Oleh:
CINDI LARUNA OKTAVIANDI I4051191024
WIDYA ASTUTI WIBOWO I4051191025
ARINI HAYATI I4051191026
FATHUR MAHALI I4051191027
SURIYANI NENGSIH PERMATASARI I4051191028
SULIYEM I4052191005
PROYEK INOVASI
Disetujui Oleh :
Mengetahui,
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Diabetes Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan
ketiadaan absolut insulin atau penurunan relatif insensitivitas sel terhadap insulin
(Corwin, 2009). Saat ini angka pasien Diabetes Melitus bertambah banyak, WHO
memprediksi bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap Diabetes Melitus diatas
umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang di dunia dan dalam kurun waktu 25
tahun kemudian, pada tahun 2025 jumlah tersebut akan membengkak menjadi
300 juta orang. Di Indonesia di prediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada
tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Sudoyo, 2006).
Diabetes Melitus tipe II adalah intoleransi karbohidrat yang ditandai
dengan resistensi insulin, defisiensi relative (bukan absolut) insulin, kelebihan
produksi glukosa hepar dan hiperglikemia (Valentina, 2007). Saat ini angka
pasien Diabetes Melitus bertambah banyak, WHO memprediksi bahwa pada
tahun 2000 jumlah pengidap Diabetes Melitus diatas umur 20 tahun berjumlah
150 juta orang di dunia dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun
2025 jumlah tersebut akan membengkak menjadi 300 juta orang. Di Indonesia di
prediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar
21,3 juta pada tahun 2030 (Sudoyo, 2006). Data studi global menunjukkan bahwa
jumlah penderita Diabetes Melitus pada tahun 2012 telah mencapai 366 juta
orang. Jika tidak ada tindakan yang dilakukan, jumlah ini diperkirakan akan
meningkat menjadi 552 juta pada tahun 2030 (Indonesia Diabetes Federation,
2011).
Neuropati merupakan salah satu komplikasi jangka panjang dari Diabetes
Melitus pada pembuluh darah kecil (mikroangiopati). Neuropati terdiri dari
neuropati perifer, otonom, proximal, dan vokal. Neuropati dapat bersifat
polineuropati dan mononeuropati (Kohnle, 2008). Tingginya kadar glukosa darah
menyebabkan penebalan mikrovaskular sehingga akan terjadi iskemia dan
penurunan penyaluran oksigen ke jaringan, sehingga menyebabkan ketersediaan
oksigen ke jaringan berkurang. Hal tersebut menjadikan afinitas hemoglobin
meningkat terhadap oksigen sehingga jaringan teroksigenasi tidak adekuat.
Diabetes Melitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen sensorik dan
motorik divisi somatik dan otonom. Penyakit saraf yang di sebabkan Diabetes
Melitus di sebut neuropati diabetik (Corwin, 2009).
Gejala umum neuropati perifer meliputi distal parastesia, nyeri seperti
kesakitan atau terbakar atau seperti tertusuk, dan kaki terasa dingin (Kohnle,
2008). Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer, saraf-saraf cranial atau
sistem saraf otonom (Price, 2005). Tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan
mengontrol terjadinya neuropati diabetik pada pasien yang mengalami nyeri
adalah dengan cara terapi komplementari. Salah satu jenis komplementari terapi
yang dapat di gunakan adalah touch teraphy khususnya masase. Selain
pengendalian kadar glukosa darah dapat juga dilakukan masase pada daerah kaki
secara rutin sertiap hari (Black & Hawks, 2005).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mulyati (2012)
dengan judul penelitian Pengaruh Masase Kaki secara Manual Terhadap Sensasi
Proteksi Nyeri dan Ankle Brachial Index (ABI) pada Diabetes Melitus Tipe II Di
RSUD Curup Bengkulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masase kaki
secara manual dapat meningkatkan sensasi proteksi dan menurunkan nyeri pada
pasien Diabetes Melitus tipe II. Berdasarkan uraian diatas maka kelompok
tertarik untuk membuat inovasi dengan judul “PEMBERIAN MASASE KAKI
TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA PASIEN DENGAN DIABETES
MELITUS TIPE II DI KLINIK KITAMURA PONTIANAK”
2. Tujuan
Untuk mengetahui hasil Pemberian Masase Kaki Terhadap Penurunan Nyeri
Pada Pasien Diabetes Melitus tipe II di Klinik Kitamura Pontianak.
3. Manfaat
Menjadi referensi dalam meningkatkan pemberian pelayanan kesehatan
berkaitan dengan pasien dengan Diabetes Melitus tipe II.
B. LANDASAN TEORI
1. Diabetes Melitus
a. Definisi
Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan
klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka Diabetes
Melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial,
arterosklerotik, dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuropati (Price,
2005).
Diabetes Melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan
ketiadaan absolut insulin atau penurunan relatif insensitivitas sel terhadap
insulin. Hiperglikemia biasa disebabkan defisiensi insulin, seperti yang
dijumpai pada diabetes melitus tipe 1, atau karena penurunan responsivitas
sel terhadap insulin, seperti yang dijumpai pada diabetes melitus tipe 2
(Corwin, 2009).
Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit kronik yang kompleks yang
melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dan
berkembangnya komplikasi makrovaskular dan neurologis (Sujono &
Sukarmin, 2008).
b. Etiologi
Menurut Price (2005) penyebab Diabetes Melitus meliputi :
a. Diabetes Melitus tipe I adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara
genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap
perusakan imunologik sel-sel yang meproduksi insulin. Individu yang
peka secara genetik tampaknya memberikan respon terhadap kejadian-
kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi
autoantibodi terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan
berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Obat-obatan
tertentu yang diketahui dapat memicu penyakit autoimun lain juga dapat
memulai proses autoimun pada pasienpasien diabetes tipe I. Antibodi sel-
sel pulai langerhans memiliki presentase yang tinggi pada pasien dengan
Diabetes Melitus tipe I awitan baru dan memberikan bukti yang kuat
adanya mekanisme autoimun pada patogenesis penyakit.
b. Diabetes Melitus tipe II Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh
terbaik terdapat dalam Diabetes awitan dewasa muda (MODY), yaitu
subtipe penyakit Diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal
dominan. Diabetes Melitus tipe II ditandai dengan kelainan sekresi
insulin, serta kerja insulin. Kelainan ini dapat disebabkan oleh
berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya
responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin
intrinsik. Sekitar 80% pasien Diabetes Melitus tipe II mengalami obesitas,
karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin maka kelihatannya
akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan Diabetes tipe
II.
c. Patofisiologi
Pada Diabetes Melitus tipe I terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh
proses autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang
tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan
tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi
glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali
semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul
dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke
dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari
kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam
berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori.
Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. (Smeltzer, 2002). Rasa
lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai
energi. Aliran darah yang buruk pada pasien Diabetes kronis juga berperan
menyebabkan kelelahan (Corwin, 2009). Dalam keadaan normal insulin
mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan
glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan
substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan
terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan
hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang
mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk
samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang menggangu
keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis
yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri
abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak
ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian.
Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan
memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala
hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar
gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting (Smeltzer,
2002) Pada Diabetes Melitus tipe II sering kali memperlihatkan gejala yang
tidak spesifik sehingga dugaan dan pemeriksaan Diabetes tipe 2 mungkin
terlambat (Corwin, 2009).
Menurut Smeltzer (2002) terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.
Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin
pada Diabetes Melitus tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan
untuk mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat
peningkatan jumlah insulin yang disekresikan.
Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat
sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada
tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel
beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka
kadar glukosa akan meningkat dan terjadi Diabetes Melitus tipe II. Meskipun
terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas Diabetes Melitus
Melitus tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat
untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang
menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada Diabetes
Melitus tipe II. Meskipun demikian Diabetes Melitus tipe II yang tidak
terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan
Sindrom Hiperglikemik Hiperosmoler Nonketoik (HHNK). Diabetes Melitus
tipe II paling sering terjadi pada penderita Diabetes yang berusia lebih dari
30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat
(selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan Diabetes Melitus tipe II
dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut
sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria,
polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau
pandangan yang kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi). Untuk sebagian
besar pasien (kurang-lebih 75%), penyakit Diabetes Melitus tipe II yang
dideritanya ditemukan secara tidak sengaja (misalnya, pada saat pasien
menjalani pemeriksaan laboratorium yang rutin). Salah satu konsekuensi
tidak terdeteksinya penyakit Diabetes selama bertahun-tahun adalah bahwa
komplikasi Diabetes jangka panjang (misalnya, kelainan mata, neuropati
perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosis
ditegakkan. Pandangan kabur pada Diabetes Melitus disebabkan karena
komplikasi mikrovaskuler dimana terjadi perubahan pada
pembuluhpembuluh darah kecil di retina. Hal ini ditandai dengan adanya
penrunan ketajaman penglihatan atau pandangan kabur (Smeltzer, 2002).
Selain itu, komplikasi jangka panjang dari Diabetes Melitus adalah
gangguan penglihatan yang meliputi retinopati atau kerusakan pada retina
karena tidak mendapatkan oksigen (Corwin, 2009). Menurut Corwin (2009)
tingginya kadar glukosa darah menyebabkan penebalan mikrovaskular
sehingga akan terjadi iskemia dan penurunan penyaluran oksigen ke jaringan,
sehingga menyebabkan ketersediaan oksigen ke jaringan berkurang. Hal
tersebut menjadikan afinitas hemoglobin meningkat terhadap oksigen
sehingga jaringan teroksigenasi tidak adekuat. Diabetes Melitus merusak
sistem saraf perifer, termasuk komponen sensorik dan motorik divisi somatik
dan otonom. Penyakit saraf yang di sebabkan Diabetes Melitus di sebut
neuropati diabetik (Corwin, 2009). Gejala umum neuropati perifer meliputi
distal parastesia, nyeri seperti kesakitan atau terbakar atau seperti tertusuk,
dan kaki terasa dingin (Kohnle, 2008).
Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer, saraf-saraf cranial atau
sistem saraf otonom (Price, 2005). Komplikasi makrovaskular terutama
terjadi akibat aterosklerosis (Pengerasan arteri). Komplikasi makrovaskular
ikut berperan dan menyebabkan gangguan aliran darah, penyulit komplikasi
jangka panjang, dan peningkatan mortalitas. Kerusakan makrovaskular dapat
terjadi bahkan tanpa adanya Diabetes Melitus (kadar glukosa plasma kurang
dari 126 mg/100mL). Efek vaskular dari diabetes kronis antara lain adalah
penyakit arteri koroner, stroke, dan penyakit vascular perifer yang terjadi
akibat aterosklerosis (Corwin, 2009)
d. Manifestasi Klink
Menurut Price (2005) manifestasi klinik dari Diabetes Melitus antara lain :
a. Glukosuria : adanya kadar glukosa dalam urin.
b. Poliuri : sering kencing dan diuresis osmotik.
c. Polidipsi : banyak minum akibat dari pengeluaran cairan dan elektrolit
yang berlebih.
d. Polifagi : banyak makan akibat menurunnya simpanan kalori.
e. Penurunan berat badan secara drastis karena defisiensi insulin juga
mengganggu metabolisme protein dan lemak.
f. Kelelahan
g. Pandangan yang kabur
e. Komplikasi
Komplikasi Menurut Corwin (2009) komplikasi Diabetes Melitus tipe I dan
II dapat digolongkan menjadi komplikasi akut dan kronik yaitu :
a. Komplikasi akut
1) Ketoasidosis diabetik Komplikasi akut yang ditandai dengan
perburukan semua gejala Diabetes, ketoasidosis diabetik dapat terjadi
setelah stress fisik seperti kehamilan atau penyakit akut atau trauma.
Kadang-kadang ketoasidosis diabetik merupakan gejala adanya
Diabetes tipe I.
2) Koma nonketoktik hiperglikemia hiperosmolar Komplikasi akut yang
dijumpai pada pengidap Diabetes tipe II karena Diabetes tipe II dapat
mengalami hipergikemia berat dengan kadar glukosa darah lebih dari
300mg/dl. Biasanya dijumpai pada lansia pengidap Diabetes setelah
mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat.
3) Efek somogyi Komplikasi akut yang ditandai dengan penurunan unik
kadar glukosa darah di malam hari, kemudian dipagi hari kadar glukosa
kembali meningkat diikuti peningkatan rebound pada paginya. Efek
somogyi banyak dijumpai pada anak-anak
4) Fenomena fajar Hiperglikemia pada pagi hari (antara jam 5 dan 9 pagi)
tampaknya disebabkan oleh peningkatan sirkadian kadar glukosa pada
pagi hari.
5) Hipoglikemia Pengidap Diabetes tipe I dapat mengalami komplikasi
akibat hipoglikemia setelah injeksi insulin. Gejala yang mungkin terjadi
adalah hilangnya kesadaran.
b. Komplikasi jangka panjang
1) Sistem kardiovaskuler Terjadinya kerusakan mikrovaskuler di arteriol
kecil, kapiler, venula. Kerusakan makrovaskuler terjadi di arteri besar
dan sedang. Semua organ dan jaringan ditubuh akan terkena akibat dari
gangguan mikro dan makrovaskuler ini.
2) Gangguan penglihatan Meliputi renopati, atau kerusakan pada retina
karena tidak mendapatkan oksigen.
3) Kerusakan ginjal Kerusakan kapiler glomelurus akibat hipertensi dan
glukosa plasma yang tinggi menyebabkan penebalan membran basal
dan pelebaran glomelurus. Lesi-lesi sklerotik nodular, yang disebut
nodul Kimmelstiel-Wilson, terbentuk di 18 glomelurus sehingga
semakin menghambat aliran darah dan akibatnya merusak nefron.
4) Sistem saraf perifer Diabetes Melitus merusak sistem saraf perifer,
termasuk komponen sensorik dan motorik divisis somatik dan otonom.
Penyakit saraf yang disebabkan Diabetes Melitus disebut neuropati
diabetik. Neuropati diabetik disebabkan hipoksia kronis sel-sel saraf
yang kronis serta efek dari hiperglikemi, termasuk hiperglikolosiasi
protein yang menyebabkan fungsi saraf.
5) Ulkus/ gangren/ kaki diabetik
2. Nyeri
a. Definisi
Menurut Andarmoyo (2013) dalam Asosiasi Internasional mendefisikan
nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual, potensial,
atau yang dirasakan dalam kejadiankejadian saat terjadi kerusakan. Nyeri
merupakan pengalaman pribadi, subjektif, yang dipengaruhi oleh budaya,
persepsi seseorang, perhatian, dan variabelvariabel psikologis lain, yang
mengganggu perilaku berkelanjutan dan memotivasi setiap orang untuk
menghentikan rasa tersebut (Andarmoyo, 2013).
b. Klasifikasi
Klasifikasi nyeri menurut Andarmoyo (2013) meliputi :
a. Klasifikasi nyeri berdasarkan durasi Nyeri dapat diklasifikasikan
berdasarkan durasinya dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik.
1) Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau
intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang
bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat. Nyeri
akut berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan. Nyeri akut akan
berhenti dengan sendirinya (selflimiting) dan akhirnya menghilang dengan
atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang terjadi
kerusakan. Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari enam bulan), memiliki
omset yang tiba-tiba, dan terlokalisasi. Nyeri ini biasanya disebabkan trauma
bedah atau inflamasi. Kebanyakan orang pernah mengalami nyeri jenis ini,
seperti pada saat sakit kepala, sakit gigi, terbakar, tertusuk duri, pasca
persalinan, pasca pembedahan, dan lain sebagainya. Nyeri akut terkadang
disertai oleh aktivasi sistem saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-
gejala seperti peningkatan respirasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan
denyut jantung, diaphoresis, dan dilatasi pupil. Secara verbal pasien yang
mengalami nyeri akan melaporkan adanya ketidaknyamanan berkaitamn
dengan nyeri yang dirasakannya. Pasien yang mengalami nyeri akut biasanya
juga akan memperlihatkan respons emosi dan perilaku seperti menangis,
mengerang kesakitan, mengerutkan wajah.
2) Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
suatu periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas yang
bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri kronik
dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit
untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respons terhadap
pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis adalah
pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan, akibat kerusakan
jaringan actual dan potensial atau digambarkan dengan istilah kerusakan
(international Association for the study of pain); awitan yang tiba-tiba atau
perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat
diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya lebih dari enam bulan
(NANDA, 2011).
c. Penatalaksanaan Nyeri
Menurut Smeltzer (2002) penatalaksanaan nyeri meliputi :
a. Intervensi Farmakologis
Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis
dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberi perawatan
utama lainnya dan pasien. Obat-obat tertentu untuk penatalaksanaan
nyeri mungkin di resepkan atau kateter epidural dipasang untuk
memberikan dosis awal. Namun demikian, adalah perawat yang
mempertahankan analgesia, mengkaji keefektifannnya, dan
melaporkan jika intervensi tersebut tidak efektif atau menimbulkan
efek samping. Penatalaksanaan nyeri memerlukan kolaborasi erat dan
komunikasi yang efektif diantara pemberi perawatan kesehatan.
b. Tindakan Non Farmakologis
1) Stimulasi dan masase kutaneus Masase adalah stimulasi kutaneus
tubuh secara umum, masase dapat membuat pasien lebih nyaman
karena masase dapat membuat relaksasi otot.
2) Terapi es dan panas Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi
strategi pereda nyeri yang efektif pada beberapa keadaan, namun
begitu, ketidakefektifannya dan mekanisme kerjanya memerlukan
study lebih lanjut. Di duga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan
menstimulasi reseptor tidak nyeri (nonnosiseptor) dalam bidang
reseptor yang sama seperti cidera.
3) Stimulasi saraf elektris transkutan Stimulasi saraf elektris
transkutan (TENS) menggunakan unit yang dijalankan oleh batterai
dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan
sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung pada area nyeri.
TENS telah digunakan baik pada menghilangkan nyeri akut atau
kronik.
4) Distraksi Distraksi merupakan teknik memfokuskan pasien pada
sesuatu selain pada nyeri, dapat menjadi strategi yang sangat berhasil
dan mungkin merupakan mekanisme yang bertanggung jawab
terhadap tekhnik kognitif efektif lainnya
5) Teknik relaksasi Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat
menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang
menunjang nyeri. Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas nafas
abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat
memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman.
Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam
hati dan lambat bersama setiap inhalasi (“hirup, dua, tiga”) dan
ekhalasi (hembuskan, dua, tiga).
6) Imajinasi terbimbing Imajinasi terbimbing adalah menggunakan
imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus
untuk mencapai efek positif tertentu.
3. Massage
a. Definisi
Masase merupakan salah satu seni penyembuhan yang tertua.
Hipocrates telah membuat tulisan yang merekomendasikan penggunaan jenis
masase rubbing dan friction untuk masalah sendi dan sirkulasi. Masase
merupakan tehnik manipulasi pada jaringan lunak tubuh, umumnya di lakukan
untuk mengurangi stress dan kelelahan dan memperbaiki sirkulasi (Associated
Bodywork & masase professional, 2007).
b. Tujuan
Tujuan masase menurut Kusyati dkk (2006) meliputi :
c. Klasifikasi
Menurut Prihatin (2013) dalam perkembangannya, masase dapat
dibedakan menjadi beberapa macam, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Sport masase
Sport masase adalah masase yang khusus diberikan kepada orang yang sehat
badannya, terutama olahragawan karena pelaksanannya memerlukan terbukanya
hampir seluruh tubuh.
b. Segment masase
c. Cosmetic masase
Cosmetic masase adalah masase yang khusus ditujukan untuk memelihara serta
meningkatkan kecantikan muka serta keindahantubuh berserta bagian-
bagiannya.
d. Masase yang lain seperti; shiatshu, refleksi, tsubo, dan erotic masase.
e. Macam-macam manipulasi dalam masase dan pengaruhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Cohen, M., et al. 1991. Maternal, neonatal and women’s health nursing. Apennsylvania.
Sringhouse Company.
Corwin, J.E. (2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta : EGC.
International diabetes Federation. 2011. Diabetes Evidence Demands real action From
The Un summit On non-communicable Diseases. http:// www.idf.org / diabetes-
evidence- demands-real-action-un- summit-non-communicablediseases Diakses
tanggal 13 April 2014.
Kusyati, Eni, dkk. (2006). Ketrampilan dan Prosedure Laboratorium. Jakarta : EGC.
Laksmi, dkk. (2012). “Pengaruh Foot Massage Terhadap Ankle Brachial Index (ABI)
Pada Pasien DM Tipe 2 Di Puskesmas II Denpasar Barat Tahun 2012”. Skripsi
Universitas Udayana Fakultas Kedokteran Program Studi Ilmu Keperawatan.
Mulyati, Leli. (2012). “Pengaruh Masase Kaki secara Manual Terhadap Sensasi Proteksi,
Nyeri, dan Ankle Brachial Index (ABI) pada Diabetes Melitus Tipe II Di RSUD
Curup Bengkulu tahun 2012”. Skripsi Akademi Kesehatan Sapta Bakti Bengkulu
Program Studi Ilmu Keperawatan.
Price & Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC. Prihatin,
Sudoyo. (2006). Buku Ajar Penyakit Ilmu dalam (edisi 3). Jakarta : pusat Penerbit
Departemen penyakit Dalam FKUI.