Perilaku Kekerasan
Disusun oleh :
Rossyta
PERILAKU KEKERASAN
1. Definisi
a. Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008).
b. Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu
keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan
perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.
2. Rentang respon
Perilaku kekerasan merupakan respon kemarahan. Respon
kemrahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai maladaptive
(keliat & Sinaga, 1991). Rentang Respon Ekpresi marah menurut Stuart and
Sundeen (1995)
Keterangan :
a. Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan pasti
dan merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang
asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Meraka dapat melihat norma
individu lainnya dengan tepat sesuai dengan situasi. Pada saat
berbicara kontak mata langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara
dalam berbicara tidak mengancam. Individu yang asertif dapat menolak
permintaan yang tidak beralasan dan meyampaikan rasionalnya kepada
oang laindan sebaliknya individu juga dapat menerima dan tidak merasa
bersalah bila permintaannya di tolak orag lain (Stuart & Lauria 2005)
b. Pasif
Individu yang pasif sering menyampaikan haknya dari persepsinya
terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah maka dia
akan berusaha menutupi kemarahannya sehingga meningkatkan
tekanan pada dirinya. Pola interaksi seperti ini dapat menyebabkan
gangguan perkembangan (Stuart & Lauria 2005)
c. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan (Stuart
& Sundeen 2005). Frustasi adalah kegagalan individe dalam mencapai
tujuan yang diinginkan. Frustasi akan bertambah berat jika keinginan
yang tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan (Rawlin,
William & Beck, 1993)
d. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa
harus bersing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seseorang
yang agresif di dalam hidupnya selalu mengarah pada kekrasan fisik
dan verbal. Perilaku agresif pada dasarnya disebabkan karena menutupi
kurangnya rasa percaya diri (Bushman& BAumeister, 1998 da Stuart &
Laraia, 2005). Agresif adalah perilaku mengancam dan memusuhi orag
lain dan atau lingkungan (Rawlins et al.,1993)
e. Amuk (Perilaku Kekerasan)
Amuk atau perilaku kkerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan
yang kuat yang disertai kehilangan control diri sehingga individu dapat
merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat & Sinaga, 1991).
Menurut Stuart dan LAraia (2009) perilaku kekerasan berfluktuasi
dari tingkat rendah ke tinggi yaitu yang disebut dengan hiraki perilaku agresif
dan kekerasan.
Tinggi
Rendah
3. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang
dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang
berpengaruh terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap
proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan
hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan
dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi,
perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini
maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal
maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan
pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam
komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik
terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif.
Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine,
norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat
berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls
agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight
yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons
terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung
antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor
predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor
otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus
temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan
serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan
untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan
memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam
kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh
peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh
peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise
atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan
pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang
orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka
mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain.
Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau
mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka
dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku
kekerasan setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya
dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok
sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan
sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat
juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila
individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka
tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang
ramai/padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk
perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat
menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat
dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap
perkembangan keluarga.
5. Patofisiologi
Stres, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari – hari yang
harus dihadapi oleh setiap individu. Stres dapat menyebabkan kecemasan
yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam.
Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan
Sampai saat ini belum ada consensus mengenai tes apa saja yang
digunakan sebagai penyaring, tetapi beberapa tes berikut patut untuk
dipertimbangkan pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum, glukosa
darah, tes fungsi hepar, tes fungsi ginjal, kalsium serum, tiroksin (T4),
pemeriksaan penyaring untuk sifilis (VDRL dan TPHA), dan tes urine untuk
obat terlarang (Maramis, 2009).
2. Pencitraan
CT (computerized tomography, sering disebut Ctscan) dan MRI
(magnetic resonance imaging) adalah pencitraan diagnostik yang paling
sering digunakan dalam evaluasi pasien dengan gejala psikiatrik. CT adalah
pemeriksaan non-invasif yang dapat melihat anatomi kepala menurut irisan
dengan berbagai ketebalan (Maramis, 2009).
Indikasi spesifik CT adalah episode pertamapsikologis di atasumur 40
tahun, episode pertama gangguan afektif setelah umur 50 tahun, episode
pertama gangguan kepribadian di atas usia 40 tahun, gerakan involunter
abnormal, delirium atau demensia yang tak diketahui penyebabnya, katatonia
persisten, dan anoreksia nervosa (Maramis, 2009).
MRI mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan CT, yaitu: tidak
melibatkan radiasi radioaktif, irisan dapat dilakukan pada berbagai bidang,
dapat lebih baik mengdiferensiasi masa putih (white mass) dan abu-abu (grey
mass) otak sehingga lebih sensitive untuk anatomic otak, dan lebih baik
untuk melihat kelainan di fosa posterior dan batang otak (Maramis, 2009).
Beberapa kondisi yang merupakan kontraindikasi untuk MRI adalah
pasien dengan alat pacu jantung, klip aneurisma, wanita hamil, dan pasien
dengan benda asing yang berpotensi magnetik. Selain itu, karna harga
pemeriksaan ini yang mahal, serta menuntut kerjasama pasien untuk diam
berbaring dalam waktu yang cukup lama, maka penggunaan CT lebih populer
(Maramis, 2009).
3. Pemeriksaan Neurologis
Elektro ensefalografi (EEG) mengukur aktivitas elektrik di permukaan
otak dan bukanlah alat yang memisahkan normal dari abnormal, karena hasil
EEG yang normal tidak meniadakan kemungkinan adanya gangguan organik
atau epilepsi (Maramis, 2009).
7. Penatalaksanaan Medis
1. Akut
a. Pertama putuskan bahwa pasien kehilangan kendali secara akut.
Apabila demikian, tangani segera dengan pengekangan fisik dan
medikasi bukan dengan percakapan. Segera temui, jangan biarkan
pasien menunggu.
b. Dekati pasien yang kurang bersahabat dengan hati-hati dan berada
pada posisi yang aman (tersedia bantuan setiap saat, pintu dalam
keadaan terbuka). Waspadai tanda-tanda peringatan (misal : gelisah,
sikap menuntut). Apabila bercakap-cakap tampak bermanfaat, coba
lakukan, tetapi berilah batas yang jelas selama wawancara. Gunakan
control fisik bila pasien tidak dapat mempertahankan kendali tetapi
tetap tekankan bantuan yang dapat dilakukan oleh pasien sendiri.
Apabila pasien dating dengan keadaan dikekang, jangan dilepas
sebelum terjadi rapport dan beberpa hasil evaluasi diperoleh,
meskipun demikian banyak pasien dapat bersikap lebih baik tanpa
pengekangan. Pengekangan dapat meningkatkan agitasi dan
menyebabkan hipertermia. Apabila diperlukan kekuatan untuk
meredakannya, gunakan kekuatan penuh-satu orang memegang
masing-masing anggota tubuh pasien. Jangan mengambil resiko.
c. Medikasi terhadap pasien dengan agitasi akut: lorazepam 1-2 mg IM
(diabsorpsi dengan baik melalui intramuscular) setiap 2-4 jam,
maksimal 3 dosis; haloperidol 5 mg IM/jam untuk 3-4 dosis; atau
droperidol (5 mg IM/jam 2-3 dosis-tidak direkomendasikan oleh FDA
untuk keperluan tersebut). Apakah pasien menggunakan obat-obatan
yang menekan SSP, apakah dalam kondisi delirium, atau adakah
suatu kondisi medis yang bertanggung jawab atas perilakunya?
Kalau demikian, berikan medikasi dan observasi. ECT dapat
mengendalikan kekerasan psikotik.
d. Jika pasien mengancam dan agitasi tetapi tidak ganas, perlakukan
dengan penuh penghormatan-manusiawi, langsung, pasti, tenang,
menetramkan. Jangan menantang, memprovokasi atau secara
terang-terangan tidak setuju dengan pasien. Kesampingkan birokrasi.
Selalu terangkan apa yang akan dilakukan dan mengapa. Pasien
dengan perilaku kekerasan sering ketakutan- telusuri mengapa dan
apa penyebabnya.
e. Tentukan etiologi kekerasan. Apakah ada penyakit mental? Cedera
otak? Penggunaanobat-obatan (lakukan tes urine)? Apakah ada
pencetus lingkungan yang dapat dikenali? Lakukan intervensi secara
langsung pada pasien psikotik.
f. Kebanyakan pasien dapat “ditenangkan” dengan dukungan,
pengertian (dan medikasi); meskipun demikian, apabila perlupaksa
untuk masuk rumah sakit. Apabila ini benar-benar masalah criminal,
dan haruskan melibatkan polisi? (Tomb, 2003)
2. Pengekangan fisik :
Ada 2 macam, pengekangan fisik secara mekanik (menggunkan
manset, sprei pengekang) atau isolasi (menempatkan pasien pada
suatu ruangan dimana klien tidak dapat keluar atas kemauannya
sendiri).
3. Intervensi keperawatan :
1. Baringkan klien dengan pakaian rumah sakit di atas tempat tidur
yang tahan air
2. Balutan sprei pada tubuh klien dengan rapi dan pastikan bahwa
permukaan kulit tidak saling bersentuhan
3. Tutupi sprei basah dengan selapis selimut
4. Amati klien dengan konstan
5. Pantau suhu, nadi, dan pernapasan. Jika tampak sesuatu yang
bermakna buka pengekangan
6. Berikan cairan sesering mungkin
7. Pertahankan suasana lingkungan yang tenang
8. Kontak verbal dengan suara yang menyenangkan
9. Lepaskan balutan setelah lebih kurang 2 jam
10. Lakukan perawatan kulit sebelum membantuk line berpakaian
4. Restrains
Tujuan tindakan keperawatan adalah memonitor alat restrain mekanik
atau restrain manual terhadap pergerakan klien. Dapatkan dokter jika
diharuskan karena kebijakan institusi.
5. Isolasi
Adalah menempatkan klien dalam ruangan dimana klien tidak
dapat keluar atas kemauannya sendiri. Tingkatan pengisolasian dapat
berkisar dari penempatan dalam ruangan yang tertutup tetapi tidak
terkunci sampai pada penempatan dalam ruangan terkunci dengan kasur
tanpa sprei di lantai, kesempatan berkomunikasi dibatasi dan klien
memakai pakaian RS atau kain terpal yang berat.
Indikasi pengunaan :
o Pengendalian perilaku amuk yang potensial membahayakan klien
atau orang lain dan tidak dapat dikendalikan oleh orang lain
dengan intervensi pengendalian yang longgar, sperti kontak
interpersonal atau pengobatan.
o Reduksi stimulus lingkungan jika diminta oleh klien
Kontraindikasi :
o Kebutuhan untuk pengamatan masalah medic
o Resiko tinggi untuk bunuh diri
o Potensial tidak dapat mentoleransi deprivasi sensori. (Yosep,
2010)
6. Kronis
a. Pasien dengan kekerasan kronis perlu uji coba medikasi. Obat
psikosis dengan antipsikotik dan kejang dengan obat
antikonvulsan. Untuk perilaku agresi yang berlanjut
pertimbangkan:
i. Klozapinataurisperidon (lebih dipilih untuk pasien skizofrenia
yang disertai hostilitas)
ii. SSRI [missal fluoksetin (12)] untuk kondisi berbeda-beda dan
buspiron (cedera kepala, retardasi mental)
iii. Propanol (200-800 mg/hari, dosis terbagi), nadolol (sampai
120 mg/hari) atau pindolol; efektif setelah 4-6 minggu.
iv. Karbamazepin (600-1200 mg/hari, dosis terbagi), asam
valproat dan litium (kadar di dalam darah 0,6-1,2 mEq/L)
mungkin berguna untuk pasien dengan kekerasan disertai
dengan gangguan bipolar, skizofrenia, retardasi mental,
gangguan eksplosi fintermiten dan obat-obatan stimulant
lainnya untuk pasien dewasa yang hiperaktif.
7. Managemen krisis :
Bila pada waktu intervensi awal tidak berhasil maka diperlukan
intervensi yang lebih aktif. Prosedur penanganan kedaruratan psikiatrik
8. Pohon Masalah
9. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
b. Pandangan tajam
d. Mengepalkan tangan
e. Jalan mondar-mandir
f. Bicara kasar
perilaku kekerasan.
2) Daftar Masalah
a. Perilaku Kekerasan.
e. Isolasi sosial.
f. Berduka disfungsional.
Tujuan
pernah dilakukannya.
d) Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku
kekerasannya.
yang dilakukannya.
Tindakan
Tujuan
Tindakan
perilaku kekerasan.
PK
b) Strategi Pelaksanaan 2
dokumentasi)
obat
c) Strategi pelaksanaan 3
dan verbal
d) SP 4
– Evaluasi kegiatan latihan fisik & obat & verbal. Beri pujian
(2 kegiatan)
dapat dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif dilakukan
dilakukakannya.
dilakukan.
mengungkapkan kemarahan.
kekerasan.
i. Klien mendapatkan dukungan dari keluarga untuk mengontrol
perilaku kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi, et al. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (basic
course). Jakarta : EGC
Rawlins & Beck, C.K. (1993). Mental Health Psychitric Nursing 3rd Ed. St. Louis :
Mosby Year
Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan JIwa. Jakarta. EGC
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung. PT Refika Aditama