Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi Abortus Incomplete


Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi pada usia
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram,
sebelum janin mampu hidup diluar kandungan (Nugroho,2010). Abortus atau
lebih dikenal dengan istilah keguguran adalah  pengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar rahim. Janin  belum mampu hidup di luar
rahim, jika beratnya kurang dari 500 g, atau usia kehamilan kurang dari 28
minggu karena pada saat ini proses  plasentasi belum selesai. Pada bulan
pertama kehamilan yang mengalami abortus, hampir selalu didahului dengan
matinya janin dalam Rahim (Manuaba, 2007:683). Abortus inkomplit adalah
perdarahan pada kehamilan muda dimana sebagaian dari hasil konsepsi telah
keluar dari kavum uteri melalui kanalis servikal yang tertinggal pada desidua
atau plasenta (Pitriani, 2013)
Abortus inkomplit adalah pengeluaran sebagian hasil konsepsi  pada
kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus.
Reproduksi manusia relatif tidak efisien, dan abortus adalah komplikasi
tersering pada kehamilan, dengan kejadian keseluruhan sekitar 15% dari
kehamilan yang ditemukan. Namun angka kejadian abortus sangat tergantung
kepada riwayat obstetri terdahulu, dimana kejadiannya lebih tinggi pada
wanita yang sebelumnya mengalami keguguran daripada  pada wanita yang
hamil dan berakhir dengan kelahiran hidup (Sari et al., 2020)
Abortus inkompletus adalah pengeluaran sebagian hasil konsepsi  pada
kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa yang tertinggal dalam
uterus. Pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis terbuka dan  jaringan
dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari
ostium uteri eksternum. Pada USG didapatkan endometrium yang tipis dan
irreguler(Dr. M. Hakim, Phd, keadaan darurat ginekologi umum). Abortus
inkompletus yaitu pengeluaran produk konsepsi secara spontan sebelum
minggu ke 24 kehamilan (lebih sering terjadi minggu ke 8-12, lebih jarang
trimester II karena mungkin etiologinya berbeda) (Kurniaty et al., 2019)
B. Epidemiologi
Abortus inkompletus merupakan salah satu perdarahan pada
kehamilan muda yang merupakan salah satu penyebab kematian Neonatal dan
Maternal di Indonesia. Risiko terjadinya abortus spontan meningkat
bersamaan dengan peningkatan jumlah paritas, usia ibu. Abortus meningkat
sebesar 12% pada wanita usia kurang dari 20 tahun dan meningkat sebesar
26% pada usia lebih dari 40 tahun (Cunningham, 2012). Banyak penelitian
melaporkan bahwa kematian yang berhubungan dengan aborsi mengambil
proporsi kematian ibu sangat besar (Halim, 2013). Angka tersebut mencakup
abortus spontan maupun abortus buatan.
Abortus inkompletus sendiri merupakan salah satu bentuk klinis dari
abortus spontan maupun sebagai komplikasi dari abortus provokatus
kriminalis ataupun medisinalis. Insiden abortus inkompletus sendiri belum
diketahui secara pasti namun yang penting diketahui adalah sekitar 60% dari
wanita hamil yang mengalami abortus inkompletus dan memerlukan
perawatan rumah sakit akibat perdarahan yang terjadi (Raha, 2013). Kelainan
tersebut merupakan komplikasi kehamilan yang paling sering terjadi dan
diperkirakan abortus spontan (miscarriages) terjadi pada 75% wanita sejak
saat konsepsi namun sebagian besar kejadian tersebut tanpa disadari karena
terjadi sebelum atau bersamaan dengan saat haid berikutnya (Maliana
Andesia, 2016)
Dari sejumlah kasus yang disadari, 15-20% berakhir dengan abortus
spontan atau kehamilan ektopik (Florentina, 2014). Kemungkinan untuk
mengalami abortus spontan berulang akan meningkat sejalan frekuensi
seseorang mengalami abortus. Bahkan setelah mengalami abortus spontan tiga
kali dan empat kali, kemungkinan untuk terjadi abortus berikutnya berturut –
turut sebesar 45% dan 54,3%. Lebih dari 80% abortus terjadi pada semester
pertama, yaitu hingga umur kehamilan 14 minggu (Gumayesty, 2017)

C. Etiologi
Penyebab keguguran sebagian besar tidak diketahui secara pasti, tetapi
beberapa faktor yang berpengaruh adalah :
1. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menimbulkan kematian
janin dan cacat bawaan yang menyebabkan hasil konsepsi
dikeluarkan, gangguan pertumbuhan hasil kosepsi dapat terjadi
karena:
a. Faktor kromosom: Gangguan terjadi sejak semula pertemuan
kromosom, termasuk kromosorn seks.  
b. Faktor lingkungan endometritum. Endometrium belum siap
untuk menerima implasi hasil konsepsi. Gizi ibu kurang
karena anemia atau terlalu pendek jarak kehamilan.
2. Pengaruh luar
a. Infeksi endometrium, endometrium tidak siap menerima
hasil konsepsi.  
b.Hasil konsepsi terpengaruh oleh obat dan radiasi
menyebabkan  pertumbuhan hasil konsepsi terganggu.
3. Kelainan pada plasenta
a. Infeksi pada plasenta dengan berbagai sebab, sehingga
palsenta tidak dapat berfungsi.  
b. Gangguan pembuluh darah palsenta, diantaranya pada
diabetes melitus.
c. Hipertensi menyebabkan gangguan peredaran darah palsenta
sehingga menimbulkan keguguran.
4. Penyakit ibu.
Penyakit ibu dapat secara langsung mempengaruhi  pertumbuhan
janin dalam kandungan melalui plasenta:
a. Penyakit infeksi seperti pneumonia, tifus abdominalis,
malaria, sifilis.  
b. Anemia ibu melalui gangguan nutrisi dan peredaran O2
menuju sirkulasi retroplasenter.
c. Penyakit menahun ibu seperti hipertensi, penyakit ginjal,
penyakit hati, penyakit diabetes melitus.
5. Kelainan yang terdapat dalam rahim Rahim merupakan tempat
tumbuh kembangnya janin dijumpai keadaan abnormal dalam
bentuk mioma uteri, uterus arkatus, uterus septus, retrofleksi uteri,
serviks inkompeten, bekas operasi pada serviks (konisasi,
amputasi serviks), robekan serviks postpartum.
6. Faktor antibody autoimun, terutama : Antibody antiphosfolipid :
a. Menimbulkan thrombosis, infrak plasenta, perdarahan  
b. Gangguan sirkulasi dan nutrisi menuju janin dan diikuti
abortus
c. Antibody anticardiolipin, dalam lupus anticoagulant (LAC)
d. Menghalangi terbentuknya jantung janin sehingga akan
menyebabkan abortus.
D. Manifestasi Klinis
Abortus inkomplit ditandai dengan dikeluarkannya sebagian hasil
konsepsi dari uterus, sehingga sisanya memberikan gejala klinis sebagai
berikut:
1. Terlambat haid atau amenorhe kurang dari 20 minggu
2. Perdarahan memanjang, sampai terjadi keadaan anemis
3. Perdarahan mendadak banyak menimbulkan keadaan gawat
4. Terjadi infeksi dengan ditandai suhu tinggi
5. Dapat terjadi degenerasi ganas/koriokarsinoma (Manuaba, 2010).
Gejala lain dari abortus incomplit antara lain:
1. Perdarahan biasa sedikit/banyak dan biasa terdapat bekuan darah .
2. Rasa mules (kontraksi) tambah hebat.
3. Perdarahan pervaginam ada atau tidak jaringan hasil konsepsi,
tercium  bau busuk dari vulva
4. Ostium uteri eksternum atau serviks terbuka.
5. Pada pemeriksaan vaginal, jaringan dapat diraba dalam cavum uteri
atau kadang-kadang sudah menonjol dari eksternum atau sebagian
jaringan keluar.
6. Perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa janin dikeluarkan dapat
menyebabkan syok (Maryunani, 2009).
E. Klasifikasi
Klasifikasi abortus digolongkan menjadi 2 yaitu:
1. Abortus spontaneous yaitu abortus yang terjadi dengan tidak
didahului faktor-faktor mekanis atau medisinalis, tetapi karena
faktor alamiah. Aspek klinis abortus spontaneus meliputi:
a. Abortus Imminens.
Abortus Imminens adalah peristiwa terjadinya
perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu,
dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya
dilatasi serviks. Diagnosis abortus imminens ditentukan
apabila terjadi perdarahan  pervaginam pada paruh pertama
kehamilan. Yang pertama kali muncul biasanya adalah
perdarahan, dari beberapa jam sampai  beberapa hari
kemudian terjadi nyeri kram perut. Nyeri abortus mungkin
terasa di anterior dan jelas bersifat ritmis, nyeri dapat
berupa nyeri punggung bawah yang menetap disertai
perasaan tertekan di panggul, atau rasa tidak nyaman atau
nyeri tumpul di garis tengah suprapubis. Kadang-kadang
terjadi perdarahan ringan selama beberapa minggu.  
b. Abortus insipiens
Abortus Insipiens adalah peristiwa perdarahan uterus
pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan adanya dilatasi
serviks uteri yang meningkat tetapi hasil konsepsi masih
dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering
dan kual perdarahan  bertambah.
c. Abortus inkompletus
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan
sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam
uterus. Apabila plasenta (seluruhnya atau sebagian) tertahan
di uterus, cepat atau lambat akan terjadi perdarahan yang
merupakan tanda utama abortus inkompletus. Pada abortus
yang lebih lanjut,  perdarahan kadang-kadang sedemikian
masif sehingga menyebabkan hipovolemia berat.
d. Abortus kompletus
Pada abortus kompletus semua hasil konsepsi sudah
dikeluarkan. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit,
ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah banyak
mengecil. Diagnosis dapat dipermudah apabila hasil
konsepsi dapat diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa
semuanya sudah keluar dengan lengkap.
e. Abortus Servikalis
Pada abortus servikalis keluarnya hasil konsepsi dari
uterus dihalangi oleh ostium uteri eksternum yang tidak
membuka, sehingga semuanya terkumpul dalam kanalis
servikalis dan serviks uteri menjadi besar, kurang lebih
bundar, dengan dinding menipis. Pada pemeriksaan
ditemukan serviks membesar dan di atas ostium uteri
eksternum teraba jaringan. Terapi terdiri atas dilatasi serviks
dengan busi Hegar dan kerokan untuk mengeluarkan hasil
konsepsi dari kanalis servikalis.
f. Missed Abortion
Missed abortion adalah kematian janin berusia
sebelum 20 minggu, tetapi janin yang telah mati itu tidak
dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih. Etiologi missed
abortion tidak diketahui, tetapi diduga pengaruh hormone
progesterone. Pemakaian Hormone  progesterone pada
abortus imminens mungkin juga dapat menyebabkan missed
abortion.
g. Abortus Habitualis
Abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi
3 kali atau lebih berturut turut. Pada umumnya penderita
tidak sukar menjadi hamil, tetapi kehamilannya berakhir
sebelum 28 minggu

2. Abortus provokatus (abortus yang sengaja dibuat) yaitu


menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh
ibu. Pada umumnya dianggap bayi belum dapat hidup diluar
kandungan apabila kehamilan belum mencapai umur 28 minggu,
atau berat badanbayi  belum 1000 gram, walaupun terdapat kasus
bahwa bayi dibawah 1000 gram dapat terus hidup. Abortus ini
terbagi menjadi dua yaitu :
a. Abortus medisinalis (abortus therepeutika)
Adalah abortus karena tindakan kita sendiri, dengan
alasan  bila kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa
ibu (  berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu mendapat
persetujuan dua sampai tiga tim dokter ahli  
b. Abortus kriminalis
Adalah abortus yang terjadi oleh karena
tindakan –  tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan
indikasi medis
F. Faktor Resiko
1. Umur
Pada umur beresiko rendah lebih tinggi dari umur tidak resiko tinggi
hal ini tidak sejalan dengan teori karena usia ibu akan mempengaruhi
pengalaman, perilaku dan psikis dalam menerima kehamilan, hal ini akan
menentukan bagaimana sikap ibu dalam mempersiapkan dan menghadapi
kehamilannya, beberapa faktor yang berpengaruh terjadinya abortus pada
wanita yang tergolong umur beresiko rendah salah satunya adalah status gizi,
sosial ekonomi yang rendah, dan pekerjaan yang membuat ibu beraktivitas
berlebihan (Andriza, 2014).

2. Usia Kehamilan
Usia kehamilan saat terjadinya abortus bisa memberi gambaran
tentang penyebabnya. Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester
pertama merupakan kelainan sitogenetik. Separuh dari abortus karena
kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom
(Prawirohardjo, 2011).
3. Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan ibu baik dalam
keadaan hidup atau meninggal. Paritas 2-4 merupakan paritas paling aman
ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 atau lebih dari 4 mempunyai
angka kematian maternal lebih tinggi (Maliana, 2013). Sedangkan menurut
Warburton, Frases (1964) dan (Chuningham, 2005) pada penelitian (Fazria,
2013), menyampaikan bahwa resiko pada abortus meningkat dengan
bertambahnya paritas ibu.
4. Riwayat Abortus
Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa berdasarkan riwayat
kejadian abortus, proporsi tertinggi adalah abortus spontan 70%, setelah 1 kali
abortus spontan, pasangan akan mempunyai risiko sebesar 15% mengalami
keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, risikonya akan meningkat 25%,
dan setelah 3 kali mengalami abortus berturut-turut akan mempunyai risiko
untuk keguguran lagi sebesar 30 – 45% (Halim, 2013). Abortus berulang bisa
disebabkan oleh penyatuan dari dua kromosom yang Abnormal, dimana bila
kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor tersebut tidak dapat
diturunkan. Studi yang pernah dilakukan (Prawirohardjo, 2010) menunjukan
bahwa bila didapatkan kelainan kariotip pada abortus, maka kehamilan
berikutnya juga berisiko Abortus (Handayani, 2015)
5. Penyakit Ibu
Ibu hamil dengan penyakit yang menyertai agar dapat melakukan
kunjungan antenatal care (ANC) secara rutin agar petugas kesehatan dapat
membantu melakukan pengawasan terhadap penyakit yang menyertai ibu
hamil, baik itu hipertensi, diabetes melitus, asma, jantung, kolesterol dan lain
sebagainya. Selain itu juga ibu perlu memiliki pengetahuan tentang makanan
yang harus dikonsumsi sehingga tidak menimbulkan penyakit yang menyertai
semakin bertambah parah yang dapat berisiko terjadinya keguguran (abortus)
(Muliana et al., 2019)
6. Kelainan Kongenital Uterus
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi
obstetrik. Penyebab abortus terbanyak adalah karena kelainan anatomik uterus
adalah septum uterus (40 – 80%), kemudian uterus bikornis atau uterus
didelfis atau uterus unikornis (10 – 30%). Selain itu sindroma asherman juga
bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah pada
permukaan endometrium. Risiko terjadinya abortus antara 25 – 80%,
bergantung pada berat ringannya gangguan (Amalia & Sayono, 2015)
7. Kelainan dari Ovum
Menurut Hertig, dkk (1996), pertumbuhan abnormal dari fetus sering
menyebabkan abortus spontan, termasuk abortus inkompletus. Abortus yang
terjadi disebabkan oleh 48,9% ovum patologis, 3,2% kelainan letak embrio,
dan 9,6% lasenta yang abnormal (Maryunani, 2016). Abortus inkompletus
yang disebabkan oleh kelainan ovum berkurang kemungkinannya kalau
kehamilan sudah lebih dari satu bulan, artinya semakin muda kehamilan
sewaktu terjadi abortus, maka semakin besar kemungkinan bahwa abortus
tersebut disebabkan oleh kelainan ovum (50 – 80%) (Halim, 2013).
8. Kelainan pada Janin
Menurut Gilbert G. Hass, seorang pakar endokronologi reproduksi dari
Amerika Serikat menyatakan bahwa, kelainan janin biasanya disebabkan
karena karena kromosom. Kelainan kromosom ini terjadi pada saat proses
fertilisasi berlangsung. Hal ini dapat mengakibatkan hasil pembuahan
(embrio) yang terbentuk cacat dan keluar dalam bentuk abortus. Kelainan
pada janin juga dapat disebabkan karena rusaknya selaput janin. Hal ini bisa
disebabkan karena terbenturnya benda atau karena penggunaan obat-obatan
(Maryunani, 2016).
9. Faktor Psikologi/mental
Selain memiliki risiko tinggi bagi kesehatan dan keselamatan fisik,
aborsi dapat juga mengakibatkan dampak yang hebat pada mental pelaku
aborsi. Secara psikologi dikenal dengan Post-Abortion Syndrome (PAS) yang
termasuk dalam Post Traumatic Stress Disorder atau Kelainan Pasca-Trauma
Berat. Menurut Reardon, pada dasarnya seorang ibu yang melakukan aborsi
akan mengalami hal-hal sebagai berikut: 1) Kehilangan harga diri 2) Mimpi
buruk berkali-kali mengenai bayi 3) Tidak bisa menikmati lagi hubungan
seksual 4) Berteriak-teriak histeris 5) Mulai mencoba menggunakan obat-obat
terlarang 6) Ingin melakukan bunuh diri (Handayani, 2014)
G. Patofisiologis
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis kemudian
diikuti oleh nekrosis jaringan sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil
konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing
dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus  berkontraksi untuk
mengeluarkan isinya. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi itu
biasanya dikeluarkan seluruhnya karena villi korialis belum menembus
desidua secara mendalam. Pada kehamilan antara 8 sampai 14 minggu villi
korialis menembus desidua lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak
dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan banyak perdarahan. Pada
kehamilan 14 minggu keatas umumnya yang dikeluarkan setelah ketuban
pecah ialah janin, disusul  beberapa waktu kemudian plasenta. Perdarahan
tidak banyak jika plasenta segera terlepas dengan lengkap. Peristiwa abortus
ini menyerupai  persalinan dalam bentuk miniature.
Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai  bentuk.
Ada kalanya kantong amnion kosong atau tampak di dalamnya  benda kecil
tanpa bentuk yang jelas dan mungkin pula janin telah mati lama. Apabila
mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu yang cepat maka ia dapat
diliputi oleh lapisan bekuan darah, isi uterus dinamakan mola kruenta. Bentuk
ini menjadi mola karnosa apaila pigmen darah telah diserap dan dalam sisanya
terjadi organisasi sehingga semuanya tampak seperti daging. Bentuk lain
adalah mola tuberose, dalam hal ini amnion tampak berbenjol  –  benjol
karena terjadi hematoma antara amnion dan korion.
Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi
proses mumifikasi diamana janin mengering dan karena cairan amnion
berkurang maka ia jadi gepeng ( fetus kompressus). Dalam tingkat lebih lanjut
ia menjadi tipis seperti kertas perkamen ( fetus papiraseus).
Kemungkinan lain pada janin mati yang tidak segera dikeluarkan
adalah terjadinya maserasi, kulit terkupas, tengkorak menjadi lembek,  perut
membesar karena terisi cairan dan seluruh janin berwarna kemerah –  merahan
dan dapat menyebabkan infeksi pada ibu apabila perdarahan yang terjadi
sudah berlangsung lama. (Prawirohardjo, 2005).
H. Gambaran Klinis Abortus Inkomplit
Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada
yang tertinggal. Batasan ini juga masih terpanjang pada umur kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Sebagian
jaringan hasil konsepsi masih tertinggal didalam uterus dimana pada
pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan
dalam kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri eksternum. Perdarahan
biasanya masih terjadi jumlahnya pun masih banyak atau sedikit bergantung
pada jaringan yang tersisa, yang menyebabkan sebagian placental site masih
terbuka sehingga perdarahan berjalan terus. Pasien dapat jatuh dalam keadaan
anemia atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan konsepsi dikeluarkan.
Pengelolaan pasien harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan umum
dan mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi untuk kemudian disiapkan
tindakan kuretase. Pemeriksaan USG hanya dilakukan bila kita ragu dengan
diagnosis secara klinis. Besar uterus sudah lebih kecil dari umur kehamilan
dan kantong gestasi sudah sulit dikenali, di kavum uteri tampak massa
hiperekoik yang betuknya tidak beraturan (Nilawati, 2016).
Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan
pengeluaran sisa hasil konsepsi secara manual agar jaringan yang mengganjal
terjadinya kontraksi uterus segera dikeluarkan, kontraksi uterus dapat
berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti. Selanjutnya dilakukan
tindakan kuretase. Tindakan kuretase harus dilakukan secara berhati-hati
sesuai dengan keadaan umum ibu dan besarnya uterus. Tindakan yang
dianjurkan ialah dengan karet vakum menggunakan kanula dari pelastik.
Pasca tindakan perlu diberikan uterotonika parenteral ataupun per oral dan
antibiotika (Sarwono, 2010).
I. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Ginekologi:
1. Inspeksi vulva
a. Perdarahan pervaginam sedikit atau banyak   
b. Adakah disertai bekuan darah
c. Adakah jaringan yang keluar utuh atau sebagian
d. Adakah tercium bau busuk dari vulva
2. Pemeriksaan dalam speculum
a. Apakah perdarahan berasal dari cavum uteri  
b. Apakah ostium uteri masih tertutup / sudah terbuka
c. Apakah tampak jaringan keluar ostium
d. Adakah cairan/jaringan yang berbau busuk dari ostium.
3. Pemeriksaan dalam
a. Apakah portio masih terbuka atau sudah tertutup  
b. Apakah teraba jaringan dalam cavum uteri
c. Apakah besar uterus sesuai, lebih besar atau lebih kecil dari usia
kehamilan
d. Adakah nyeri pada saat porsio digoyang
e. Adakah rasa nyeri pada perabaan
f. Adakah terasa tumor atau tidak
g. Apakah cavum douglasi menonjol, nyeri atau tidak
Pemeriksaan kadar Hb, golongan darah dan uji padanan silang
(crossmatch)
1. Bila terdapat tanda –  tanda sepsis, berikan antibiotic yang sesuai
2. Temukan dan hentikan segera sumber perdarahan
3. Lakukan pemantauan ketat tentang kondisi pasca tindakan dan
perkembangan lanjut

Tes kehamilan
J. Penatalaksanaan
Penanganan umum:
1. Kuretase dapat dilakukan untuk mengeluarkan sisa hasil konsepsi dalam
uterus Sebelum dilakukan kuretase, biasanya pasien akan diberikan obat
anestesi (dibius) secara total dengan jangka waktu singkat, sekitar 2-3 jam.
Setelah pasien terbius, barulah proses kuretase dilakukan.Ketika
melakukan kuret, ada 2 pilihan alat bantu bagi dokter. Pertama, sendok
kuret dan kanula/selang. Sendok kuret  biasanya dipilih oleh dokter untuk
mengeluarkan janin yang usianya lebih dari 8 minggu karena
pembersihannya bisa lebih maksimal. Sedangkan sendok kanula lebih
dipilih untuk mengeluarkan janin yang  berusia di bawah 8 minggu, sisa
plasenta, atau kasus endometrium.Alat kuretase baik sendok maupun
selang dimasukkan ke dalam rahim lewat vagina. Bila menggunakan
sendok, dinding rahim akan dikerok dengan cara melingkar searah jarum
jam sampai bersih. Langkah ini harus dilakukan dengan saksama supaya
tak ada sisa jaringan yang tertinggal. Bila sudah berbunyi “krok -krok”
(beradunya sendok kuret dengan otot rahim) menunjukkan kuret hampir
selesai. Sedikit berbeda dengan selang, bukan dikerok melainkan disedot
secara melingkar searah jarum jam. Umumnya kuret memakan waktu
sekitar 10-15 menit (Fajar, 2007).
2. Lakukan penilaian awal untuk menentukan kondisi pasien (gawat darurat,
komplikasi berat atau masih cukup stabil)
3. Pada kondisi gawat darurat, segera upayakan stabilisasi pasien sebelum
melakukan tindakan lanjutan (yindakan medic atau rujukan)
4. Penilaian medic untuk menentukan kelaikan tindakan di fasilitas kesehatan
setempat atau dirujuk kerumah sakit.
a. Bila pasien syok atau kondisinya memburuk akibat perdarahan hebat
segera atasi komplikasi tersebut  
b. Gunakan jarum infuse besar (16G atau lebih besar) dan berikan tetesan
cepat (500 ml dalam 2 jam pertama) larutan garam fisiologis atau
Ringer

Penatalaksanaan berdasarkan jenis abortus (abortus inkomplitus)


1. Bila disertai syok karena perdarahan segera pasang infuse dengan cairan
NaCl fisiologis atau cairan Ringer Laktat, bila perlu disusul dengan
transfuse darah
2. Setelah syok teratasi, lakukan kerokan
3. Pasca tindakan berikan injeksi metal ergometrin maleat intra muscular
untuk mempertahankam kontraksi otot uterus
4. Perhatikan adanya tanda –  tanda infeksi
5. Bila tak ada tanda – tanda infeksi berikan antibiotika prifilaksis (ampisilin
500 mg oral atau doksisiklin 100 mg)
6. Bila terjadi infeksi beri ampisilin I g dan metronidazol 500 mg setiap 8  jam

Penatalaksanaan keperawatan yang dapat dilakukan:


1. Melakukan vulva hygiene untuk mengurangi terjadinya infeksi pada area
vagina minimal 2x sehari
2. Menganjurkan pasien istirahat yang cukup
3. Menjelaskan kepada klien tentang penyebab abortus dan penaganan
terhadap abortus
4. Monitor intake dan output cairan klien

K. Komplikasi
Abortus inkomplit yang tidak ditangani dengan baik dapat
mengakibatkan syok akibat perdarahan hebat dan terjadinya infeksi akibat
retensi sisa hasil konsepsi yang lama didalam uterus.Sinekia intrauterin dan
infertilitas juga merupakan komplikasi dari abortus.
Berbagai kemungkinan komplikasi tindakan kuretase dapat terjadi,
seperti perforasi uterus, laserasi serviks, perdarahan, evakuasi jaringan sisa
yang tidak lengkap dan infeksi. Komplikasi ini meningkat pada umur
kehamilan setelah trimester pertama. Panas bukan merupakan kontraindikasi
untuk kuretase apabila pengobatan dengan antibiolik yang memadai segera
dimulai.Komplikasi yang dapat terjadi akibat tindakan kuretase antara lain :
1. Komplikasi Jangka pendek
a. Dapat terjadi refleks vagal yang menimbulkan muntah-muntah,
bradikardi dan cardiac arrest .  
b. Perforasi uterus yang dapat disebabkan oleh sonde atau dilatator. Bila
perforasi oleh kanula, segera diputuskan hubungan kanula dengan
aspirator. Selanjutnya kavum uteri dibersihkan sedapatnya. Pasien
diberikan antibiotika dosis tinggi. Biasanya pendarahan akan  berhenti
segera. Bila ada keraguan, pasien dirawat.
c. Serviks robek yang biasanya disebabkan oleh tenakulum. Bila
pendarahan sedikit dan berhenti, tidak perlu dijahit.
d. Perdarahan yang biasanya disebabkan sisa jaringan konsepsi.
Pengobatannya adalah pembersihan sisa jaringan konsepsi.
e. Infeksi akut dapat terjadi sebagai salah satu komplikasi. Pengobatannya
berupa pemberian antibiotika yang sensitif terhadap kuman aerobik
maupun anaerobik. Bila ditemukan sisa jaringan konsepsi, dilakukan
pembersihan kavum uteri setelah pemberian antibiotika profilaksis
minimal satu hari.
2. Komplikasi jangka panjang. Infeksi yang kronis atau asimtomatik pada
awalnya ataupun karena infeksi yang pengobatannya tidak tuntas dapat
menyebabkan:
a. Infertilitas baik karena infeksi atau tehnik kuretase yang salah sehingga
terjadi perlengketan mukosa (sindrom Asherman)  
b.  Nyeri pelvis yang kronis.

L. Pencegahan Abortus Inkomplit


a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer lebih kepada langkah awal, yakni mencari tau
mengapa sebenarnya seorang perempuan melakukan abortus. Oleh karena itu,
pada pencegahan primer lebih diutamakan promosi kesehatan serta
pendidikan kesehatan mengenai abortus hingga dampak dari abortus.
Terjadinya abortus sering dikaitkan dengan kehamilan yang tidak diinginkan.
Sebenarnya suatu kehamilan yang tidak dikehendaki dapat dicegah
seandainya pasangan menggunakan kontrasepsi darurat, yaitu kontrasepsi
yang dapat mencegah kehamilan apabila digunakan setelah hubungan seksual.
Hal ini sering disebut dengan kontrasepsi pasca-senggama atau morning after
treatment (Setyasworo, 2010).
b. Pencegahan Sekunder
Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara menegakkan
diagnosa secara cepat dan tepat untuk menghindari hal-hal buruk terkait
komplikasi akibat keterlambatan penanganan. Diagnosa abortus inkompletus,
yaitu: Pada pemeriksaan dalam jika abortus baru terjadi didapati serviks
terbuka, kadang-kadang dapat diraba sisa-sisa jaringan dalam kantung
servikalis atau kavum uteri, dan uterus lebih kecil dari seharusnya kehamilan
(Yasing, 2012).
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dimaksudkan untuk menghindari hal-hal buruk
terkait penanganan dan komplikasi. Oleh sebab itu perlu dilakukan
penanganan yang tepat setelah didapat diagnosa pasti abortus inkompletus.
Pembersihan sisa kehamilan yang tertinggal di dalam rahim dengan
melakukan kerokan untuk menghentikan perdarahan. Kerokan harus
dilakukan secara aseptik dan bila terdapat tanda-tanda infeksi, perdarahan
yang banyak dan terus menerus, atau syok maka segera berikan suntikan
antibotika, infusi cairan, atau transfusi darah serta perlu dilakukan aspirasi
vakum untuk pengosongan uterus sekaligus.
Pasien diharapkan tidak hamil dalam waktu 3 bulan sehingga perlu
memakai alat kontrasepsi dalam membantu proses penyembuhan dalam
penelitian (Wiknjosastro, 2002). Penelitian di berbagai negara
memperlihatkan bahwa saat yang paling tepat untuk memberi penyuluhan
tentang kontrasepsi adalah setelah mereka mengalami abortus. Akan tetapi
fasilitas kesehatan di beberapa daerah gagal menggunakan kesempatan itu.
Setelah abortus, para wanita tersebut meninggalkan rumah sakit tanpa
mendapat penyuluhan mengenai kontrasepsi, keluarga berencana, dampak
buruk dari abortus, dan bagaimana mencegah terjadinya kembali abortus. Hal
inilah yang juga menyebabkan terjadinya aborsi berulang-ulang (Pasabi,
2010).

M. Pathway
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, M. L., & Sayono. (2015). Faktor Risiko Kejadian Abortus (Studi Di Rumah
Sakit Islam Sultan Agung Semarang). J. Kesehat. Masy. Indones, 10(1), 23–29.
Gumayesty, Y. (2017). Abortus Inkomplet dan Faktor yang Berhubungan di RSUD
Arifin Achmad Pekan Baru. Jurnal Keperawatan Abdurrab, 1(1), 33–39.
Kurniaty, K., Dasuki, D., & Wahab, A. (2019). Penanganan kasus abortus inkomplit
pada puskesmas PONED di Kabupaten Sumbawa Barat. Berita Kedokteran
Masyarakat, 35(1), 17. https://doi.org/10.22146/bkm.35562
Maliana Andesia. (2016). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Abortus
Inkomplit di Ruang Kebidanan RSUD Mayjend HM Ryacudu Kota Bumi.
Jurnal Kesehatan, VII(1), 17–25.
Muliana, N., Devi Fitriani, A., Effendi Nasution, Y., Medika Nurul Islam Sigli, Stik.,
Kesehatan Masyarakat, M., Kesehatan Helvetia, I., Kapt Sumarsono No, J., &
Kebidanan Helvetia, A. (2019). Kejadian Abortus Inkompletus di RSUD Chik di
Tiro Sigli. Ojs.Serambimekkah.Ac.Id, 7(3).
http://ojs.serambimekkah.ac.id/serambi-akademika/article/view/1309
Pitriani, R. (2013). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Abortus Inkomplit di
Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau. Jurnal Kesehatan
Komunitas, 2(2), 83–87. https://doi.org/10.25311/keskom.vol2.iss2.50
Sari, M. H., Apriyanti, F., & Isnaeni, L. M. A. (2020). Hubungan Usia dan Paritas
dengan Kejadian Abortus Inkomplit di RSUD Tengku Rafi’an Siak. Jurnal
Kesehatan Andalas, 5(3), 61–70. http://jurnal.fk.unand.ac.id

Anda mungkin juga menyukai