Anda di halaman 1dari 16

TUGAS KELOMPOK

KESELAMATAN PASIEN DAN K3

“Upaya Mencegah Bahaya Fisik,Radiasi,Kimia,dan Ergomic”

Dosen Pengapu : Mien,.S.Kep.Ns,M.Kep

DI SUSUN OLEH :

Kelompok V(LIMA)

1. Kristina Komma Nim.S.0020.P2.099 7. Megawati Nim.S.0020.P2.106


2. Kusmiati Nim.S.0020.P2.100 8. Milda Pratiwi Nim.S.0020.P2.107
3. Lusiana Jeni Nim.S.0020.P2.101 9. Minarni Nim.S.0020.P2.108
4. Mariana Nim.S.0020.P2.102 10. Mulyani NimS.0020.P2.109
5. Marlen Magdalena S Nim.S.0020.P2.103 11. Musnawati NimS.0020.P2.110
6. Marwana Nim.S.0020.P2.105 12. Nelce Nim.S.0020.P2.113

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKES KARYA KESEHATAN KENDARI

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami mampu menyusun sebuah makalah dengan judul
“Upaya Pencegahan bahaya fisik-radiasi, Kimia, dan Ergonomic”.Makalah ini
ditulis untuk memenuhi tugas yang diberikan dalam mata kuliah Keselamatan
Pasien dan K3

Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan baik pada penulisan
maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu penulis
mengharapkan, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Kolaka , 14 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar ................................................................................................ i


Daftar isi ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN TEORITIS


A. Upaya Memutus Rantai Infeksi.................................................................. 3
B. Upaya Mencegah Hazard Fisik-Radiasi ..................................................... 6
C. Upaya Mencegah Hazard Kimia ................................................................ 8
D. Upaya Mencegah Hazard Ergonomic ........................................................ 10

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................... 13
B. Saran.......................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan yang baik tergantung sebagian pada lingkungan yang aman.
Praktisi atau teknisi yang memantau atau mencegah penularan infeksi
membantu melindungi klien dan pekerja kesehatan dari penyakit. Penularan
infeksi yang sering terjadi di lingkungan pelayanan medis, sangat beresiko
terpapar ke tenaga kesehatan, pasien, pengunjung dan karyawan. Pelayanan
kesehatan yang diberikan ke pasien harus didukung oleh sumber daya manusia
yang berkualitas untuk mencapai pelayanan yang prima dan optimal. Proses
dalam mewujudkan Pelayanan yang prima dan optimal dapat diwujudkan
dengan kemampuan kognitif dan motoric yang cukup yang harus dimiliki oleh
setiap petugas kesehatan. Seperti yang kita ketahui pengendalian infeksi di
setiap pelayanan kesehatan merupakan rangkaian aktifitas kegiatan yang wajib
dilakukan oleh Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi dan merupakan
tuntutan kualitas sekaligus persyaratan administrasi menuju proses akreditasi.
Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu bagian terpenting
dari perlindungan ketenaga kerjaan untuk mencegah terjadinya kecelakaan
akibat kerja dan menjamin para pekerja dan orang lain yang berada di sekitar
tempat kerja selalu dalam keadaan aman dan sehat. Kesehatan dan keselamatan
kerja bergantung juga pada lingkungan, apabila lingkungan dalam keadaan
terjaga maka kurangnya risiko terjadinya kecelakaan akibat kerja. Hazard atau
potensi bahaya menunjukan bahwa adanya sesuatu potensial yang akan
mengakibatkan cidera, kerusakan, dan penyakit. Di tempat keja sangat
memungkinkan terjadi kecelakaan kerja, apalagi di rumah sakit. Di rumah sakit
sangat rentan terjadinya kecelakaan kerja. Adapun sumber bahaya di rumah
sakit seperti sumber bahaya fisik, kimia,Psikososial dan sebagainya.

1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini meliputi :
1. Apa upaya memutus rantai infeksi ?
2. Apa upaya mencegah hazard fisik-radiasi ?
3. Apa upaya mencegah hazard kimia ?
4. Apa upaya mencegah hazard Ergonomic l ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui dan memahami upaya memutus rantai infeksi
2. Mengetahui dan memahami upaya mencegah hazard fisik-radiasi
3. Mengetahui dan memahami upaya mencegah hazard kimia
4. Mengetahui dan memahami upaya mencegah hazard Ergonomic

2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Upaya Memutus Rantai Infeksi


Dalam memutus rantai infeksi diperlukan strategi dan pengendalian
untuk memutuskan rantai infeksi. Proses terjadinya infeksi bergantung kepada
interaksi antara suseptibilitas penjamu, agen infeksi (pathogenesis, virulensi dan
dosis) serta cara penularan. Identifikasi factor risiko padda penjamu dan
pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden terjadinya
infeksi Healthcare-associatedinfections (HAIs) dengan pengertian yang lebih
luas tidak hanya di rumah sakit tetapi juga di fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya. baik pada pasien ataupun pada petugas kesehatan.
Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari :
1. Peningkatan daya tahan pejamu. Daya tahan pejamu dapat meningkat
dengan pemberian imunisasi aktif (contoh vaksinasi Hepatitis B), atau
pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi kesehatan secara
umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahantubuh.
2. Inaktivasi agen penyebab infeksi. Inaktivasi agen infeksi dapat dilakukan
dengan metode fisik maupun kimiawi. Contoh metode fisik adalah
pemanasan (Pasteurisasi atau Sterilisasi) dan memasak makanan
seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air,disinfeksi
3. Memutus rantai penularan. Hal ini merupakan cara yang paling mudah
untuk mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya sangat
bergantung kepada ketaatan petugas dalam melaksanakan prosedur yang
telah ditetapkan.
4. Tindakan pencegahan paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP)
terhadap petugas kesehatan. Berkaitan pencegahan agen infeksi yang
ditularkan melalui darah atau cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi
karena luka tusuk jarum bekaspakai atau pajanan lainnya. Penyakit yang
mendapatkan perhatian adalah hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV
Dalam upaya untuk memutus rantai penularan konjungtivitis edukasi oleh

3
tenaga mediskepada pasien, keluarga pasien maupun masyarakat penting
dilakukan, antara lain menjaga hygiene (kebersihan) mata, rajin mencuci
tangan, menghindari untuk memegang matadan tidak memakai bersama
barang-barang yang kontak dengan mata penderita seperti saputangan, sarung
bantal dan handuk
Memutus mata rantai penularan merupakan hal yang paling mudah
untuk mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi harus didukung dengan
kepatuhan dan ketaatan dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan
dalam standar operasional. Adapun cara memutus rantai penularan infeksi
tersebut adalah dengan penerapan kewaspadaan isolasi (Isolations
Precautions) dirancang untuk mengurangi risiko terinfeksi penyakit menular
pada petugas skesehatan baik dari sumber infeksi yang diketahui maupun yang
tidak diketahui. Yang terdiri dari kewaspadaan standar (standart Precautions)
dan kewaspadaan Berdasarkan Tranmisi (Transmission Based Precautions).
Kewaspadaan Standart (Standart Precautions) yang dilakukan kepada
semua pasien tanpa memandang pasien tersebut infeksius atau tidak.
Kemenkes RI (2011), menuliskan bahwa ada sepuluh hal yang perlu dilakukan
dalam PPI, yaitu :
1. Kebersihan Tangan
Secara garis besar, kebersihan tangan dilakukan pada air mengalir,
menggunakan sabun dan/atau larutan antiseptic, dan diakhiri dengan
mengeringkan tangan dengan kain yang bersih dan kering
2. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
APD telah lama digunakan untuk melindungi klien dari mikroorganisme
yang ada pada petugas kesehatan. Namun, dengan munculnya AIDS,
Hepatitis C dan Covid-19 , serta meningkatnya kasus TBC, Penggunaan
APD juga menjadi sangat penting dalam melindungi petugas.
3. Penatalaksanaan Peralatan Klien dan linen
Konsep ini meliputi cara memproses instrument yang kotor, sarung
tangan, linen, dan alat yang akan dipakai kembali dengan menggunakan

4
larutan klorin 0,5%, mengamankan alat-alat kotoryang akan tersentuh
serta memilih proses penanganan yang akan digunakan secara tepat.
Penatalaksanaan ini dapat dilakukan dengan precleaning, pencucian dan
pembersihan, Desinfeksi Tingkat Tinggi (DTT), serta sterilisasi.
4. Pengolahan Limbah
Merupakan salah satu upaya kegiatan PPI berupa pengelolaan limbah
rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, Baik limbah yang
terkontaminasi maupun yang tidak terkontaminasi.
5. Pengendalian Lingkungan Rumah sakit
Tujuannya untuk menciptakan lingkungan yang bersih, aman, dan
nyaman. Hal ini dapat meminimalisirr transmisi mikroorganisme dari
lingkungan kepada klien maupun petugas kesehatan.
6. Kesehatan Karyawan/perlindungan pada petugas kesehatan
Membuat program pencegahan dan pengendalian infeksi pada petugas,
misalnya dengan pemberian immunisasi.
7. Penempatan/isolasi klien
Diterapkan pada klien yang dicurigai menderita penyakit menular dengan
menempatkan klien disuatu ruangan tersendiri untuk meminimalkan
proses penularan pada orang lain.
8. Hygiene respirasi/etika batuk
Semua klien, pengunjung, dan petugas kesehatan perlu memperhatikan
kebersihan pernafasan dengan cara selalu menggunakan masker jika
berada di fasilitas pelayanan kesehatan. Saat batuk, sebaiknya menutup
mulut dan hidung dengan tangan atau tisu
9. Praktik menyuntik yang aman
Jarum yang digunakan untuk menyuntik sebaiknya jarum yang steril dan
sekali pakai pada setiap kali suntikan.
10. Praktik lumbal pungsi
Saat melakukan prosedur lumbal pungsi sebaiknya menggunakan masker
untuk mencegah transmisi droplet flora orofaring.
Kewaspadaan transmisi (Transmissions Based Precautions) adalah
kewaspadaan berdasarkan sumber infeksi : kontak, droplet, airbone,

5
kewaspadaan transmisi antara lain :
1. Contact Precautions
• Cuci tangan dengan bahan dasar alcohol atau sabun dengan air
• Gunakan Jubah ketika melakukan perawatan langsung
• Gunakan sarung tangan ketika melakukan perawatan langsung
2. Droplet Precautions
• Cuci tangan dengan bahan dasar alcohol atau sabun dengan air
• Gunakan Masker dan jaga jarak 2 meter dari pasien
• Gunakan pelindung mata dengan jarak 2 meter dari pasien
3. Airbone Precautions
• Cuci tangan dengan bahan dasar alcohol atau sabun dengan air
• Tutup pintu, buka jendela jika memungkinkan
• Gunakan masker N95 Ketika memasuki ruangan

B. Upaya Mencegah Hazard fisik-radiasi


Menurut Ridley (2008), sasaran pencegahan kecelakaan dan hazard
adalah mencegah terjadinya keecelakaan dan jika kecelakaan terjadi, maka
mencegahnya agar tidak terulang. Adapun prosedurnya adalah :
1. Mengidentifikasi bahaya
2. Menghilangkan bahaya
3. Mengurangi bahaya hingga seminim mungkin jika penghilangan bahaya
tidak dapat dilakukan
4. Melakukan penilaian resiko residual
5. Mengendalikan resiko residual
Bahaya fisik ialah bahaya yang berkaitan dengan peralatan seperti
bahaya listrik, temperature ekstrem, kelembaban, kebisingan, radiasi,
pencahayaan, getaran, dan lain-lain. Radiasi merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan hazard fisik.
Radiasi berasal dari sinal alfa, sinar beta, sinar gamma atau sinar-X,
pekerja yang beresiko yaitu radiographer dibagian radiologi disuatu rumah sakit,
operator pembangkit tenaga nuklir atau lainnya. Penggunaan radiasi untuk
diagnostik, terapi, dan penggunaan radiofarmaka untuk kedokteran

6
merupakan aplikasi teknik nuklir di bidang kesehatan Salah satu penerapan
teknologi nuklir dalam bidang kesehatan atau medik adalah pelayanan radiologi.
Unit Pelayanan Radiologi merupakan salah satu instalasi penunjang medik,
menggunakan sumber radiasi pengion (sinar-X) untuk mendiagnosis adanya
suatu penyakit dalam bentuk gambaran anatomi tubuh yang ditampilkan dalam
film radiografi.
Kegiatan radiologi harus memperhatikan aspek keselamatan kerja
radiasi. Sinar X merupakan jenis radiasi pengion yang dapat memberikan
manfaat (diagnosa) dengan radiasi suatu penyakit atau kelainan organ tubuh
dapat lebih awal dan lebih teliti dideteksi (Suyatno, 2008).
Beberapa efek merugikan yang muncul pada tubuh manusia karena
terpapar oleh sinar-X akan segera teramati tidak berselang lama dari penemuan
sinar-X. Efek merugikan itu berupa kerontokan rambut dan kerusakan kulit
(Ahmad & Abidin, 2013). Cedera Akibat Radiasi adalah kerusakan jaringan
akibat radiasi (penyinaran). Radiasi adalah gelombang atau partikel berenergi
tinggi yang berasal dari sumber alami atau sumber yang sengaja dibuat oleh
manusia. Cedera jaringan bisa terjadi akibat pemaparan singkat radiasi tingkat
tinggi atau pemaparan jangka panjang radiasi tingkat rendah. Beberapa efek
yang merugikan dari radiasi hanya berlangsung singkat, sedangkan efek lainnya
bisa menyebabkan penyakit menahun. Efek dini dari radiasi dosis tinggi akan
tampak jelas dalam waktu beberapa menit atau beberapa hari. Efek lanjut
mungkin baru tampak beberapa minggu, bulan atau bahkan bertahun- tahun
kemudian.
Mutasi (pergeseran) bahan genetik dari sel-sel organ kelamin akan
tampak jelas hanya jika korban pemaparan radiasi memiliki anak, dimana
anaknya mungkin terlahir dengan kelainan genetik (Supriyono, Rahim, & Murni,
2018).
Mengingat potensi bahaya radiasi yang besar dalam pemanfaatan sinar
X, faktor keselamatan merupakan hal yang penting sehingga dapat memperkecil
risiko akibat kerja di instalasi radiologi dan dampak radiasi terhadap pekerja
radiasi. Untuk mencegah hal tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan aspek
manajemen keselamatan radiasi dimana keselamatan radiasi

7
merupakan tindakan yang dilakukan untuk melindungi pasien, pekerja, dan
anggota masyarakat dari bahaya radiasi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2007 tentang
Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif, setiap orang
atau badan yang akan memanfaatkan tenaga nuklir seperti tenaga yang berasal
dari sumber radiasi pengion wajib memiliki izin pemanfaatan tenaga nuklir dan
memenuhi persyaratan keselamatan radiasi. Persyaratan keselamatan radiasi
meliputi :
1. persyaratan manajemen;
2. persyaratan proteksi radiasi;
3. persyaratan teknik; dan
4. verifikasi keselamatan yang bertujuan untuk mencapai keselamatan
pekerja dan anggota masyarakat.

C. Upaya Mencegah Hazard Kimia


Adapun hazard bahaya yang berpotensi cukup tinggi di rumah sakit, yaitu
hazard kimia. Hazard kimia adalah potensi bahaya kimia merupakan paparan
yang terjadi pada pekerja dengan berbagai macam bahan yang mengandung
racun dengan paparan terjadi dalam kondisi kerja normal yang berdampak pada
efek yang merugikan bahkan dapat menyebabkan kecelakaan kerja.
Hazard kimia adalah kecederaan akibat sentuhan dan terhirup bahan kimia.
Contohnya bahan-bahan kimia seperti asid, alkali, gas, pelarut, simen, getah
sintetik, pelekat antiseptic dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut berbahaya dan
perlu diambil langkah-langkah keselamatan apabila mengendalikannya.
Hazard kimia ini terdapat pada bahan-bahan kimia golongan berbahaya
dan beracun. Pengendalian yang harus dilakukan adalah dengan identifikasi
bahan-bahan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), pelabelan standar,
penyimpanan standar, penyiapan MSDS (Material Safety Data Sheet) atau
lembar data keselamatan bahan, penyiapan P3K, serta pelatihan teknis bagi
petugas pengelola B3. Selain itu pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan
melalui saluran air kotor yang akan masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL).

8
Hazard kimia, berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan yang sangat
luas dari yang ringan seperti bersin-bersin, kulit gatal sampai yang berat seperti
kelainan organ hati dan saraf, gagal ginjal atau cacat fungsi paru. Hal tersebut
sangat berisiko terhadap kesehatan sang pekerja, dan orang yang berada di
sekitarnya.
Berikut bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang meliputi :
1. Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk dekontaminasi
lingkungan dan peralatan di rumah sakit seperti; mengepel lantai, desinfeksi
peralatan dan permukaan peralatan dan ruangan, dan lain-lain.
2. Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan
mencuci permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone, dan lain-
lain.
3. Detergen yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan
peralatan lainnya.
4. Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi anatomi.
5. Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk
pengobatan pasien.
6. Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan
penunjang pengobatan pasien seperti oksigen, karbon dioxide, nitrogen,
nitrit oxide, nitrous oxide, dan lain-lain.
Adapun upaya yang dapat dilakukan agar mengurangi risiko hazard kimia di
rumah sakit antara lain :
1. Pengendalian bahan kimia dilakukan oleh Unit K3RS berkoordinasi
dengan seluruh satuan kerja. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah
pengadaan B3, penyimpanan, pelabelan, pengemasan ulang /repacking,
pemanfaatan dan pembuangan limbahnya.
2. Pengadaan bahan beracun dan berbahaya harus sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Indonesia. Penyedia B3 wajib menyertakan Lembar Data
Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet / MSDS), petugas yang
mengelola harus sudah mendapatkan pelatihan pengelolaan B3, serta
mempunyai prosedur penanganan tumpahan B3.

9
3. Penyimpanan B3 harus terpisah dengan bahan bukan B3, diletakkan diatas
palet atau didalam lemari B3, memiliki daftar B3 yang disimpan, tersedia
MSDS, safety shower, APD sesuai resiko bahaya dan Spill Kit untuk
menangani tumpahan B3 serta tersedia prosedur penanganan Kecelakaan
Kerja akibat B3.
4. Pelabelan dan pengemasan ulang harus dilakukan oleh satruan kerja yang
kompeten untuk memjamin kualitas B3 dan keakuratan serta standar
pelabelan. Dilarang melakukan pelabelan tanpa kewenangan yang
diberikan oleh pimpinan rumah sakit.
5. Pemanfaatan B3 oleh satuan kerja harus dipantau kadar paparan ke
lingkungan serta kondisi kesehatan pekerja. Pekerja pengelola B3 harus
memiliki pelatihan teknis pengelolaan B3, jika belum harus segera
diusulkan sesuai prosedur yang berlaku.
6. Pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan melalui saluran air kotor
yang akan masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Limbah B3
padat harus dibuang ke Tempat Pengumpulan Sementara Limbah B3 (TPS
B3), untuk selanjutnya diserahkan ke pihak pengolah limbah B3.

D. Upaya Mencegah Hazard Ergonomic

Perawat di negara berkembang memiliki sedikit pengetahuan prinsip


ergonomi di tempat kerja dan tidak dilatih untuk mencegah dan mengendalikan
bahaya kerja. Penelitian awal yang dilakukan di rumah sakit dr. H. Koesnadi
Bondowoso melibatkan 8 perawat menunjukkan bahwa 7 perawat belum pernah
mendapatkan pelatihan ergonomi di tempat kerja dan 5 perawat pernah
mengalami low back pain setelah bekerja. Pengetahuan ergonomi membantu
perawat menghindari faktor risiko tertentu yang berkontribusi pada gangguan
muskuloskeletal dan meningkatkan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.
Pengetahuan ergonomi memengaruhi sikap kerja saat melakukan tindakan
keperawatan. Salah satu tindakan keperawatan yang berisiko terhadap gangguan
muskuloskeletal adalah perawatan luka. Perawatan luka membutuhkan fokus dan
durasi waktu lama, bahkan sering dilakukan dengan sikap kerja tidak ergonomis.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan ergonomi
dan sikap kerja pada perawatan luka dengan keluhan gangguan muskuloskeletal

10
pada perawat di rumah sakit dr. H. Koesnadi Bondowoso.

Faktor lain yang berpengaruh pada keluhan gangguan muskuloskeletal


adalah masa kerja. Penelitian ini tidak menemukan hubungan jenis kelamin
dengan keluhan gangguan musculo-skeletal. Laki-laki dan perempuan memiliki
risiko sama untuk mengalami keluhan gangguan musculoskeletal hingga usia 60
tahun. Wanita lebih sering mengalami gangguan ini pada saat siklus menstruasi
dan karena proses menopause yang menyebabkan kepadatan tulang berkurang.
atas. Keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun.
Keluhan pertama biasanya
dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan
dengan bertambahnya umur, sehingga kekuatan dan ketahanan otot mulai
menurun sehingga risiko keluhan otot meningkat. Pengetahuan ergonomi, sikap
kerja, dan masa kerja mampu memprediksi risiko keluhan gangguan
muskuloskeletal pada perawat sebesar 41,07%. Jika pengetahuan ergonomi,
sikap kerja, dan masa kerja dikontrol dengan baik, maka risiko keluhan gangguan
muskuloskeletal dapat dikurangi. Pengetahuan keyakinan, dan sikap berperan
pada kecelakaan kerja. Perawat harus mendapatkan pelatihan teknik kerja yang
baik dalam mengatasi stres dan tekanan psikologis untuk mengurangi masalah
atau cedera terkait pekerjaan .
Pencengahan

a. Menyediakan posisi kerja atau duduk yang sesuai, meliputi sandaran,


kusri/ bangku dan tikar bantalan untuk berdiri.
b. Perbaikan kerja metode manual seperti mengangkat, mengangkut,
menarik, mendorong, menjinjing beban, atau bekerja halus dengan
mengunkan ibu jari atau telunjuk.
c. Desain workstation sehingga alat-alat mudah dijangkau dan bahu pada
posisi netral, rileks dan lengan lurus ke depan ketika bekerja.
d. Jika memungkinkan, pertimbangkan rotasi pekerjaan dan memberikan
istrirahat yang teratur dari pekerjaan intensif. Hal ini dapat
mempengaruhi risiko kram berulang dan tingkat kecelakaan dan
kesalahan.

BAB III

11
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesehatan Kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat
kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di
semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja yang
disebabkan oleh kondisi pekerjaan; perlindungan bagi pekerja dalam
pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan; dan
penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang
disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan psikologisnya.

B. Saran
Dianjurkan agar mengendalikan bahan kimia yang digunakan, pengadaan
bahan kimia sesuai dengan aturan yang berlaku, pemisahan bahan kimia B3
dengan yang tidak B3, melabelkan bahan kimia, pemantauan terhadap
lingkungan, dan pemilihan pembuangan bahan kimia. Tetap berhati- hati dalam
pemakaian bahan kimia karena hazard kimia di rumah sakit cukup tinggi dan
berisiko.

12
DAFTAR PUSTAKA

Julianna Simanjuntak, A. C. (2013, November). Penerapan Keselamatan Radiasi


pada Instalasi Radiologi di Rumah Sakit Khusus (RSK) Paru Provinsi
Sumatera Selatan Tahun 2013. Juenal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Agnes Ferusge, A. B. (2018, Desember). Faktor yang Mempengaruhi Tindakan
Keselamatan Radiasi Sinar-X di Unit Radiologi Rumah Sakit Putri Hijau
Medan. Journal of Borneo Holistic Health
Nurani, P. F., Wahyuni, I., & Jayanti, S. (2017). Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Stres Kerja pada Pekerja dengan Hazard Kimia di dalam Ruang
Terbatas di PT Z. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal)
Pertiwi, P., Nurhantari, Y., & Budihardjo, S. Hazard identification, risk assesment
and risk control serta penerapan risk mapping pada Rumah Sakit Hewan
Prof. Soeparwi Universitas Gadjah Mada. Berita Kedokteran Masyarakat
Purnama Dewi.A, M. Fais Satrianegara ,Fatmawaty Mallapiang.(2017). Gambaran
Faktor Psikososial Terhadap Kinerja Pada Petugas Kesehatan di Puskesmas
Kassi-Kassi Kota Makassar.

13

Anda mungkin juga menyukai