Anda di halaman 1dari 16

A.

Pengertian Kelompok Rentan Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2


Kelompok rentan dalam situasi bencana adalah individu atau kelompok yang
terdampak lebih berat diakibatkan adanya kekurangan dan kelemahan yang
dimilikinya yang pada saat bencana terjadi menjadi beresiko lebih besar, meliputi:
bayi, balita, dan anak-anak; ibu yang sedang mengandung / menyusui;
penyandang cacat (disabilitas); dan orang lanjut usia.
Pada dasarnya pengertian mengenai kelompok rentan tidak dijelaskan
secara rinci. Hanya saja dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 pasal 5 ayat 3
dijelaskan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan
berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya. Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut usia, anak-
anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.
Sedangkan menurut Human Rights Reference yang dikutip oleh Iskandar
Husein disebutkan bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:
1) Refugees (pengungsi)
2) Internally Displaced Persons (IDPs) adalah orang-orang yang terlantar/
pengungsi
3) National Minorities (kelompok minoritas)
4) Migrant Workers (pekerja migrant)
5) Indigenous Peoples (orang pribumi/ penduduk asli dari tempat pemukimannya)
6) Children (anak)
7) Women (Perempuan)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan
adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam
menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum
bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat
didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai :
(1) mudah terkena penyakit dan,
(2) peka, mudah merasa.
Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri,
sehingga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, kelompok rentan juga
diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian kedua
merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang pertama, karena sebagai
kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.

B. Identifikasi Kelompok Beresiko Undang-undang No. 24 Tahun 2007


tentang Penanggulangan Bencana
Mengartikan bencana sebagai suatu peristiwa luar biasa yang mengganggu
dan mengancam kehidupan dan penghidupan yang dapat disebabkan oleh alam
ataupun manusia, ataupun keduanya. Untuk menurunkan dampak yang
ditimbulkan akibat bencana, dibutuhkan dukungan berbagai pihak termasuk
keterlibatan perawat yang merupakan petugas kesehatan yang jumlahnya
terbanyak di dunia dan salah satu petugas kesehatan yang berada di lini terdepan
saat bencana terjadi (Powers & Daily, 2015)
Peran perawat dapat dimulai sejak tahap mitigasi (pencegahan), tanggap
darurat bencana dalam fase prehospital dan hospital, hingga tahap recovery.
Terdapat individu atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat yang lebih
rentan terhadap efek lanjut dari kejadian bencana yang memerlukan perhatian dan
penanganan khusus untuk mencegah kondisi yang lebih buruk pasca bencana.
Kelompok-kelompok ini diantaranya: anak-anak, perempuan, terutama ibu hamil
dan menyusui, lansia, individu-individu yang menderita penyakit kronis dan
kecacatan. Identifikasi dan pemetaan kelompok beresiko melalui pengumpulan
informasi dan data demografi akan mempermudah perencanaan tindakan kesiap-
siagaan dalam menghadapi kejadian bencana di masyarakat (Morrow, 1999;
Powers & Daily, 2014; World Health Organization (WHO) & International
Council of Nursing (ICN), 2013).
1. Bayi dan Anak-anak Bayi dan anak-anak sering menjadi korban dalam semua
tipe bencana karena ketidakmampuan mereka melarikan diri dari daerah bahaya.
Ketika Pakistan diguncang gempa Oktober 2005, sekitar 16.000 anak meninggal
karena gedung sekolah mereka runtuh. Tanah longsor yang erjadi di Leyte,
Filipina, beberapa tahun lalu mengubur lebih dari 200 anak sekolah yang tengah
belajar di dalam kelas (Indriyani 2014). Diperkirakan sekitar 70% dari semua
kematian akibat bencana adalah anak-anak baik itu pada bencana alam maupun
bencana yang disebabkan oleh manusia (Powers & Daily, 2014). Selain menjadi
korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau wali mereka saat
bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anak-anak Indonesia kehilangan satu
atau dua orang tua mereka saat kejadian tsunami 2004. Terdapat juga laporan
adanya perdagangan anak (Child-Trafficking) yang dialami oleh anak-anak yang
kehilangan orang tua/wali (Powers & Daily, 2014)
Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah kesehatan jangka
pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi, penyakit-
penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan hidup dan komunikasi,
ketidakmampuan melindungi diri sendiri, kurangnya kekuatan fisik, imunitas dan
kemampuan koping. Kondisi tersebut dapat mengancam nyawa jika tidak
diidentifikasi dan ditangani dengan segera oleh petugas kesehatan (Powers &
Daily, 2014; Veenema, 2015).

2. Perempuan Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah


menjadi isu vital yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Oleh
karena itu, intervensi-intervensi kemanusiaan dalam penanganan bencana yang
memperhatikan standar internasional perlindungan hak asasi manusia perlu
direncanakan dalam semua stase penanganan bencana (Klynman, Kouppari, &
Mukhier, 2016). Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh
mendapati bahwa pola kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender
yang ada, meski tidak terlalu konsisten. Pola ini menempatkan perempuan,
terlebih lagi yang hamil, menyusui, dan lansia lebih berisiko karena keterbatasan
mobilitas secara fisik dalam situasi darurat (Enarson, 2000; Indriyani, 2014;
Klynman et al, 2016).
Laporan PBB pada tahun 2001 yang berjudul "Women, Disaster Reduction,
and Sustainable Development" menyebutkan bahwa perempuan menerima dampak
bencana yang lebih berat. Dari 120 ribu orang yang meninggal karena
badai siklon di Bangladesh tahun 1991, korban dari kaum perempuan menempati
jumlah terbesar. Hal ini disebabkan karena norma kultural membatasi akses
mereka terhadap peringatan bahaya dan akses ke tempat perlindungan (Fatimah,
2017 dikutip dalam Indriyani, 2014).

3. Lansia Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental, dan
ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan
kemampuan mobilitas fisik dan/atau karena mengalami masalah kesehatan kronis
(Klynman et al., 2016). Di Amerika Serikat, lebih dari 50% korban kematian
akibat dari badai Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1300 lansia yang
hidup mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat di pantai jompo
setelah bencana alam itu terjadi (Powers & Daily, 2013). Pasca bencana,
kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami diskriminasi, contohnya dalam
hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca bencana. Hak-hak dan
kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang dapat memperparah
masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut (Klynman et al., 2016).

3. Individu dengan keterbatasan fisik (kecacatan) dan penyakit kronis Menurut


WHO, terdapat lebih dari 600 juta orang yang menderita kecacatan di seluruh
dunia atau mewakili sekitar 7-10% dari populasi global. 80% diantaranya tinggal
di negara berkembang. Angka ini terus meningkat seiring dengan peningkatan
jumlah penduduk, angka harapan hidup dan kemajuan di bidang kesehatan
(Klynman et al., 2016). Di Amerika Serikat, setelah kejadian banjir di Grand
Forks, North Dakota pada tahun 1997, barulah dibangun rumah perlindungan
yang dapat diakses oleh korban bencana yang menggunakan kursi roda. Pada saat
terjadi bencana kebakaran di California, tahun 2003, banyak individu-individu
cacat pendengaran tidak memahani level bahaya bencana tersebut karena
kurangnya informasi yang mereka fahami (Powers & Daily, 2013).
Orang cacat, karena keterbatasan fisik yang mereka alami berisiko sangat rentan
saat terjadi bencana, namun mereka sering mengalami diskriminasi di masyarakat
dan tidak dilibatkan pada semua level kesiapsiagaan, mitigasi, dan intervensi
penanganan bencana (Klynman et al., 2016).

C. Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Rentan Untuk mengurangi


dampak bencana pada individu dari kelompokkelompok rentan diatas,
petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan bencana
perlu (Morrow, 2019 & Daily, 2013)
a. Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
kelompok-keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat bantu
untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll.
b. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
c. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi dan
komunikasi
d. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses
e. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses Adapun tindakan-tindakan
spesifik untuk kelompok rentan akan diuraikan pada pembahasan berikut
(Enarson, 2016; Federal Emergency Management Agency (FEMA), 2015;
Klynman et al., 2016; Powers & Daily, 2013; Veenema 2016):
1. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada bayi dan anak Pra bencana
1) Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan kesiagsiagaan
bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran atau gempa bumi
2) Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada saat
bencana
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko Saat bencana
1) Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar yang
digunakan saat bencana
2) Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai dengan
tingkat mempertimbangkan kegawatan aspek dan tumbuh kebutuhannya dengan
kembangnya, misalnya menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak
disamakan dengan orang dewasa
3) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian
pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua, keluarga
atau wali mereka Pasca bencana
1) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin
contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan sekolah
2) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri 3) Dukung dan
berikan semangat kepada orang tua
4) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan emosional
5) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi evakuasi
sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,mengurangi resiko kejadian
depresi pada anak pasca bencana.
6) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkunganyang aman untuk mereka

2. Tindakan yang sesuai untuk kelompok beriiko pada ibu hamil dan menyusui
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam kondisi kita
harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus ingat bahwa
dalam merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan menolong janinnya sehingga
meningkatkab kondisi fisik dan mental wanita hamil dapat melindungi dua
kehidupan, ibu hamil dan janinnya. Perubahan fisiologis pada ibu hamil, seperti
peningkatan sirkulasi darah, peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain
sehingga lebih rentan saat bencana dan setelah bencana (Farida, Ida. 2013).

Menurut Ida Farida (2013) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan
ibu hamil a. Meningkatkan kebutuhan oksigen Penyebab kematian janin adalah
kematian ibu. Tubuh ibu hamil yang mengalami keadaan bahaya secara fisik
berfungsi untuk membantu menyelamatkan nyawanya sendiri daripada nyawa si
janin dengan mengurangi volume perdarahan pada uterus. b. Persiapan melahirkan
yang aman Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi yang
jelas dan terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan adalah keamanannya.
Hal yang perlu dipersiapkan adalah air bersih, alat-alat yang bersih
dan steril dan obat-obatan, yang perlu diperhatikan adalah evakuasi ibu ke tempat
perawatan selanjutnya yang lebih memadai.
Pra bencana
1) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan bencana
2) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
3) Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh anggota
keluarga
4) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi bencana
Saat bencana
1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko
kerentanan bumil dan busui, misalnya: o Meminimalkan guncangan pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi karena dapat merangsang kontraksi pada
ibu hamil o Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
2) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban bumil dan
busui
Pasca bencana
1) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan
emosional
2) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumahpenampungan
korban bencana untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan kesehatan
untuk ibu hamil dan menyusui.
3) Melibatkan petugaspetugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi,
mengurangi risiko kejadian depesi pasca bencana.

3. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada


lansia Pra bencana
1) Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster plan di
rumah
2) Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia sebelum bencana
yakni
a. Memfasilitasi rekonstruksi komunitas Sejak sebelum bencana dilaksanakan
kegiatan penyelamatan antara penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi
barang bantuan setelah itu pun berjalan secara sistematis. Sebagai hasilnya,
dilaporkan bahwa orang lansia dan penyandang cacat yang disebut kelompok
rentan pada bencana tidak pernah diabaikan, sehingga mereka bisa hidup di
pengungsian dengan tenang.
b. Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian Diperlukan upaya untuk
penyusun perencanaan pelaksanaan pelatihan praktek dan pelatihan keperawatan
supaya pemanfaatan yang realistis dan bermanfaat akan tercapai. (Farida, Ida.
2013)
Saat bencana
1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan risiko
kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari trauma sekunder
2) Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi roda,
tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah
a. Tempat aman Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah
memindahkan orang lansia ke tempat yang aman. Orang lansia sulit memperoleh
informasi karena penuruman daya pendengaran dan penurunan komunikasi
dengan luar
b. Rasa setia Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada tanah
dan ruma sendiri, maka tindakan untukmmengungsi pun berkecenderungan
terlambat dibandingkan dengan generasi yang lain.
c. Penyelamatan darurat (Triage, treatment, and transportation) dengan cepat.
Fungsi indera orang lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses
menua, maka skala rangsangan luar untuk memunculkan respon pun mengalami
peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena mati rasa .
Pasca Bencana
1) Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas dengan
lansia dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya:
a. Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatankegiatan sosial
bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang muda dan
lansia (community awareness)
b. Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam kegiatan
bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency perlindungan anak di posko
perlindunga korban bencana
2) Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial yang
sehat di lokasi penampungan korban bencana
3) Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill lansia.
4) Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri
4) Berikan konseling untukmeningkatkan semangat hidup dan kemandirian lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah bencana
adalah
a. LingkungandanadaptasiDalam kehidupan di tempat
pengungsian,terjadiberbagai ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari yang
disebabkan oleh fungsi fisik yang dibawa oleh setiap individu sebelum bencana
dan perubahan lingkungan hidup di tempat pengungsian. Kedua hal ini saling
mempengaruhi, sehingga mengakibtkan penurunan fungsi fisik orang lansia yang
lebih parah lagi.
b. Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder Lingkungan di tempat
pengungsian mengundang tidak hanya ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-
hari bagi orang lansia, tetapi juga keadaan yang serius pada tubuh. Seperti
penumpukan kelelahan karena kurnag tidur dan kegelisahan.
c. Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri Lansia yang
sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan perabotannya di luar dan
dalam rumah. Dibandingkan dengan generasi muda, sering kali lansia tidak bisa
memperoleh informasi mengenai relawan, sehingga tidak bisa memanfaatkan
tenaga tersebut dengan optimal.
d.Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara Lansia yang masuk
kepemukiman sementara terpaksa mengadaptasikan/menyesuaikan diri lagi
terhadap lingkungan baru (lingkungan hubungan manusia dan lingkungan fisik)
dalam waktu yang singkat
d. Mental Care Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya
adaptasi, sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh stressor. Namun
demikian, orang lansia itu berkecenderungan sabar dengan diam walaupun sudah
terkena dampak dan tidak mengekspresikan perasaan dan keluhan.

4. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan kecacatan
dan penyakit kronik Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit
kronis akan memberi pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi
orangorang dengan penyakit kronik. Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup
di tempat pengungsian dalam waktu yang lama atau terpaksa memulai kehidupan
yang jauh berbeda dengan pra-bencana, sangat sulit mengatur dan memanajemen
penyakit seperti sebelum bencana. Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana
dan tidak terluka sekalipun manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan,
sehingga kemungkinan besar penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih parah
lagi ketika hidup di pengungsian atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.
Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit kronis
disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang-orang yang
memiliki resiko penyakit kronis, perubahan kehidupan yang disebabkan oleh
bencana akan menjadi pemicu meningkatnya penyakit kronis seperti diabetes
mellitus dan gangguan pernapasan.
Pra bencana
1) Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan
berpenyakit kronis
2) Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan bencana
bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan kebutuhan
khusus (cacat dan penyakit kronis)
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum bencana
bagi korban dengan penyakit kronik
a. Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama pasien, alamat
ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
b. Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi dari obat yang
diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
c. Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai penanganan
bencana sejak masa normal
Saat bencana
1) Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat dan
berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya), alat bantu berjalan
untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll
2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal precaution)
untuk petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat yakni:
a. Bantuan evakuasi Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu
yang lama untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam
mengambil keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan
evakuasi dan lain-lain perlu diberitahukan kepada penyandang cacat dan penolong
evakuasi
b. Informasi Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat
disesuaikan dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet (email, sms, dll)
dan siaran televisi untuk tuna rungu; handphone yang dapat membaca pesan
masuk untuk tuna netra; HP yag dilengkapi dengan alat handsfree untuk tuna
daksa dan sebagainya. Pertolongan pada penyandang cacat
o Tuna daksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah
jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau pemakai
kursi roda yang tidak dapat melangkah sendirian ketika berada di tempat yang
jalannya tidak rata dan menaiki tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti
satu bagian dari tubuh sehingga cara mendorongnya harus mengecek keinginan si
pemakai kursi roda dan keluarga
o Tuna netra Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena
menyadari suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan tentang kondisi
sekitar rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat
yang tidak familiar. Pada waktu menolong mereka untukpindah, peganglah siku
dan pundak, atau genggamlah secara lembut pergelangannya karena berkaitan
dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
o Tuna rungu Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena
tidak dapat menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada bahasa
tulis, bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi
belum tentu semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat
o Gangguan intelektual Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada
umunya karena kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya
sendiri dan seringkali mudah menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan
dan pertanyaan yang sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa
mereka belum mengerti sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah
dimengerti (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit kronis saat bencana adalah
1. Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal yang paling penting
adalah berkeliling antara orang-orang untuk menemukan masalah kesehatan
mereka dengan cepat dan mencegah penyakit mereka memburuk. Perawat harus
mengetahui latar belakang dan riwayat pengobatan dari orang-orang yang berada
di tempat dengan mendengarkan secara seksama dan memahami penyakit mereka
yang sedang dalam proses pengobatan, sebagai contoh diabetes dan gangguan
pernapasan. Pada fase akut yang dimulai sejak sesaat terjadinya bencana,
diperkirakan munculnya gejala khas, seperti gejala gangguan jantung, ginjal, dan
psikologis yang memburuk karena kurang kontrol kandungan gula di darah bagi
pasien diabetes, pasien penyakit gangguan pernapasan yang tidak bisa membawa
keluar peralatan tabung oksigen dari rumah.
2. Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk memastikan
apakah mereka diperiksa dokter dan minum obat dengan teratur. Karena banyak
obat-obatan komersial akan didistribusikan ke tempat pengungsian, maka
muncullah resiko bagi pasien penyakit kronis yang mengkonsumsi beberapa obat
tersebut tanpa memperhatikan kecocokan kombinasi antara obat tersebut dan obat
yang diberikan di rumah sakit.
Pasca bencana
1) Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian
individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya: kursi
roda, tongkat, dll
2) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individuindividu
dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis
3) Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat:


a. Kebutuhan rumah tangga. Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun
untuk MCK (mandi, cuci, kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan
tempat tidur, pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan adat.
b. Kebutuhan kesehatan Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan
medis (obat-obatan, perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan
kejiwaan
c. Tempat ibadah sementara
d. Keamanan wilayah
e. Kebutuhan air
f. Kebutuhan sarana dan prasarana Kebutuhan saranan dan prasarana yang
mendesak – seperti air bersih, MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat
komunikasi dalam masyarakat dan pihak luar, penerangan/listrik, sekolah
sementara, alat angkut/transport, gudang penyimpanan persediaan, tempat
pemukiman sementara, pos kesehatan alat dan bahan-bahan.
Keperawatan bagi pasien diabetes:
1) Mengkonfirmasi apakan pasien yang bersangkutan harus minum obat untuk
menurunkan kandungan gula darah (contoh: insulin, dll) atau tidak, dan
identifikasi obat apa yang dimiliki pasien tersebut.
2) Mengkonfirmasi apakah pasein memiliki penyakit luka fisik atau infeksi, dan
jika ada, perlu pengamatan dan perawatan pada gejala infeksi (untuk mencegah
komplikasi kedua dari penyakit diabetes)
3) Memahami situasi manajemen diri (self-management) melalui kartu penyakit
diabetes (catatan pribadi)
4) Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, makanan yang tepat,
dan memberikan pedoman mengenai manajemen makanan
4) Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat

Keperawatan bagi pasien gangguan pernapasan kronis:


1) Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk pemakaian
tabung oksigen untuk berjalan yang dimilikinya dengan aman
2) Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksigen karena takut
peningkatan dysphemia
3) Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator) dan transportasi jika pasien
tersebut tidak bisa membawa sendiri.
4) Membantu untuk manajemen obat dan olahraga yang tepat
5) Mencocokkan lingkungan yang tepat(contoh: suhu udara panas/dingin, dan
debu)

D. Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok


Beresiko. Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap
kelompok – kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek
maupun jangka panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam penanganan
encana perlu mengidentifikasikan sumber daya apa saja yang tersedia di
lngkungan yang dapat digunakan saat bencana terjadi, diantaranya (Enarson, 2013;
Federal Emergency Management Agency (FEMA), 2015; Powers & Daily, 2014;
Veenema, 2015) :
a. Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus
mensosialisasikan kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk area yang
rentan terhadap kejadian bencana.
b. Kesiapan rumah sakir atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana dari
kelompok berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan seperti :
beberapa jumlah incubator untuk bayi baru lahir, tempat tidur untuk pasien anak,
ventilator anak, fasilitas persalinan, fasilitas perawatan pasien dengan penyakit
kronis, dsb
b. Adanya symbol – symbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh
individuindividu dengan kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi,
lokasi pengungsian dll.
c. Adanya system support berpa konseling dari ahli-ahli voluntir yang khusus
menangani kelompok beresiko untuk mencegah dan mengidentifikasi dini kondisi
depresi pasca bencana pada kelompok tersebut sehingga intervensi yang sesuai
dapat diberikan untuk merawat mereka.
d. Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah (NGO)
yang membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok beresiko seperti :
agensi perlindungan anak dan perempuan, agency pelacakan keluarga korban
bencana ( tracking centre), dll. Adanya website atau homepage bencana dan
publikasi penelitian yang berisi informasi kegawatdaruratan
informasi dan bencana tentang pada bagaimana perencanaankelompok-kelompok
dengan kebutuhan khusus dan beresiko.

D. Lingkungan yang Sesuai dengan Kebutuhan Kelompok Beresiko Setelah


kejadian bencana , adalah penting sesegera mungkin untuk menciptakan
lingkungan yang kondusif yang memungkinkan kelompok berisiko untuk
berfungsi secara mandiri sebagaimana sebelum kejadian bencana, diantaranya
(Enarson, 2013; Federal Emergency Management Agency (FEMA), 2015; Powers
& Daily, 2014; Veenema, 2015) :
a. Menciptakan kondisi/ lingkungan yang memungkinkan ibu menyusui untuk
terus memberikan ASI kepada anaknya dengan cara memberikan dukungan moril,
menyediakan konsultasi laktasi dan pencegahan depresi.
c. Membantu anak kembali melakukan aktivitas-aktivitas regular sebagaimana
sebelum kejadian bencana seperti : penjagaan kebersihan diri, belajar/ sekolah,
dan bermain.
d. Melibatkan lansia dalam aktivitas-aktivitas social dan program lintas generasi
misalnya dengan remaja dan anak-anak untuk mengurangi resiko isolasi social
dan depresi.
e. Menyediakan informasi dan lingkungan yang kondusif untuk individu dengan
keterbatasan fisik, misalnya area evakuasi yang dapat diakses oleh mereka.
f. Adanya fasilitas-fasilitas perawatan untuk korban bencana dengan penyakit
kronis dan infeksi.

Anda mungkin juga menyukai