Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan kebudayaan yang terjadi dijaman sekarang banyak


membawa perubahan kehidupan manusia. Perubahan kehidupan individu baik yang
sifatnya positif atau negatif dapat mempengaruhi keseimbangan fisik, mental, dan
sosial atau status kesehatan seseorang. Apalagi perkembangan teknologi yang
segalanya bersifat instan, seperti pesan makan atau pakaian secara online, tiap
individu pasti memiliki Handphone yang dapat mengakses apapun bahkan sekarang
ada alat tranportasi secara online pula. Ketika sesorang tidak mampu beradaptasi
dengan baik terhadap jaman edan ini maka keadaan ini sangat besar pengaruhnya
terhadap kesehatan jiwa seseorang yang berarti akan meningkatkan gangguan jiwa.
Salah satu gangguan jiwa yang menjadi masalah utama di Negara negara
berkembang adalah skizofrenia. World Health Organization (WHO) dalam Anitri
(2010 : 77) mengatakan bahwa skizofrenia termasuk jenis psikosis yang menempati
urutan atas dari seluruh gangguan jiwa yang ada. Gangguan jiwa merupakan bentuk
gangguan dalam fungsi alam pikiran berupa disorganisasi (kekacauan) dalam isi
pikiran yang ditandai antara lain oleh gejala gangguan pemahaman (waham)
gangguan persepsi berupa halusinasi atau ilusi serta dijumpai daya nilai realitas
terganggu yang ditunjukkan dengan perilaku-perilaku aneh (bizzare).
Menurut Dr Eka Viora SpKJ, Direktur Bina Kesehatan Jiwa, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, mengatakan dari data Riskesdas 2013, prevalensi
gangguan jiwa berat (termasuk skizofrenia) mencapai 1,7 per mil atau 1-2 orang dari
1.000 warga di Indonesia mengalami gangguan kejiwaan berat. Dari jumlah tersebut
sebagian besar belum mendapat pengobatan yang tepat, sehingga mengakibatkan
kondisi ODS (Orang Dengan Skizofrenia) masih sulit diterima kembali di
masyarakat .
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis dan selalu
mengalami kekambuhan. Porkony dkk (1993), melaporkan bahwa 49% klien
Skizofrenia mengalami rawat ulang setelah follow up selama 1 tahun, sedangkan
klien non skizofrenia hanya 28%.  Solomon dkk (1994), melaporkan bahwa dalam
waktu 6 bulan pasca rawat didapatkan 30%-40% klien mengalami kekambuhan,

1
sedangkan setelah 1 tahun pasca rawat 40%-50% klien mengalami kekambuhan,
dari setelah 3-5 tahun pasca rawat didapatkan 65%-75% klien mengalami
kekambuhan.

Kekambuhan (relaps) adalah kondisi pemunculan kembali tanda dan gejala


suatu penyakit setelah mereda. Sekitar 33% klien skizofrenia mengalami
kekambuhan dan sekitar 12,1% kembali mengalami rawat inap. Penyakit
skizofrenia cenderung menjadi kronis, sekitar 20 hingga 40% belum menunjukan
hasil yang memuaskan. Beberapa factor yang mempengaruhi kekambuhan antara
lain ekspresi emosi keluarga, pengetahuan keluarga, ketersediaan pelayanan
kesehatan, dan kepatuhan berobat. (Fadli dan Mitra, 2013)

B. Permasalahan
Dipaparkan bahwa angka kejadian gangguan jiwa yang dirawat di RSJD Dr.
Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015 sebanyak 4062 klien
dan periode Januari sampai dengan Juni tahun 2016 ada 1969 klien (data Rekam
Medik RSJD dr. Amino Gondohutomo Semarang tahun Juni 2016). Pada Januari
sampai Juni tahun 2016 ada klien gangguan jiwa yang dirawat inap kembali
(readmission) sebanyak 89 klien. Dengan Standar Operasional Prosedur dikatakan
readmission ketika klien rawat inap kembali kurang dari 30 hari sejak klien pulang
dari RSJ.
Berikut adalah data klien readmission periode Januari – Juni 2016 di RSJD
Dr Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah.

Tabel 1

Data Klien Readmission Periode Januari – Juni 2016


Di RSJD Dr Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah
No Bulan Jumlah Klien Jumlah Klien
Readmission Klien Masuk
1 Januari 8 351
2 Februari 20 310
3 Maret 14 349
4 April 13 339
5 Mei 12 358
6 Juni 12 262
Jumlah 89 1.969

2
Berdasarkan data diatas, masih ada 89 klien readmission dari jumlah
keseluruhan klien yang masuk sejumlah 1.969 atau sekitar 0,45%. Sedangkan dari
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit disebutkan angka klien
readmission adalah 0 %. Sehingga dengan angka yang relative tinggi dan tiap bulan
pasti selalu ada penulis tertarik mengangkat masalah readmission klien gangguan
jiwa di RSJD Dr Amino Gondohutomo.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kekambuhan
Kekambuhan adalah suatu keadaan dimana timbulnya kembali suatu
penyakit yang sudah sembuh dan disebabkan oleh berbagai macam faktor
penyebab. Pencegahan kekambuhan adalah mencegah terjadinya peristiwa
timbulnya kembali gejala-gejala yang sebelumnya sudah memperoleh kemajuan.
Pada gangguan jiwa kronis diperkirakan mengalami kekambuhan 50% pada
tahun pertama, dan 79% pada tahun kedua.
Kekambuhan pada klien gangguan jiwa belum tentu akan rawat inap
kembali di RSJ. Pada makalah ini kami paparkan kekambuhan dengan dirawat
inap kembali di RSJ atau dengan sebutan readmission. Readmission adalah
timbulnya gejala gangguan jiwa akibat beberapa faktor dan keluarga tidak
sanggup untuk memberikan perawatan sehingga harus rawat inap kembali
sebelum 30 hari sejak klien pulang dari rawat inap.

B. Gejala Kekambuhan
Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh klien dan
keluarganya ( Yosep, 2007) yaitu :
1. Menjadi ragu ragu dan serba takut (nervous)
2. Tidak ada nafsu makan.
3. Sukar konsentrasi
4. Sukar tidur.
5. Depresi.
6. Tidak ada minat.
7. Menarik diri.

C. Penyebab Kekambuhan
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kekambuhan  pada klien
gangguan jiwa menurut Keliat, 1996 adalah :

4
1. Faktor klien.
Klien yang tidak teratur dalam meminum obat dapat menyebabkan
kekambuhan gangguan jiwa. Menurut penelitian, 25%-50% klien yang
pulang dari rumah sakit jiwa tidak meminum obat secara teratur. Klien
kronis, khususnya skizofrenia sukar mengikuti aturan minum obat karena
adanya gangguan realitas dan ketidakmampuan mengambil keputusan. Di
rumah sakit perawat bertanggung jawab dalam pemberian atau pemantauan
obat, di rumah tugas perawat digantikan oleh keluarga.
2. Faktor dokter.
Pemakaian obat secara teratur dapat mengurungi kekambuhan, tetapi
pemakaian obat neuroleptik dalam jangka lama dapat menyebabkan efek
samping berupa tardive diskinesia (gerakan tidak terkontrol) yang dapat
mengganggu hubungan sosial.
3. Faktor penanggung jawab klien
Setelah klien pulang kerumah setelah dirawat di rumah sakit, maka perawat
puskesmas bertanggung jawab terhadap adaptasi klien dirumah, sehingga
dapat mengindentifikasi gejala dini dan segera mengambil tindakan.
4. Faktor keluarga.
Menurut penelitian (di Inggris dan Amerika),  keluarga dengan ekspresi
emosi yang tinggi seperti bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak
menekan dan menyalahkan, menyebabkan 57% klien kembali kambuh
dalam waktu 9 bulan. Sebaliknya keluarga dengan ekspresi emosi yang
rendah, hanya 17% klien yang kambuh. Selain itu faktor yang berpengaruh
juga adalah perubahan stres, baik yang menyenangkan maupun yang
menyedihkan.
5. Faktor masyarakat.
Faktor masyarakat lebih banyak berkaitan dengan stigma negatif yang tertuju
kepada klien gangguan kejiwaan. Klien dijuluki orang gila atau stres,
dianggap membahayakan, menakutkan, dan menjadi bahan olok-olokan.
Semua stigma itu, justru mempersempit kehidupan sosial mereka yang
semestinya dibantu dan diperbaiki. Mereka menjadi sulit mendapat
pekerjaan, merasa malu bergaul, takut salah, dan merasa tidak berguna.
Menurut Murphy,MF& Moller, MD (1993), faktor resiko lingkungan yang
menyebabkan kekambuhan klien gangguan jiwa adalah :

5
a. Kesulitan keuangan.
b. Perubahan yang menimbulkan stress dengan peristiwa kehidupan.
c. Ketrampilan kerja yang buruk.
d. Tidak memiliki transportasi.
e. Ketrampilan sosial yang buruk, isolasi, social, dan kesepian.
f. Kesulitan interpersonal.

D. Dampak Kekambuhan
Dampak gangguan jiwa bagi keluarga sangat besar, apalagi ada beberapa
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Dampak dari anggota yang
menderita gangguan jiwa bagi keluarga diantaranya keluarga belum terbiasa
dengan adanya gangguan jiwa. Dampak-dampak gangguan jiwa bagi keluarga,
seperti :
1. Penolakan
Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang menderita
gangguan jiwa, pihak anggota keluarga lain menolak klien tersebut dan
menyakini memiliki penyakit berkelanjutan. Selama episode akut anggota
keluarga akan khawatir dengan apa yang terjadi pada mereka cintai. Pada
proses awal, keluarga akan melindungi orang yang sakit dari orang lain dan
menyalahkan dan merendahkan orang yang sakit untuk perilaku tidak dapat
diterima dan kurangnya prestasi. Sikap ini mengarah pada ketegangan
dalam keluarga, dan isolasi dan kehilangan hubungan yang bermakna
dengan keluarga yang tidak mendukung orang yang sakit.
Tanpa informasi untuk membantu keluarga belajar untuk mengatasi
penyakit mental, keluarga dapat menjadi sangat pesimis tentang masa
depan. Sangat penting bahwa keluarga menemukan sumber informasi yang
membantu mereka untuk memahami bagaimana penyakit itu mempengaruhi
orang tersebut. Mereka perlu tahu bahwa dengan pengobatan, psikoterapi
atau kombinasi keduanya, mayoritas orang kembali ke gaya kehidupan
normal.
2. Stigma
Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua dalam
anggota keluarga mengetahuinya. Keluarga menganggap klien tidak dapat
berkomunikasi layaknya orang normal lainnya. Menyebabkan beberapa

6
keluarga merasa tidak nyaman untuk mengundang klien dalam kegiatan
tertentu. Hasil stigma dalam begitu banyak di kehidupan sehari-hari, Tidak
mengherankan, semua ini dapat mengakibatkan penarikan dari aktif
berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari.
3. Frustrasi, Tidak berdaya dan Kecemasan
Sulit bagi siapa saja untuk menangani dengan pemikiran aneh dan
tingkah laku aneh dan tak terduga. Hal ini membingungkan, menakutkan dan
melelahkan. Bahkan ketika orang itu stabil pada obat, apatis dan kurangnya
motivasi bisa membuat frustasi. Anggota keluarga memahami kesulitan yang
klien miliki. keluarga dapat menjadi marah marah, cemas, dan frustasi
karena berjuang untuk mendapatkan kembali ke rutinitas yang sebelumnya
klien lakukan.
4. Kelelahan
Seringkali keluarga menjadi putus asa berhadapan dengan orang yang
dicintai yang memiliki penyakit mental.Mereka mungkin mulai merasa tidak
mampu mengatasi dengan hidup dengan orang yang sakit yang harus terus-
menerus dirawat. Namun seringkali, mereka merasa terjebak dan lelah oleh
tekanan dari perjuangan sehari-hari, terutama jika hanya ada satu anggota
keluarga mungkin merasa benar-benar di luar kendali. Hal ini bisa terjadi
karena orang yang sakit ini tidak memiliki batas yang ditetapkan di tingkah
lakunya. Keluarga dalam hal ini perlu dijelaskan kembali bahwa dalam
merawat klien tidak boleh merasa letih, karena dukungan keluarga tidak
boleh berhenti untuk selalu men-support klien.
5. Duka
Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai memiliki
penyakit mental. Penyakit ini mengganggu kemampuan seseorang untuk
berfungsi dan berpartisipasi dalam kegiatan normal dari kehidupan sehari-
hari, dan penurunan yang dapat terus-menerus. Keluarga dapat menerima
kenyataan penyakit yang dapat diobati, tetapi tidak dapat disembuhkan.
Keluarga berduka ketika orang yang dicintai sulit untuk disembuhkan dan
melihat klien memiliki potensi berkurang secara substansial bukan sebagai
yang memiliki potensi berubah.

7
6. Kebutuhan Pribadi dan Mengembangkan Sumber Daya Pribadi
Jika anggota keluarga memburuk akibat stress dan terlalu banyak
pekerjaan, dapat menghasilkan anggota keluarga yang sakit tidak memiliki
sistem pendukung yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, keluarga harus
diingatkan bahwa mereka harus menjaga diri secara fisik, mental dan
spiritual yang sehat. Memang ini bisa sangat sulit ketika menghadapi
anggota keluarga yang sakit mereka. Namun, dapat menjadi bantuan yang
luar biasa bagi keluarga untuk menyadari bahwa kebutuhan mereka tidak
boleh diabaikan.

8
BAB III
PEMBAHASAN

Kekambuhan pada klien Skizofrenia merugikan dan membahayakan klien,


keluarga, dan masyarakat. Ketika tanda-tanda kekambuhan muncul, klien bisa saja
berperilaku menyimpang seperti mengamuk, bertindak kekerasan seperti menghancurkan
barang-barang atau yang lebih parah lagi klien akan melukai bahkan membunuh orang
lain atau dirinya sendiri. Jika hal itu terjadi masyarakat akan menganggap bahwa
gangguan yang diderita klien tersebut sudah tidak bisa disembuhkan lagi. Keluarga pun
akan dirugikan dari segi materi karena jika klien kembali menjalani rawat inap di Rumah
Sakit Jiwa maka akan banyak biaya yang harus mereka keluarkan untuk pengobatan
(Amelia, 2013).

Pada gangguan jiwa kronis diperkirakan mengalami kekambuhan 50% pada tahun
pertama, dan 70% pada tahun kedua (Yosep, 2006). Sedangkan readmission adalah klien
yang rawat inap ulang dalam jangka waktu kurang dari 30 hari sejak klien pulang dari
rumah sakit. (Standar Pelayanan Minimal RSJD Dr Amino Gondohutomo Provinsi Jawa
Tengah).

Menurut Tomb (2004), gejala-gejala kekambuhan pada Skizofrenia cenderung tumpang


tindih, dan diagnosis dapat berpindah dari satu subtipe seiring berjalannya waktu (baik
dalam satu episode atau dalam episode berikutnya). Sehingga faktor penyebab
kekambuhan pada gangguan Skizofrenia sifatnya cenderung menyeluruh tidak mengacu
pada subtipe tertentu. Sedangkan menurut Ingram dkk (1993), Skizofrenia memerlukan
rehabilitasi intensif, sosial, industrial, tetapi jumlah rangsangan harus cocok dengan
kebutuhan individu. Rangsangan yang berlebihan telah terbukti menyebabkan
kekambuhan, sedangkan rangsangan yang terlalu kecil terbukti meneruskan penarikan
diri dan kronisitas.

Berdasarkan wawancara dan observasi dengan keluarga, tenaga kesehatan rumah


sakit baik dokter maupun perawat, beberapa penyebab readmission adalah adanya
stressor atau tekanan peristiwa kehidupan, kurangnya peran serta atau partisipasi
keluarga dalam merawat klien, klien yang bosan dan tidak mau minum obat setelah
dirumah, jarak yang jauh untuk mengambil obat atau kontrol, petugas rumah sakit dalam

9
memberikan edukasi dan perawatan lanjutan tidak diinformasikan pada keluarga serta
kurang maksimalnya tenaga kesehatan sebagai pendamping dari puskesmas.

Menurut Keliat (1996), keluarga perlu mempunyai pengetahuan untuk


mengantisipasi masalah yang mungkin terjadi di rumah. Keluarga perlu mempunyai
pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang cara merawat anggotanya, memberikan
obat dengan benar, dan mengetahui tanda tanda kekambuhan. Pengetahuan keluarga
tentang tanda dan gejala kekambuhan sangat penting karena setelah klien pulang dari
rumah sakit, tugas perawat digantikan oleh keluarga yang ada dirumah.

Edukasi yang tepat oleh perawat selama perawatan berlangsung, akan sangat
bermanfaat untuk perawatan lanjutan klien di rumah. Keluarga akan mempu memahami
dan mengimplementasikan jika masalah gangguan jiwa pada anggota akan kambuh.
Informasi yang tepat akan menghilangkan saling menyalahkan satu sama lain,
memberikan pegangan untuk dapat berharap secara realitas dan membantu keluarga
mengerahkan sumber daya yang mereka miliki pada usaha-usaha yang produktif.

Keluarga perlu mempunyai sikap positif untuk mencegah kekambuhan yaitu sikap
menerima klien, memberikan respon positif pada klien, mengharga klien, dan
menumbuhkan rasa tanggung jawab klien. Sikap negative keluarga akan berpengaruh
terhadap kekambuhan klien. Keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan,
mengkritik, mengejek, mengucilkan, dan banyak melibatkan diri dengan klien)
diperkirakan akan menjadi faktor pencetus kekambuhan (Keliat, 1996).

Keluarga perlu membantu klien bersosialisasi kembali, menciptakan kondisi


lingkungan keluarga yang suportif, menghargai klien secara pribadi, membantu
pemecahan masalah klien. Tindakan keluarga yang sangat penting adalah setelah klien
pulang dari rumah sakit, keluarga menemani saat klien melakukan perawatan lanjutan ke
puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan terdekat, dan keluarga harus mampu
menumbuhkan sikap mandiri dalam diri klien.

Peran masyarakat dalam mengurangi angka kekambuhan (readmission)


adalah mendorong sumber daya yang ada dalam masyarakat agar penduduknya
dapat secara mandiri mengatasi masalah kesehatan jiwa. Salah satu cara untuk
mencapai itu adalah dengan dibentuknya Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ).

10
DSSJ mempunyai tujuan terwujudnyaj masyarakat desa yang sehat, peduli,   dan
tanggap terhadap permasalahan kesehatan jiwa di wilayah desanya. Selain itu
keluarga atau masyarakat akan mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk
menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan jiwa. Diharapkan adanya DSSJ
adanya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat untuk mencapai
masyarakat sehat jiwa melalui pengembangan program Community Mental Health
Nursing (CMHN) dan pembentukan kader kesehatan jiwa.

11
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Readmission atau kekambuhan dengan berakibat klien dirawat ulang ke
rumah sakit sebelum 30 hari sejak pulang rawat inap memiliki banyak factor. Baik
dari klien, keluarga, lingkungan dimana klien tinggal atau dari petugas kesehatan
baik yang di rumah sakit atau Puskesmas. Klien malas atau menolak minum obat,
keluarga klien tidak mau merawat karena adanya kegiatan lain yang tidak bisa
ditinggal, masyarakat masih memiliki stigma klien gangguan jiwa tidak berguna dan
meresahkan lingkungan, petugas dalam memberikan edukasi dan perawatan lanjutan
tidak diinformasikan pada keluarga.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis dapat memberikan saran untuk
menurunkan ataupun mengurangi readmission klien dengan gangguan jiwa, antara
lain :
1. Peningkatan partisipasi keluarga dalam merawat klien sehingga keluarga
mampu untuk merawat anggota keluarganya yang sakit, mengenali tanda tanda
kekambuhan, mengetahui cara pemberian obat, dosis obat maupun efek
samping obat.
2. Dukungan masyarakat yang positif sehingga klien merasa berguna
dilingkungannya dan dapat meningkatkan harga diri klien.
3. Peningkatan kegiatan edukasi oleh pemberi asuhan kepada klien dan keluarga
sehingga keluarga mampu memahami dan mengimplementasikan perawatan
lanjut setelah klien pulang dari rumah sakit.
4. Kerjasama dengan dinas kesehatan kota/kabupaten untuk memperluas
pembentukan dan memperkuat Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) diwilayahnya
masing-masing sehingga dapat menghasilkan kader kader kesehatan jiwa yang
mampu mengatasi masalah kesehatan jiwa secara mandiri.

12
Penulis mengangkat tema ini disebabkan karena kurang puasnya penulis dalam
memberikan asuhan pelayanan dan perawatan sehingga indikator pelayanan

Berikut ini saya sampaikan analisa terhadap permasalahan yang ada yaitu readmission
pada klien dengan gangguan jiwa melalui analisa Strength, Weaknesses, Opurtunity dan
Threats (SWOT)

1. Strenght

Ada SPO Pelayanan keperawatan


Sudah ada tim indicator mutu
Adanya Pelatihan
2. Weaknesses
Kurang keterampilan dalam implementasi SPO Eduksi
Kurang pengetahuan keluarga dalam merawat klien
Kurang pelatihan
Tim Kesehatan dan Promosi Rumah sakit kurang melibatkan keluarga dalam
perawatan dan pelayanan
Belum ada pendidikan kesehatan di rawat inap
3. Opurtinity
Kerjasama dengan Dinas Kesehatan Fasilitas kesehatan kabupatenKota
Adanya pelatihan gratis
Ada family gahtering
4. Threats
Tidak ada reward dari pemprov jika angka readmission terkontrol
Peranserta/partisipasi keluarga keluarga yang masih kurang

analisa terhadap masalah, penyebab pemecahan dan kondisi ideal, rekomendasi


berdasarkan teori yang diperoleh

13

Anda mungkin juga menyukai