Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Luka Kanker

2.1.1 Definisi Luka Kanker

Luka kanker merupakan luka kronik yang berhubungan dengan kanker

stadium lanjut (Tanjung,dkk., 2007). Hoplamazin (2006) menyebutkan definisi

luka kanker sebagai kerusakan integritas kulit yang disebabkan infiltrasi sel

kanker. Luka kanker disebabkan oleh pertumbuhan sel kanker sampai menembus

lapisan dermis dan/atau epidermis kulit, sehingga menonjol keluar atau bentuknya

menjadi tidak beraturan. Sel kanker yang menonjol keluar kulit umumnya berupa

benjolan yang keras, sukar digerakkan, berbentuk seperti jamur atau bunga kol,

mudah terinfeksi sehingga menyebabkan lendir, cairan dan bau yang tidak sedap

(Diananda, 2009) . Luka kanker terjadi ketika kanker yang tumbuh dibawah kulit

merusak lapisan kulit sehingga terbentuk luka. Seperti pertumbuhan kanker, luka

kanker juga akan menyebabkan penghambatan dan merusak pembuluh darah tipis,

dimana daerah tersebut kekurangan oksigen. Hal ini akan menyebabkan kulit dan

jaringan menjadi mati (nekrosis). Selain jaringan menjadi nekrosis, bakteri atau

kuman juga akan mudah menginfeksi luka sehingga luka akan berbau (Naylor,

2002).

Luka kanker merupakan luka kronik yang sukar sembuh. Luka kronik adalah

luka yang gagal mengalami perbaikan untuk mngembalikan integritas fungsi dan

anatomi sesuai dengan tahap dan waktu yang normal. Seperti luka yang lainnya,

luka kanker juga mengalami tahapan proses penyembuhan luka. Luka kanker ada

pada tahap poliferasi yang memanjang dimana akan terjadi penurunan fibroblast,

Universitas Sumatera Utara


penurunan produksi kolagen dan berkurangnya angiogenesis kapiler. Oleh karena

itu luka kanker terus ada pada kondisi hipoksia panjang yang kemudian menjadi

nekrotik (Pudner, 1998).

2.1.2 Patofisiologi Luka Kanker

Luka kanker berhubungan dengan infiltrasi dan poliferasi sel kanker

menuju epidermis kulit. Tumor ini dapat tumbuh secara cepat lebih kurang 24 jam

dengan bentuk seperti cauliflower (Naylor, 2002). Luka kanker dapat pula

berkembang dari tumor local menuju epithelium (Kalinski,dkk., 2005). Selain itu,

luka kanker dapat terjadi akibat metastase kanker (Sciech, 2002).

Sel kanker akan tumbuh terus menerus dan sulit untuk dikendalikan. Sel

kanker dapat menyebar melalui aliran pembuluh darah dan permeabilitas kapiler

akan terganggu sehingga sel kanker dapat berkembang pada jaringan kulit . Sel

kanker tersebut akan terus menginfiltrasi jaringan kulit, menghambat dan merusak

pembuluh darah kapiler yang mensuplai darah ke jaringan kulit. Akibatnya

jaringan dan lapisan kulit akan mati (nekrosis) kemudian timbul luka kanker,

infiltrasi sel kanker dapat dilihat pada gambar (Naylor, 2003).

Universitas Sumatera Utara


Jaringan nekrosis merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri,

baik bakteri aerob atau anaerob (Bale,dkk., 2004). Cooper dan Grey (2005)

menyebutkan bahwa proporsi bakteri anaerob yang relatif tinggi pada luka kanker.

Bakteri anaerob berkolonisasi pada luka kanker dan melepaskan volatile fatty acid

sebagai sisa metabolik yang bertanggung jawab terhadap malodor dan

pembentukan eksudat pada luka kanker (Kalinski,dkk., 2005).

2.1.3 Gejala Luka Kanker

Gejala yang sering ditemukan pada luka kanker diantaranya adalah

malodor dan eksudat (Tanjung,dkk., 2007).

2.1.3.1 Malodor

Malodor merupakan sensasi yang dirasakan reseptor olfactory yang

terletak dibelakang hidung. Produksi odor pada luka kanker selalu dirasakan dan

dapat menstimulasi reflek gag maupun muntah. Malodor pada luka kanker

merupakan sumber bau yang menyengat bagi pasien, keluarga, maupun petugas

kesehatan (Kalinski,dkk., 2005).

Penyebab malodor sebenarnya belum diketahui, namun beberapa hal yang

berkontribusi terhadap malodor sudah menjadi postulat yaitu terjadinya infeksi,

kolonisasi bakteri anaerob, dan nekrosis pada jaringan (Bale,dkk., 2004). Bakteri

anaerob yang berhubungan dengan malodor yaitu: Bacteroides spp, Prevotella

spp, Fusobacterium nucleatum, Clostridium perfringens, dan Anaerobic cocci

(Draper, 2005). Volatile fatty acid sebagai hasil akhir metabolisme dari kolonisasi

bakteri anaerob merupakan hal yang menimbulkan malodor pada luka kanker

(Kalinski,dkk., 2005)

Universitas Sumatera Utara


Pengkajian malodor masih tergolong subyektif karena tergantung dari

penilaian seseorang untuk mengenal bau dengan lebih baik. Menurut Bates-Jensen

wound assessment tool (Bates-Jensen & Sussman, 1998) beberapa kriteria yang

dapat memonitor bau dan dapat membantu dalam pengkajian dan evaluasi

perawatan yaitu ; Bau kuat : bau tercium kuat dalam ruangan (6- 10 langkah dari

pasien) dengan balutan tertutup.Bau sedang : bau tercium kuat dalam ruangan (6-

10 langkah dari pasien) dengan balutan terbuka.Bau ringan : bau tercium bila

dekat dengan penderita pada saa balutan dibuka. Bau tidak ada : bau tidak tercium

saat disamping penderita.

Malodor juga dapat diukur menggunakan skor odor dari skala analog

visual. Malodor dari luka kanker pasien diberi skor 0 10 ; 0 = tidak ada bau, 1

4 = bau sedikit ofensif, 5 8 = bau cukup ofensif , 9 10 = bau sangat ofensif

(Kalinski,dkk., 2005)

2.1.3.2 Eksudat

Luka kanker juga mengeluarkan eksudat yang berlebihan dan tidak

terkontrol. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan sekresi faktor

permeabilitas vaskular oleh sel tumor merupakan penyebab pengeluaran eksudat

yang berlebihan. Produksi eksudat juga akan meningkat ketika terjadi infeksi dan

rusaknya jaringan karena protease bakteri (Naylor, 2002).

Eksudat adalah setiap cairan yang merupakan filter dari system peredaran

darah pada daerah peradangan. Komposisinya bervariasi, tetapi umumnya terdiri

dari air dan zat-zat yang terlarut pada cairan sirkulasi utama seperti darah. Dalam

hal ini, darah akan berisi beberapa protein plasma, sel darah putih, trombosit dan

Universitas Sumatera Utara


sel darah merah (apabila terjadi kasus kerusakan vascular lokal) (Crisp & Taylor,

2001).

Jumlah eksudat juga dapat diukur dengan menggunakan alat ukur yang

diambil dari Bates-Jensen wound assessment tool (Bates-Jensen & Sussman,

1998). Hasil pengukuran dikategorikan berdasarkan proporsi balutan yang

terpapar eksudat. Jumlah eksudat diukur dengan membagi area menjadi 4 bagian.

Kategori pengukuran digambarkan sebagai berikut:

Tidak ada = jaringan luka tampak kering

Kurang = jaringan luka tampak lembab, tidak terdapat eksudat yang diukur pada

balutan

Kecil = jaringan luka tampak basah, kelembaban terdistribusi pada luka,

drainase pada balutan 25%

Sedang = jaringan luka tampak jenuh, drainase dapat terdistribusi pada luka,

drainase pada balutan >25% s.d. 75%.

Besar = jaringan luka basah, drainase bebas, dapat terdistribusi pada luka,

drainase pada balutan 75%.

2.2 Perawatan Paliatif

Perawatan paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif

dan menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Tujuannya

untuk mengurangi penderitaan pasien, memperpanjang umurnya, meningkatkan

kualitas hidupnya, juga memberikan dukungan kepada keluarganya. Mesti pada

akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum meninggal dia sudah siap

secara psikologis dan spiritual, serta tidak stres menghadapi penyakit yang

dideritanya. Jadi, tujuan utama perawatan paliatif bukan untuk menyembuhkan.

Universitas Sumatera Utara


Dan yang ditangani bukan hanya penderita tetapi juga keluarganya (Diananda,

2009)

Menurut dr. Maris A Witjaksono, dokter palliative Care Rumah Sakit

Dharmais, Jakarta, dalam buku Seluk Beluk Kanker (Diananda, 2009), prinsip-

prinsip perawatan paliatif sebagai berikut:

1. Menghargai setiap kehidupan.

2. Menganggap kematian sebagai proses normal.

3. Tidak mempercepat atau menunda kematian.

4. Mengahargai keinginan pasien dalam setiap pengambilan keputusan.

5. Menghilangkan nyeri dan gejala lain yang mengganggu.

6. Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial, dan spiritual.

7. Menghidari tindakan medis yang sia-sia.

8. Memberikan dukungan yang diperlukan agar pasien tetap aktif sesuai dengan

kondisinya sampai akhir hayat.

9. Memberikan dukungan kepada keluarga dalam masa duka cita

2.3 Antibiotik

Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, yang dapat

menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Berdasarkan sifat toksisitas

selektif, ada antimikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba,

dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik, dan ada yang bersifat membunuh

mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakterisid (Ganiswara, 1995)

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi dalam lima

kelompok (Ganiswara, 1995) :

1. Mengganggu metabolisme sel mikroba

Universitas Sumatera Utara


2. Menghambat sintesis dinding sel mikroba

3. Mengganggu permeabilitas dinding sel mikroba

4. Menghambat sintesis protein sel mikroba

5. Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat mikroba.

Setelah dokter menetapkan perlu diberikan antimikroba pada pasien,

langkah berikutnya ialah memilih jenis antimikroba yang tepat, serta menentukan

dosis dan cara pemberiannya. Dalam memilih jenis antimikroba yang tepat harus

dipertimbangkan factor sensitivitas mikrobanya terhadap antimikroba, keadaan

tubuh hospes dan factor biaya pengobatan (Ganiswara, 1995)

2.4 Metronidazol

2.4.1 Pengertian

Metronidazol (1b-hidroksi-etil)2-metil-5-nitroimidazol, ditemukan pada

tahun 1950. Dikembangkan menjadi antibiotik yang sering dan sangat penting

dalam menangani infeksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob (Hauser, 2007)

Injeksi metronidazol adalah larutan steril, isotonis, dalam Air untuk

injeksi yang didapar , mengandung metronidazol, tidak kurang dari 90,0% dan

tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket (Depkes RI, 1995).

2.4.2 Mekanisme Kerja Metronidazol

Metronidazol merupakan molekul kecil yang dapat melakukan difusi pasif

kedalam bakteri. Komponen yang sangat penting dari struktur metronidazol

adalah nitro group yang tersambung pada ring siklik. Nitro group ini harus

mengalami reduksi untuk mengaktifkan metronidazol. Nitro group dari

metronidazol diperkirakan membentuk radikal bebas yang berefek pada kerusakan

molekul DNA bakteri sehingga bakteri mati (Hauser,2007)

Universitas Sumatera Utara


Metronidazol topikal bekerja dengan cara berikatan pada DNA bakteri dan

mengganggu replikasi bakteri ( Bale,dkk., 2004 ).

Dalam sel atau mikroorganisme metronidazol mengalami reduksi menjadi

produk polar. Hasil reduksi ini mempunyai aksi antibakteri dengan jalan

menghambat sintesa asam nukleat sehingga mengahambat replikasi bakteri

(Hauser, 2007). Kelompok nitroimidazol seperti metronidazol mampu memecah

pita ganda DNA menjadi fragmen-fragmen DNA. Metronidazol mampu

menghambat pertumbuhan bakteri anaerob dan protozoa.

Mekanisme metronidazol dalam memecah DNA menjadi beberapa fragmen

2.4.3 Manfaat Metronidazol

Metronidazol bekerja efektif baik lokal maupun sistemik. Metronidazol

telah digunakan secara luas sebagai agen topikal untuk mengatasi gejala luka

kanker (Bale,dkk., 2004). Metronidazol topikal efektif mengatasi luka dengan

eksudat dan tidak menimbulkan rasa nyeri ataupun tidak enak (Kalinski, dkk.,

2005).

Metronidazol bekerja efektif dalam menangani malodor pada luka kanker

yang identik dengan infeksi anaerob. Formulasi metronidazol gel topikal yang

Universitas Sumatera Utara


telah dikembangkan efektif dalam menagani bau dari luka kanker yang sangat

ofensif (Martindale, 1988).

2.5 Larutan

Larutan adalah sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia

yang terlarut, misal: terdispersi secara molekuler dalam pelarut yang sesuai atau

campuran pelarut yang saling bercampur. Karena molekul-molekul dalam larutan

terdispersi secara merata, maka penggunaan larutan sebagai bentuk sediaan

umumnya memberikan jaminan keseragaman dosis dan memiliki ketelitian yang

baik jika larutan diencerkan atau dicampur (Depkes RI, 1995)

2.5.1 Infus Intravenus

Infus intravenus adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas

pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikkan

langsung kedalam vena dalam volume relatif banyak. Infus intravenus tidak

diperbolehkan mengandung bakterisida dan zat dapar. Larutan infus intravenus

harus jermih dan bebas partikel (Depkes RI, 1979)

2.5.2 Irigasi

Irigasi adalah larutan steril yang digunakan untuk mencuci atau

membersihkan luka terbuka atau rongga-rongga tubuh. Pemakaiannya secara

topikal, tidak boleh digunakan secara parenteral (Depkes RI, 1995)

2.5.3 Larutan Topikal

Larutan topikal adalah larutan yang biasanya mengandung air tetapi

seringkali mengandung pelarut lain, seperti etanol dan poliol, untuk penggunaan

topikal pada kulit (Depkes RI, 1995)

Universitas Sumatera Utara


2.6 Bakteri Anaerob

Bakteri anaerob adalah bakteri yang tidak dapat tumbuh pada lingkungan

yang kaya akan oksigen. Sebagian besar organisme ini tumbuh normal pada

rongga mulut manusia, saluran gastrointestinal dan saluran genital wanita. Infeksi

dari bakteri ini sering diikuti dengan kerusakan permukaan mukosa dimana

bakteri ini tumbuh (Hauser, 2007).

Bakteri anaerob menyerang tubuh manusia dengan cara mengeluarkan

racun yang berbahaya. Beberapa racun yang dihasilkan dari species clostridial

diketahui luas merupakan salah satu racun berbahaya (Hauser, 2007).

2.7 Drug Related Problem (Masalah Terkait Obat)

2.7.1 Definisi

DRPs adalah suatu kejadiaan yang tidak diinginkan yang dialami oleh

pasien yang mana melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan itu

sebenarnya atau berpotensi berpengaruh terhadap hasil yang diinginkan pasien

(Cipolle , dkk., 1998).

DRPs terdiri dari Actual DRPs dan Potential DRPs. Actual DRPs adalah

masalah yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan

pada penderita. Sedangkan Potential DRPs adalah masalah yang diperkirakan

akan terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh

penderita. Ketika sebuah DRPs terdeteksi, maka sangat penting untuk

merencanakan bagaimana cara mengatasinya. Kita harus memberikan skala

prioritas untuk DRPs tersebut, yang manakah yang harus diselesaikan terlebih

dahulu. Prioritas masalah tersebut didasarkan pada risiko yang mungkin timbul

Universitas Sumatera Utara


pada penderita. Hal- hal yang harus diperhatikan dalam menentukan skala

prioritas DRPs adalah :

a. Masalah yang manakah yang dapat diselesaikan atau dihindari segera , dan

yang manakah yang dapat diselesaikan kemudian.

b. Masalah yang merupakan bagian dari tugas atau tanggung jawab seorang

farmasis.

c. Masalah yang dapat diselesaikan dengan cepat oleh seorang farmasis dan

penderitanya.

d. Masalah yang dalam penyelesaiannya, memerlukan bantuan dari tenaga

kesehatan lainnya (dokter, perawat, keluarga penderita, dan lain- lain) (Seto,

2001).

2.7.2 Kategori Drug Related Problem

Macam- macam Drug Related Kemungkinan penyebab Drug Related


Problem Problem
Mebutuhan terapi tambahan obat 1. Pasien mempunyai kondisi medis baru
yang
membutuhkan terapi awal pada obat.
2. Pasien mempunyai penyakit kronik yang
membutuhkan terapi obat
berkisinambungan.
3. Pasien mempunyai kondisi kesehatan yang
membutuhkan parmakoterapi kombinasi
untuk mencapai efek sinergis atau
potensiasi.
4. Pasien dalam keadaan risiko
pengembangkan kondisi kesehatan baru
yang dapat dicegah dengan penggunaan
alat pencegah penyakit pada terapi obat
dan/atau tindakan pra medis.

Terapi obat yang tidak perlu 1. Pasien yang sedang mendapatkan


pengobatan yang tidak tepat indikasi pada
waktu itu.
2. Pasien yang tidak sengaja maupun sengaja
kemasukan sejumlah racun dari obat atau

Universitas Sumatera Utara


kimia,sehingga menyebabkan rasa sakit
pada waktu itu.
3. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi
obat, alkohol dan rokok.
4. Kondisi kesehatan pasien lebih baik
diobati dengan terapi tanpa obat.
5. Pasien yang mendapatkan beberapa obat
untuk kondisi yang mana hanya satu terapi
obat yang terindikasi.
6. Pasien yang mendapatkan terapi obat
untuk pangobatan yang tidak dapat
dihindarkan dari reaksi efek samping yang
disebabkan dengan pengobatan lainnya.

Terapi salah obat 1. Pasien dimana obat tidak efektif.


2. Pasien yang mempunyai riwayat alergi.
3. Pasien penerima obat yang paling tidak
efektif untuk indikasi pengobatan.
4. Pasien dengan faktor risiko pada
kontraindikasi penggunaan obat.
5. Pasien menerima obat efektif tetapi least
costly.
6. Pasien menerima obat efektif tetapi tidak
aman.
7. Pasien yang tekena infeksi resisten
terhadap obat yang digunakan.
8. Pasien menerima kombinasi produk yang
tidak perlu dimana single drug dapat
memberikan pengobatan yang tepat.

Dosis terlalu rendah 1. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan


terapi obat yang digunakan.
2. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk
menimbulkan respon.
3. Konsentrasi obat dalam serum dibawah
range teraupetik yang diharapkan.
4. Waktu prophylaxis (presugikal) antibiotik
diberikan terlalu cepat.
5. Dosis dan fleksibilitas tidak cukup untuk
pasien.
6. Terapi obat berubah sebelum teraupetik
percobaan cukup untuk pasien.
7. Pemberian obat terlelu cepat.

Reaksi obat yang merugikan 1. Pasien yang faktor risiko yang berbahaya
bila obat digunakan.
2. Ketersediaan dari obat dapat menyebabkan

Universitas Sumatera Utara


interaksi dengan obat lain/makanan
pasien.
3. Efek dari obat dapat diubah oleh substansi
makanan pasien.
4. Efek dari obat dapat diubah penghambat
enzim/ pemacu obat lain.
5. Efek dari obat dapat diubah dengan
pemindahan obat dari binding site oleh
obat lain.
6. Hasil labboratorium dapat berubah karena
gangguan obat lain.

Dosis terlalu tinggi. 1. Pasien dengan dosis tinggi


2. Konsentrasi obat dalam serum pasien
diatas range terapuetik obat yang
diharapkan.
3. Dosis obat meningkat terlalu cepat.
4. Obat, dosis, rute, perubahan formulasi
yang tidak tepat.
5. Dosis dan interval flexibility tidak tepat

Kepatuhan 1. Pasien tidak menerima aturan pakai obat


yang tepat (penulisan, obat, pemberian,
pemakaian)
2. Pasien tidak menuruti rekomendasi yang
diberikan untuk pengobatan.
3. Pasien tidak mengambil obat yang
diresepkan karena mahal.
4. Pasien tidak mengambil beberapa obat
yang diresepkan karena tidak mengerti.
5. Pasien tidak mengambil beberapa obat
yang diresepkan secara konsisten karena
merasa sudah sehat.

(Cipolle, dkk., 1998)

2.8 Rumah Sakit

2.8.1 Definisi Rumah Sakit

Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan

upaya kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih dan

terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik untuk pemulihan dan

pemeliharaan kesehatan yang baik. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk

Universitas Sumatera Utara


memelihara dan meningkatkan kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan

derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat dan tempat yang digunakan untuk

menyelenggarakannya disebut sarana kesehatan. Sarana kesehatan berfungsi

melakukan upaya kesehatan dasar, kesehatan rujukan dan atau upaya kesehatan

penunjang. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan,

peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan

penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan

secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Siregar, 2004).

2.8.2 Fungsi Rumah Sakit

Rumah sakit mempunyai beberapa fungsi, yaitu menyelenggarakan

pelayanan medik, pelayanan penunjang medik dan non medik, pelayanan dan

asuhan keperawatan, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan,

pelayanan rujukan upaya kesehatan, administrasi umum dan keuangan. Maksud

dasar keberadaan rumah sakit adalah mengobati dan perawatan penderita sakit dan

terluka. Sehubungan dengan fungsi dasar ini, rumah sakit memberikan pendidikan

bagi mahasiswa dan penelitian yang juga merupakan fungsi yang penting. Fungsi

keempat yaitu pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan juga telah menjadi

fungsi rumah sakit. Jadi empat fungsi dasar rumah sakit adalah pelayanan

penderita, pendidikan, penelitian dan kesehatan masyarakat (Siregar, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai