Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

RISIKO PERILAKU KEKERASAN


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Mata Kuliah
Keperawatan Jiwa II
Dosen Pengampu : Nia Restiana,M.Kep.,Ns.Sp,.Kep.J

Disusun Oleh :
Kelompok 1

Hendi permana ( C1814201027 )


3A

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA
2020

1
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah.
Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan
kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri,
perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau
kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya
tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008).
Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari
marah atau ketakutan/panic. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan sering
dipandang sebagai rentang dimana agresif verbal di suatu sisi dan perilaku
kekerasan (violence) di sisi lain. Suatu keadaan yang menimbulkan emosi,
perasaan frustasi, benci atau marah. Hal ini akan memengaruhi perilaku
seseorang. Berdasarkan keadaan emosi secara mendalam tersebut terkadang
perilaku menjadi agresif atau melukai karena penggunaan koping yang kurang
bagus (Buku Ajar Keperawatan Jiwa : 80).

B. Rentang Respons Marah


Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amu/PK

C. Factor Predisposisi
1. Factor psikologis
a. Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi
PK.

2
b. Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil
yang tidak menyenangkan.
c. Frustasi.
d. Kekerasan dalam rumah atau keluarga.
2. Factor social budaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya
secara agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan
teori menurut Bandura bahwa agresi tidak berbeda dengan respons-respons
yang lain. Factor ini dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan
semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan
terjadi. Budaya juga mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma
dapat membantu mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima dan
yang tidak dapat diterima.
3. Factor biologi
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya pemberian
stimulus elektris ringan pada hipotalamus (pada system limbic) ternyata
menimbulkan perilaku agresif, dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbic
(untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan
lobus temporal (untuk interpretasi indra penciuman dan memori) akan
menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menyerang
objek yang ada disekitarnya.

D. Factor presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik
berupa injury secra fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa factor
pencetus perilaku kekerasan adalah :
1. Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang
penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2. Interaksi : penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik,
merasa terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun
eksternal dari lingkungan.
3. Lingkungan : panas, padat dan bising.

E. Tanda dan Gejala


Yosep (2009), mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah :
1. Fisik
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot/pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Postur tubuh kaku
f. Jalan mondar-mandir
2. Verbal
a. Bicara kasar
b. Suara tinggi, membentak atau berteriak
c. Mengancam secara verbal atau fisik
d. Mengumpat dengan kata-kata kotor
e. Suara keras
f. Ketus
3. Perilaku
a. Melempar atau memukul benda/orang lain
b. Menyerang orang lain
c. Melukai diri sendiri atau orang lain
d. Merusak lingkungan
e. Amuk/agresif

F. Akibat Dari Perilaku Kekerasan


Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan
suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang
lain dan lingkungan.

G. Peran Perawat dalam Perilaku Kekerasan


Perawat dalam mengimplementasikan berbagai intervensi untuk mencegah
dan memanajemen perilaku agresif, intervensi tersebut dapat melalui rentang
intervensi keperawatan.

Strategi preventif strategi antisipasif strategi pengurungan

Kesadaran diri komunikasi manajemen krisis

Pendidikan klien perubahan lingkungan seclusion

Latihan asertif tindakan psikofarmakologi restrain

Keterangan gambar :

1. Kesadaran diri : perawat harus meningkatkan kesadaran dirinya dan


melakukan supervise dengan memisahkan masalah pribadi dan masalah
klien.
2. Pendidikan klien : pendidikan yang diberikan pada klien mengenai cara
komunikasi dan cara mengekspresikan marah yang tepat, serta respons
adaptif dan maladaptive.
3. Latihan asertif : kemampuan dasar perawat yang harus dimiliki adalah
berkomunikasi dengan setiap orang, mengatakan tidak untuk sesuatu yang
tidak beralasan, sanggup melakukan complain, dan mengekspresikan
penghargaan yang tepat.
4. Komunikasi : strategi komunikasi terapeutik
5. Perubahan lingkungan : perawat mampu menyediakan berbagai aktivitas
untuk meminimalkan/mengurangi perilaku klien yang tidak sesuai.
6. Tindakan perilaku : kontrak dengan klien untuk membicaraan mengenai
perilaku yang dapat diterima dan yang tidak.
7. Psikofarmakologi : pemberian obat sesuai kolaborasi dan mampu
menjelaskan manfaat obat pada pasien dan keluarga.
8. Manajemen krisis : bila pada waktu intervensi tidak berhasil, maka perlu
intervensi yang lebih aktif.
H. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diharapkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelasaian masalah langsung dan
mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri (tuart dan
sundeen, 1998 hal : 33)
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk
melindungi diri antara lain :
a. Sublimasi : menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyaluranya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas remas
adona kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuanya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b. Proyeksi : menyalahkan orang lain kesukaranya atau keinginanya yang
tidak baik, misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia
mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik
menuduh bahwa temanya tersebut mencoba merayu, mencumbunya
c. Represi : mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk
kealam sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya
yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang
tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu ditekannya
dan akhirnya ia dapat melupakanya.
d. Reaksi formasi : mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan.
Dengan melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakanya sebagai rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik pada
teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kuat.
e. Deplacement : melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan.
Pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya : timmy berusia 4 tahun marah karena
ia baru saja mendapatkan hukuman dari ibunya karena menggambar
didinding kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan dengan temanya.
I. Sumber Koping
Menurut Suart Sundeen 1998 :
1. Aset ekonomi
2. Kemampuan dan keahlian
3. Tehnik defensif
4. Sumber sosial
5. Motivasi
6. Kesehatan dan energi
7. Kepercayaan
8. Kemampuan memecahkan masalah
9. Kemampuan sosial
10. Sumber sosial dan material
11. Pengetahuan
12. Stabilitas budaya

J. Penatalaksanaan Umum
1. Farmakoterapi
Klien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang
tepat. Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis
efektif tinggi contohnya Clorpromazine HCL yang berguna untuk
mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat digunakan dosis
efektif rendah, contohnya Trifluoperasine estelasine, bila tidak ada juga
maka dapat digunakan Transquilizer bukan obat anti psikotik seperti
neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti
tegang, anti cemas, dan anti agitasi.
2. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan
kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu
dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk
kegiatan seperti membaca Koran, main catur dapat pula dijadikan media
yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau
berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi dirinya. Terapi
ini merupakan langkah awal yangb harus dilakukan oleh petugas terhadap
rehabilitasi setelah dilakukannyan seleksi dan ditentukan program
kegiatannya.
3. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan
perawatan langsung pada setiap keadaan(sehat-sakit) klien. Perawat
membantu keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu
mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan,
memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan
keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada masyarakat.
Keluarga yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat
mencegah perilaku maladaptive (pencegahan primer), menanggulangi
perilaku maladaptive (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku
maladaptive ke perilaku adaptif (pencegahan tersier) sehingga derajat
kesehatan klien dan kieluarga dapat ditingkatkan secara opti9mal. (Budi
Anna Keliat,1992).
4. Terapi somatic
Menurut Depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic
terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan
mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan
melakukan tindankan yang ditunjukkan pada kondisi fisik klien, tetapi
target terapi adalah perilaku klien
5. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau elektronik convulsive therapy (ECT) adalah
bentuk terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis
klien. Terapi ini ada awalnya untukmenangani skizofrenia membutuhkan
20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali
(seminggu 2 kali).
K. Pohon Masalah

Resiko menciederai diri sendiri, factor pencetus :


Orang lain dan lingkingan 1. klien
2. interaksi
Perilaku kekerasan 3. lingkungan

Gangguan konsep diri : factor penyebab :


Harga diri rendah 1. Factor psikologis
2. factor social budaya
3. factor biologis

L. Diagnosa Keperawatan

1. Resiko menciderai diri dan orang lain atau lingkungan b.d perilaku
kekerasan.
2. Perilaku kekerasan b.d Mekanisme koping individu in efektif.

M. Fokus Intervensi
1. Resiko menciderai diri dan orang lain b.d perilaku kekerasan.
TUM : Klien dapat melanjutkan peran sesuai dengan tanggung
jawab. TUK : 1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Kriteria hasil :
1. Klien mau menjawab salam
2. Klien mau menjabat tangan
3. Klien mau menyabutkan nama
4. Klien mau tersenyum
5. Ada kontak mata
6. Mau mengetahui nama perawat
7. Mau menyediakan waktu untuk kontak
Intervensi :
1. Memberi salam atau panggil nama klien
2. Sebutkan nama perawat sambil menjabat tangan
3. Jelaskan tujuan interaksi
4. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
5. Beri sikap aman dan empati
6. Lakukan kontrak singkat tapi sering
TUK 2 : Klien dapat mengnidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
Kriteria Evaluasi :
1. Klien dapat mengungkapkan perasaannya
2. Klien dapat mengungkapkan penyebab marah, baik dari diri sendiri
nmaupun orang lain dan lingkungan.
Intervensi :
1. Anjurkan klien mengnungkapkan yang dialami saat marah.
2. Obsevasi tanda-tanda perilaku kekerasan pada klien.
3. Simpulkan tanda-tanda jengkel atau kesal yang dialami klien.

TUK 3 : Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.


Kriteria Evaluasi :
1. Klien dapat mengunngkapkan yang dialami saat marah.
2. Klien dapat menyimpulkan tanda-tanda marah yang dialami.
Intervensi :
1. Anjurkan klien mengnungkapkan yang dialami saat marah.
2. Obsevasi tanda-tanda perilaku kekerasan pada klien.
3. Simpulkan tanda-tanda jengkel atau kesal yang dialami klien.

TUK 4 : Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa


dilakukan.
Kriteria evaluasi :
1. Klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
2. Klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
3. Klien dapat mengetahui cara yang biasa dapat menyelesaikan
masalah atau tidak.
Intervensi :
1. Anjurkan klien mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
2. Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan.
3. Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan
masalahnya selesai.
TUK 5: Klien dapat mengidentifikasi akibat dari perilaku kekerasan.
Kriteria evaluasi :
1. Klien dapat menjelaskan akibat dari cara yang digunakan klien.
Intervensi :
1. Berbicara akibat atau kerugian dari cara yang dilakukan klien.
2. Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang digunakan oleh klien.
3. Tanyakan pada klien ”Apakah ia ingin mempelajari cara baru yang
sehat”.
TUK 6 : Klien dapat mengidentifikasi cara kontruktif dalam berespon
terhadap kemarahan.
Kriteria evaluasi :
1. Klien dapat melakukan cara berespon terhadap kemarahan secara
konstruktif.
Intervensi :
1. Tanyakan pada klien ”Apakah ia ingin mempelajari cara baru yang
sehat”.
2. Berikan pujian jika klien mengetahui cara lain yang sehat.
3. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat :
a. Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal atau memukul
bantal atau kasur atau olahraga atau pekerjaan yang
memerlukan tenaga.
b. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang kesal atau
tersinggung atau jengkel (saya kesal Anda berkata seperti itu :
saya marah karen mami tidak memenuhi keinginan saya).
c. Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang
sehat ; latihan asertif.
d. Secar spiritual : anjurkan klien sembahyang, berdoa atau ibadah
lain meminta pada Tuhan untuk beri kesabaran, mengadu pada
Tuhan kekerasan atau kejengkelan.
TUK 7 : Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku
kekerasan.
Kriteria evaluasi :
1. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
a. Fisik : tarik nafas dalam olahraga menyiram tanaman,
b. Verbal : mengatakan secara langsung dengan tidak menyakiti.
c. Spiritual : sembahyang, berdoa atau ibadah klien.
Intrevensi :
1. Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
2. Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih.
3. Bantu klien untuk memaksimulasi cara tersebut (role play).
4. Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien mensimulasi cara
tersebut.
5. Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat
jengkel atau marah.
DAFTAR PUSTAKA

Fitria ,N. 2010. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan LP dan SP. Jakarta :
Selemba Medika.

Said ,S. 2013. Laporan Pendahuluan Perilaku Kekerasan. Diunduh pada tanggal
04 Desember 2020 dari
https://www.academia.edu/41090884/LAPORAN_PENDAHULUAN_PERILAKU_KEKERASA
N

Anda mungkin juga menyukai