Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN PENDAHULUAN

PASIEN DENGAN HALUSINASI

DISUSUN OLEH :

HELENA SINTHEA SERIN

17061032

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS KATOLIK DELASALLE MANADO

2020

LAPORAN PENDAHULUAN
PASIEN DENGAN HALUSINASI

1. Pengertian

      Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan
sensori, seperti merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau
penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. (WHO, 2006)

      Halusinasi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses diterimanya,
stimulus oleh alat indra, kemudian individu ada perhatian, lalu diteruskan ke otak dan baru
kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan persepsi (Yosep, 216)

Halusinasi adalah satu persepsi yang salah oleh panca indera tanpa adanya rangsang
(stimulus) eksternal (Cook & Fontain, Essentials of Mental Health Nursing, 1987).

2. Etiologi
a. Faktor predisposisi

Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang
dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari klien maupun
keluarganya. Factor predisposisi dapat meliputi factor perkembangan, sosiokultural,
biokimia, psikologis, dan genetic. (Yosep, 2009)
1)    Faktor perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal
terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
2)    Faktor sosiokultural
Berbagai factor dimasyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa disingkirkan,
sehingga orang tersebut merasa kesepian dilingkungan yang membesarkannya.
3)    Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang
mengalami stress yang berlebihan, maka didalam tubuhnya akan dihasilkan suatu
zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan
dimethytrenferase (DMP).
4)    Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggungjawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Berpengaruh pada ketidakmampuanklien dalam
mengambil keputusan demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat
dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5)    Faktor genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.

b. Faktor presipitasi

Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, penasaran, tidak aman,
gelisah, bingung, dan lainnya.
Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu :
1)  Dimensi fisik
Halusinasi dapat timbul oleh kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa,
penyalahgunaan obat, demam, kesulitan tidur.
2) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas masalah yang tidak dapat diatasi merupakan
penyebab halusinasi berupa perintah memaksa dan menakutkan.
3)  Dimensi intelektual
Halusinasi merupakan usaha dari ego untuk melawan implus yang menekan
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien.
4) Dimensi sosial
Klien mengalami interaksi sosial menganggap hidup bersosialisasi di alam nyata
sangat membahyakan. Klien asyik dengan halusinasinya seolah merupakan temapat
memenuhi kebutuhan dan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak di
dapatkan di dunia nyata.
5)  Dimensi spiritual
Secara spiritual halusinasi mulai denga  kehampaan hidup, ritinitas tidak bermakna,
hilangnya aktifitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan
diri.
3. Tanda dan Gejala

Menurut Yosep, 2009 tanda dan gejala halusinasi adalah :

1) Melihat bayangan yang menyuruh melakukan sesuatu berbahaya.


2) Melihat seseorang yang sudah meninggal.
3) Melihat orang yang mengancam diri klien atau orang lain
4) Bicara atau tertawa sendiri.
5) Marah-marah tanpa sebab.
6) Menutup mata.
7) Mulut komat-kamit
8) Ada gerakan tangan
9) Tersenyum
10) Gelisah
11) Menyendiri, melamun

4. Proses terjadinya halusinasi

Menurut Yosep, 2009 proses terjadinya halusinasi terbagi menjadi 4 tahap yaitu:

a.    Tahap pertama
Pada fase ini halusinasi berada pada tahap menyenangkan dengan tingkat ansietas
sedang, secara umum halusinasi bersifat menyenangkan. Adapun karakteristik yang
tampak pada individu adalah orang yang berhalusinasi mengalami keadaan emosi
seperti ansietas, kesepian, merasa takut serta mencoba memusatkan penenangan
pikiran untuk mengurangi ansietas.
b.    Tahap kedua
Pada tahap ini halusinasi berada pada tahap menyalahkan dengan tingkat
kecemasan yang berat. Adapun karakteristik yang tampak pada individu yaitu
individu merasa kehilangan kendali dan mungkin berusaha untuk menjauhkan
dirinya dari sumber yang dipersiapkan, individu mungkin merasa malu dengan
pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang lain.
c.    Tahap ketiga
Pada tahap ini halusinasi berada pada tahap pengendalian dengan tingkat ansietas
berat, pengalaman sensori yang dirasakan individu menjadi penguasa. Adapun
karakteristik yang tampak pada individu adalah orang yang berhalusinasi menyerah
untuk melawan pengalaman halusinasinya dan membiarkan halusinasi tersebut
menguasai dirinya, individu mungkin mengalami kesepian jika pengalaman sensori
tersebut berakhir.
d.    Tahap keempat
Pada tahap ini halusinasi berada pada tahap menakutkan dengan tingkat ansietas
panik. Adapun karakteristik yang tampak pada individu adalah pengalaman sensori
mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah, dimana halusinasi bisa
berlangsung beberapa jam atau beberapa hari, apabila tidak ada intervensi
terapeutik.

5. Mekanisme koping

Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang diarahkan pada pengendalian stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah secara langsung dan mekanisme pertahanan lain yang
digunakan melindungi diri. Mekanisme koping menurut Yosep, 2009 meliputi cerita dengan
orang lain (asertif), diam (represi/supresi), menyalahkan orang lain (sublimasi), mengamuk
(displacement), mengalihkan kegiatan yang bermanfaat (konversi), memberikan alasan yang
logis (rasionalisme), mundur ke tahap perkembangan sebelumnya (regresi), dialihkan ke objek
lain, memarahi tanaman atau binatang (proyeksi).

6. Penatalaksanaan (Yosep, 2009)

1. Medis (Psikofarmako)
1) Chlorpromazine

a)    Indikasi
Indikasi obat ini utnuk sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan
menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma social dan tilik diri
terganggu. Berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental seperti: waham dan
halusinasi. Gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali,
berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari seperti tidak mampu bekerja,
hubungan social dan melakukan kegiatan rutin.
b)   Mekanisme kerja
Memblokade dopamine pada reseptor pasca sinap di otak, khususnya system
ekstra pyramidal.
c)    Efek samping
- Sedasi, dimana pasien mengatakan merasa melayang-layang antar sadar atau
tidak sadar.
- Gangguan otonomi (hipotensi) antikolinergik atau parasimpatik, seperti mulut
kering, kesulitan dalam miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur,
tekana intraokuler meninggi, gangguan irama jantung.
- Gangguan ektrapiramidal seperti : distonia akut, akathsia syndrome
parkinsontren, atau bradikinesia regiditas.

d) Kontra indikasi
Kontra indikasi obat ini seperti penyakit hati, penyakit darah, epilepsi (kejang,
perubahan kesadaran), kelainan jantung, febris (panas), ketergantungan obat,
penyakit SSP (system saraf pusat), gangguan kesadaran disebabkan oleh depresan.
e)  Penggunaan obat
Penggunaan obat pada klien dengan kondisi akut di berikan 3x100mg. Apabila
kondisi klien sudah stabil dosisnya di kurangi menjadi 1x100mg pada malam hari
saja.

2. Haloperidol (HLP)
a) Indikasi

Indikasi dalam pemberian obat ini, yaitu pasien yang berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, baik dalam fungsi mental dan dalam fungsi kehidupan
sehari-hari.

b) Mekanisme kerja

Obat anti psikis ini dapat memblokade dopamine pada reseptor pasca sinaptik neuron
di otak, khususnya system limbic dan system pyramidal.

c) Efek samping
- Sedasi dan inhibisi psikomotor
- Gangguan miksi dan parasimpatik, defekasi, hidung tersumbat, mata kabur,
tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung.
d) Kontra indikasi

Kontra indikasi obat ini seperti penyakit hati, penyakit darah, epilepsi (kejang,
perubahan kesadaran), kelainan jantung, febris (panas), ketergantungan obat,
penyakit SSP (system saraf pusat), gangguan kesadaran.

e) Penggunaan obat

Penggunaan obat pada klien dengan kondisi akut biasanya dalam bentuk injeksi
3x5mg IM pemberian ini dilakukan 3x24 jam. Sedangkan pemberian peroral di
berikan 3x1,5mg atau 3x5 mg.

2) Trihexyphenidil (THP)
a)   Indikasi dalam pemberian obat ini, yaitu segala jenis penyakit parkinson, termasuk
pasca encephalitis (infeksi obat yang disebabkan oleh virus atau bakteri) dan
idiopatik (tanpa penyebab yang jelas). Sindrom Parkinson akibat obat, misalnya
reserpina dan fenotiazine.

b)   Mekanisme kerja
Obat ini sinergis (bekerja bersama) dengan obat kiniden; obat depreson, dan
antikolinergik lainnya.
c)   Efek samping
Mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi (gerakan
motorik yang menunjukkan kegelisahan), konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal,
retensi urine.
d)   Kontra indikasi
Kontra indikasinya seperti hipersensitif terhadap trihexypenidil (THP), glaucoma
sudut sempit, psikosis berat psikoneurosis, hipertropi prostat, dan obstruksi saluran
edema.
e)   Penggunaan obat
Penggunaan obat ini di berikan pada klien dengan dosis 3x2 mg sebagai anti
parkinson.

7. Rentang respon halusinasi

Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam
rentang respon neurobiology. Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika klien
sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus
berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra (pendengaran, penglihatan,
penghidu, pengecapan dan perabaan), klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu
stimulus panca indra walaupun sebenarnya stimulus itu tidak ada.diantara kedua respon
tersebut adalah respon individu yang karena sesuatu hal mengalami kelainan persepsi yaitu
salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Klien
mengalami ilusi jika interprestasi yang dilakukannya terhadap stimulus panca indra tidak
akurat sesuai stimulus yang diterima.
Rentang respon :

Respon Adaptif Respon maladaptif

Pikiran logis Distorsi pikiran Gangguan


pikiran
Persepsi akurat Ilusi
Halusinasi
Emosi Reaksi emosi
Berlebihan atau Sulit berespon
konsisten dengan
kurang emosi
pengalaman
Perilaku aneh/tidak Perilaku
Perilaku sesuai disorganisasi
biasa Menarik diri
Berhubungan sosial Isolasi sosial

8. Pohon Masalah

Effect resiko perilaku kekerasan

Core Problem Halusinasi

Cause Isolasi sosial


DAFTAR PUSTAKA

Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba
Medika
Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .
Keliat Budi Ana. 1999. Proses  Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC
Anna Budi Keliat, SKp. (2006). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial
Menarik Diri, Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
LAPORAN PENDAHULUAN

RPK

A. PENGERTIAN

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut
(Jenny, Purba, Mahnum, & Daulay, 2008).

Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan


yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain
(Yosep, 2007).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai
amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol (Farida & Yudi, 2011).
Resiko perilaku kekerasan atau agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan
merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol
(Yosep, 2007). Resiko mencederai diri yaitu suatu kegiatan yang dapat menimbulkan
kematian baik secara langsung maupun tidak langsung yang sebenarnya dapat dicegah
(Depkes, 2007).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan yaitu
ungkapan perasaan marah yang mengakibatkan hilangnya kontrol diri dimana individu
bisa berperilaku menyerang atau melakukan suatu tindakan yang dapat membahayakan
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
B. PENYEBAB

Menurut Direja (2011) faktor-faktor yang menyebabkan perilaku kekerasan pada


pasien gangguan jiwa antara lain
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor psikologis
1) Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami
hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi perilaku kekerasan.
2) Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil yang
tidak menyenangkan.
3) Rasa frustasi.
4) Adanya kekerasan dalam rumah, keluarga, atau lingkungan.
5) Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan
dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan
dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam
kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak
kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.
6) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari,
individu yang memiliki pengaruh biologik dipengaruhi oleh contoh peran
eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya secara agresif
sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori menurut Bandura
bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Faktor ini dapat
dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan
penguatan maka semakin besar kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat
mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu
mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima dan yang tidak dapat
diterima.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaiannya masalah perilaku kekerasan merupakan
faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
c. Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya stimulus elektris ringan pada
hipotalamus (pada sistem limbik) ternyata menimbulkan perilaku agresif, dimana
jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal
(untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indra
penciuman dan memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi,
dan hendak menyerang objek yang ada di sekitarnya.
Selain itu berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut
a) Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis mempunyai
implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik
sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan
respon agresif.
b) Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996) menyatakan
bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin, dopamine,
asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon androgen dan norepinefrin
serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal
merupakan faktor predisposisi penting yang menyebabkan timbulnya perilaku
agresif pada seseorang.
c) Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya
dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki
oleh penghuni penjara tindak kriminal (narapidana)
d) Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan dengan berbagai
gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus temporal)
trauma otak, apenyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus temporal) terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa
injury secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor pencetus
perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
a. Klien
Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang penuh dengan
agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
b. Interaksi
Penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik, merasa terancam
baik internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari
lingkungan.
c. Lingkungan
Panas, padat, dan bising.

Menurut Shives (1998) dalam Fitria (2009), hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku
kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai berikut.
a. Kesulitan kondisi sosial ekonomi.
b. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu.
c. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya
dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa.
d. Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan obat dan
alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi.
e. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

C. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Direja (2011) tanda dan gejala yang terjadi pada perilaku kekerasanterdiri
dari :
1. Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah
dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras, kasar,
ketus.
3. Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel,tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan, dan menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang mengeluarkan
kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan
kreativitas terhambat.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.
8. Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual

D. AKIBAT

Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai diri,
orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang
kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan

E. PENATALAKSANAAN

Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:

1. Medis

a. Nozinan, yaitu sebagai pengontrol prilaku psikososia.


b. Halloperidol, yaitu mengontrol psikosis dan prilaku merusak diri.

c. Thrihexiphenidil, yaitu mengontro perilaku merusak diri dan menenangkan


hiperaktivitas.

d. ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien bila mengarah pada
keadaan amuk.

2. Penatalaksanaan keperawatan

a. Psikoterapeutik

b. Lingkungan terapieutik

c. Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)

d. Pendidikan kesehatan

F. POHON MASALAH

Resiko Tinggi Mencederai, Orang Lain, dan Lingkungan

Perilaku Kekerasan PPS : Halusinasi

Regimen Terapeutik
Inefektif

Harga Diri Rendah Isolasi Sosial :


Kronis Menarik Diri

Koping Keluarga
Berduka Disfungsional
Tidak Efektif
Gambar 2.2 Pohon Masalah Perilaku Kekerasan

Sumber : (Fitria, 2010)

G. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Menurut Keliat (2014) data perilaku kekerasan dapat diperolah melalui observasi
atau wawancara tentang perilaku berikut ini:
a. Muk amerah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Mengarupkan rahang dengan kuat
d. Mengepalkan tangan
e. Jalan mondar-mandir
f. Bicara kasar
g. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
h. Mengancam secara verbal atau fisik
i. Melempar atau memukul benda /orang lain
j. Merusak barang atau benda
k. Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah atau mengontrol perilaku
kekerasan.

2. Daftar Masalah
Menurut Keliat (2014) daftar masalah yang mungkin muncul pada perilaku
kekerasan yaitu :
a. Perilaku Kekerasan.
b. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
c. Perubahan persepsi sensori: halusinasi.
d. Harga diri rendah kronis.
e. Isolasi sosial.
f. Berduka disfungsional.
g. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif.
h. Koping keluarga inefektif.

3. Rencana Tindakan Keperawatan


Menurut Fitria (2010) rencana tindakan keperawatan yang digunakan untuk
diagnosa perilaku kekerasan yaitu :
a. Tindakan keperawatan untuk klien
1) Tujuan
a) Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
b) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
c) Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
d) Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya.
e) Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya.
f) Klien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual,
sosial, dan terapi psikofarmaka.
2) Tindakan
a) Bina hubungan saling percaya
Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar
klien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan Saudara.
Tindakan yang harus Saudara lakukan dalam rangka membina hubungan
salig percaya adalah mengucapkan salam terapeutik, berjabat tangan,
menjelaskan tujuan interaksi, serta membuat kontrak topik, waktu, dan
tempat setiap kali bertemu klien.
b) Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan yang terjadi di
masa lalu dan saat ini.
c) Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan gejala perilaku kekersan,
baik kekerasan fisik, psikologis, sosial, sosial, spiritual maupun
intelektual.
d) Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang biasa dilakukan
pada saat marah baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
e) Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari perilaku
marahnya. Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan
baik secara fisik (pukul kasur atau bantal serta tarik napas dalam), obat-
obat-obatan, sosial atau verbal (dengan mengungkapkan kemarahannya
secara asertif), ataupun spiritual (salat atau berdoa sesuai keyakinan klien).

b. Tindakan keperawatan untuk keluarga


1) Tujuan
Keluarga dapat merawat klien di rumah
2) Tindakan
a) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan meliputi
penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang muncul, serta akibat dari
perilaku tersebut.
b) Latih keluarga untuk merawat anggota keluarga dengan perilaku
kekerasan.
(1) Anjurkan keluarga untuk selalu memotivasi klien agar melakukan
tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.
(2) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada klien bila anggota
keluarga dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
(3) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus klien menunjukkan
gejala-gejala perilaku kekerasan.
c) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi klien yang perlu segera
dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang
lain.
4. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
Menurut Fitria (2010) strategi pelaksanaan tindakan keperawatan dengan diagnosa
keperawatan perilaku kekerasan
a. SP I Pasien
Membina hubungan saling percaya, pengkajian perilaku kekerasan dan
mengajarkan cara menyalurkan rasa marah.
b. SP 2 Pasien
Mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
c. SP 3 Pasien
Mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal
d. SP 4 Pasien
Mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
e. SP 5 Pasien
Mengontrol perilaku kekerasan dengan obat
f. SP 1 Keluarga
Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang cara merawat klien perilaku
kekerasan di rumah
5. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai tindakan keperawatan
pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan
keperawatanyang telah dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu
evaluasi proses atau formatif dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan,
evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien pada
tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan.Evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir.
Adapun hasil tindakan yang ingin dicapai pada pasien dengan perilaku kekerasan
antara lain
a. Klien dapat mengontrol atau mengendalikan perilaku keekrasan.
b. Klien dapat membina hubungan saling pecaya.
c. Klien dapat mengenal penyebab perilaku kekerasan yang dilakukakannya.
d. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
e. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang pernah dilakukan.
f. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
g. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan kemarahan.
h. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
i. Klien mendapatkan dukungan dari keluarga untuk mengontrol perilaku kekerasan.
j. Klien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan.
(Fitria, 2010).

DAFTAR PUSTAKA

Depkes, RI. 2007. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Magelang: RSJ Prof. Dr. Soeroyo
Magelang.

Direja, A. H. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Dwi, A. S., & Prihantini, E. 2014. Keefektifan Penggunaan Restrain terhadap Penurunan
Perilaku Kekerasan pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan , 138-139.

Farida, K., & Yudi, H. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.

Jenny, M., Purba, S. E., Mahnum, L. N., & Daulay, W. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.

Keliat, D. B. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Undang-Undang No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa

Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa (Cetakan 1). Bandung: PT Refika Aditama.


LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL

A. Definisi

Menurut Yusuf dkk (2015), isolasi sosial merupakan keadaan dimana individu mengalami
penurunan atau bahkan memiliki ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dan
lingkungan sekitar karena merasa ditolak dan tidak terima.

Menurut Azizah dkk (2016), isolasi sosial merupakan upaya yang dilakukan untuk
menghindari interaksi, hubungan maupun komunikasi dengan orang lain hal ini sering dikaitkan
dengan penarikan diri yang merupakan suatu tindakan melepaskan perhatian dan minat terhadap
lingkungan sosial secara langsung baik bersifat sementara maupun menetap.

Isolasi sosial merupakan sebuah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu akibat
adanya kondisi negatif dan mengancam dari orang lain atau lingkungan sekitarnya (Sukaesti,
2018).

Dapat disimpulkan bahwa, isolasi sosial merupakan sebuah kondisi dimana seorang individu
tidak mampu berinteraksi atau menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan sekitar
akibat keadaan negatif yang dirasakan seperti perasaan ditolak atau tidak diterima.

B. Tanda dan Gejala


Menurut Azizah dkk (2016), tanda dan gejala pada pasien dengan masalah isolasi sosial: menarik
diri dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

1. Gejala Subjektif, yang meliputi: klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh
orang lain, klien merasa tidak aman berada dengan orang lain, klien mengatakan hubungan
yang tidak berarti dengan orang lain, klien tidak yakin dapat melanjutkan hidup, klien merasa
ditolak.
2. Gejala Objektif, yang meliputi: klien banyak diam dan tidak mau bicara, tidak mengikuti
kegiatan, banyak berdiam diri di kamar, menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang
yang terdekat, tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal, kontak mata kurang, apatis (acuh
terhadap Iingkungan), tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri, tidak atau
kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya. asupan makanan dan minuman terganggu,
aktivitas menurun, kurang energi (tenaga), postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin
(khususnya pada posisi tidur), menggunakan kata - kata simbolik.

C. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif

Menyendiri (solitude) Merasa sendiri (loneliness) Manipulasi


Otonomi Menarik diri (withdrawal) Impulsif
Bekerja sama (mutualisme) Tergantung (dependent) Narsisme
Saling bergantung
(interdependence)

D. Pohon Masalah
Resiko gangguan persepsi senori: effect
halusinasi

Isolasi sosial: menarik diri Core problem

Gangguan konsep diri: harga causa


diri rendah
E. Masalah Keperawatan
1. Isolasi sosial: menarik diri
2. Risiko gangguan persepsi sensori: halusinasi
3. Gangguan konsep diri: harga diri rendah.

F. Diagnosa Keperawatan
1. Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
2. Risiko perubahan persepsi sensori: halusinasi berhubungan dengan isolasi sosial: menarik
diri.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan masalah isolasi sosial: menarik diri meliputi:
a. ECT (Electro Confulsive Therapy), merupakan jenis pengobatan dengan
menggunakan arus listrik pada otak dengan memakai 2 elektroda.
b. Psikoterapi, dilaksanakan dengan upaya untuk memberikan rasa nyaman dan tenang
serta menciptakan lingkungan yang teraupetik, memotivasi klien untuk
mengungkapkan apa yang dirasakan secara verbal, bersikap ramah dan sopan serta
jujur untuk menciptakan kepercayaan klien terhadap pemberi terapi.
c. Terapi Okupasi, dilakukan untuk mengarahkan pasien kepada sebuah aktivitas atau
tugas yang sudah dipilih dengan maksud memperbaiki dan meningkatkan harga diri
pasien.
Selain tiga penatalaksanaan tersebut, upaya yang juga dapat dilakukan pada pasien
dengan isolasi sosial: menarik diri yaitu dengan melakukan sosial skill training. Hal ini sudah
terbukti dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukaesti (2018) dimana dengan penerapan
sosial skill training, klien lebih optimal secara fisik, emosi, sosial dan kekeluargaan serta
klien dapat memecahkan masalahnya sendiri dan kemampuan intelektual dalam mensuport
diri meningkat.
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, dkk. (2016). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik
Klinik. Yogyakarta: Indomedia Pustaka.

Yusuf, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Sukaesti, D. (2018). Sosial Skill Training Pada Klien Isolasi Sosial. Jurnal Keperawatan
Volume 6 No 1, Hal 19 - 24, Mei 2018 FIKKes Universitas Muhammadiyah Se
LAPORAN PENDAHULUAN

RBD

A. Definisi
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat
mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena merupakan
perilaku untuk mengakhiri kehidupan nya (stuart 2006).
Bunuh diri merupakan tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhir kehidupan ( Wilson dan Kneis,1988). Bunuh diri merupakan kedaruratan
psikiatri karena pasien berda dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan kopping
yang maladaptive. Situasi gawat pada bunuh diri adalah saat ide bunuh diri timbul secara
berulang- ulang tampa rencana yang spesifik atau percobaan bunuh diri atau rencana
yang spesifik untuk bunuh diri. Oleh karena itu, di perlukan pengetahuan dan ketrampilan
perawat yang tinggi dalam merawat pasien dengan tingkah laku bunuh diri, agar pasien
tidak melakukan tindakan bunuh diri.
Menurut staurt dan sundeem (1995), faktor penyebab bunuh diri adalah
perceraian, pengangguran , dan isolasi sosial. Sementara menurut Tishler (1981) ( dikutip
oleh Leahey dan Wright 1987) melalui penelitian nya menyebutkan bahwa motivasi
remaja melakukan percobaan bunuh diri, yaitu 51% masalah dengan orang tua, 30%
masalah dengan lawan jenis, 30% masalah sekolah, dan 16% masalah dengan saudara.

B. KLASIFIKASI
a. Jenis Bunuh Diri
 Bunuh diri Egostik
Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk.
 Bunuh diri altruistic
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasan
 Bunuh diri anomik
Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu
b. Pengelompokan bunuh diri
1. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri di tunjukan dengan berperilaku secara tidak langsung
ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan “Tolong jaga anak-anak
karena saya akan pergi jauh” atau “ Segala sesuatu akan lebih baik tampa
saya”. Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk
mengakhiri hidupnya, tetapi tidak di sertai dengan ancaman dan percobaan
bunuh diri. Pasien umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa
bersalah/sedih/marah/putu asa/tidak berdaya. Pada pasien juga
mengungkapkan hal-hal negative tentang diri sendiri yang
menggambarkan harga diri rendah.
2. Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umum nya diucapkan oleh pasien, yang berisi
kenginan untuk mati di sertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan
dan persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif
pasien telah memikirkan rencana bunuh diri, tetapi tidak di sertai dengan
percoban bunuh diri. Walaupun dalam kondisi ini pasien belum perna
mencobah bunuh diri, pengawasan ketat harus dilakukan. Kesempatan
sedikit saja dapat dimanfaatkan untk melaksanakan rencana bunuh
dirinya.
3. Percobaan bunuh diri
Percobaan bunuh diri adalah tindakan pasien mencederai atau melukai diri
untuk mengakhir kehidupannya. Pada kondisi ini, pasien aktif mencobah
bunuh diri dengan cara gantung diri, minum racun, memotong urat nadi,
atau menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi.
C. RENTANG RESPON

Adaptif Maladaptif

Peningkatan Diri pertumbuhan perilaku pencederaan diri Bunuh diri

peningkatan resiko destruktif

tak langsung

Keterangan

 Peningkatan diri yaitu seorang individu yang mempunyai pengharapan, yakin, dan
kesadaran diri meningkat.
 Pertumbuhan peningkatan beresiko yaitu, merupakan posisi pada rentang yang masih
normal dialami individu yang mengalami perkembangan perilaku.
 Perilaku desktruktif diri tak langsung yaitu, setiap aktivitas yang merusak kesejatraan
fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian , seperti perilaku merusak,
mengebut,berjudi,tindakan criminal, terlibat dalam reaksi yang beresiko tinggi ,
penyalagunaan zat, perilaku yang menyimpang secara sosial, dan perilaku yang
menimbulkan stres.
 Pencedaraan diri yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri yang dilakukan
dengan sengaja. Pencederaan dilakukan terhadap diri sendiri tampa bantuan orang lain
dan cedara tersebut cukup parah untuk melukai tubuh. Bentuk umum perilaku
pencederaan diri termasuk melukai dan membakar kulit , membenturkan kepala atau
anggota tubuh , melukai tubuhnya sedikit demi sedikit dan menggigit jari.
 Bunuh diri yaitu tindakan agresif yang dilakukan langsung terhadap diri sendiri untuk
mengakhiri kehidupan.
D. Tanda dan Gejala

a. Mempunyai ide untuk bunuh diri.


b. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
c. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
d. Impulsif.
e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
f. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
g. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis
mematikan).
h. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah dan
mengasingkan diri).
i. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi, psikosis
dan menyalahgunakan alcohol).
j. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal).
k. Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan
dalam karier).
l. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
m. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
n. Pekerjaan.
o. Konflik interpersonal.
p. Latar belakang keluarga.
q. Orientasi seksual.
r. Sumber-sumber personal.
s. Sumber-sumber social.
t. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.

E. POHON MASALAH

Resiko perilaku kekerasan efek akibat

Resiko Bunuh diri Core problem


Harga Diri Rendah Penyebab

F. PENATALAKSANAAN

Pencegahan bunuh diri menurut Conwell terdiri atas pencegahan primer, sekunder dan
tertier. Pencegahan primer adalah suatu upaya pencegahan terjadinya perilaku bunuh diri atau
keadaan yang berkembang menjadi menjadi upaya bunuh diri. Pencegahan sekunder adalah
suatu upaya pencegahan dengan cara menemukan sedini mungkin krisis bunuh diri dan
melakukan tindakan agar tidak berlanjut menjadi bunuh diri. Sedangkan pencegahan tertier
adalah tindakan yang ditujukan untuk menyelamatkan sesorang yang melakukan bunuh diri,
mengurangi gejala psikiatris dan penyakit sosial pada kelompok risiko. Penanganan di ruang
gawat darurat dan 15 di bangsal rawat inap psikiatri merupakan pelayanan tertier (WHO,
2010).

Evaluasi pertama di ruang gawat darurat merupakan unsur yang penting dalam
penanganan pasien psikiatri yang berisiko bunuh diri. Sangat mungkin dalam penanganan
tersebut dilakukan kerjasama dengan bagian lain (Roan, 2015).

Setelah itu, pasien gangguan mental dapat diberikan terapi sesuai indikasi dengan tujuan
utama menangani gejala mental akutnya. Langkah berikutnya adalah melakukan intervensi
psikologis. Sejumlah proses psikologis yang mendahului ide dan perilaku bunuh diri dapat
meningkat bila muncul stresor. Peran terapis adalah mengenali faktor tersebut. Selama proses
tersebut pencegahan dapat dilakukan dengan membatasi sarana dan prasarana yang mungkin
digunakan untuk melakukan bunuh diri (Caroline, 2016)

Banyak kasus bunuh diri dapat dicegah (Sadock, 2016; Roy, 2015). Begitu pula
percobaan bunuh diri di rawat inap. Penderita depresi dapat melakukan bunuh diri justru di
saat mereka tampak mulai pulih (paradoxal suicide) (Surilena, 2015). Pengenalan faktor
risiko sangat penting bagi klinisi yang merawat pasien psikiatri rawat inap. Petugas
kesehatan harus cermat menilai kondisi pasien secara keseluruhan. Faktor-faktor yang harus
dinilai adalah status mental terbaru, ide-ide terakhir mengenai kematian dan bunuh diri,
rencana bunuh diri terbaru, seberapa siap orang itu, dan sesegera apa aksi tersebut akan
dijalankan, sistem pendukung individu (WHO, 2015).

Banyak pasien bunuh diri menggunakan preokupasi bunuh diri untuk melawan depresi
yang tidak tertahankan dan rasa putus asa. Penilaian potensi bunuh diri melibatkan
penggalian riwayat psikitrik 17 yang lengkap, pemeriksaan status mental pasien yang
menyeluruh, dan pertanyaan tentang gejala depresi, pikiran, tujuan, rencana dan usaha bunuh
diri (Sadock, 2016; Roy, 2015).

Di rumah sakit, pasien mungkin menerima medikasi antidepresan atau antipsikotik sesuai
dengan indikasi; terapi 18 individual, terapi kelompok dan juga terapi keluarga. Pasien
mendapatkan dukungan sosial rumah sakit dan rasa aman. Terapi ECT (Electro Convulsive
Theraphy) mungkin diperlukan untuk pasien yang terdepresi parah. Pasien yang memiliki
gagasan bunuh diri akut memiliki prognosis yang lebih baik dari pada pasien yang mencoba
bunuh diri secara kronis (Sadock, 2016; Roy, 2015).

Pengamatan yang terus-menerus oleh perawat khusus, pengurungan dan pengikatan tidak
dapat mencegah bunuh diri jika pasien teguh, terutama individu yang ingin melakukan bunuh
diri biasanya menjadi lebih kreatif untuk menemukan metode bunuh dirinya. Namun
demikian, harus diperhatikan agar memeriksa barang-barang pasien dan orang-orang yang
berkunjung ke bangsal untuk mencari benda-benda yang dapat digunakan untuk bunuh diri
dan secara berulang mencari eksaserbasi gagasan bunuh diri (Sadock, 2016; Roy, 2015).

Idealnya, pasien rawat inap yang mencoba bunuh diri mengalami depresi harus
ditempatkan dalam bangsal yang terkunci, dimana jendela dipasang terali, ruangan pasien
harus berlokasi dekat tempat perawatan untuk memaksimalkan pengamatan oleh perawat.
Tim yang mengobati harus diperiksa secara berulang dan terus-menerus mengawasi secara
langsung. Pasien yang sedang pulih dari depresi, bunuh diri berada pada risiko khusus. Saat
depresi menghilang, pasien memiliki energi untuk melakukan bunuh diri (Sadock, 2016;
Roy, 2015).

G. ASUHAN KEPERAWATAN TEORI


1. PENGKAJIAN
Pengkajian tingkah laku bunuh diri temasuk aplikasi observasi melekat dan keterampilan
mendengar untuk mendeteksi tanda spesifik dan rencana spesifik. Perawat harus mengkaji
tingkat risiko bunuh diri, faktor predisposisi, presipitasi, mekanisme koping, dan sumber
koping pasien. Beberapa kriteria untuk menilai tingkat risiko bunuh diri seperti pada tabel
berikut.

Faktor Risiko

Menurut SIRS (Suicidal Intention Rating Scale)

Skor 0 : Tidak ada ide bunuh diri yang lalu dan sekarang.

Skor 1 : Ada ide bunuh diri, tidak ada percobaan bunuh diri, tidak mengancam bunuh diri.

Skor 2 : Memikirkan bunuh diri dengan aktif, tidak ada percobaan bunuh diri.

Skor 3 : Mengancam bunuh diri, misalnya, “Tinggalkan saya sendiri atau saya bunuh diri”.

Skor 4 : Aktif mencoba bunuh diri.

Faktor Perilaku

1. Ketidakpatuhan Ketidakpatuhan biasanya dikaitkan dengan program pengobatan yang


dilakukan (pemberian obat). Pasien dengan keinginan bunuh diri memilih untuk tidak
memperhatikan dirinya.
2. Pencederaan diri Cedera diri adalah sebagai suatu tindakan membahayakan diri sendiri
yang dilakukan dengan sengaja. Pencederaan diri dilakukan terhadap diri sendiri, tanpa
bantuan orang lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk melukai tubuh.
3. Perilaku bunuh diri Biasanya dibagi menjadi tiga kategori, yaitu sebagai berikut.
a. Ancaman bunuh diri, yaitu peringatan verbal dan nonverbal bahwa orang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang tersebut mungkin menunjukkan secara
verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita lebih lama lagi atau mungkin juga
mengomunikasikan secara nonverbal melalui pemberian hadiah, merevisi wasiatnya,
dan sebagainya.
b. Upaya bunuh diri, yaitu semua tindakan yang diarahkan pada diri sendiri yang
dilakukan oleh individu yang dapat mengarahkan pada kematian jika tidak dicegah.
c. Bunuh diri mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau terabaikan.
Orang yang melakukan upaya bunuh diri dan yang tidak benar-benar ingin mati
mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.

Faktor Lain

Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam pengkajian pasien destruktif diri (bunuh diri) adalah
sebagai berikut (Stuart dan Sundeen, 1995).

1. Pengkajian lingkungan upaya bunuh diri.


a. Presipitasi peristiwa kehidupan yang menghina/menyakitkan.
b. Tindakan persiapan/metode yang dibutuhkan, mengatur rencana, membicarakan
tentang bunuh diri, memberikan barang berharga sebagai hadiah, catatan untuk bunuh
diri.
c. Penggunaan cara kekerasan atau obat/racun yang lebih mematikan.
d. Pemahaman letalitas dari metode yang dipilih.
e. Kewaspadaan yang dilakukan agar tidak diketahui.
2. Petunjuk gejala
a. Keputusasaan.
b. Celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal, dan tidak berharga.
c. Alam perasaan depresi.
d. Agitasi dan gelisah.
e. Insomnia yang menetap.
f. Penurunan berat badan.
g. Berbicara lamban, keletihan, menarik diri dari lingkungan sosial.
3. Penyakit psikiatrik
a. Upaya bunuh diri sebelumnya.
b. Kelainan afektif.
c. Alkoholisme dan atau penyalahgunaan obat.
d. Kelainan tindakan dan depresi pada remaja.
e. Demensia dini dan status kekacauan mental pada lansia.
f. Kombinasi dari kondisi di atas.
4. Riwayat psikososial
a. Baru berpisah, bercerai, atau kehilangan.
b. Hidup sendiri.
c. Tidak bekerja, perubahan, atau kehilangan pekerjaan yang baru dialami.
d. Stres kehidupan ganda (pindah, kehilangan, putus hubungan yang berarti, masalah
sekolah, ancaman terhadap krisis disiplin).
e. Penyakit medis kronis.
f. Minum yang berlebihan dan penyalahgunaan zat.
5. Faktor-faktor kepribadian
a. Impulsif, agresif, rasa bermusuhan.
b. Kekakuan kognitif dan negatif.
c. Keputusasaan.
d. Harga diri rendah.
e. Batasan atau gangguan kepribadian antisosial.
6. Riwayat keluarga
a. Riwayat keluarga berperilaku bunuh diri.
b. Riwayat keluarga gangguan afektif, alkoholisme, atau keduanya.

Faktor Predisposisi

Mengapa individu terdorong untuk melakukan bunuh diri? Banyak pendapat tentang
penyebab dan atau alasan termasuk hal-hal berikut.

1. Kegagalan atau adaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres.


2. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal atau gagal
melakukan hubungan yang berarti.
3. Perasaan marah atau bermusuhan. Bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
5. Tangisan minta tolong

Faktor Presipitasi
1. Psikososial dan klinik
a. Keputusasaan
b. Ras kulit putih
c. Jenis kelamin laki-laki
d. Usia lebih tua
e. Hidup sendiri
2. Riwayat
a. Pernah mencoba bunuh diri.
b. Riwayat keluarga tentang percobaan bunuh diri.
c. Riwayat keluarga tentang penyalahgunaan zat.
3. Diagnostis
a. Penyakit medis umum
b. Psikosis
c. Penyalahgunaan zat

Sumber Koping

Tingkah laku bunuh diri biasanya berhubungan dengan faktor sosial dan kultural. Durkheim
membuat urutan tentang tingkah laku bunuh diri. Ada tiga subkategori bunuh diri berdasarkan
motivasi seseorang, yaitu sebagai berikut.

1. Bunuh diri egoistik Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk.

2. Bunuh diri altruistik Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.

3. Bunuh diri anomik Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.

Mekanisme Koping

Mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku pengerusakan diri tak langsung
adalah pengingkaran (denial). Sementara, mekanisme koping yang paling menonjol adalah
rasionalisasi, intelektualisasi, dan regresi.

2. DIAGNOSIS
 Risiko bunuh diri berhubungan dengan harga diri rendah.
3. RENCANA INTERVENSI
Ancaman/percobaan bunuh diri dengan diagnosis keperawatan risiko bunuh diri.
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1) Tujuan
Pasien tetap aman dan selamat.
2) Tindakan
Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri, maka Anda
dapat melakukan tindakan berikut.
a. Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ke tempat
yang aman.
b. Menjauhkan semua benda yang berbahaya, misalnya pisau, silet, gelas, tali
pinggang.
c. Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya, jika pasien
mendapatkan obat.
d. Menjelaskan dengan lembut pada pasien bahwa Anda akan melindungi pasien
sampai tidak ada keinginan bunuh diri.

Tindakan Keperawatan untuk Keluarga

1) Tujuan
Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang mengancam atau
mencoba bunuh diri.
2) Tindakan
a. Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien serta jangan pernah
meninggalkan pasien sendirian.
b. Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-barang
berbahaya di sekitar pasien.
c. Mendiskusikan dengan keluarga ja untuk tidak sering melamun sendiri.
d. Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum obat secara teratur.

4. EVALUASI
1) Untuk pasien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan bunuh diri,
keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan keadaan pasien yang tetap aman
dan selamat.
2) Untuk keluarga pasien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan bunuh
diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan kemampuan keluarga berperan
serta dalam melindungi anggota keluarga yang mengancam atau mencoba bunuh diri.
3) Untuk pasien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan
ditandai dengan hal berikut.
a. Pasien mampu mengungkapkan perasaanya.
b. Pasien mampu meningkatkan harga dirinya.
c. Pasien mampu menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik.
4) Untuk keluarga pasien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan asuhan
keperawatan ditandai dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan
risiko bunuh diri, sehingga keluarga mampu melakukan hal berikut.
a. Keluarga mampu menyebutkan kembali tanda dan gejala bunuh diri.
b. Keluarga mampu memperagakan kembali cara-cara melindungi anggota keluarga
yang berisiko bunuh diri.
c. Keluarga mampu menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia dalam merawat
anggota keluarga yeng berisiko bunuh diri.
H. STRATEGI PELAKSANAAN (SP)
SP 1 : melindungi pasien dari percobaan bunuh diri
SP II : meningkatkan harga diri dan mengidentifikasi aspek positif pasien insyarat
bunuh diri
SP III : meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah (pola Koping) pasien
resiko bunuh diri
SP IV : Menyusun rencana masa depan
Daftar Pustaka

Yusuf.Ah.dkk.2016.Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta Selatan : Salemba Medika

Nurhalima.2016.Praktikum, Keperawatan Jiwa Jakarta : Kemenkes RI

SDKI , NIC, NOC


LAPORAN PENDAHULUAN

WAHAM

A. DEFINISI
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat atau
terus-menerus, tapi tidak sesuai dengan kenyataan, waham adalah termasuk gangguan isi
pikiran, pasien meyakini dirinya bahwa dirinya adalah seperti apa yang ada dalam isi
pikirannya, waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham
yang spesifik sering ditemukan pada penderita skizofernia.
Myers, dkk.(2017) menyatakan bahwa waham adalah keyakinan atau persepsi
palsu yang tetap tidak dapat diubah meskipun ada bukti yang membantahnya. Gangguan
proses proses pikir waham mengacu pada suatu kondisi seseorang yang menampilkan
satu atau lebih khayalan ganjil selama paling sedikit satu bulan. Waham merupakan suatu
keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat atau terus- menerus, tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan. Klien menyakini bahwa dirinya adalah seperti apa yang ada di
dalam isi pikirannya.
Waham merupakan gejala spesifik psikosis.Psikosis sendiri merupakan gangguan
jiwa yang berhubungan dengan ketidakmampuan seseorang dalam menilai realita dan
fantasi yang ada di dalam dirinya.Terlepas dari khayalan mereka, orang-orang dengan
gangguan waham mungkin terus bersosialisasi, bertindak secara normal, dan perilaku
mereka tidak selalu tampak aneh.
B. KLASIFIKASI
 Waham kebesaran Meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus,
serta diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya ini
direktur sebuah bank swasta lho..” atau “Saya punya beberapa perusahaan
multinasional”.
 Waham curiga Meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya, serta diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai
kenyataan. Misalnya, “Saya tahu..kalian semua memasukkan racun ke dalam
makanan saya”.
 Waham agama Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, serta
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Kalau saya mau
masuk surga saya harus membagikan uang kepada semua orang.”
 Waham somatik Meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu/terserang
penyakit, serta diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya,
“Saya sakit menderita penyakit menular ganas”, setelah pemeriksaan laboratorium
tidak ditemukan tandatanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia
terserang kanker.
 Waham nihilistik Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal,
serta diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Ini kan
alam kubur ya, semua yang ada di sini adalah roh-roh”.

C. RENTANG RESPON

Adaptif Maladaptif

Pikiran logis pikiran kadang Gangguan proses


Persepsi akurat menyimpang ilusi pikir: waham
Emosi konsisten Reaksi emosional halusinasi
Dengan berlebihan atau kesulitan
Pengalaman kurang memposes emosi
Perilaku sesuai Ilusi ketidakteraturan
Hubungan Perilaku aneh atau tak lazim, dalam perilaku
Sosial Menarik diri isolasi sosial

(sumber: Stuart, 2013)

D. TANDA GEJALAH
Gejala gangguan waham di bagi menjadi beberapa kategori, yaitu gejala kognitif,
afektif perilaku dan hubungan sosial dan gejala fisik.Gejala kognitif waham mancakup
ketidakmampuan dalam membedakan realita dan fantasi;kepercayaan yang sangat kuat
terhadap keyakinan pelsunya; memiliki kesulitas dalam berpikir realita; dan
ketidakmampuan dalam mengambil keputusan.
Kategori gejala afektif mencakup situasi yang tidak sesuai dengan kenyataan dan
afek tumpul. Karakter khas dari afek tumpul adalah tidak mengekspresikan perasaan,
baik secara verbal- dengan membicarakan kejadian emosional dengan cara emotif- atau
secara nonverbal- dengan menggunakan bahasa tubuh emosional, ekspresi wajah atau
gerak tubuh.
Kategori perilaku dan hubungan sosial mencakup hipersensifitas, depresif, ragu-
ragu, hubungan interpersonal dengan orang lain yang bersifat dangkal, mengancam
secara verbal, aktivitas tidak tepat, impulsi curiga dan pola pikir stereotip. Selain gejala-
gejala yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat gejala fisik yang ditandai dengan
kebersihan diri yang kurang, muka pucat, sering menguap, turunnya berat badan dan
nafsu makan, serta sulit tidur.

E. POHON MASALAH
Berdasarkan data yang diperoleh, ditetapkan bahwa diagnosis keperawatan waham
adalah:

GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM


Resiko kerusakan komunikasi verbal

Perubahan proses pikir :waham

Gangguan konsep diri: harga diri rendah


F. PENATALAKSANAAN
kronis
a. Penatalaksanaan medis
1. Farmakoterapi
Tatalaksana pengobatan skizoprenia paranoid mengacu pada penatalaksanaan
skizoprenia secara umum menurut Townsend (1998), Kaplan dan Sadock (1998)
antara lain :
1. Anti Psikotik
Jenis – jenis obat antipsikotik antara lain :
 Chlorpromazine
Untuk mengatasi psikosa, premedikasi dalam anestesi, dan
mengurangi gejala emesis. Untuk gangguan jiwa, dosis awal 3 x
25mg, kemudian dapat ditingkatkan supaya optimal, dengan dosis
tinggi 1000mg/hari secara oral.
 Trifluoperazine
Untuk terapi gangguan jiwa organic, dan gangguan psikotik menarik
diri, dosis awal 3 x 1mg, dan bertahap dinaikkan sampai 50mg/hari.
 Haloperidol
Untuk ansietas, ketegangan, psikosomatik, psikosis , dan mania, dosis
awal 3 x 0,5mg sampai 3mg.
2. Anti Parkinson
 Triheksipenydil (Artane)
Untuk semua bentuk parkinsonisme dan untuk menghilangkan reaksi
ekstrapiramidal akibat obat.Dosis yang digunakan 1-15mg/hari.
 Difenhidramin
Dosis yang diberikan 10-400mg/hari.
3. Anti Depresan
 Amitriptylin
Untuk gejala depresi, depresi oleh karena ansietas, dan keluhan
somatic.Dosis 75-300mg/hari.
 Imipramin
Untuk depresi dengan hambatan psikomotorik, dan depresi
neurotic.Dosis awal 25mg/hari, dosis pemeliharaan 50-75mg/hari.
4. Anti Ansietas
Anti ansietas digunakan untuk mengontrol ansietas, kelainan somatroform,
keluhan disosiatif, kelainan kejang, dan untuk meringankan sementara gejala-
gejala insomnia dan ansietas. Obat-obat yang termasuk anti ansietas antara
lain :
- Fenobarbital 16-320mg/hari
- Meprobamat 200-2400mg/hari
- Klordiazepoksida 15-100mg/hari

b. Penatalaksanaan keperwatan
1. Psikoterapi
Elemen penting dalam psikoterapi adalah menegakkan hubungan saling
percaya.Terapi individu lebih efektif daripada terapi kelompok.Terapis tidak
boleh mendukung ataupun menentang waham, dan tidak boleh terus menerus
membicarakan tentang wahamnya.Terapis harus tepat waktu, jujur, dan membuat
perjanjian seteratur mungkin.Tujuan yang dikembangkan adalah hubungan yang
kuat dan saling percaya dengan klien. Terapis perlu menyatakan kepada klien
bahwa keasyikan dengan wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan
mengganggu kehidupan konstruktif. Bila klien mulai ragu-ragu dengan
wahamnya, terapis dapat meningkatkan tes realistis.
Terapi harus bersikap empati terhadap pengalaman internal klien dan
harus mampu menampung semua ungkapan perasaan klien sehingga mampu
menghilangkan ketegangan klien.Dalam hal ini tujuannya adalah membantu klien
memiliki keraguan terhadap persepsinya.Saat klien menjadi kurang kaku,
perasaan kelemahan dan inferioritasnya yang menyertai depresi, dapat
timbul.Pada saat klien membiarkan perasaan kelemahan memasuki terapi, suatu
hubungan terapeutik positif telah ditegakkan dan aktifitas terapeutik dapat
dilakukan.
2. Terapi Keluarga
Pemberian terapi perlu menemui atau mendapatkan keluarga klien,
sebagai sekutu dalam proses pengobatan. Keluarga akan memperoleh manfaat
dalam membantu ahli terapi dan membantu perawatan klien.
DAFTAR PUSTAKA

Ns. Sutejo, M.Kep., Sp.Kep.J.2017.Konsep dan Praktik Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa:
Gangguan Jiwa dan Psikososial. Yogyakarta : Pustaka Batu Perss
Ns. Nurhalimah, S.Kep, M.Kep. Sp.Kep.J.2016.Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Jiwa.
Jakarta : Kemenkes RI file:///C:/Users/user/Downloads/5_6264701682345574833%20(3).pdf
Ns. Nurhalimah, M.Kep., Sp.Kep.J.2016. Modul Bahan Ajar Cetak Praktikum Keperawatan
Jiwa. Jakarta : Kemenkes RI
file:///C:/Users/user/Downloads/5_6242327475418825041%20(2).pdf
Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, Hanik Endang Nihayati.2015.Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika
https://www.scribd.com/doc/312016694/Strategi-Pelaksanaan-Isos

Anda mungkin juga menyukai