Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan
penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa
diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak
(American Heart Association,2010).
Amerika Serikat, mengklaim sebuah 325.000 kematian setiap
tahun. SCA membunuh 1.000 orang per hari atau satu orang setiap dua
menit. Dan paling sering terjadi pada pasien dengan penyakit jantung,
terutama mereka yang telah gagal jantung kongestif.Sebanyak 75 persen
orang yang meninggal karena tanda-tanda menunjukkan SCA serangan
jantung sebelumnya. Delapan puluh persen memiliki tanda-tanda penyakit
arteri koroner. SCA dicatat 10.460 (75,4 persen) dari seluruh 13.873
kematian penyakit jantung pada orang berusia 35-44 tahun, dan proporsi
penangkapan jantung yang terjadi out-of-rumah sakit meningkat dengan
usia, dari 5,8 persen pada orang usia 0-4 tahun 61,0 persen pada orang usia
lebih dari 85 years.Orang yang memiliki penyakit jantung akan
meningkatkan risiko untuk SCA. Namun, kebanyakan SCA terjadi pada
orang yang tampak sehat dan tidak memiliki penyakit jantung atau faktor
risiko lain untuk SCA.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa Pengertian Cardiac Arrest?
2. Apa Penyebab atau Etiologi Cardiac Arrest ?
3. Tanda dan Gejala Cardiac Arrest?
4. Bagaimana Patofisiologi Cardiac Arrest?
5. Apa saja komplikasi Cardiac Arrest?
6. Bagaimana penatalaksanaan Cardiac Arrest?
7. Apa sajakah pemeriksaan diagnostik yang dilakukan?
1.3 TUJUAN
2

1. Untuk mengetahui Pengertian Cardiac Arrest


2. Untuk mengetahui Penyebab atau Etiologi dari Cardiac Arrest
3. Untuk mengetahui Tanda dan Gejala Cardiac Arrest
4. Untuk mengetahui Patofisiologi Cardiac Arrest
5. Untuk mengetahui Komplikasi Cardiac Arrest
6. Untuk mengetahui Penatalaksanaan Cardiac Arrest
7. Untuk mengetahui Pemeriksaan Diagnostic Cardiac Arrest

BAB 2
3

TINJAUAN TEORI

2.1 PENGERTIAN CARDIAC ARREST


Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan
penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa
diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak
(American Heart Association,2010).
Jameson, dkk (2005), menyatakan bahwa cardiac arrest adalah
penghentian sirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung untuk
berkontraksi secara efektif.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung
secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk
memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya akibat
kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif

2.2 ETIOLOGI CARDIAC ARREST


Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan
mempunyai risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi:
a. Adanya jejas di jantung
Karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab lain,jantung
yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab tertentu
cenderung untuk mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa.
Enam bulan pertama setelah seseorang mengalami serangan jantung
adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya cardiac arrest pada pasien
dengan penyakit jantung atherosclerosis
b. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy)
Karena berbagai sebab (umumnya karena tekanan darah tinggi,
kelainan katub jantung) membuat seseorang cenderung untuk terkena
cardiac arrest.
c. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung
4

Karena beberapa kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk


jantung (anti aritmia) justru merangsang timbulnya aritmia ventrikel
dan berakibat cardiac arrest.Kondisi seperti ini disebut proarrythmic
effect. Pemakaian obat-obatan yang bisa mempengaruhi perubahan
kadar potasium dan magnesium dalam darah (misalnya penggunaan
diuretik) juga dapat menyebabkan aritmia yang mengancam jiwa dan
cardiac arrest.
d. Kelistrikan yang tidak normal
Beberapa kelistrikan jantung yang tidak normal seperti Wolff-
Parkinson-White-Syndrome dan sindroma gelombang QT yang
memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada anak dan dewasa
muda.
e. Pembuluh darah yang tidak normal
Jarang dijumpai (khususnya di arteri koronari dan aorta) sering
menyebabkan kematian mendadak pada dewasa muda. Pelepasan
adrenalin ketika berolah raga atau melakukan aktifitas fisik yang berat,
bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest apabila dijumpai kelainan
tadi.
f. Penyalahgunaan obat
Merupakan faktor utama terjadinya cardiac arrest pada penderita
yang sebenarnya tidak mempunyai kelainan pada organ jantung.
Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia
1. Fibrilasi ventrikel
2. Takhikardi ventrikel

2.3 TANDA DAN GEJALA


Tanda cardiac arrest menurut Diklat Ambulans Gawat Darurat 118 (2010)
,yaitu:
a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,
tepukan di pundak ataupun cubitan.
b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika
jalan pernafasan dibuka.
c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis)
5

Gejala :

 Pingsan secara tiba-tiba


 Tidak ada denyut jantung
 Tidak ada pernapasan
 Kehilangan kesadaran
 Nyeri dada
 Pusing
 Sesak napas

2.4 PATOFISIOLOGI
a. Akibat dari ateroklerosis menimbulkan plak pada pembuluh darah.
b. Penebalan otot jantung dan fibrilasi ventrikel mengakibatkan jantung
tidak dapat berkontraksi secara optimal
c. Takikardi ventrikel terjadi karena pembentukan impuls sehingga
frekuensi nadi cepat yang mengakibatkan pengisian ventrikel
menurun.
Dari ketiga penyebab diatas mengakibatkan hambatan aliran darah
sehingga sirkulasi darah terhenti terjadilah cardiac arrest. Akibat cardiac
arrest terjadi kemampuan pompa jantung menurun akibatnya curah jantung
menurun sehingga terjadi:
a. Suplai oksigen keseluruh tubuh menurun,dimana darah membawa
oksigen otomatis kebutuhan oksigen keparu-paru tidak terpenuhi
terjadilah gangguan pertukaran gas
b. Suplai oksigen ke otak tidak terpenuhi terjadilah gangguan perfusi
serebral
c. Suplai oksigen ke jaringan tidak terpenuhi terjadilah gangguan perfusi
jaringan

2.5 KOMPLIKASI
2.6 PENATALAKSANAAN
Pasien yang mendadak kolaps ditangani melalui 5 tahap, yaitu:
1. Respons awal
2. Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life support)
6

3. Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support)


4. Asuhan pasca resusitasi
5. Penatalaksanaan jangka panjang
Respons awal dan dukungan kehidupan dasar dapat diberikan oleh
dokter, perawat, personil paramedic, dan orang yang terlatih. Terdapat
keperluan untuk meningkatkan keterampilan saat pasien berlanjut melalui
tingkat dukungan kehidupan lanjut, asuhan pascaresusitasi, dan
penatalaksanaan jangka panjang.
1. Respons Awal
Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak
benar-benar disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi,
warna kulit, dan ada tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah karotis
atau arteri femoralis dapat menentukan dengan segera apakah telah
terjadi serangan henti jantung yang dapat membawa kematian. Gerakan
respirasi agonal dapat menetap dalam waktu yang singkat setelah henti
jantung, tetapi yang penting untuk diobservasi adalah stridor yang berat
dengan nadi persisten sebagai petunjuk adanya aspirasi benda asing
atau makanan. Jika keadaan ini dicurigai, maneuver Heimlich yang
cepat dapat mengeluarkan benda yang menyumbat. Pukulan di daerah
prekordial yang dilakukan secara kuat dengan tangan terkepal erat pada
sambungan antara bagian sternum sepertiga tengah dan sepertiga bawah
kadang-kadang dapat memulihkan takikardia atau fibrilasi ventrikel,
tetapi tindakan ini juga dikhawatirkan dapat mengubah takikardia
ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel. Karena itu, telah dianjurkan untuk
menggunakan pukulan prekordial hanya pada pasien yang dimonitor;
rekomendasi ini masih controversial. Tindakan ke tiga selama respons
inisial adalah membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau benda asing
yang di dalam mulut dikeluarkan, dan maneuver Heimlich dilakukan
jika terdapat indikasi mencurigakan adanya benda asing yang terjepit di
daerah orofaring. Jika terdapat kecurigaan akan adanya henti respirasi
(respiratory arrest) yang mendahului serangan henti jantung, pukulan
prekordial kedua dapat dilakukan setelah saluran napas dibersihkan.
7

2. Tindakan Dukungan Kehidupan Dasar (Basic Life Support)


Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi
kardiopulmoner (RKP; CPR; Cardiopulmonary Resuscitation)
merupakan dukungan kehidupan dasar yang bertujuan untuk
mempertahankan perfusi organ sampai tindakan intervensi yang
definitive dapat dilaksanakan. Unsur-unsur dalam tindakan RKP terdiri
atas tindakan untuk menghasilkan serta mempertahankan fungsi
ventilasi paru dan tindakan kompresi dada. Respirasi mulut ke mulut
dapat dilakukan bila tidak tersedia perlengkapan penyelamat yang
khusus misalnya pipa napas orofaring yang terbuat dari plastic,
obturator esophagus, ambu bag dengan masker.
Langkah-langkah penting yang harus diperhatikan dalam resusitasi
kardiopulmoner :
a. Pastikan bahwa saluran nafas korban dalam keadaan lapang/
terbuka.
b. Mulailah resusitasi respirasi dengan segera.
c. Raba denyut nadi karotis di dalam lekukan sepanjang jakun
(Adam’s apple) atau kartilago tiroid.
d. Jika denyut nadi tidak teraba, mulai lakukan pijat jantung
(Isselbacher: 228)

Langkah-Langkah Bantuan Hidup dasar :

a. RJP (Resusitasi Jantung Paru)


Adalah suatu tindakan darurat, sebagai usaha untuk
mengembalikan keadaan henti nafas/ henti jantung atau (yang
dikenal dengan istilah kematian klinis) ke fungsi optimal, guna
mencegah kematian biologis.
 Berikan ventilasi dengan 2 kali tiupan efektif
 Lakukan tindakan Pijat jantung Luar pada pertengahan
Sternum dengan kedalaman 4-5 cm sebanyak 30 kompresi
setiap siklus (dilakukan dengan 1 atau 2 orang penolong) dan
dilakukan selama 4 siklus (kurang lebih 1 menit menjadi 100
kompresi) 2 kali ventilasi setiap siklusnya dan pastikan saat
8

memberikan ventilasi posisi kepala dalam keadaan Head Til-


Chin Lift.
 Cek kembali denyut nadi karotis
b. Kontraindikasi
orang yang diketahui berpenyakit terminal dan yang telah secara
klinis mati lebih dari 5 menit.
c. tahap-tahap resusitasi
Resusitasi jantung paru pada dasarnya dibagi dalam 3 tahap dan
pada setiap tahap dilakukan tindakan-tindakan pokok yang disusun
menurut abjad:
1) Pertolongan dasar (basic life support)
 Airway control, yaitu membebaskan jalan nafas agar tetap
terbuka dan bersih.
 Breathing support, yaitu mempertahankan ventilasi dan
oksigenasi paru secara adekuat.
 Circulation support, yaitu mempertahankan sirkulasi darah
dengan cara memijat jantung.
2) Pertolongan lanjut (advanced life support)
 Drug & fluid, yaitu pemberian obat-obat dan cairan
 Elektrocardiography, yaitu penentuan irama jantung
 Fibrillation treatment, yaitu mengatasi fibrilasi ventrikel
3) pertolongan jangka panjang (prolonged life support)
 Gauging, yaitu memantau dan mengevaluasi resusitasi
jantung paru, pemeriksaan dan penentuan penyebab dasar
serta penilaian dapat tidaknya penderita diselamatkan dan
diteruskan pengobatannya.
 Human mentation, yaitu penentuan kerusakan otak dan
resusitasi cerebral.
 Intensive care, yaitu perawatan intensif jangka panjang.
Penanganan henti jantung dilakukan untuk membantu
menyelamatkan pasien / mengembalikan fungsi cardiovascular

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan RJP :


9

a. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun


b. Jangan menekan pada daerah Prosesus xifoideus karena dapat
berakibat robeknya hati
c. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi tetap
melekat pada sternum, jari-jari jangan menekan iga korban
d. Hindari gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan
tidak terputus
e. Perhatikan komplikasi yang mungkin terjadi karena RJP

Dalam AHA Guidelines For CPR and ECC, 2010 review 07


Desember 2011, langkah penanganan pada pasien Cardiac arrest
adalah :

a. Pengenalan dini dari Sudden cardiac Arrest berdasarkan pengkajian


terhadap ketidak-sadaran (un-responsiveness) dan tidak adanya nafas
normal (tidak bernafas atau hanya Gasping/agonal).
b. Teknik Look, Listen, Feel atau Lihat, Dengar, Rasakan untuk
mengkaji Breathing korban, pada Guidliness CPR menurut AHA
tahun 2010 ini di tiadakan. Check nafas dilakuakan pada saat
pengenalan dini keadaan emergency (terutama cardiac) satu paket
dengan pengkajian kesadaran (responsiveness / un-responsiveness )
c. Di dorong / dianjurkan untuk hanya melakukan Hand Only CPR
(hanya melakukan penekanan dada saja, tanpa memberikan tiupan
dua kali) bagi penolong awam yang tidak terlatih.
d. Perubahan sequence atau urutan langkah-langkah CPR. Kalau di
Guidelines tahun 2005 atau yang sebelumnya kita mengenal urutan
ABC (Airway, Breathing, Circulation), maka di Guidelines AHA
tahun 2010 ini menjadi CAB (Circulation, Airway, Breathing), jadi
setelah call for help dan di pastikan kondisi aman untuk menolong,
lalu check response korban termasuk mengkaji ada / tidak adanya
nafas secara visual tanpa tehnik LLF. Kalau ternyata korban tidak
sadar dan tidak bernafas atau bernafas tapi Cuma gasping (nafas
abnormal), langsung ke C, yang artinya kalau untuk orang awam
langsung lakukan kompresi atau untuk Health Care provider
10

(Paramedic, Nurse, Dokter) check nadi karotis dulu dengan tidak


lebih dari sepuluh detik. Kalau selama itu nadi tidak terasa atau tidak
yakin, jangan buang waktu, segera lakukan kompresi tiga puluh kali
di ikuti dengan dua tiupan yang mana durasi tiap tiupan tidak lebih
dari satu detik, bagi yang tidak terlatih bisa hanya melakukan
kompresi saja tanpa di ikuti dengan tiupan atau di sebut dengan Hand
Only CPR seperti yang sudah di jelaskan pada point diatas.
e. Seperti halnya Guidelines tahun 2005, guidelines 2010 ini pun
menekankan pada focus untuk melakukan High Quality CPR, yang
mana hal itu bisa tercapai bila kita bisa melakukan High Quality
Compression. Adapun factor-faktor yang mempengaruhi kualitas
kompresi adalah Rate (kecepatan), depth (kedalaman), dada re-coil
sempurna antara kompresi, minimal intrupsi pada saat melakukan
kompresi dan menghindari pemberian ventilasi (tiupan) yang
berlebihan.
f. Pada guidelines 2005, term yang di gunakan untuk menggambarkan
rate atau kecepatan dari kompresi adalah “ approximately” 100
x/menit, yang artinya kecepatan kompresi kurang lebih seratus kali
per menit (kurang atau lebih dikit boleh lah-red). sedangkan untuk
Guidelines 2010 ini di gunakan term “at least” 100 x/m, yang
artinnya kecepatan kompresi yang baik pada saat CPR tidak boleh
kurang dari seratus kali per menit.
g. Pada guidelines 2005, kedalaman kompresi pada orang dewasa
adalah 1.5- 2 inches (4-5 cm). tahun 2010 ini di tetapkan bahwa
kedalaman kompresi untuk orang dewasa adalah 2 inches (5 cm),
anak-anak juga 2 inches dan 1.5 inches untuk infant
1. Perawatan Pasca Resusitasi
Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat
terjadinya henti jantung. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard
akut umumnya sangat responsive terhadap teknik-teknik dukungan
kehidupan (life support) dan mudah dikendalikan setelah kejadian
permulaan. Pemberian infuse lidokain dipertahankan dengan dosis 2-4
mg/menit selama 24-72 jam setelah serangan. Dalam perawatan rumah
11

sakit, bantuan respirator biasanya tidak perlu atau diperlukan hanya


untuk waktu yang singkat dan stabilisasi hemodinamik yang terjadi
dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi
ventrikel sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas
hemodinamika menjadi predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat
membawa kematian), upaya resusitasi kurang begitu berhasil dan pada
pasien yang berhasil diresusitasi, angka rekurensinya cukup tinggi.
Gambaran klinis didominasi oleh ketidak stabilan hemodinamik. Dalam
kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh kemampuan untuk
mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan dengan gangguan
elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan bradiaritmia
merupakan peristiwa sekunder yang umum pada pasien yang secara
hemodinamis tidak stabil dan kurang responsive terhadap intervensi.
Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah
sakit yang menyertai penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada
beberapa pasien yang berhasil diresusitasi, perjalanan pasca resusitasi
didominasi oleh sifat penyakit yang mendasari serangan henti jantung
tersebut. Pasien dengan kanker, gagal ginjal, penyakit system saraf pusat
akut dan infeksi terkontrol, sebagai suatu kelompok, mempunyai angka
kelangsungan hidup kurang dari 10 persen setelah henti jantung di rumah
sakit. Beberapa pengecualian utama terhadap hasil akhir henti jantung
yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien dengan
obstruksi jalan nafas transien, gangguan elektrolit, efek proaritmia obat-
obatan dan gangguan metabolic yang berat, kebanyakan mereka yang
mempunyai harapan hidup baik jika mereka mendapat resusitasi dengan
cepat dan dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.
2. Penatalaksanaan Jangka Panjang
Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama
aktivitas spesialisasi klinis karena perkembangan system penyelamatan
emergency berdasar-komunitas. Pasien yang tidak menderita kerusakan
system saraf pusat yang ireversibel dan yang mencapai stabilitas
hemodinamik harus dilakukan tes diagnostik dan terapeutik yang
ekstensif untuk tuntutan penatalaksanaan jangka panjang. Pendekatan
12

agresif ini dilakukan atas dasar dorongan fakta bahwadata statistikdari


tahun 1970 mengindikasikan kelangsungan hidup setelah henti jantung di
luar rumah sakit diikuti oleh angka henti jantung rekuren 30 persen pada
1 tahun, 45 persen pada 2 tahundan angka mortalitas total hampir 60
persen pada 2 tahun. Perbandingan historis mendukung bahwa statistik
buruk ini dapat diperbaiki dengan intervensi yang baru. Tetapi seberapa
besar perbaikannya idak diketahui karena kurangnya uji intervensi
bersamaan yang terkendali.
Diantara pasien ini dengan penyebab henti jantung di luar rumah
sakit adalah MI akut dan transmural, penatalaksanaan sama dengan
semua pasien lain yang menderita henti jantung selama fase akut MI
yang nyata. Untuk hampir semua kategori pasien, bagaimanapun, uji
diagnostic ekstensif dilakukan menentukan etiologi, gangguan fungsional
dan ketidakstabilan elektrofisiologik sebagai penuntun penatalaksanaan
selanjutnya. Secara umum, pasien yang mempunyai henti jantung di luar
rumah sakit akibat penyakit jantung iskemik kronik, tanpa MI akut,
dievaluasi untuk menetukan apakah iskemia transien atau ketidakstabilan
elektrofisologik merupakan penyebab yang lebih mungkin dari peristiwa
ini. Jika terdapat alas an untuk mencurigai suatu mekanisme iskemik,
pembedahan anti-iskemik atau Intervensi medis (seperti angiografi, obat)
digunakan untuk mengurangi beban iskemik. Ketidakstabilan
elektrofisiologik paling baik diidentifikasi dengan menggunakan
stimulasi elektris terprogram untuk menentukan apakah VT atau VF
tertahan dapat diinduksi pada pasien. Jika ya, informasi ini dapat
digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi efektifitas obat untuk
pencegahan kekambuhan. Informasi ini juga dapat digunakan untuk
menentukan kecocokan untuk pembedahan antiaritmik dengan tuntunan
peta. Menggunakan teknik ini untuk menegakkan terapi obat pada pasien
dengan fraksi ejeksi 30 persen atau lebih, angka henti jantung rekuren
adalah kurang dari 10 persen selama tahun pertama tindak lanjut. Hasil
akhir tidak sebaik untuk pasien fraksi dengan fraksi ejeksi dibawah 30
persen, tetapi tetap lebih baik dibandingkan riwayat alami yang tampak
dari kelangsungan hidup setelah henti jantung. Untuk pasien yang
13

keberhasilan dengan terapi obat tidak dapat diidentifikasi dengan teknik


ini, pengobatan empirik dengan amiodaron, penanaman
defibrillator/kardioverter (ICD, implantable cardioverter/defibrillator)
dalam tubuh, atau pembedahan antiaritmia (seperti bedah pintas koroner,
aneurismektomi, kriobliasi), dapat dianggap sebagai pilihan. Sukses
pembedahan primer, diartikan sebagai mempertahankan hidup prosedur
dan kembali pada keadaan yang tak dapat diinduksi tanpa terapi obat,
adalah lebih baik dari 90 persen bila pasien dipilih untuk kemampuan
dipetakan dalam ruang operasi. Terapi ICD juga dikembangkan menjadi
sistem yang lebih menarik, termasuk kemampuan untuk memacu lebih
baik dibandingkan mengejutkan (shock out) beberapa aritmia pada pasien
terpilih. Susunan Intervensi tersedia untuk pasien ini, digunakan dengan
pantas, menunjukkan perbaikan perbaikan yang berlanjut pada hasil akhir
jangka panjang.
2.7 PEMERIKSAAN DIAGNOTIC
1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram
(EKG). Ketika dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau
kadang-kadang di bagian tubuh lainnya misalnya tangan dan kaki.
EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase listrik jantung dan
dapat menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena cedera
otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal, EKG bisa
menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG dapat
mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT
berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak.
2. Tes darah
3. Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika
jantung terkena serangan jantung. Karena serangan jantung
dapat memicu sudden cardiac arrest. Pengujian sampel darah
untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat penting apakah benar-
benar terjadi serangan jantung
.
14

4. Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-
elektrolit yang ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium,
magnesium. Elektrolit adalah mineral dalam darah kita dan
cairan tubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik.
Ketidak seimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya
aritmia dan sudden cardiac arrest.
5. Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi
untuk menginduksi aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-
obatan tersebut merupakan obat-obatan terlarang.
6. Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini
sebagai pemicu cardiac arrest.
7. Imaging tes
 Pemeriksaan Foto Thorax
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta
pembuluh darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah
seseorang terkena gagal jantung.
 Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu
mengidentifikasi masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif
yang dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan
ke dalam aliran darah. Dengan kamera khusus dapat
mendeteksi bahan radioaktif mengalir melalui jantung dan
paru-paru.
 Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan
gambaran jantung. Echocardiogram dapat membantu
mengidentifikasi apakah daerah jantung telah rusak oleh
cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau pada
kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah ada kelainan
katup.
15

2.8 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
a. Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain:
a) General Impressions
 Kondisi secara umum GCS 9 (apatis)
 Keluhan utama tiba-tiba merasa sesak, dada terasa nyeri,
tangan kiri dan kaki kiri terasa lemas.
 Pasien mengalami disorientasi waktu, tempat dan orang
b) Pengkajian Airway
 Pada saat dikaji kepatenan jalan nafas pasien. Pasien tidak
dapat berbicara dan gangguan bernafas?
 Terdapat tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada
pasien antara lain: Agitasi (hipoksia), Penggunaan otot bantu
pernafasan dan Sianosis
 Look dan listen tidak terbukti adanya masalah pada saluran
napas bagian atas.
c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
 Pada saat di inspeksi terdapat : cyanosis, menggunakan otot
aksesoris saat bernafas, nafas dangkal.
 Pada saat di palpasi terdapat : nadi perifer lemah, peningkatan
nadi jugularis.
 Tidk ada suara nafas abnormal
 Pada saat diobservasi pergerakan dinding dada, pasien
menggunakan otot aksesoris saat bernafas
 nafas dangkal
d) Pengkajian Circulation
 Cek nadi tekanan nadi teraba lemah
 Tidak ada perdarahan
 Warna kulit pucat atau sianosis, Punggung kuku: pucat
sianotik dan pengisian kapiler lambat >2 detik
16

e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities


Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala
AVPU :
A : Alert perintah yang diberikan
V : Vocalises, mengeluarkan suara yang tidak bisa dimengerti
P : responds to pain only , ekstremitas gagal merespon
U : Unresponsive to pain, hanya merespon pada stimulus nyeri.
f) Expose, Examine dan Evaluate

 Tidak ada kelainan pada kepala, terdapat pembesaran JVP,


terdapat edem ekstremitas
 Pasien tampak gelisah
b. Anamnesa Riwayat Kesehatan / Secondary Assessment
1. Deskripsi riwayat kesehatan sekarang
2. Deskripsi riwayat kesehatan lalu
mempunyai riwayat penyakit hipertensi dan belum pernah
berobat ke tenaga medis.
3. Deskripsi riwayat kesehatan keluarga
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas
2. Resiko penurunan curah jantung
17

BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
Saran kami dalam penulisan makalah ini ialah agar mahasiswa dapat
mengetahui dan memahami tentang cardiac arrest . Makalah ini mencakup
Definisi, Etiologi, Patofisiologi, Gambaran Klinis, Pemeriksaan Penunjang,
Penatalaksanaan.. Namun demikian, kami sangat mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca atas kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam
makalah ini demi untuk kesempurnaan makalah berikutnya.
18

DAFTAR PUSTAKA

http://fauziahartikel.blogspot.com/2014/05/henti-jantung.html
https://hellosehat.com/penyakit/cardiac-arrest-henti-jantung/

Anda mungkin juga menyukai