KESEHATAN SPIRITUAL
Disusun Oleh :
Kelompok 3
FAKULTAS KEDOKTERAN
BANJARBARU
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Dosen
Pengampu : Endang Pertiwiwati, Ns., M.Kes
Kelompok : 3 (tiga)
Nama Anggota:
i
KATA PENGANTAR
Akhirnya penulis menyadari bahwa mungkin saja dalam makalah ini masih
terdapat kekurangan, karenanya penulis mengharapkan saran dan kritik yang
sifatnya membangun yang diharapkan akan menyempurnakan makalah ini.
Namun demikian, penulis berharap makalah ini tetap memberikan manfaat bagi
pembaca dan menambah khasanah ilmu keperawatan.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
Kasus1
Tn. Idris, 40 tahun, bercerai, dirawat dengan infark miokardial, agama Islam. Tn.
Idris sering tidak bisa tidur pada malam hari dan berkata kepada perawat yang
bertugas dinas malam “Apakah Anda sering mempertanyakan keberadaan
Tuhan?” Memahami bahwa pertanyaan ini mempunyai banyak arti bagi klien,
maka perawat mengajukan pertanyaan spesifik untuk menetapkan apakah klien
mempunyai kebutuhan spiritual yang tidak terpenuhi.
Dua hari kemudian, klien tetap tidak bisa tidur dan terus membahas tentang
Tuhan.Ketika harus masuk rumah sakit, Tn. Idris tidak bisa lagi aktif dalam
kegiatan agama dan mengikuti pengajian rutin seperti biasa.Ia berkata, “Ketika
saya berpikir tentang kematian dan tidak tahu apa yang terjadi setelah
kematian…, saya merasa sangat takut.” “Apakah orang lain juga merasakan hal
yang sama seperti saya?” “Mungkin Tuhan menghukum saya karena saya tidak
terlalu religius.”Tn. Idris ingin menggali keyakinan agamanya yang selama ini
tidak terlalu dihayatinya dan berkata ingin dikunjungi oleh pemuka agama Islam.
Diskusikan mengenai:
1. Tn. Idris mengatakan “……. saya tidak terlalu religius.” Apakah itu artinya
Tn. Idris bukan orang yang beragama?
2. Apakah perbedaan antara spiritualitas atau keyakinan spiritual, kepercayaan,
dan agama?
3. Berdasarkan kasus, data manakah yang menunjukkan bahwa Tn. Idris
mengalami distress spiritual?
4. Bagaimanakah perkembangan spiritual individu dalam setiap fase
kehidupan (bayi dan toddler, prasekolah, usia sekolah, dewasa, lansia)?
1
5. Bagaimana penyakit mampu memengaruhi spiritualitas atau agama
seseorang? Apakah ada faktor lain yang dapat memengaruhi spiritualitas
seseorang?
6. Sebagai seorang perawat, apa yang mungkin Anda katakan kepada Tn. Idris
untuk menunjukkan bahwa Anda berempati dengan kondisinya?
7. Proses keperawatan dan kesehatan spiritual: metode pengkajian kesehatan
spiritual yang perawat gunakan serta merencanakan tindakan keperawatan
yang sesuai.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Tidak, karena Tn. Indris tetep beragama hanya saja dia tidak taat pada
agamanya dan melalaikan kewajiban beribadahanya sehingga dia berfikir
bahwa dia itu orang yang tidak religius.
2.
Spiritualitas
Keagamaan
Kepercayaan
3. Ketika pasien berkata “ketika saya berfikir tentang kematian dan tidak tahu
apa yang terjadi setelah kematian.., saya merasa sangat takut.” “Apakah
3
orang lain juga merasakan hal yang sama seperti saya?” “Mungkin Tuhan
menghukum saya karena saya tidak terlalu religius.”
4. Tahap awal perkembangan manusia dimulai dari masa perkembangan bayi.
Hamid (2000) menjelaskan bahwa perkembangan spiritual bayi merupakan
dasar untuk perkembangan spiritual selanjutnya. Bayi memang belum
memiliki moral untuk mengenal arti spiritual. Keluarga yang spiritualnya baik
merupakan sumber dari terbentuknyaperkembangan spiritual yang baik pada
bayi. Oleh karena itu, perawat dapat menjalin kerjasama dengan orang tua
bayi tersebut untuk membantupembentukan nilai-nilai spiritual pada bayi.
Dimensi spiritual mulai menunjukkan perkembangan pada masa
kanak-kanak awal (18 bulan-3 tahun). Anak sudah mengalami
peningkatankemampuan kognitif. Anak dapat belajar membandingkan hal
yang baikdan buruk untuk melanjuti peran kemandirian yang lebih besar.
Tahap perkembangan ini memperlihatkan bahwa anak-anak mulai berlatih
untuk berpendapat dan menghormati acara-acara ritual dimana mereka merasa
tinggal dengan aman. Observasi kehidupan spiritual anak dapat dimulai dari
kebiasaan yang sederhana seperti cara berdoa sebelum tidur dan berdoa
sebelum makan, atau cara anak memberi salam dalam kehidupan sehari-hari.
Anak akan lebih merasa senang jika menerima -pengalaman baru, termasuk
pengalaman spiritual (Hamid, 2000).
Perkembangan spiritual pada anak masa pra sekolah (3-6 tahun)
berhubungan erat dengan kondisi psikologis dominannya yaitu super ego.
Anak usia pra sekolah mulai memahami kebutuhan sosial, norma, dan
harapan, serta berusaha menyesuaikan dengan norma keluarga. Anak tidak
hanya membandingkan sesuatu benar atau salah, tetapi membandingkan
norma yang dimiliki keluarganya dengan norma keluarga lain. Kebutuhan
anak pada masa pra sekolah adalah mengetahui filosofi yang mendasar tentang
isu-isu spiritual. Kebutuhan spiritual ini harus diperhatikan karena anak sudah
mulai berfikiran konkrit. Mereka kadang sulit menerima penjelasan mengenai
Tuhan yang abstrak, bahkan mereka masih kesulitan membedakan Tuhan dan
orang tuanya (Hamid, 2000)
4
Usia sekolah merupakan masa yang paling banyak mengalami
peningkatan kualitas kognitif pada anak. Anak usia sekolah (6-12 tahun)
berfikir secara konkrit, tetapi mereka sudah dapat menggunakan
konsepabstrak untuk memahami gambaran dan makna spriritual dan agama
mereka. Minat anak sudah mulai ditunjukan dalam sebuah ide, dan anak dapat
diajak berdiskusi dan menjelaskan apakah keyakinan. Orang tua dapat
mengevaluasi pemikiran sang anak terhadap dimensi spiritual mereka (Hamid,
2000).
Remaja (12-18 tahun). Pada tahap ini individu sudah mengerti akan
arti dan tujuan hidup, Menggunakan pengetahuan misalnya untuk mengambil
keputusan saat ini dan yang akan datang. Kepercayaan berkembang dengan
mencoba dalam hidup. Remaja menguji nilai dan kepercayaan orang tua
mereka dan dapat menolak atau menerimanya. Secara alami, mereka dapat
bingung ketika menemukan perilaku dan role model yang tidak konsisten.
Pada tahap ini kepercayaan pada kelompok paling tinggi perannya daripada
keluarga. Tetapi keyakinan yang diambil dari orang lain biasanya lebih mirip
dengan keluarga, walaupun mereka protes dan memberontak saat remaja. Bagi
orang tua ini merupakan tahap paling sulit karena orang tua melepas
otoritasnya dan membimbing anak untuk bertanggung jawab. Seringkali
muncul konflik orang tua dan remaja (Hamid, 2000).
Dewasa muda (18-25 tahun). Pada tahap ini individu menjalani proses
perkembangannya dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual,
memikirkan untuk memilih nilai dan kepercayaan mereka yang dipelajari saat
kanak-kanak dan berusaha melaksanakan sistem kepercayaan mereka sendiri.
Spiritual bukan merupakan perhatian utama pada usia ini, merekalebih banyak
memudahkan hidup walaupun mereka tidak memungkiri bahwa mereka sudah
dewasa (Hamid, 2000).
5
dan etik sebagai dasar dari sistem nilai. Mereka sudah merencanakan
kehidupan, mengevaluasi apa yang sudah dikerjakan terhadap kepercayaan
dan nilai spiritual (Hamid, 2000).
Lanjut usia (65 tahun sampai kematian). Pada tahap perkembangan ini,
pada masa ini walaupun membayangkan kematian mereka banyak menggeluti
spiritual sebagai isu yang menarik, karena mereka melihat agama sebagai
faktor yang mempengaruhi kebahagian dan rasa berguna bagi orang lain. Riset
membuktikan orang yang agamanya baik, mempunyai kemungkinan
melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi lansia yang agamanya tidak baik
menunjukkan tujuan hidup yang kurang, rasa tidak berharga, tidak dicintai,
ketidakbebasan dan rasa takut mati. Sedangkan pada lansia yang spiritualnya
baik ia tidak takut mati dan dapat lebih mampu untuk menerima kehidupan.
Jika merasa cemas terhadapkematian disebabkan cemas pada proses bukan
pada kematian itu sendiri (Hamid, 2000).
6
buruk. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut
merupakan pengalaman spiritual selain juga pengalaman yang bersifat fisikal
dan emosional.
Dalam kasus Tn. Idris tidak bisa lagi aktif dalam kegiatan agam dan
mengikuti pengajian rutin seperti biasanya, dalam hal tersebut penyakit
mempengaruhi proses spiritual seseorang karena keterbatasan fisik yang sakit
dan waktu yang harus dirawat dirumah sakit, namun setelah kejadian itu Tn.
idris ingin memperkuat kedalaman tentang spiritual agamanya.
b. Keluarga
7
tempat pengalaman pertama anak dalam mempersiapkan kehidupan di
dunia, pandangan anak diwarnai oleh pengalaman mereka dalam
berhubungan dengan keluarga.
8
Empati merupakan perasaan “pemahaman” dan “penerimaan” perawat
terhadap perasaan yang dialami klien dan kemampuan merasakan “dunia
pribadi pasien”. Empati merupakan sesuatu yang jujur, sensitif, dan tidak
dibuat-buat (objektif) didasarkan atas apa yang dialami orang lain. Empati
berbeda dengan simpati. Simpati merupakan kecenderungan berfikir atau
merasakan apa yang sedang pasien lakukan atau rasakan. Karenanya simpati
lebih bersifat subjektif dengan melihat “dunia orang lain” untuk mencegah
perspektif yang lebih jelas dari semua sisi yang ada tentang isu-isu yang
sedang dialami seseorang.
Pada kasus tersebut, Tn Idris sering tidak bisa tidur dimalam hari dan
klien terus membahas tentang Tuhan. Ketika masuk rumah sakit Tn Idris tidak
9
bisa lagi aktif dalam kegiatan agama dan pengajian rutin seperti biasa. Dan ia
berkata ingin dikunjungi oleh pemuka agama. Sebagai perawat kita bisa
menyampaikan kepada pasien “Pak, bapak jangan bicara seperti itu. Saya
mengerti keadaan bapak, kami berusaha untuk membantu bapak dalam
beribadah. Kami akan mendiskusikan dengan keluarga bapak dan membantu
untuk mendatangakn ustadz atau pemuka agama”.
7.
1) Proses Keperawatan dan Kesehatan Spiritual
10
Pengkajian spritual membutuhkan hubungan interpersonal yang baik
antara pasien dengan perawat. Oleh karena itu pengkajian sebaiknya
dilakukan setelah perawatan dapat membentuk hubungan yang baik
dengan pasien atau dengan ornag terdekat pasien . Pengkajian yang
dilakukan berdasarkan kasus di atas dengan menggunakan pengkajian
objektif dan pengkajian subjektif, mengapa demikian karena dengan
pengkajian tersebut dapat membuka diri tentang permasalahan yang di
hadapi dan perawat pun harus berperan aktif di dalamnya.
11
hidup seseorang yang berhungan dengan diri, orang lain, atau kekuatan
besar dalam dirinya.
Batasan karakteristik diagnosa keperawatan spiritual secara spesifik
dapat dijabarkan sebagai berikut :
Berhubungan dengan diri meliputi kemampuan mengekspresikan
diri, kurang harapan, tujuan hidup, kedamaian penerimaan, cinta,
memaafkan diri, keberanian, marah, serta rsa bersalah.
Berhubungan dengan orang lain dengan pemimpin agama, serta
merasa diri terasing.
Berhubungan dengan kekuatan yang melebihi dirinya, meliputi
ketidakmampuan beribadah, mengekpresikan ditinggalkan atau
marah pada Tuhan, mengalami penderitaan tanpa harapan.
Perencanaan
Setelah diagnosa keperawatan dan faktor yang berhubungan di
identifikasi selamjutnya perawat dan juga pasien menyusun kriteria
hasil rencana intervensi yang bisa di lakukan. Tujuannya pasien juga
ikut terlibat agar dapat mempertmbangkan riwayat penyakit pasien
yang berisiko, dan tanda-tanda disfungsi dengan tanda distress spiritual
pasien dengan cara :
Memenuhi pasien memenuhi kewajiban agamanya
Menbantu mengatasi situasi yang sedang di amalami pasien
Mempertahankan atau membina hubungan personal yang dinamik
dengan Maha Pencipta ketika sedang menghadapi peristiwa yang
kurang menyenangkan
Membantu pasien mencari arti keberadaannya dan situasi yang
sedang dihadapinya
meningkatkan perasaan penuh harapan
Memberikan sumber spiritual dengan cara relevan dan sesuai
dengan kepercyaan pasien.
12
Implementasi
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Saran :
Sebagai seorang perawat kita harus mampu memahami terkait spiritual seseorang
dan memahami fase-fase spiritual sesuai usia seseorang
14
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Ah. Dkk. 2016. Kebutuhan Spiritual Konsep dan Aplikasi dalam Asuhan
Keperawatan
NANDA
NOC
NIC
Ardhian Irwan. 2016. Konsep Spiritualitas Dan Religiusitas (Spiritual and religion)
Dalam Konteks Keperawatan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Semarang : Fakultas
Ilmu keperawatan, Universitas Islam Sultan Agung.
15