilalui oleh bayi dan balita. Proses adaptasi bayi dan balita tidak hanyak pada fisiologis
dan lingkungan. Namun, bayi dan balita pun juga mengalami proses adaptasi secara
psikologis.
Sebagai seorang petugas kesehatan yang mempunyai kompetensi memberikan asuhan
kebidanan pada bayi dan balita, bidan harus memahami bagaimana proses adaptasi
psikologis pada bayi dan balita. Selain itu, bidan juga dituntut agar dapat menjelaskan
kepada klien dan berusaha memberikan solusi yang terbaik jika ada masalah mengenai
proses adaptasi psikologis pada bayi dan balita.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PROSES ADAPTASI PSIKOLOGIS BAYI
1. Tahap Adaptasi
Pieter (2011) mengatakan bahwa, adaptasi adalah suatu proses penyesuaian diri seseorang
yang berlangsung terus-menerus untuk memenuhi segala kebutuhannya dengan tetap
memelihara hubungan harmonis pada situasi lingkungannya. Tahapan adaptasi antara lain :
a. Adaptif
Menurut Mansur (2011: 12) mengatakan bahwa “Manusia sebagai makhluk hidup
mempunyai daya upaya untuk menyesuaikan diri secara aktif maupun pasif. Pada dasarnya
seseorang secara aktif melakukan penyesuaian diri bila keseimbangannya terganggu.
Manusia akan merespon dari tidak seimbang menjadi seimbang. Ketidakseimbangan
tersebut ditimbulkan frustasi dan konflik.”
b. Frustasi
Dalam mencapai tujuan, seseorang terkadang justru mengalami kendala sehingga tujuan
tersebut gagal dicapai. Hal tersebut akan menyebabkan kecewa atau frustasi. Ini berarti
bahwa frustasi timbul karena adanya Iblocking dari perilaku yang disebabkan adanya
kendala yang menghadangnya.
c. Konflik
Salah satu sumber frustasi adalah adanya konflik antara beberapa motif dalam diri individu
yang bersangkutan. Motif-motif itu tidak dapat dikompromikan satudengan yang lain, tetapi
harus mengambil pilihan dari bermacam-macam motif tersebut. Keadaan ini dapat
menimbulkan konflik dalam diri individu yang bersangkutan.
d. Maladaptif
Frustasi dan konflik yang terjadi pada individu merupakan sumber atau penyebab stres
psikologis. Dengan demikian, individu harus melakukan adaptasi dengan menggunakan
Mekanisme Mempertahankan Ego (MPE). Mekanisme pertahanan ego antara lain:
1) Rasionalisasi (berpikir rasional)
2) Menarik diri
3) Identifikasi
4) Regresi
5) Kompensasi
6) Represi
7) Mengisar

3. Proses Adaptasi Psikologis pada Masa Bayi


Masa bayi berlangsung selama dua tahun pertama kehidupan setelah periode bayi baru
lahir selama dua minggu.
Masa bayi neonatal merupakan masa terjadinya penyesuaian radikal. Ini adalah suatu
peralihan dari lingkungan (kandungan) ke lingkungan luar. Seperti halnya semua peralihan,
hal itu memerlukan penyesuaian.
Penyesuaian diri radikal pada bayi neonatal antara lain:
a. Menyesuaikan terhadap perubahan suhu.
b. Menyesuaikan diri terhadap cara bernafas.
c. Menyesuaikan diri terhadap pola makan.
d. Menyesuaikan diri terhadap sistem ekresi.
Kemudian beralih kemasa terhentinya perkembangan untuk sementara waktu kira-kira 1
minggu, seperti berkurangnya berat badan dan selalu sakit-sakitan. Pada akhir periode
neonate perkembangan dan kesehatan bayi akan berjalan seperti semula. Sebenarnya
terhentinya perkembangan dan pertumbuhan bayi tersebut merupakan ciri khas dari periode
neonatal dan dianggap normal.
Setelah mengalami penyesuaian tahap neonatal bayi mengalami periode babyhood
secara umum adalah usia 2 minggu hingga 2 tahun. Periode babyhood merupakan dasar
pembentukan sikap, perilaku dan pola ekspresi. Adanya ketidakmampuan penyesuaian diri
pada masa dewasa merupakan efek pengalaman periode babyhood dan masa kana-kanak
yang kurang baik. Pada periode babyhood ini bayi sudah memahami senyum, merangkak
dan berdiri. Selain itu bayi senang memegang mainan dengan kedua tangannya sembari
melihat kesana-kemari dan berusaha untuk mencari-cari suara atau musik yang
didengarnya. Bayi juga sudah mampu membedakan suara ibunya dengan suara orang lain.
Pada akhir periode babyhood bayi seringkali takut didekati orang yang tidak dikenalnya
namun bayi akan merasa senang dengan anak lain. Kemudian bayi biasanya akan selalu
menolak untuk ditidurkan, karena mereka lebih suka menghabiskan waktunya dengan
bermain.
B. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES ADAPTASI PSIKOLOGIS PADA BAYI
Tidak semua proses adaptasi bayi dan balita sama karena mungkin beberapa anak mudah
melakukan penyesuaian tetapi adapula anak yang sulit bahkan gagal dalam proses
penyesuaian.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses adaptasi psikologi bayi dan antara lain:
1. Intelegensi
2. Status ras dan keturunan
3. Lingkungan dan budaya
4. Pola asuh keluarga
C. MASALAH YANG SERING TIMBUL DALAM PROSES ADAPTASI PSIKOLOGIS PADA
BAYI DAN BALITA
1. Attsoederention Deficit/ Hiperectivity Disorder (ADHD) Atetention Deficit/ Hiperactivity
Disorder (ADHA)/ Gangguan Pemusatan Perhatian/ Hiperaktif (GPPH).
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) ditemukan pertama kali dalam dunia
kedokteran dengan istilah brain dysfunction, hyperkinetic reaction of childhood, and
attention-deficit disorder dengan atau tanpa hiperaktif. Attention Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD) merupakan gangguan otak dengan gejala sulit fokus, memusatkan
perhatian dan hiperaktif dalam segala aktifitas yang dapat terjadi pada anak – anak hingga
berlangsung sampai dewasa. Anak dengan ADHD sering mengalami kesulitan dalam
bersosialisasi dilingkungannya dan sulit berprestasi disekolah. Hal ini memerlukan
perawatan yang melibatkan orangtua, pendidikan dan medis.
Banyak tanda dan gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) pada anak,
diantaranya ialah:
1. Mudah teralihkan sehingga anak sering beralih dari aktivitas satu dengan lainnya
2. Kesulitan dalam fokus dan memusatkan perhatian pada suatu hal
3. Kesulitan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dengan tuntas
4. Saat diajak bicara tidak memperhatikan lawan bicaranya
5. Kesulitan untuk diam, berhenti berbicara dan tidak dapat tenang
6. Kesulitan mengontrol emosi
Faktor penyebab ADHD
1. Faktor Genetik
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa ADHD diturunkan dari orangtua. Terdapat
penelitian studi international yang dilakukan terhadap anak kembar didapatkan hasil bahwa
ADHD dapat diturunkan dari keluarga. Namun sampai saat ini banyak peneliti mencari tahu
gen yang dapat menyebabkan gangguan pemusatan perhatian tersebut (Faraone, 2010).2
2. Cedera Otak
Anak dengan cidera otak traumatis sebagian kecil menunjukkan beberapa kebiasaan yang
mirip dengan gangguan pemusatan perhatian atau yang disebut Banyak tanda Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
3. Faktor Lingkungan
Terdapat studi penelitian yang menunjukkan bahwa ADHD dipengaruhi lingkungan. Ibu pada
masa kehamilan yang merokok, minum alkohol dan hidup dilingkungan perokok mempunyai
potensi melahirkan anak yang akan tumbuh dengan ADHD. Selain itu ADHD level tinggi
banyak ditemukaan pada anak pra sekolah.
2. Diseleksia
Disleksia merupakan kesulitan belajar yang menyebabkan masalah dengan membaca,
menulis, dan mengeja. Gangguan belajar ini masuk ke dalam gangguan saraf pada bagian
batang otak. Bagian otak inilah yang memproses bahasa.Kondisi ini tidak hanya dialami oleh
anak-anak, tapi juga orang dewasa dan merupakan masalah seumur hidup.
Pengidap disleksia memiliki kecerdasan yang normal dan biasanya memiliki penglihatan
yang normal juga. Sebagian besar anak disleksia dapat berhasil di sekolah dengan
bimbingan belajar atau program pendidikan khusus. Dukungan emosional dari orang-orang
terdekat juga berperan penting.
Penyebab Terjadinya Disleksia :
Disleksia berkaitan dengan faktor genetik. Seseorang lebih mungkin mengidap disleksia jika
memiliki orang tua, saudara kandung, atau anggota keluarga lain yang juga mengidap
disleksia.
Kondisi ini bermula dari perbedaan bagian otak yang memproses bahasa. Pemindaian
pencitraan pada orang dengan disleksia menunjukkan bahwa area otak yang seharusnya
aktif ketika seseorang membaca, tapi justru tidak berfungsi dengan baik.
Ketika anak-anak belajar membaca, pertama-tama mereka mencari tahu bunyi apa yang
dihasilkan setiap huruf. Misalnya, “B” menghasilkan suara “be”, “M” menghasilkan suara
“em”. Kemudian, mereka belajar bagaimana menyusun suara-suara itu untuk membentuk
kata-kata. Misalnya, “K-U-C-I-N-G” berarti “kucing”. Kemudian mereka harus mencari tahu
apa arti kata-kata tersebut (“kucing” adalah hewan berbulu yang mengeong).
Untuk anak-anak yang menderita disleksia, otak mengalami kesulitan menghubungkan huruf
dengan suara yang mereka buat, dan kemudian memadukan suara-suara itu menjadi kata-
kata. Jadi bagi seseorang dengan disleksia, kata “kucing” mungkin dibaca sebagai “gnicuk”.
Karena campur aduk ini, membaca bisa menjadi proses yang lambat dan sulit.
Selain genetik, disleksia juga bisa disebabkan oleh kondisi medis lainnya, seperti:
1. Cedera otak, misalnya saat anak dilahirkan.
2. Cedera yang parah atau trauma pada otak
3. Penyakit lainnya, seperti stroke.
4. Faktor Risiko Disleksia
Beberapa faktor risiko disleksia, antara lain:
a. Memiliki anggota keluarga dengan penyakit gangguan belajar.
b. Bayi lahir prematur atau bayi lahir dengan berat badan rendah.
c. Bayi yang lahir dari ibu pengguna obat-obatan, alkohol, perokok, atau pernah mengalami
infeksi yang mempengaruhi perkembangan otak janin.
d. Memiliki kelainan pada struktur otak yang berperan dalam proses berpikir dan mengolah
kata.
Gejala Disleksia
Gejala disleksia bisa berbeda pada satu pengidap dengan pengidap lainnya. Gejala ini
memang bisa timbul di usia berapa pun, tapi umumnya muncul di usia anak-anak. Berikut
beberapa gejala disleksia yang mungkin dialami pengidapnya.
Kesulitan belajar membaca, walaupun tingkat kecerdasannya normal. Anak disleksia terlihat
lebih lamban dan berusaha keras dalam membaca, mempelajari huruf, mengucapkan atau
menerka huruf atau angka, serta memposisikan mainan huruf.
Kesulitan dan memiliki kemampuan berbicara yang sangat lambat, sehingga membutuhkan
waktu lebih lama untuk belajar berbicara. Pengidapnya sering salah saat mengucapkan kata
atau membedakan bunyi kata yang berbeda.
Perkembangan lebih lambat dibandingkan anak seusianya. Contohnya, membutuhkan
waktu belajar merangkak, berjalan, atau berbicara yang lebih lama ketimbang anak
seusianya.
Kesulitan mengkoordinasikan gerak tubuh, sehingga sering terlihat lebih lemah
dibandingkan anak lain seusianya. Contohnya, sulit mengkoordinasikan mata dengan
gerakan tangan. Kondisi ini bisa diamati ketika mereka menangkap bola.
Sulit berkonsentrasi dan cenderung mudah sakit. Mereka juga cenderung lebih mudah
terserang alergi, demam, eksim, atau asma.
Jenis-jenis Disleksia
Disleksia tidak hanya satu jenis. Seseorang yang didiagnosis dengan kondisi tersebut
mungkin memiliki masalah dengan suara. Sementara yang lainnya mungkin mengalami
kesulitan dengan urutan kata dan urutan huruf.
Untuk memastikan bahwa seseorang yang didiagnosis menerima perawatan yang tepat,
spesialis disleksia akan mengkategorikan kondisi tersebut dalam beberapa jenis. Di
antaranya:
1. Disleksia fonologis. Seseorang yang mengalami kesulitan menempatkan suara pada
huruf-huruf yang membentuk sebuah kata.
2. Surface dyslexia. Kesulitan memahami sebuah kata setelah melihatnya. Dikenal juga
sebagai disleksia visual.
3. Rapid naming deficit. Ketidakmampuan untuk dengan cepat menyebutkan huruf atau
angka.
4. Double deficit dyslexia. Kombinasi dari disleksia fonologis dan rapid naming deficit.

3.Gangguan artikulasi
Gangguan artikulasi diartikan sebagai ketidakmampuan atau kesulitan anak dalam
menghasilkan suara atau kalimat yang jelas. Gangguan artikulasi menyebabkan orang lain
yang mendengar kalimat tersebut tidak bisa memahami apa yang dikatakan anak.
4.Autisme
Autisme adalah gangguan perilaku dan interaksi sosial akibat kelainan perkembangan saraf
otak. Kondisi ini menyebabkan penderitanya sulit berkomunikasi, berhubungan sosial, dan
belajar.
Autisme disebut juga sebagai gangguan spektrum autisme atau autism spectrum disorder
(ASD). Istilah spektrum sendiri mengacu pada gejala dan tingkat keparahan penyakit ini
yang berbeda-beda pada tiap penderitanya. Gangguan yang termasuk dalam ASD adalah
sindrom Asperger, gangguan perkembangan pervasif (PPD-NOS), gangguan autistik, dan
childhood disintegrative disorder (sindrom Heller). Kondisi ini sering kali dikaitkan juga
dengan sindrom savant.Berdasarkan data yang dihimpun oleh WHO, autisme terjadi pada 1
dari 160 anak di seluruh dunia. Sedangkan di Indonesia, hingga saat ini belum ada data
yang pasti mengenai jumlah penderita autisme.
Penyebab dan Gejala Autisme :
Penyebab autisme belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa faktor yang
dikethaui dapat meningkatkan risiko terjadinya autisme, misalnya kelainan genetik, riwayat
autisme dalam keluarga, dan kelahiran prematur.
Gejala yang dapat dialami oleh penderita autisme antara lain:
1. Gangguan dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial, seperti lebih senang
menyendiri, enggan berbicara dengan orang lain, dan sering mengulang kata yang
sama
2. Gangguan perilaku, seperti melakukan gerakan yang sama secara berulang,
misalnya selalu berjalan dengan berjinjit
3. .Gangguan lain, seperti gangguan belajar, gangguan mood atau reaksi emosional,
dan kejang
4. Sensory overload, misalnya karena suara yang terlalu berisik, atau suhu yang sangat
dingin atau panas.
5.Sindrom Asperger
Sindrom Asperger adalah gangguan perkembangan mental dan saraf yang tergolong dalam
gangguan spektrum autisme. Anak dengan sindrom Asperger mengalami gangguan
kemampuan berkomunikasi dan interaksi sosial, tetapi masih memiliki kecerdasan dan
kemampuan berbahasa yang baik.
Sindrom Asperger sedikit berbeda dengan gangguan spektrum autisme lainnya. Pada
autisme, penderitanya mengalami kemunduran kecerdasan dan penguasaan bahasa.
Sedangkan pada sindrom Asperger, penderita cerdas dan mahir dalam bahasa, tetapi
tampak canggung saat berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang di sekitarnya.
Penyebab sindrom Asperger belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, ada beberapa faktor
yang diduga meningkatkan risiko timbulnya sindrom ini, yaitu:
1. Kelainan genetik sehingga menyebabkan gangguan pada komunikasi antarsel otak
2. Infeksi pada masa kehamilan, seperti rubella dan cytomegalovirus
3. Paparan racun dan zat pemicu kanker ketika hamil
4. Kelahiran prematur
5. Berat badan lahir bayi yang rendah
6. Paparan terhadap obat asam valproat dan thalidomide ketika hamil
6.Retardasi mental
Retardasi mental adalah gangguan intelektual yang umumnya ditandai dengan kemampuan
mental atau inteligensi yang berada di bawah rata-rata. Kondisi ini juga kerap disebut
disabilitas intelektual dan ia bisa memengaruhi kapasitas seseorang untuk belajar dan
menyimpan informasi baru. Bahkan kondisi ini juga bisa memengaruhi perilaku sehari-hari.
Anak-anak dengan retardasi mental ringan dapat menjalani kehidupan seperti orang normal
dengan dukungan yang tepat. Namun, anak-anak dengan kondisi yang yang parah
membutuhkan dukungan yang lebih banyak dan konstan.eperti keterampilan sosial dan
rutinitas kebersihan. Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi penyebab yang paling
sering terjadi:
1. Kelainan Genetik. Kelainan seperti sindrom down dan sindrom fragile X yang diduga
memiliki keterkaitan dengan kelainan genetik yang kemudian bisa menyebabkan
kondisi ini.
2. Masalah selama Kehamilan. Beberapa kondisi yang terjadi selama kehamilan
nyatanya bisa menyebabkan gangguan perkembangan otak janin. Ini termasuk
penggunaan alkohol, konsumsi obat-obatan terlarang, gizi buruk, infeksi, dan
preeklamsia.
3. Masalah selama Masa Bayi. Retardasi mental juga bisa terjadi akibat gangguan
selama masa kelahiran. Seperti misalnya akibat bayi tidak mendapatkan asupan
oksigen yang cukup, atau bayi lahir dalam kondisi yang sangat prematur sehingga
paru-paru belum matang secara sempurna.
4. Cedera atau Penyakit Lainnya. Infeksi seperti meningitis, atau campak juga bisa
menyebabkan anak mengalami penyakit ini. Cedera kepala berat, keadaan hampir
tenggelam, malnutrisi ekstrem, infeksi otak juga merupakan conton hal-hal yang bisa
memicu retardasi mental.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

Jhaquin, A. 2010. Psikologi Untuk Kebidanan.Yogyakarta: Nuha Medika.


Pieter, H.Z & Lubis N.L. 2011.Pengantar Psikologi Untuk Kebidanan. Jakarta: Kencana
Predana Media Group.
Dahro, A. 2012. Psikologi Kebidanan: Analisis Perilaku Wanita untuk Kesehatan. Jakarta:
Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai