Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

Perilaku Kekerasan

Disusun untuk memenuhi Profesi Stase Jiwa

Disusun oleh :

Rossyta

PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2020

PERILAKU KEKERASAN

1. Definisi
a. Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008).
b. Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu
keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan
perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.

2. Rentang respon
Perilaku kekerasan merupakan respon kemarahan. Respon
kemrahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai maladaptive
(keliat & Sinaga, 1991). Rentang Respon Ekpresi marah menurut Stuart and
Sundeen (1995)

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Pasif Frustasi Agresi Amuk

Keterangan :
a. Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan pasti
dan merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang
asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Meraka dapat melihat norma
individu lainnya dengan tepat sesuai dengan situasi. Pada saat
berbicara kontak mata langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara
dalam berbicara tidak mengancam. Individu yang asertif dapat menolak
permintaan yang tidak beralasan dan meyampaikan rasionalnya kepada
oang laindan sebaliknya individu juga dapat menerima dan tidak merasa
bersalah bila permintaannya di tolak orag lain (Stuart & Lauria 2005)
b. Pasif
Individu yang pasif sering menyampaikan haknya dari persepsinya
terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah maka dia
akan berusaha menutupi kemarahannya sehingga meningkatkan
tekanan pada dirinya. Pola interaksi seperti ini dapat menyebabkan
gangguan perkembangan (Stuart & Lauria 2005)
c. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan (Stuart
& Sundeen 2005). Frustasi adalah kegagalan individe dalam mencapai
tujuan yang diinginkan. Frustasi akan bertambah berat jika keinginan
yang tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan (Rawlin,
William & Beck, 1993)
d. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa
harus bersing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seseorang
yang agresif di dalam hidupnya selalu mengarah pada kekrasan fisik
dan verbal. Perilaku agresif pada dasarnya disebabkan karena menutupi
kurangnya rasa percaya diri (Bushman& BAumeister, 1998 da Stuart &
Laraia, 2005). Agresif adalah perilaku mengancam dan memusuhi orag
lain dan atau lingkungan (Rawlins et al.,1993)
e. Amuk (Perilaku Kekerasan)
Amuk atau perilaku kkerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan
yang kuat yang disertai kehilangan control diri sehingga individu dapat
merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat & Sinaga, 1991).
Menurut Stuart dan LAraia (2009) perilaku kekerasan berfluktuasi
dari tingkat rendah ke tinggi yaitu yang disebut dengan hiraki perilaku agresif
dan kekerasan.
Tinggi

Melukai dalam tingkat serius dan


bebahaya
Melukai dalam tingkat yang tidak
berbahaya
Mengucapkan kata-kata ancaman dengan
rencana melukai
Menyentuh orang lain dengan cara
menakutkan
Mengucapkan kata-kata ancaman tanpa
melukai
Mendekati orang lain dengan ancaman
Bicara keras dan menuntut
Memperlihatkan permusuhan pada tingkat
rendah

Rendah

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa perilaku


kekerasan mempunyai tingkatan berdasarkan perilaku kekerasan
mempunyai tingkatan berdasarkan perilakunya mulai dari yang terendah
yaitu memperlihatkan permusuhan pada tingkatan trtinggi yaitu melukai dan
tingkat serius dan membahayakan.

3. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang
dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang
berpengaruh terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap
proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan
hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan
dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi,
perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini
maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal
maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan
pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam
komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik
terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif.
Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine,
norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat
berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls
agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight
yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons
terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung
antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor
predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor
otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus
temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan
serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan
untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan
memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam
kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh
peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh
peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise
atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan
pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang
orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka
mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain.
Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau
mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka
dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku
kekerasan setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya
dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok
sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan
sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat
juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila
individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka
tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang
ramai/padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk
perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat
menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat
dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap
perkembangan keluarga.

4. Tanda dan gejala


Menurut Keliat (1999), tanda dan gejala dari perilaku kekerasan, sebagai
berikut:
a. Tanda dan Gejala Fisik
1) Muka merah
2) Pandangan tajam
3) Otot tegang
4) Nada suara tinggi
5) Berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak
6) Memukul jika tidak senang
b. Tanda dan Gejala Emosional
1) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan
tindakan terhadap penyakit (misal, rambut botak karena terapi)
2) Rasa bersalah terhaap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri
sendiri)
3) Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
4) Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
5) Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai
harapan yang suram, mungkin klien akan mengakhiri
kehidupannya)
c. Tanda dan Gejala Sosial
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Cenderung suka meremehkan
4) Berdebat
5) Kasar
d. Tanda dan Gejala Spiritual
1) Merasa diri kuasa
2) Merasa diri benar
3) Keragu-raguan
4) Tak bermoral
5) Kreativitas terhambat
Sedangkan menurut Yosep (2009), mengemukakan bahwa tanda dan
gejala perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Tangan mengepal
2) Rahang mengatup
3) Postur tubuh kaku
4) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak, atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Ketus
6) Suara keras
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda atau orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri atau orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosional
1) Tidak adekuat
2) Tidak aman dan nyaman
3) Rasa terganggu
4) Dendam dan jengkel
5) Tidak berdaya
6) Bermusuhan
7) Mengamuk
8) Ingin berkelahi
9) Menyalahkan dan menuntut

5. Patofisiologi
Stres, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari – hari yang
harus dihadapi oleh setiap individu. Stres dapat menyebabkan kecemasan
yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam.
Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan

Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :


1. Menyerang atau Menghindar (fight or fight)
a. Pada keadaan ini respons psikologi timbul karena kegiatan system
saraf otonom bereaksi terhadap sekresi ephineprin yang
menyebabkan tekanan darah meningkat, takhikardi, wajah merah.
b. Pupil melebar, mual, sekresi HCL meningkat, peristaltic gaster
menurun, pengeluaran urin dan saliva meningkat, konstipasi,
kewaspadaan juga meningkat disertai ketegangan otot, seperti
rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai
reflek yang cepat.
2. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
a. Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif.
b. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan
marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya
tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis.
c. Disamping itu perilaku ini dapat juga untukpengembangan diri klien.
3. Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku
memberontak untuk menarik perhatian orang lain.
4. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yg ditujukan kepada diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan.

Konsep marah (Beck, Rawlins, Williams. 1986, hlm. 447)


6. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
Meskipun pemeriksaan laboratorik adalah pemeriksaan penunjang,
tetapi perannya penting dalam menjelaskan dan mengkuantifikasi disfungsi
neuro fisiologis, memilih pengobatan dan memonitor respon klinis.
Karenanya, dokter atau psikiater perlu mengerti pemilihan pemeriksaan
laboratorik untuk pasien tertentu. Dalam hal ini harus dipertimbangkan
kondisi ekonomi, ketidaknyamanan, dan resiko efek yang merugikan;
interpretasi data laboratorik dalam pengertian spesifitas, sensivitas dan nilai
prediktif. Hasil pemeriksaan laboratorik harus dapat diintegrasikan dengan
data riwayat penyakit, wawancara dan pemeriksaan psikiatrik untuk
memperoleh gambaran komprehensif tentang diagnosis dan pengobatan
yang diperlukan oleh pasien (Maramis, 2009).

Untuk pasien rawat jalan, melakukan serangkaian tes penyaring


secara membabibuta hanya mempunyai kegunaan klinis yang terbatas dan
merupakan pemborosan. Lebih baik dilakukan tes laboratorik tertentu
berdasarkan penilaian yang cermat dan integrasi antara riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik. Pada pasien rawat inap, dianjurkan agar dilakukan tes
dasar pada waktu masuk rumah sakit untuk mengevaluasi kondisi medis
umum (Maramis, 2009).

Sampai saat ini belum ada consensus mengenai tes apa saja yang
digunakan sebagai penyaring, tetapi beberapa tes berikut patut untuk
dipertimbangkan pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum, glukosa
darah, tes fungsi hepar, tes fungsi ginjal, kalsium serum, tiroksin (T4),
pemeriksaan penyaring untuk sifilis (VDRL dan TPHA), dan tes urine untuk
obat terlarang (Maramis, 2009).

2. Pencitraan
CT (computerized tomography, sering disebut Ctscan) dan MRI
(magnetic resonance imaging) adalah pencitraan diagnostik yang paling
sering digunakan dalam evaluasi pasien dengan gejala psikiatrik. CT adalah
pemeriksaan non-invasif yang dapat melihat anatomi kepala menurut irisan
dengan berbagai ketebalan (Maramis, 2009).
Indikasi spesifik CT adalah episode pertamapsikologis di atasumur 40
tahun, episode pertama gangguan afektif setelah umur 50 tahun, episode
pertama gangguan kepribadian di atas usia 40 tahun, gerakan involunter
abnormal, delirium atau demensia yang tak diketahui penyebabnya, katatonia
persisten, dan anoreksia nervosa (Maramis, 2009).
MRI mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan CT, yaitu: tidak
melibatkan radiasi radioaktif, irisan dapat dilakukan pada berbagai bidang,
dapat lebih baik mengdiferensiasi masa putih (white mass) dan abu-abu (grey
mass) otak sehingga lebih sensitive untuk anatomic otak, dan lebih baik
untuk melihat kelainan di fosa posterior dan batang otak (Maramis, 2009).
Beberapa kondisi yang merupakan kontraindikasi untuk MRI adalah
pasien dengan alat pacu jantung, klip aneurisma, wanita hamil, dan pasien
dengan benda asing yang berpotensi magnetik. Selain itu, karna harga
pemeriksaan ini yang mahal, serta menuntut kerjasama pasien untuk diam
berbaring dalam waktu yang cukup lama, maka penggunaan CT lebih populer
(Maramis, 2009).

3. Pemeriksaan Neurologis
Elektro ensefalografi (EEG) mengukur aktivitas elektrik di permukaan
otak dan bukanlah alat yang memisahkan normal dari abnormal, karena hasil
EEG yang normal tidak meniadakan kemungkinan adanya gangguan organik
atau epilepsi (Maramis, 2009).

Indikasi umum untuk pemeriksaan EEG adalah pasien muda


(terutama di bawah 25 tahun) dengan episode pertama psikosis dan pasien
dengan riwayat kemungkina n cedera otak atau gangguan neurologis
(misalnya kecelakaan, tidak sadar, infeksi, kompilkasi perinatal, kejang)
(Maramis, 2009).
Beberapa ciri yang memperbesar kemungkinan ditemukannya
abnormalitas pada EEG, CT atau MRI adalah: adanya defisit neurologis fokal,
perubahan status mental yang drastis dan baru, riwayat penyalahgunaan zat,
trauma kepala atau patologi SSP lain, pasien usia lanjut, dan gejala-gejala
tidak khas dengan riwayat psikiatrik yang meragukan (Maramis, 2009).
Modifikasi pemeriksaan EEG yang lebih baru adalah dengan
pemetaan topografister komputerisasi atau lazim disebut Computerized EEG
atau brain mapping. Aktivitas elektrik permukaan otak direkam dengan
frekuensi tertentu dan dipetakan secara grafis dua dimensi yang berwarna.
Metode ini digunakan lebih banyak dalam riset psikofarmakologis dan statistik
(Maramis, 2009).

4. Pemeriksaan Status Mental Miniatau mini-mental state examination


Digunakan bilamana dicurigai adanya dimensia. Tes ini dibuat
berdasarkan wawancara pemeriksaan status mental standar dan terdiri atas
pemeriksaan terhadap orientasi, memori untuk registrasi dan recall (segera
dan ingatan tunda 3 objek), atensi (pengurangan seri tujuh), member nama
objek yang umum (verbal skills), mengikuti perintah lisan dan tertulis,
ketrampilan menulis, dan menggambar figure sederhana (praxis skills). Tes
ini untuk menilai secara global fungsi kognitif. Sering dipakai untuk menilai
pasien demensia. Betul pada semua item akan menghasilkan skor 30. Skor
dibawah 24 biasanya mengindikasikan rendahnya kognitif (Maramis, 2009).

7. Penatalaksanaan Medis
1. Akut
a. Pertama putuskan bahwa pasien kehilangan kendali secara akut.
Apabila demikian, tangani segera dengan pengekangan fisik dan
medikasi bukan dengan percakapan. Segera temui, jangan biarkan
pasien menunggu.
b. Dekati pasien yang kurang bersahabat dengan hati-hati dan berada
pada posisi yang aman (tersedia bantuan setiap saat, pintu dalam
keadaan terbuka). Waspadai tanda-tanda peringatan (misal : gelisah,
sikap menuntut). Apabila bercakap-cakap tampak bermanfaat, coba
lakukan, tetapi berilah batas yang jelas selama wawancara. Gunakan
control fisik bila pasien tidak dapat mempertahankan kendali tetapi
tetap tekankan bantuan yang dapat dilakukan oleh pasien sendiri.
Apabila pasien dating dengan keadaan dikekang, jangan dilepas
sebelum terjadi rapport dan beberpa hasil evaluasi diperoleh,
meskipun demikian banyak pasien dapat bersikap lebih baik tanpa
pengekangan. Pengekangan dapat meningkatkan agitasi dan
menyebabkan hipertermia. Apabila diperlukan kekuatan untuk
meredakannya, gunakan kekuatan penuh-satu orang memegang
masing-masing anggota tubuh pasien. Jangan mengambil resiko.
c. Medikasi terhadap pasien dengan agitasi akut: lorazepam 1-2 mg IM
(diabsorpsi dengan baik melalui intramuscular) setiap 2-4 jam,
maksimal 3 dosis; haloperidol 5 mg IM/jam untuk 3-4 dosis; atau
droperidol (5 mg IM/jam 2-3 dosis-tidak direkomendasikan oleh FDA
untuk keperluan tersebut). Apakah pasien menggunakan obat-obatan
yang menekan SSP, apakah dalam kondisi delirium, atau adakah
suatu kondisi medis yang bertanggung jawab atas perilakunya?
Kalau demikian, berikan medikasi dan observasi. ECT dapat
mengendalikan kekerasan psikotik.
d. Jika pasien mengancam dan agitasi tetapi tidak ganas, perlakukan
dengan penuh penghormatan-manusiawi, langsung, pasti, tenang,
menetramkan. Jangan menantang, memprovokasi atau secara
terang-terangan tidak setuju dengan pasien. Kesampingkan birokrasi.
Selalu terangkan apa yang akan dilakukan dan mengapa. Pasien
dengan perilaku kekerasan sering ketakutan- telusuri mengapa dan
apa penyebabnya.
e. Tentukan etiologi kekerasan. Apakah ada penyakit mental? Cedera
otak? Penggunaanobat-obatan (lakukan tes urine)? Apakah ada
pencetus lingkungan yang dapat dikenali? Lakukan intervensi secara
langsung pada pasien psikotik.
f. Kebanyakan pasien dapat “ditenangkan” dengan dukungan,
pengertian (dan medikasi); meskipun demikian, apabila perlupaksa
untuk masuk rumah sakit. Apabila ini benar-benar masalah criminal,
dan haruskan melibatkan polisi? (Tomb, 2003)

2. Pengekangan fisik :
Ada 2 macam, pengekangan fisik secara mekanik (menggunkan
manset, sprei pengekang) atau isolasi (menempatkan pasien pada
suatu ruangan dimana klien tidak dapat keluar atas kemauannya
sendiri).

Jenis pengekangan mekanik :


a. Camisoles (jaket pengekang)
b. Manset untuk pergelangantangan
c. Manset untuk pergelangan kaki
d. Menggunakan sprei
Indikasi pengekangan ;
a. Perilaku amuk yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang
lain
b. Perilakuagitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan
c. Ancaman terhadap integritas fisik yang berhubungan dengan
penolakan klien untuk beristirahat, makan dan minum
d. Permintaan klien untuk pengendalian perilaku eksternal. Pastikan
tindakan ini dikaji dan berindikasi terapeutik.

Pengekangan dengan sprei basah atau dingin


Klien dapat dimobilasasi dengan membalutnya seperti mummi
dalam lapisan sprei dan selimut. Lapisan paling dalam terdiri atas
sprei yang telah direndam dalam air es. Walaupun mula-mula terasa
dingin, balutan segera menjadi hangat dan menenangkan. Hal ini
dilakukan pada perilaku amuk atau agitasi yang tidak dapat
dikendalikan obat.

3. Intervensi keperawatan :
1. Baringkan klien dengan pakaian rumah sakit di atas tempat tidur
yang tahan air
2. Balutan sprei pada tubuh klien dengan rapi dan pastikan bahwa
permukaan kulit tidak saling bersentuhan
3. Tutupi sprei basah dengan selapis selimut
4. Amati klien dengan konstan
5. Pantau suhu, nadi, dan pernapasan. Jika tampak sesuatu yang
bermakna buka pengekangan
6. Berikan cairan sesering mungkin
7. Pertahankan suasana lingkungan yang tenang
8. Kontak verbal dengan suara yang menyenangkan
9. Lepaskan balutan setelah lebih kurang 2 jam
10. Lakukan perawatan kulit sebelum membantuk line berpakaian

4. Restrains
Tujuan tindakan keperawatan adalah memonitor alat restrain mekanik
atau restrain manual terhadap pergerakan klien. Dapatkan dokter jika
diharuskan karena kebijakan institusi.
5. Isolasi
Adalah menempatkan klien dalam ruangan dimana klien tidak
dapat keluar atas kemauannya sendiri. Tingkatan pengisolasian dapat
berkisar dari penempatan dalam ruangan yang tertutup tetapi tidak
terkunci sampai pada penempatan dalam ruangan terkunci dengan kasur
tanpa sprei di lantai, kesempatan berkomunikasi dibatasi dan klien
memakai pakaian RS atau kain terpal yang berat.

Indikasi pengunaan :
o Pengendalian perilaku amuk yang potensial membahayakan klien
atau orang lain dan tidak dapat dikendalikan oleh orang lain
dengan intervensi pengendalian yang longgar, sperti kontak
interpersonal atau pengobatan.
o Reduksi stimulus lingkungan jika diminta oleh klien

Kontraindikasi :
o Kebutuhan untuk pengamatan masalah medic
o Resiko tinggi untuk bunuh diri
o Potensial tidak dapat mentoleransi deprivasi sensori. (Yosep,
2010)
6. Kronis
a. Pasien dengan kekerasan kronis perlu uji coba medikasi. Obat
psikosis dengan antipsikotik dan kejang dengan obat
antikonvulsan. Untuk perilaku agresi yang berlanjut
pertimbangkan:
i. Klozapinataurisperidon (lebih dipilih untuk pasien skizofrenia
yang disertai hostilitas)
ii. SSRI [missal fluoksetin (12)] untuk kondisi berbeda-beda dan
buspiron (cedera kepala, retardasi mental)
iii. Propanol (200-800 mg/hari, dosis terbagi), nadolol (sampai
120 mg/hari) atau pindolol; efektif setelah 4-6 minggu.
iv. Karbamazepin (600-1200 mg/hari, dosis terbagi), asam
valproat dan litium (kadar di dalam darah 0,6-1,2 mEq/L)
mungkin berguna untuk pasien dengan kekerasan disertai
dengan gangguan bipolar, skizofrenia, retardasi mental,
gangguan eksplosi fintermiten dan obat-obatan stimulant
lainnya untuk pasien dewasa yang hiperaktif.

Benzodiazepan dapat bermanfaat selama masa-masa stress,


tetapi kemarahan yang paradox dapat muncul pada beberapa
pasien.

b. Ajarkan pasien untuk mengenali secara dini tanda-tanda


meningkatnya kemarahan dan belajar untuk menghilangkan
tekanan-tekanan. Kerusakan otak yang berat mungkin
memerlukan lingkungan yang terstruktur dan teknik-
teknikperilaku.
c. Bantu pasien mengembangkan suatu system dukungan dan
belajar untuk mengendalikan stress lingkungan. Pelihara saluran
komunikasi dengan pasien yang berpotensi kekerasan-siap
sedialah melaluit elepon. (Tomb, 2003)

7. Managemen krisis :
Bila pada waktu intervensi awal tidak berhasil maka diperlukan
intervensi yang lebih aktif. Prosedur penanganan kedaruratan psikiatrik

1. Identifikasi pemimpin tim krisis. Sebaiknya dari perawat karena


yang bertanggung jawab selama 24 jam
2. Bentuk tim krisis. Meliputi dokter, perawat dan konselor
3. Beritahu petugas keamanan jika perlu. Ketua tim harus
menjelaskan apa saja yang menjadi tugasnya selama
penanganan klien
4. Jauhkan klien lain dari lingkungan
5. Lakukan pengekangan jika memungkinkan
6. Pikirkan suatu rencana penanganan krisis dan beritahu tim.
7. Tugaskan anggota tim untuk mengamankan anggota tubuh klien
8. Jelaskan perlunya intervensi tersebut kepada klien dan upayakan
untuk kerjasama
9. Pengekangan klien jika diminta oleh ketua tim krisis. Ketua tim
harus segera mengkaji situasi lingkungan sekitar untuk tetap
melindungi keselamatan klien dan timnya.
10. Berikan obat jika diinstruksikan
11. Pertahankan pendekatan yang tenang dan konsisten terhadap
klien
12. Tinjau kembali intervensi penanganan krisis dengan tim krisis
13. Proses kejadian dengan klien lain dan staf harus tepat
14. Secara bertahap mengintegrasikan kembali klien dengan
lingkungan. (Yosep, 2010)

8. Pohon Masalah

Risiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan (RPK)



Perubahan persepsi sensori: halusinasi

Isolasi Sosial: menarik diri

Harga Diri Rendah Kronis

Inefektif koping keluarga/individu

9. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian

Menurut Keliat (2014) data perilaku kekerasan dapat diperolah

melalui observasi atau wawancara tentang perilaku berikut ini:

a. Muk amerah dan tegang

b. Pandangan tajam

c. Mengarupkan rahang dengan kuat

d. Mengepalkan tangan

e. Jalan mondar-mandir

f. Bicara kasar

g. Suara tinggi, menjerit atau berteriak


h. Mengancam secara verbal atau fisik

i. Melempar atau memukul benda /orang lain

j. Merusak barang atau benda

k. Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah atau mengontrol

perilaku kekerasan.

2) Daftar Masalah

Menurut Keliat (2014) daftar masalah yang mungkin muncul pada

perilaku kekerasan yaitu :

a. Perilaku Kekerasan.

b. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

c. Perubahan persepsi sensori: halusinasi.

d. Harga diri rendah kronis.

e. Isolasi sosial.

f. Berduka disfungsional.

g. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif.

h. Koping keluarga inefektif.

3) Rencana Tindakan Keperawatan

Menurut Fitria (2010) rencana tindakan keperawatan yang digunakan

untuk diagnosa perilaku kekerasan yaitu :

a. Tindakan keperawatan untuk klien

 Tujuan

a) Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.

b) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.

c) Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang

pernah dilakukannya.
d) Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku

kekerasannya.

e) Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan

yang dilakukannya.

f) Klien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik,

spiritual, sosial, dan terapi psikofarmaka.

 Tindakan

a) Bina hubungan saling percaya

Dalam membina hubungan saling percaya perlu

dipertimbangkan agar klien merasa aman dan nyaman

saat berinteraksi dengan Saudara. Tindakan yang harus

Saudara lakukan dalam rangka membina hubungan salig

percaya adalah mengucapkan salam terapeutik, berjabat

tangan, menjelaskan tujuan interaksi, serta membuat

kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu klien.

b) Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan

yang terjadi di masa lalu dan saat ini.

c) Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku

kekerasan. Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan

gejala perilaku kekersan, baik kekerasan fisik, psikologis,

sosial, sosial, spiritual maupun intelektual.

d) Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang

biasa dilakukan pada saat marah baik terhadap diri sendiri,

orang lain maupun lingkungan.

e) Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari

perilaku marahnya. Diskusikan bersama klien cara


mengontrol perilaku kekerasan baik secara fisik (pukul

kasur atau bantal serta tarik napas dalam), obat-obat-

obatan, sosial atau verbal (dengan mengungkapkan

kemarahannya secara asertif), ataupun spiritual (salat atau

berdoa sesuai keyakinan klien).

b. Tindakan keperawatan untuk keluarga

 Tujuan

Keluarga dapat merawat klien di rumah

 Tindakan

a) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan

meliputi penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang

muncul, serta akibat dari perilaku tersebut.

b) Latih keluarga untuk merawat anggota keluarga dengan

perilaku kekerasan.

(1) Anjurkan keluarga untuk selalu memotivasi klien agar

melakukan tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.

(2) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada

klien bila anggota keluarga dapat melakukan kegiatan

tersebut secara tepat.

(3) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus

klien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.

c) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi klien

yang perlu segera dilaporkan kepada perawat, seperti

melempar atau memukul benda/orang lain.

4) Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan


a) Strategi Pelaksanaan 1 (Pasien)

– Identifikasi penyebab, tanda & gejala, PK yang dilakukan, akibat

PK

– Jelaskan cara mengontrol PK: fisik, obat, verbal, spiritual

– Latihan cara mengontrol PK secara fisik: tarik nafas dalam dan

pukul kasur dan bantal, aktivitas positif dengan energi

– Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik

b) Strategi Pelaksanaan 2

– Evaluasi kegiatan latihan fisik. Beri pujian

– Latih cara mengontrol PK dengan obat (jelaskan 8 benar: jenis,

guna, dosis, frekuensi, cara, kontinuitas minum obat, kadaluarsa,

dokumentasi)

– Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan fisik dan minum

obat

c) Strategi pelaksanaan 3

– Evaluasi kegiatan latihan fisik & obat. Beri pujian

– Latih cara mengontrol PK secara verbal (3 cara, yaitu:

mengungkapkan, meminta, menolak dengan benar)

– Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik, minum obat

dan verbal

d) SP 4

– Evaluasi kegiatan latihan fisik & obat & verbal. Beri pujian

– Latih cara mengontrol marah/perilaku kekerasan dengan spiritual

(2 kegiatan)

– Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik, minum obat,

verbal dan spiritual


5) Evaluasi

Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai tindakan

keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon

klien terhadap tindakan keperawatanyang telah dilaksanakan. Evaluasi

dapat dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif dilakukan

setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif

dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan

umum yang telah ditentukan.Evaluasi dapat dilakukan dengan

menggunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir.

Adapun hasil tindakan yang ingin dicapai pada pasien dengan

perilaku kekerasan antara lain

a. Klien dapat mengontrol atau mengendalikan perilaku keekrasan.

b. Klien dapat membina hubungan saling pecaya.

c. Klien dapat mengenal penyebab perilaku kekerasan yang

dilakukakannya.

d. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.

e. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang pernah

dilakukan.

f. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.

g. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam

mengungkapkan kemarahan.

h. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku

kekerasan.
i. Klien mendapatkan dukungan dari keluarga untuk mengontrol

perilaku kekerasan.

Klien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan

DAFTAR PUSTAKA

Dalami, E., Suliswati., Rochimah., Suryati, K, R. & Lestari, W. 2009. Asuhan


Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Penerbit: Trans
Media,Jakarta.

Hamid, Achir Yani. 2000. Buku Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa 1.


Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta. Depkes
RI

Keliata.B.A. dkk. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC

Keliat, Budi, et al. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (basic
course). Jakarta : EGC

Kusumawati, F & Hartono, Y. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta :


Salemba Medika

Rawlins & Beck, C.K. (1993). Mental Health Psychitric Nursing 3rd Ed. St. Louis :
Mosby Year

Riadi, Muchlisin. 2013. Pengertian, jenis dan tahapan halusinasi. Online :


http://www.kajianpustaka.com/2013/08/pengertian-jenis-dan-tahapan-
halusinasi.html. diakses pada 30 April 2017

Stuart, G.W &Laraia, M.T. (2005).Principles and Practice of psychiatric nursing.


(7th edition). St Louis : Mosby

Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan JIwa. Jakarta. EGC

Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung. PT Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai