NIM : 17061032
MK : KEPERAWATAN BENCANA
TELAAH JURNAL
PERAN DAN KEPEMIMPINAN PERAWAT DALAM MANAJEMEN BENCANA
SOSIAL ANTAR AGAM PADA FASE TANGGAP DARURAT
A. LATAR BELAKANG
Konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik selalu
menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta menjadi pendorong
dalam dinamika dan perubahan sosial-politik (Kornblurn, 2003: 294). Konflik memiliki
dampak positif dan dampak negatif, dampak positif dari konflik sosial adalah konflik
tersebut memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan. Kebanyakan
konflik tidak berakhir dengan kemenangan disalah satu pihak dan kekalahan dipihak
lainnya. Konflik yang terjadi di Indonesia, ada juga yang dapat diselesaikan dengan baik
hingga berdampak baik bagi kemajuan dan perubahan masyarakat, akan tetapi ada
beberapa konflik justru berdampak negatif hingga mengakibatkan timbulnya kerusakan,
menciptakan ketidakstabilan, ketidakharmonisan, dan ketidakamanan bahkan sampai
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Dewasa ini konflik seringkali terjadi di berbagai
elemen masyarakat. Hal demikian dikarenakan berbagai latar belakang kebudayaan dan
status sosial ekonomi.
Pada akhir- akhir ini konflik sering kali muncul di berbagai kehidupan di sekitar
kita. Konflik yang muncul dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan antara kelompok
tertentu dan membuat ketidak stabilan di dalam tatanan kehidupan masyarakat yang
berkonflik. Konflik bisa mucul pada skala yang berbeda seperti konflik antar individu
(interpersonal conflic,konflik antar kelompok (intergroup conflict), konflik antar
kelompok dengan negara (vertical conflict), konflik antar negara (interstate conflict),
setiap skala memiliki latar belakang dan arah perkembangannya. Masyarakat di dunia
pada dasarnya memiliki sejarah konflik dalam skala antara perorangan sampai antar
negara. Konflik yang bisa dikelola secara arif dan bijaksana akan mendominasi proses
sosial dan bersifat konstruktif bagi perubahan sosial masyarakat dan tidak menghadirkan
kekerasan. Pada catatan sejarah masyarakat dunia, konflik sering diikuti oleh bentuk-
bentuk kekerasan, seperti perang dan pembantaian (Novri Susan; 2010:9).
Konflik merupakan masalah yang cukup kompleks saat ini, terutama di Indonesia.
Dikarenakan keberagaman suku, ras, dan agama yang ada. Perbedaan karakter dan
kepentingan setiap kelompok yang tidak dapat berjalan beriringan satu sama lain menjadi
salah satu faktor munculnya konflik. Walaupun konflik sering muncul, dimata dunia
warga negara Indonesia tetap dapat berjalan beriringan atau damai dan demokratis.
Hal ini karenanya adanya sikap toleransi dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat sejak zaman nenek moyang. Isu SARA merupakan hal yang biasa terjadi di
Indonesia. Agama sendiri juga sebagai salah satu norma yang berjalan di masyarakat. Di
Indonesia setidaknya ada 5 agama yang dianut masyarakat, yaitu islam, keristen, katolik,
budha, hindu, danh kong hu chu. Dalam pembahasan kali ini akan dibahas lebih lanjut
tentang konflik agama yang terjadi di masyarakat.
Ralf Dahrendrof salah seorang tokoh yang berpengaruh dalam teori konflik,
pemikirannya mulai dan sangat dipengaruhi oleh fungsionalisme struktural. Dia mencatat
bahwa bagi sang fungsionalis, sistem sosial dipengaruhi oleh kerja sama sukarela atau
konsensus umum atau keduanya. Akan tetapi, bagi teoretisi konflik (atau paksaan),
masyarakat dipersatukan oleh pembatasan yang dipaksakan. Dengan demikian, beberapa
posisi di masyrakat merupakan kekuasaan dan otoritas yang didelegasikan kepada orang
lain. Fakta kehidupan sosial tersebut membawa Dahrendorf kepada tesis sentralnya
bahwa distribusi otoritas yang diferensial selalu menjadi faktor penentu konflik-konflik
sosial sistematik (Ritzer, 2012:451).
Terjadinya pengelompokan atau pelapisan sosial yang terbentuk dimasyarakat, salah
satunya kelompok agama. Dari agama yang memiliki Tuhan, kitab, kepercayaan, dan
cara beribadah yang berbeda. Bahkan pada kelompok agama masih terbagi kedalam
kelompok-kelompok yang lebih kecil lagi. Contoh Kristen ada aliran saksi
yehuwa,mormon,childern of god,cristian sience. Hanya karena berbeda tatanan dalam
beribadah saja konflik masih sering terjadi antar aliran tersebut padahal masih dalam satu
naungan, yaitu agama kristen. Apalagi perbedaan agama yang mempunyai kepercayaan
dan keyakinan yang berbeda pasti lebih sering terjadi pertentangan atau yang lebih
dikenal dengan isu sara. Sistem pelapisan sosial di masyarakat dibentuk oleh manusia
sebagai makhluk sosial dengan pengaruh kebudayaan yang berlaku dan akibat adanya
keterpaksaan.
Penguasa juga berpengaruh penting sehingga terjadinya konflik, kebijakan yang
dilakukan adil atau tidak bagi warganya. Meski terkadang penguasa sudah bersikap adil
masih ada sebagian kelompok masyarakat yang merasa kebijakan tersebut tidak adil.
Padahal penguasa sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sudah memberikan kebijakan
sesuai porsi dan kebutuhan yang dimiliki. Sifat dasar alamiah manusia memiliki nafsu
yang sulit untuk di puaskan atau merasa terpuaskan. Tidak menutup kemungkinan konflik
terjadi akibat dari penguasa itu, yang menjadi faktor yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dalam dunia politik hal ini sangat sulit untuk dihindari jika tidak dibekali dengan ajaran
agama yang mendalam. Penguasa yang melakukan KKN biasanya tidak akan bertahan
lama kekuasaannya.
B. LITERATURE REVIEW
Bencana diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor
alam dan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis (BNPB, 2008).
Menurut Robbin (Susanto & Pudjirahardjo, 2013) konflik sebagai proses pengaruh
negatif antara satu orang ke orang yang lain. Konflik merupakan adanya ketidaksesuaian
antara antara individu dalam tujuan (Bouphan & Srichan, 2017).
Menurut Weber (Sumaryanto, 2010) konflik merupakan suatu tindakan satu pihak
melawan orang lain. Jadi konflik merupakan suatu proses yang mana ada perbedaaan
yang bertentangan satu pihak dengan pihak yang lain. Penyebab konflik banyak
ditemukan melalui penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti.
Menurut Smith, Mazzarella dan Piele dalam (Çınar & Kaban, 2012) terdapat 3 faktor
yang menyebabkan konflik yaitu masalah komunikasi, struktur organisasi dan manusia.
Hasil penelitian (Wahyudi, 2015) melaporkan terdapat 2 faktor dominan penyebab
konflik yaitu faktor komunikasi dan manusia, sedangkan penelitian (Apipalakul &
Kummoon, 2017) melaporkan penyebab konflik yang dominan hanya komunikasi. Dari
penelitian-penelitian diatas terlihat bahwa komunikasi merupakan penyebab konflik yang
paling dominan dalam berbagai hal. Ini mengartikan bahwa komunikasi perawat yang
kurang baik berpotensi untuk menimbulkan konflik dalam pelayanan keperawatan, salah
satunya adalah konflik interpersonal.
Dalam situasi darurat bencana sering terjadi kegagapan penanganan dan
kesimpangsiuran informasi dan data korban maupun kondisi kerusakan, sehingga
mempersulit dalam pengambilan kebijakan untuk penanganan darurat bencana. Sistem
koordinasi juga sering kurang terbangun dengan baik, penyaluran bantuan, distribusi
logistic sulit terpantau dengan baik sehingga kemajuan kegiatan penangan tanggap
darurat kurang terukur dan terarah secara obyektif. Situasi dan kondisi di lapangan yang
seperti itu disebabkan belum terciptanya mekanisme kerja pos komando dan koordinasi
tanggap darurat bencana yang baik, terstruktur dan sistematis (Muhammadiyah Disaster
Manajemen Center, 2011).
Secara umum manajemen siklus penaggulangan bencana meliputi: 1) kejadian
bencana (impact); 2) tanggap darurat (emergency response); 3) pemulihan (recovery); 4)
pembangunan (development); 5) pencegahan (preventation); 6) mitigasi (mitigation); 7)
kesiapsiagaan (preparedness), Kemenkes RI, (2006). Pengambilan keputusan yang efektif
dan efisien dalam merespon bencana mutlak ditopang oleh informasi yang didapat oleh
pihak pengambil keputusan. Jika informasi tidak benar, bisa dipastikan keputusan akan
salah dan intervensi yang dilakukan juga tidak tepat (tidak efektif), juga sangat
dimungkinkan menghambur-hamburkan sumberdaya dan sumber dana (tidak effisien).
cakup segala kondisi, dimana perawat tidak hanya terbatas pada pemberian asuhan
dirumah sakit saja melainkan juga dituntut mampu bekerja dalam kondisi siaga tanggap
bencana. Situasi penanganan antara keadaan siaga dan keadaan normal memang sangat
berbeda, sehingga perawat harus mampu secara skill dan teknik dalam menghadapi
kondisi seperti ini. Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan siaga
bencana dapat dilakukan oleh proesi keperawatan. Berbekal pengetahuan dan
kemampuan yang dimiliki seorang perawat bisa melakukan pertolongan siaga bencana
dalam berbagai bentuk.
C. PEMBAHASAN
Manajemen Resiko Bencana
Menurut Syarief dan Kondoatle (2006) mengutip Carter (2001), manajemen resiko
Bencana adalah pengelolaan bencana sebagai suatu ilmu pengetahuan terapan yang
mencari dengan melakukan observasi secara sistematis dan analisis bencana untuk
meningkatkan tindakan-tindakan (measure), terkait dengan pencegahan (preventif),
pengurangan (mitigasi), persiapan, prespon darurat dan pemulihan. Manajemen puncak
meliputi perencanaan (planing), pengorganisasian (coordinating), kepemimpinan
(directing), dan pengendalian (controlling). Tujuan Manajemen Resiko Bencana yaitu: 1)
Mengurangi atau menghindari kerugian secara fisik, ekonomi maupun jiwa yang dialami
oleh perorangan atau masyarakat dan negara; 2) Mengurangi penderitaan korban
bencana; 3) Mempercepat pemulihan; dan 4) Memberikan perlindungan kepada
pengungsi atau masyarakat yang kehilangan tempat ketika kehidupannya terancam.
Peran :
1. Memindahkan korban dari daerah berbahaya ke tempat pengumpulan/penampungan.
2. Memeriksa status kesehatan korban (triase di tempat kejadian).
3. Memberi pertolongan pertama jika diperlukan.
4. Memindahkan korban ke pos medis lapangan jika diperlukan.
3) Pertolongan pertama Mengobati luka ringan secara efektif dengan melakukan teknik
pertolongan pertama, seperti kontrol perdarahan, mengobati shock dan menstabilkan
patah tulang.
Peran:
6) RHA
Peran :
Menilai kesehatan secara cepat melalui pengumpulan informasi cepat dengan analisis
besaran masalah sebagai dasar mengambil keputusan akan kebutuhan untuk tindakan
penanggulangan segera.
7) Peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana Memfasilitasi jadwal
kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan sehari-hari.
Peran :
1. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian.
2. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan penanganan
kesehatan di RS.
3. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian.
4. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus bayi,
peralatan kesehatan.
5. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular maupun
kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan lingkungannya
berkoordinasi dengan perawat jiwa.
6. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas, depresi
yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun
reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue, mual muntah, dan
kelemahan otot).
7. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan dengan
memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain.
8. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog dan
psikiater.
9. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan kesehatan dan
kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.
8) Peran perawat dalam fase postimpact Membantu masyarakat untuk kembali pada
kehidupan normal melalui proses konsultasi atau edukasi.
Peran :
1. Membantu memulihkan kondisi fisik yang memerlukan penyembuhan jangka
waktu yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana
kecacatan terjadi.
D. KESIMPULAN
Meningkatnya kejadian bencana di seluruh dunia membuat setiap negara untuk siap
menghadapi hal yang tidak terduga, termasuk bencana alam. Karena itu, manajemen
bencana yang tepat dalam kesiapsiagaan, respon dan fase pemulihan sangat penting untuk
dibentuk. Meskipun banyak disiplin ilmu yang diperlukan untuk mendukung manajemen
bencana, perawat dianggap sebagai salah satu profesi kesehatan yang harus disiapkan
untuk menghadapi dan menangani bencana alam. Dengan demikian, kesadaran sangat
dibutuhkan dari perawat yang bekerja di daerah berisiko tinggi dengan bencana.
Disamping itu, perawat perlu mempersiapkan diri dengan memiliki pengetahuan dasar
serta keterampilan untuk menghadapi bencana. Dengan demikian, perawat bertanggung
jawab untuk mencapai peran dan kompetensi mereka dalam semua tahap bencana,
terutama pada fase respon atau tanggap darurat yang meliputi peringatan, mobilisasi, dan
evakuasi adalah tanggung jawab pertama yang dicapai. Kemudian, menilai masalah
kesehatan korban dan pelaporan data ke instansi pemerintah terkait harus dilakukan
dalam rangka untuk memberikan dan menstabilkan kondisi kesehatan korban bencana.
DAFTAR PUSTAKA
file:///C:/Users/Costumer/Documents/6635-13965-1-SM.pdf
file:///C:/Users/Costumer/Downloads/RAHAYU%20(K3RS%201).pdf