Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PERAWATAN UNTUK POPULASI RENTAN (LANSIA, WANITA HAMIL, ANAK-


ANAK, ORANG PENYAKIT KRONIS, DISABILITAS, SAKIT MENTAL)
Pengampu : Niken S, S.Kep, Ns., MKep

Disusun Oleh : Kelompok 1


1. Cicilia Eka (201811010)
2. Avila Vicky Damadeta (202011007)
3. Diah Ayu Fitria (202011012)
4. Kornelius Aldinata (202011018)
5. Nyoman Sri Wahyuni (202011023)
6. Rahmadani Nur Astiti (202011025)
7. Seny Trisna (202011028)
8. Shalofanti Theodosia (202011029)
9. Zisca Aisyah Maulida (202011039)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ST. ELISABETH SEMARANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
melimpah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas “Perawatan Untuk Populasi Rentan
(Lansia, Wanita Hamil, Anak-Anak, Orang Penyakit Kronis, Disabilitas, Sakit Mental)” ini
dengan baik dan lancar. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas
praktik mata kuliah Keperawatan Bencana. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan mengenai “Perawatan Untuk Populasi Rentan (Lansia, Wanita Hamil,
Anak-Anak, Orang Penyakit Kronis, Disabilitas, Sakit Mental)” dalam kesehatan bagi kami
dan para pembaca.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Niken S, S.Kep, Ns., MKep selaku dosen
pembimbing mata kuliah Keperawatan bencana yang telah membimbing kami dalam
penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kami menerima kritik dan saran yang membangun.

Semarang, 06 September 2023


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang besar.
C. Banyak korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja, ternak,
D. dan peralatan menjadi rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak psikologis
E. akibat bencana, misalnya - ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati rasa secara
F. emosional, dan kesedihan yang mendalam. Bagi sebagian orang, dampak
ini
G. memudar dengan berjalannya waktu. Tapi untuk banyak orang lain,
bencana
H. memberikan dampak psikologis jangka panjang, baik yang terlihat jelas misalnya
I. depresi , psikosomatis (keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah psikis) ataupun
J. yang tidak langsung : konflik, hingga perceraian.
K. Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respons langsung terhadap
L. kejadian traumatik dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain juga
akan
M. menyusul, ini adalah dampak tidak langsung dan bersifat jangka panjang yang dapat
N. mengancam berbagai golongan terutama kelompok yang rentan yaitu anak-
anak,
O. remaja, wanita dan lansia.
P. Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang dengan baik,
Q. banyak korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan
kecemasan,
R. gangguan stress pasca-trauma, dan gangguan emosi lainnya. Bahkan lebih
dari
S. dampak fisik dari bencana, dampak psikologis dapat menyebabkan penderitaan lebih
T. panjang, mereka akan kehilangan semangat hidup, kemampuan social dan merusak
U. nilai-nilai luhur yang mereka miliki.
V. Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan
adalah
W. semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar
X. kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat
Y. yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai
kelompok
Z. yang harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang
AA. sedang mereka hadapi. Konteks kerentanan merujuk kepada situasi
rentan yang
BB. setiap saat dapat mempengaruhi atau membawa perubahan besar dalam
penghidupan
CC. masyarakat. Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan
berhak
DD. memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya.
EE.Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, perempuan,
FF. dan penyandang cacat. Dalam konteks ini, kita akan membicarakan lebih
rinci
GG. mengenai perawatan kelompok rentan pra, saat dan pasca terjadinya bencana
dalam
HH. makalah kami yang berjudul ‘Perawatan Pada Kelompok Rentan
Kelompok rentan dalam situasi bencana adalah individu atau kelompok
yangterdampak lebih berat disebabkan adanya kekurangan dan kelemahan
yangdimilikinya yang pada saat bencana terjadi menjadi lebih besarmeliputi bayi,
balita, dan anak-anak; ibu yang sedang mengandung /menyusui; penyandang cacat
(disabilitas); dan orang lanjut usia (UU No24/2007,55:2)
Indonesia merupakan negara yang sangat sering didera bencana alam,
sepertigempa tektonik yang diikuti gelombang tsunami, letusan gunung merapi,
tanahlongsor, banjir, angin puting beliung, dan bencana alam lainnya. Akibat
dariterjadinya bencana alam tersebut, telah menyisakan banyak penderitaan
bagimasyarakat di daerah yang terkena bencana bahkan masyarakat
lainnya.Berdasarkan rekapitulasi data kejadian bencana dari Direktorat
PerlindunganSosial Korban Bencana Alam Kementerian Sosial RI pada bulan
Januarisampai dengan Februari 2010 tercatat jumlah korban bencana yang
meninggaldunia/hilang sebanyak 75 jiwa, sementara yang menderita karena
kehilangansanak saudara dan harta benda tercatat sebanyak 22.162 Kepala Keluarga
dan101.893 jiwa.Disisi lain dalam situasi bencana, kelompok rentan
menjadikelompok yang terdampak lebih besar dan berat karena kekurangan
dankelemahannya, seperti bayi, balita, dan anak-anak; ibu yang sedangmengandung /
menyusui; penyandang cacat (disabilitas); dan orang lanjut usia
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah besar. Banyak
korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja, ternak, dan
peralatan menjadi rusak atau hancur. Korbna juga menagalami dampak psikologis
akibatnya bencana, misalnya ketakutan, keuangan akut, perasaan mati rasa secara
emosional, dan kesedihan yang mendalam. Bagi Sebagian oranf lain, bencana
memberikan dampak psikologis (keluhan fisik yang terjadi oleh masalah psikis)
entahlah yang tidak langsung: konflik hingga perceraian

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan mengenai Perawatan Untuk
Populasi Rentan (Lansia, Wanita Hamil, Anak-Anak, Orang Penyakit Kronis,
Disabilitas, Sakit Mental)”
2. Tujuan khusus
a. Menjelaskan Pengertian populasi rentan
b. Menjelaskan Populasi kelompok rentan di indonesia
c. Menjelaskan Karakteristik kelompok rentan
d. Menjelaskan Tindakan untuk kelompok rentan
e. Menjelaskan Intervensi terhadap kelompok rentan
C. Manfaat
Menambah pengetahuan dan wawasan siswa mengenai Perawatan Untuk Populasi
Rentan (Lansia, Wanita Hamil, Anak-Anak, Orang Penyakit Kronis, Disabilitas, Sakit
Mental)”

BAB II

ISI
A. Pengertian populasi rentan
Kelompok rentan merupakan merupakan Kelompok masyarakat berisiko
tinggi, karena berada dalam situasi dan kondisi yang kurang memiliki kemampuan
mempersiapkan diri dalam menghadapi risiko bencana atau ancaman bencana.
Kelompok ini berisiko tinggi karena pada saat bencana terjadi akan merasakan
dampak yang lebih besar daripada kelompok masyarakat lainnya.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 menyebutkan bahwa salah satu
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat adalah
perlindungan terhadap kelompok rentan. Kelompok rentan bencana menurut Undang-
undang ini adalah bayi, balita, dan anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau
menyusui, penyandang cacat dan orang lanjut usia. Perlindungan terhadap kelompok
rentan dilakukan dengan memberikan prioritas kepada kelompok rentan berupa
penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial (UU No
24,2007).
Perlindungan terhadap kelompok rentan tersebut masih terfokus pada
penanganan saat terjadi bencana atau masa tanggap darurat saja. Upaya pengurangan
risiko bencana pada kelompok rentan dapat dilakukan dengan pengelolaan risiko yang
ada pada kelompok rentan tersebut. Mengelola risiko yang ada pada kelompok rentan
akan lebih efektif dengan melibatkan mereka kedalam kegiatan pengurangan risiko
bencana karena akan lebih mau menggali kebutuhan mereka secara mendalam
sehingga kebijakan dan aksi pengurangan risiko bencana dapat diselenggarakan tanpa
mengabaikan kebutuhan kelompok rentan tersebut.
Populasi kelompok rentan di Indonesia yang terdiri dari bayi, balita, dan anak-
anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui dan lansia menurut data profil
kesehatan Indonesia. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kelompok rentan terbesar
di Indonesia adalah anak-anak dan diurutan kedua adalah lansia. Anak-anak
merupakan segmen terbesar dari populasi negara berkembang dan seringkali menjadi
korban pertama pada saat bencana (Martin,2010 dalam Muzenda, 2016).
B. Karakteristik Kelompok Rentan
Kelompok rentan dikatakan rentan karena kelompok rentan dikatakan rentan
karena kelompok ini memiliki keterbatasan dan kebutuhan khusus sehingga berisiko
tinggi terhadap bencana atau ancaman bencana. Kelompok rentan membutuhkan
perlakuan dan perlindungan khusus supaya bisa bertahan menghadapi situasi
pascabencana, karena kelompok ini merupakan kelompok yang paling besar
menanggung dampak bencana.
Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana pada pasal 55 menyebutkan bahwa yang termasuk kedalam kelompok rentan
adalah bayi, balita, dan anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui,
penyandang cacat dan orang lanjut usia. Meski sama-sama dikategorikan kelompok
rentan, namun karakteristik dan kebutuhan masing-masing dari kelompok rentan ini
berbeda, sehingga untuk memberi intervensi yang sesuai harus disesuaikan dengan
kebutuhan dan karakteristik masing-masing.
1. Anak-anak
Anak menurut psikologi perkembangan adalah periode perkembangan yang
merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini biasanya
disebut dengan periode pra sekolah. Sedangkan menurut kemenkes kelompok
anak meliputi bayi, balita, anak, prasekolah dan anak usia sekolah SD atau
setingkat (Wibowo, 2014). Anak memiliki karakteristik yang membedakannya
dengan orang dewasa yakni : usia, harapan, kebutuhan, pendidikan, ketrampilan,
pengalaman hidup, tekanan sosial yang berbeda, kerentanan, peluang
dipekerjakan, tanggung jawab, masalah kesehatan, hak dan perlindungan hukum,
otoritas dalam membuat keputusan, kemampuan untuk melindungi diri, risiko
kecelakaan, kemampuan fisik yang berbeda, pengelolaan emosi, kebutuhan akan
cinta dan perhatian, risiko terhadap kurang gizi dan berisiko terhadap tindak
kekerasan (Reachout, 2005).
Pada kondisi bencana anak-anak dengan karakteristiknya menjadi rentan
terhadap dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Anak-anak seringkali menjadi
korban terbesar dalam setiap kejadian bencana karena ketidakmampuannya
melindungi diri dan berada diluar jangkauan pengawasan orangtuanya. Pada saat
terjadi bencana anak-anak juga rentan terhadap penyakit yang muncul saat
bencana karena daya tahan tubuh mereka yang lemah serta asupan gizi yang buruk
pada masa bencana. Anak-anak seringkali berhadapan dengan dampak dari
kerusakan seperti sulitnya akses terhadap makanan, tempat penampungan
sementara, hilangnya dukungan sosial, akses terhadap pelayanan kesehatan. Anak-
anak juga dapat menjadi ketakutan atau trauma, anak-anak juga berisiko terpisah
dari keluarganya, tanpa identitas yang jelas, dan berpotensi menjadi korban
kekerasan dan kejahatan (Babugara , 2008 Taylor 2014, Muzenda 2016).
2. Perempuan
Undang-undang No.24 Tahun 2007 membatasi kelompok rentan perempuan
hanya pada ibu hamil dan menyusui saja. Defenisi Ibu hamil menurut Kemenkes
adalah ibu yang mengandung sampai usia kehamilan 42 minggu. Perempuan
menjadi bagian dari kelompok rentan karena memerlukan pemulihan yang lebih
lama dan menghadapi masa yang lebih sulit pascabencana dari pada laki-laki.
Stress yang meningkat pada masa bencana menjadi penyebab gangguan
kehamilan, melahirkan, dan produksi ASI pada masa bencana. Hal ini jelas
berdampak pada janin, bayi, ataupun anak yang sedang diasuh ibu. Anak-anak
banyak mengalami malnutrisi karena ibunya juga mengalami malnutrisi akibat
kurangnya asupan makanan bergizi pada masa bencana. Perempuan memiliki
kerentanan yang tinggi bukan hanya pada ibu hamil dan menyusui saja, namun
setiap perempuan selalu menjadi lebih dirugikan dan lebih merasakan dampak dari
bencana dibandingkan lelaki.
Dampak langsung dari bencana dapat dilihat dari kecenderungan wanita
umumnya paling banyak menjadi korban yang butuh perawatan di fasilitas
kesehatan, jumlah korban meninggal akibat bencana juga lebih banyak
perempuan, menjadi cacat akibat terluka. Bencana menyebabkan banyak
perempuan menjadi miskin, perempuan juga mengalami marjinalisasi dalam
penanganan bencana. Perempuan dikonstruksi sebagai kelompok tersubordinasi
oleh laki-laki sehingga perempuan mengalami kesulitan untuk akses terhadap
informasi ketika terjadi bencana maupun pada saat mitigasi. Perempuan juga
memiliki keterbatasan akses terhadap sumberdaya seperti jaringan sosial,
transportasi, informasi, ketrampilan, kontrol sumberdaya alam dan ekonomi,
mobilitas individu, tempat tinggal dan pekerjaan. (Hastuti, 2016)
3. Penyandang Cacat / Disabilitas
Penyandang cacat menurut Undang-undang No.4 Tahun 1997 adalah setiap
orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara
selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental,
penyandang cacat fisik dan mental. Jenis kecacatan terdiri dari Tunanetra (buta),
Tunarungu (Tuli), Tuna Wicara (Bisu), Cacat anggota gerak, Lumpuh, Cacat
Mental. Anggapan yang berkembang di masyarakat pada umumnya menempatkan
penyandang cacat sebagai orang yang lemah dan perlu dikasihani, secara tidak
langsung anggapan tersebut membentuk sebagian besar penyandang cacat tidak
mampu hidup secara mandiri dan menjadi tidak produktif.
4. Lanjut Usia (Lansia)
Lanjut usia menurut Undang-Undang No.13 Tahun 1998 adalah seseorang
yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas . Kemenkes
mengklasifikasikan lansia kedalam dua kategori, penduduk usia lanjut berumur ≥
60 tahun dan penduduk usia lanjut dengan risiko tinggi ≥ 70 tahun (Kemenkes,
2017). Sebagian besar dari kelompok lanjut usia tidak dapat hidup secara mandiri
karena keterbatasan mobilitas, lemah atau masalah kesehatan fisik dan mental
sehingga membutuhkan pelayanan dan perlindungan khusus (Wibowo, 2018).
Lansia mengalami penurunan sistem tubuh yang meliputi perubahan fisik, mental
dan psikososial (Nugroho dalam Wibowo,2014).
Perubahan fisik mencakup perubahan sel, sistem persarafan, sistem
pendengaran, sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem pengaturan suhu
tubuh, sistem pernafasan, sistem gastrointestinal, sistem genitourinaria, sistem
endokrin, sistem integumen, dan sistem muskulosketal. Perubahan mental
dipengaruh oleh perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan,
lingkungan, tingkat kecerdasan dan kenangan. Perubahan psikososial umumnya
timbul karena lansia dianggap sudah tidak produktif lagi sehingga sebagian besar
pensiun dari pekerjaannya (Wibowo,2014). Lansia seringkali tinggal sendiri
sehingga semakin memperbesar risiko lansia terdampak bencana, karena
keterbatasan fisiknya dan tidak adanya bantuan dari anggota keluarga. Pada saat
terjadi bencana yang mengharuskan lansia mengungsi akan menimbulkan
perasaan tidak nyaman pada lansia karena merasa kehilangan tempat tinggalnya
dan komunitasnya sama saja seperti kehilangan dirinya (Yotsui et al, 2015).
C. Tindakan Untuk Kelompok Rentan
Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok-kelompok
rentan, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan bencana
perlu(1):
a. Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan kelompok-kcompok rentan tersebut, contohnya ventilisator
untuk anak, alat bantu untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan
persalinan, dll.
b. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
c. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan
informasi dan komunikasi
d. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses
e. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses

D. Untuk mengurangi dampak


bencana pada individu dari
kelompokkelompok
E. rentan diatas, petugas-
petugas yang terlibat dalam
perencanaan dan
penanganan
F. bencana perlu
1. Keperawatan bencana pada ibu hamil dan menyusui
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam
kondisi kita harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus
ingat bahwa dalam merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan menolong
janinnya sehingga meningkatkan kondisi fisik dan mental wanita hamil dapat
melindungi dua kehidupan, ibu hamil dan janinnya. Perubahan fisiologis pada
ibu hamil, seperti peningkatan sirkulasi darah, peningkatan kebutuhan
oksigen, dan lain-lain sehingga lebih rentan saat bencana dan setelah bencana.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan ibu hamil:
a. Meningkatkan kebutuhan oksigen
Penyebab kematian janin adalah kematian ibu. Tubuh
ibu hamil yang mengalami keadaan bahaya secara fisik
berfungsi untuk membantu menyelamatkan nyawanya sendiri
daripada nyawa si janin dengan mengurangi volume perdarahan
pada uterus.
b. Persiapan melahirkan yang aman
Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan
informasi yang jelas dan terpercaya dalam menentukan tempat
melahirkan adalah keamanannya. Hal yang perlu dipersiapkan
adalah air bersih, alat-alat yang bersih dan steril dan obat-
obatan, yang perlu diperhatikan adalah evakuasi ibu ke tempat
perawatan selanjutnya yang lebih memadai.
Pra bencana:
a) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan
penanganan bencana
b) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
c) Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh
anggota keluarga
d) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi
bencana
Saat bencana:
a) Melakukan usaha bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan
risiko kerentanan bumil dan busui, misalnya:
1) Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan
transportasi karena dapat merangsang kontraksi pada ibu hamil
2) Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
b) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban
bumil dan busui
Pasca bencana:
a) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan
emosional
b) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah
penampungan korban bencana untuk menyediakan jasa konseling dan
pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.
c) Melibatkan petugaspetugas konseling untuk mencegah,
mengidentifikasi, mengurangi risiko kejadian depesi pasca bencana.
2. Keperawatan bencana pada bayi dan anak-anak
Pra bencana:
a) Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan
kesiagsiagaan bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran
atau gempa bumi
b) Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak
pada saat bencana
c) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi
petugas kesehatan khusus untuk menangani kelompok-
kelompok bensiko
Saat bencana:
a) Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar
yang digunakan saat bencana
b) Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai
dengan tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan
mempertimbangkan aspek tumbuh kembangnya, misalnya
menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak disamakan
dengan orang dewasa
c) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian
pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua,
keluarga, atau wali mereka
Pasca bencana:
a) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin
contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain
dan sekolah
b) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
c) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
d) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan
emosional
e) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi
evakuasi sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi
mengurangi resiko kejadian depresi pada anak pasca bencana.
f) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkunganyang aman untuk mereka
3. Keperawatan bencana bagi lansia
Pra bencana:
a) Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster
plan di rumah
b) Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan
bencana
c) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara
penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan
setelah itu pun berjalan secara sistematis, Sebagai hasilnya, dilaporkan
bahwa orang lansia dan penyandang cacat yang disebut kelompok
rentan pada bencana tidak pernah diabaikan, sehingga mereka bisa
hidup di pengungsian dengan tenang.
d) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan pelatihan
praktek dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan yang realistis
dan bermanfaat akan tercapai.
Saat bencana:
a) Melakukan usaha bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan
resiko kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma
pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari
trauma sekunder
b) Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi
roda. tongkat, dll.
c) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi bencana adalah memindahkan
orang lansia ke tempat yang aman. Orang lansia sulit memperoleh
informasi karena penurunan daya pendengaran dan penurunan
komunikasi dengan luar
d) Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada tanah
dan rumah sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun
berkecenderungan terlambat dibandingkan dengan generasi yang lain.
e) Penyelamatan darurat, Triage, treatment, and transportation dengan
cepat.
Fungsi indera orang lansia yang mengalami perubahan fisik
berdasarkan proses menu, maka skala rangsangan luar untuk
memunculkan respon pun mengalami peningkatan sensitivitas
sehingga mudah terkena mati rasa
Pasca bencana:
a) Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas
dengan lansia dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya:
Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatankegiatan
sosial bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang
muda dan lansia (community awareness)
Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam
kegiatan bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency
perlindungan anak di posko perlindunga korban bencana
b) Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial
yang sehat di lokasi penampungan korban bencana
c) Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan
skill lansia.
d) Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara manditi
e) Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan
kemandirian lansia.
4. Keperawatan bencana bagi orang dengan kecacatan dan penyakit kronik
Dampak bencana pada penyakit kronis akan memberi pegaruh besar
pada kehidupan dan lingkungan bagi orangorang dengan penyakit kronik.
Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup di tempat pengungsian dalam
waktu yang lama atau terpaksa memulai kehidupan yang jauh berbeda dengan
pra-bencana, sangat sulit mengatur dan memanajemen penyakit seperti
sebelum bencana. Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana dan tidak
terluka sekalipun manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga
kemungkinan besar penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih parah lagi
ketika hidup di pengungsian atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.
Pra bencana:
a) Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan
berpenyakit kronis
b) Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang
dengan keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
c) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan
bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban
dengan kebutuhan khusus (cacat dan penyakit kronis)
d) Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama
pasien, alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
e) Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi dari
obat yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
f) Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai
penanganan bencana sejak masa normal
Saat bencana:
a) Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang
cacat dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya),
alat bantu berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD
sekali pakai, dll 2) Tetup meninga dan meningkatkan kewaspadaan
universal (universal precaution) untuk petugas dalam melakukan
tindakan kegawatdaruratan
b) Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang
lama untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam
mengambil keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi
persiapan evakuasi dan lain-lain perlu diberitahukan kepada
penyandang cacat dan penolong evakuasi
c) Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat
disesuaikan dengan ciri-ciri penyandang cacat, misalnya internet
(email, sms, dll) dan siaran televisi untuk tuna rungu, handphone yang
dapat membaca pesan masuk untuk tuna netra; HP yang dilengkapi
dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan sebagainya.
d) Pertolongan pada penyandang cacat
1) Tuna daksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil
dan mudah jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam
perpindahan atau pemakai kursi roda yang tidak dapat
melangkah sendirian ketika berada di tempat yang jalannya
tidak rata dan menaiki tangga. Ada yang menganggap kursi
roda seperti satu bagian dari tubuh sehingga cara
mendorongnya harus mengecek keinginan si pemakai kursi
roda dan keluarga
2) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut
karena menyadari suasana aneh di sekitarnya, maka perlu
diberitahukan tentang kondisi sekitar rumah dan tempat aman
untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang tidak
familiar. Pada waktu menolong mereka untukpindah, peganglah
siku dan pundak, atau genggamlah secara lembut
pergelangannya karena berkaitan dengan tinggi badan mereka
serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
3) Tuna nungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya
karena tidak dapat menerima informasi suara. Sebagai metode
komunikasi, ada bahasa tulis. bahasa isyarat, bahasa membaca
gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum tentu semuanya
dapat menggunakan bahasa isyarat
4) Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya
karena kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan
pendapatnya sendiri dan seringkali mudah menjadi panik. Pada
saat mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan yang sama
dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum
mengerti sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah
dimengerti
Pasca bencana:
a) Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan
kemandirian individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi
sementara Contohnya: kursi roda, tongkat, dll
b) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan
individuindividu dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis
c) Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya
d) Kebutuhan rumah tangga.
e) Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK
(mandi, cuci, kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan
tempat tidur, pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan adat.
f) Kebutuhan kesehatan
g) Kebutuhan kesehatan umum seperti perlengkapan medis (obat-obatan,
perban, dll), tenaga modis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan
h) Tempat ibadah sementara
i) Keamanan wilayah
j) Kebutuhan air
k) Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak - seperti air bersih,
MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam
masyarakat dan pihak luar, penerangan/listrik, sekolah sementara, alat
angkut/transport. gudang penyimpanan persediaan, tempat pemukiman
sementara, pos kesehatan alat dan bahan-bahan.

Sumber Daya yang Tersedia


Dilingkungan untuk
Kebutuhan Kelompok
Beresiko
Sumber Daya yang Tersedia
Dilingkungan untuk
Kebutuhan Kelompok
Beresiko
E. Sumber Daya yang tersedia dilingkungan untuk kebutuhan kelompok
berisiko

F. Untuk mengurangi
dampak yang lebih berat
akibat bencana terhadap
G. kelompok – kelompok
beresiko saat bencana baik itu
dampak jangka pendek
maupun
H. jangka panjang, maka
petugas kesehatan yang
terlibat dalam penanganan
encana
I. perlu mengidentifikasikan
sumber daya apa saja yang
tersedia di lngkungan yang
J. dapat digunakan saat
bencana terjadi, diantaranya
(Enarson, 2000; Federal
K. 17
L. Untuk mengurangi
dampak yang lebih berat
akibat bencana terhadap
M. kelompok – kelompok
beresiko saat bencana baik itu
dampak jangka pendek
maupun
N. jangka panjang, maka
petugas kesehatan yang
terlibat dalam penanganan
encana
O. perlu mengidentifikasikan
sumber daya apa saja yang
tersedia di lngkungan yang
P. dapat digunakan saat
bencana terjadi, diantaranya
(Enarson, 2000; Federal
Q. 17
Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap
kelompok – kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek
maupun jangka panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam
penanganan bencana perlu mengidentifikasikan sumber daya apa saja yang
tersedia di lngkungan yangdapat digunakan saat bencana terjadi,
diantaranya (Enarson, 2000; Federal17 Emergency Management Agency
(FEMA), 2010; Powers & Daily, 2010; Veenema,2007 ) :
a. Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang
terusmensosialisasikan kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk
area yangrentan terhadap kejadian bencana.
b. Kesiapan rumah sakir atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana
darikelompok berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan
seperti beberapa jumlah incubator untuk bayi baru lahir, tempat tidur untuk
pasien anak ventilator anak, fasilitas persalinan, fasilitas perawatan pasien
dengan penyakitkronis, dsb
c. Adanya symbol – symbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh
individuindividudengan kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi,
lokasi pengungsiandll.
d. Adanya system support berpa konseling dari ahli-ahli voluntir
yang khususmenangani kelompok beresiko untuk mencegah dan
mengidentifikasi dinikondisi depresi pasca bencana pada kelompok tersebut
sehingga intervensi yangsesuai dapat diberikan untuk merawat mereka.
e. Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah
(NGO)yang membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok
beresiko seperti :agensi perlindungan anak dan perempuan, agency
pelacakan keluarga korbanbencana ( tracking centre), dll.
F. Lingkungan yang Sesuai dengan Kebutuhan Kelompok Beresiko
Setelah kejadian bencana, adalah penting sesegera mungkin untuk
menciptakanlingkungan yang kondusif yang memungkinkan kelompok
berisiko untuk berfungsi secara mandiri sebagaimana sebelum kejadian
bencana, diantaranya (Enarson, 2000; Federal Emergency Management
Agency (FEMA), 2010; Indriyani, 2014; Klynmanet al., 2007;
a. Menciptakan kondisi/ lingkungan yang memungkinkan ibu menyusui untuk
terusmemberikan ASI kepada anaknya dengan cara memberikan
dukungan moril, menyediakan konsultasi laktasi dan pencegahan depresi.
b. Membantu anak kembali melakukan aktivitas-aktivitas regular
sebagaimanasebelum kejadian bencana seperti: penjagaan kebersihan diri,
belajar/ sekolah dan bermain.
c. Melibatkan lansia dalam aktivitas-aktivitas social dan program lintas
generasimisalnya dengan remaja dan anak-anak untuk mengurangi resiko
isolasi socialdan depresi.
d. Menyediakan informasi dan lingkungan yang kondusif untuk individu
denganketerbatasan fisik, misalnya area evakuasi yang dapat diakses oleh
mereka.
e. Adanya fasilitas-fasilitas perawatan untuk korban bencana dengan
penyakitkronis dan infeksi

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Kelompok rentan merupakan merupakan Kelompok masyarakat berisiko
tinggi, kelompok ini berisiko tinggi karena pada saat bencana terjadi akan merasakan
dampak yang lebih besar daripada kelompok masyarakat lainnya. kelompok rentan
terbesar di Indonesia adalah anak-anak dan diurutan kedua adalah lansia. Dalam
memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam kondisi kita harus cepat
dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus ingat bahwa dalam merawat ibu
hamil adalah sama halnya dengan menolong janinnya sehingga meningkatkan kondisi
fisik dan mental wanita hamil dapat melindungi dua kehidupan, ibu hamil dan
janinnya. Setelah kejadian bencana, adalah penting sesegera mungkin untuk
menciptakanlingkungan yang kondusif yang memungkinkan kelompok berisiko untuk
berfungsi secara mandiri sebagaimana sebelum kejadian bencana.
B. Saran
Sebagai seorang perawat yang profesional, diharapkan kita mampu ikut serta
dalam penanggulangan bencana, kita harus mampu memberikan pelayanan.
Bagaimana cara kita memberikan pelayanan yang dibutuhkan bagi Masyarakat yang
terdampak terjadinya bencana.

DAFTAR PUSTAKA

1. Risnawati, Malik MZ, Nurafifah, Gustini, Lumbantobing CJRE, Rahim A.


Keperawatan Bencana dan Gawat Darurat. Vol. 1, Media Sains Indonesia. 2021.

2. PUPR. Modul Penanggulangan Bencana. Kementeri PUPR. 2017;52.

Anda mungkin juga menyukai