Anda di halaman 1dari 107

DIKTAT

KEPERAWATAN PALIATIF

Oleh :
Tim Keperawatan Paliatif

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN
2019

0
TOPIK I
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
MENJELANG AJAL & PALLIATIVE CARE

Kemampuan yang Diharapkan :


Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa mampu menjelaskan kembali konsep dasar
keperawatan paliatif & peran perawat dalam paliatif.

A. Pengertian
Perawatan paliatif merupakan perawatan total yang dilakukan secara aktif
terutama pada pasien yang menderita penyakit yang membatasi hidup, dan keluarga
pasien, yang dilakukan oleh tim secara interdesiplin, dimana penyakit pasien tersebut
sudah tidak dapat lagi berespon terhadap pengobatan atau pasien yang mendapatkan
intervensi untuk memperpanjang masa hidup.
Istilah perawatan hospis sering digunakan sebagai sinonim untuk perawatan
paliataif. Namun, di beberapa Negara perawatan hospis merujuk pada perawatan
paliatif berbasis komuniti. Secara filosofi perawatan paliatif dan perawatan hospis
memiliki makna yang sama. Akan tetapi, “Semua perawatan hospis adalah perawatan
paliatif, namun tidak semua perawatan paliatif adalah perawatan hospis” perawatan
paliatif disediakan untuk semua pasien yang menderita penyakit kronis dengan
kondisi penyakit yang membatasi masa hidup atau mengancam jiwa maupun kondisi
pasien yang mendapatkan intervensi untuk memperpanjang masa hidup. Sedangkan
perawatan hospis di peruntukkan kepada pasien dengan kondisi masa harapan hidup
yang diperkirakan kurang dari enam bulan.
Perawatan hospis difasilitasi oleh tenaga professional yang bekerja secara tim
yang dikenal dengan istilah interpersonal atau tim interdisiplin. Selain itu, supportive
care juga sering digunakan sebagai kata alternative untuk menggantikan kata
perawatan paliatif. Istilah trsebut awal digunakan untuk menjelaskan kondisi
penanganan pasien dengan efek samping yang berat akibat proses terapi, terutama
proses terapi penyakit kanker. Namun, saat ini istilah supportive care digunakan lebih
luas lagi, termasuk untuk rehabilitasi dan dukungan psikososial. Jadi supportive care
memiliki makna yang serupa dengan perawatan paliatif dalam arti yang lebih luas dan
umum.

1
B. Falsafah Keperawatan Paliatif
Paliatif berasal dari bahasa latin yaitu “Palium”, yang berarti menyelimuti
atau menyingkapi dengan kain atau selimuti untuk memberikan kehangatan atau
perasaan nyaman. Perawatan paliatif dimaknai sebagai pelayanan yang memberikan
perasaan nyaman terhadap keluhan yang dirasakan oleh pasien. Sehingga tujuan
utama dari pelayanan perawatan paliatif adalah memberikan perasaan nyaman pada
pasien dan keluarga. Namun, pelayanan perawatan paliatif tidak hanya mengatasi
masalah fisik pasien akan tetapi juga mencakup masalah dari aspek psikologis, social
dan spiritual. Semua aspek tersebut saling berintegrasi sehingga dapat saling
mempengaruhi satu sama lain. Selain itu, tenaga professional kesehatan, para pembuat
kebijakan dan masyarakat luas, memahami perawatan paliatif sama dengan perawatan
di akhir kehidupan (end-of-life care)
Perawatan paliatif merupakan pelayanan yang mencakup :
a. Pelayanan berfokus pada kebutuhan pasien bukan pelayanan berfokus pada
penyakit.
b. Menerima kematian namun juga tetap berupaya untuk meningkatan kualitas
hidup.
c. Pelayanan yang membangun kerjasama antara pasien dan petugas kesehatan serta
keluarga pasien.
d. Berfokus pada proses penyembuhan bukan pada pengobatan.
Sehingga perawatan paliatif bukan untuk mempercepat proses kematian namun
bukan pula untuk menunda kematian, dikarenakan kematian merupakan proses
alamiah makhluk hidup. Sehingga dalam perawatan paliatif, kematian akan
berlangsung secara alamiah pada pasien. Penyembuhan merupakan suatu hubungan
antara diri sendiri, orang lain, lingkungan dan Tuhan. Sehingga seseorang tidak akan
dapat meninggal dengan di obati, namun seseorang dapat meninggal dengan kondisi di
sembuhkan. Jadi meninggal dengan kesembuhan dapat dimaknai suatu kematian
dimana seseorang mampu mengatakan atau menyatakan, berupa :
a. I love you.
b. Forgive me.
c. Thank you.
d. Good-bye.

2
Berdasarkan hal tersebut diatas sehingga perawatan paliatif kadang dikatakan
sebagai “Pelayanan yang miskin teknologi namun kaya akan sentuhan”. Tujuan
utama perawatan paliatif adalah untuk mencapai kualitas hidup sebaik mungkin pada
pasien dan keluarganya (World Health Organization, 1990).

C. Kualitas Hidup
Kualitas hidup merupakan konsep utama sekaligus tujuan dalam proses
perawatan paliatif dan juga dipelayanan kesehatan lainnya. Ide tentang kualitas hidup
bukan hal yang baru, karena di masa Yunani kuno sistem pelayanan kesehatan telah
menetapkan salah satu tujuan dalam pelayanan adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien kualitas hidup memiliki makna yang sangat luas tergantung perspektif
orang menilainya. Sehingga kualitas hidup dapat dinilai dari konteks social,
psikologis, maupun kedokteran.
Secara umum kualitas hidup merupakan kepuasan hidup seseorang mengenai
hidupnya yang bersifat subyektif, dan kepuasaan tersebut dipengaruhi oleh seluruh
yang bersifat subyektif, dan kepuasan tersebut dipengaruhi oleh seluruh aspek dari
individu yang mencakup aspek fisik, psikologis, social dan spiritual. Menurut
Kepmenkes RI No.812 tahun 2007 menjelaskan bahwa kualitas hidup merupakan
keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai konteks budaya
dan sistem nilai yang di anutnya, termasuk tujua hidup, harapan, dan niatnya. Dalam
teori Gap, Calman mengemukakan bahwa kulaitas hidup merupakan hubungan yang
berlawanan dari perbedaan antara harapan seseorang dengan persepsi pada situasi saat
itu. Sehingga semakin kecil gap atau celah maka semakin baik kualitas hidup
seseorang. Berikut ilustrasi teori Gap di kutip dari Kaasa & Loge (2015)

High Expectations
Experiens

Expectations

Low Experiens

Ilustrasi diatas menggambarkan perubahan kualitas hidup dari T0 ke T1 dapat


disebabkanoleh harapan, pengalaman, atau kedua secara bersamaan. Contoh kasus A
dab B diatas menunjukkan kualitas hidup kedua pasien trsebut pada T0 berada pada
leve yang hampir sama, akan tetapi terjadi perubahan kondisi penyakit dari masing-

3
masing pasien yang boleh jadi mereka memiliki stadium dan kompleksitas penyakit
yang berbeda sehingga pada pemeriksaan di T1 menunjukkan kualitas hidup yang
berbeda.
Ada beberapa dimensi dari kualitas hidup yang dikemukakan oleh Clinch,
Dudgeon & Schipper (1998) yaitu gejala fisik, kemampuan fungsional, kesejahteraan
keluarga, spiritual, fungsi social, kepuasaan terhadap pengobatan , orientasi masa
depan, kehidupan seksual, dan fungsi dalam bekerja. Pada tahun 1948, Karnofsky
mengemukakan dimensi kualitas hidup dalam perawatan paliatif yaitu; perubahan atau
peningkat secara subjektif, perubahan atau peningkatan secara obyektif, status
performance.
Status performance dapat diukur dengan menggunakan The Karnofsky
Performance Status Scale. Hasil pengukuran dijadikan dasar untuk prognosis masa
bertahan hidup pasien, terutama pada pasien kanker dengan metastasis. Namun, nilai
kualtas hidup yang diukur dengan berbagai macam alat ukur (kuisioner, atau lembar
observasi) cenderung memiliki kekurangan atau kelemahan, karena alat ukur tersebut
hanya menilai aspek-aspek tertentu saja yang ditetapkan sehingga hasil akhir dari
pengukuran tersebut tidak menggambarkan kepuasaan subjektif pasien secara
menyeluruh. Beberapa panduan yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup
pasien, secara umum di kelompok menjadi Kualitas hidup secara umum atau kualitas
hidup yang berhubungan dengan kesehatan, kualitas hidup yang focus pada kualitas
hidup tertentu atau kulaitas hidup yang pada domain.
Makna kualitas hidup dapat berbeda pada setiap orang, maka kualitas hidup
dapat di definisikan atau dimaknai hanya oleh pasien berdasarkan pengalaman
hidupnya. Sehingga seorang perawat harus dapat memahami factor-faktor yang
berkontribusi terhadap kualitas hidup, baik positif maupun negatif.

D. Kompetensi Perawat Paliatif


Definisi kompetensi diadopsi dari Royal College of Nursing (RCN) tahun 2002.
Dimana kompetensi didefinisikan sebagai; “Keterampilan, pengetahuan, pengalaman,
kualitas dan karakteristik, serta perilaku yang menjadi syarat pada seseorang untuk
melakukan kerja atau tugasnya secara efektif”. Berikut ini beberapa kompetensi
perawat yang bekerja di area paliatif yang didesain oleh Becker, 2000.
1. Keterampilan Komunikasi

4
Keterampilan berkomunikasi merupakan hal yang terpenting dalam pelayanan
perawatan paliatif. Perawat mengembangkan kemampuan berkomunikasinya
untuk dapat meningkatkan hubungan yang lebih baik dengan pasien dan keluarga.
Komunikasi menjadi keterampilan yang sangat dasar pada perawat akan mampu
menggali lebih dalam mengenai perasaan pasien, keluhan pasien tentang apa yang
dirasakannya. Dengan keterampilan berkomunikasi tersebut maka perawat dapat
mengidentifikasi untuk memenuhi kebutuhan pasien, membangun kepercayaan
diri perawat, tahu kapan mengatakan tidak terhadap pasien, dan dengan
komunikasi yang disertai dengan sentuhan, maka hal tersebut dapat menjadi terapi
bagi pasien.
2. Keterampilan Psikososial
Elemen psikososial merupakan bagian dari proses perawatan yang biasanya di
delegasikan ke pekerja sosial medik. Pekerja social medik memiliki wawasan dan
akses yang lebih luas ke berbagai macam organisasi atau instansi yang dapat
diajak bekerja sama untuk memberikan dukungan kepada pasien. Membangun
rasa percaya dan percaya diri sendiri sebagai bentuk terapeutik dan melalui proses
komunikasi terapeutik maka hal tersebut merupakan inti dari pendekatan
psikososial dalam perawatan paliatif.
3. Keterampilan Bekerja Tim
Bekerja bersama dalam tim sebagai bagian dari tim interpersonal merupakan hal
yang sangat vital untuk dapat melakukan praktik atau intervensi yang baik
terhadap pasien. Mengingat palayanan paliatif pada saat ini tidak hanya tersedia
di fasilitas RS, namun juga tersedia di rumah hospis, rumah perawatan maupun di
rumah pasien.
4. Keterampilan dalam Perawatan Fisik
Perawat dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan yang baik untuk dapat
melakukan asuhan keperawatan secara langsung pasien dalam kondisi apapun dan
kapanpun, sehingga perawat dapat bertindak dan mengambil keputusan yang tepat
sesuai kondisi pasien. Pemilihan metode yang tepat untuk mengkaji pasien seperti
nyeri, menjadi hal yang penting, mengingat kondisi pasien yang berubah-ubah
dan tidak merespon beberapa pertanyaan yang diajukan. Sehingga keterampilan
observasi dan kemampuan intuisi perawat yang dapat digunakan untuk mengenali
tanda atau gejalanya dimana pasien tidak dapat atau mampu melaporkannya.
Dengan pengetahuan dan keterampilan perawat maka dapat memberikan masukan

5
kepada anggota tim untuk tidak lebih focus pada pemberian obat-obatan
berdasarkan perkembangan kondisi pasien.
5. Keterampilan Intrapersonal
Keterampilan intrapersonal menjadi komponen kunci untk dapat bekerja dengan
baik dan sukses dalam area perawatan paliatif. Dikarenakan kematangan secara
pribadi dan professional dapat membantu perawat dalam mengatasi masalah yang
terkait dengan isu intrapersonal yang bersifat intrinsik terutama saat melayani
atau melakukan asuha keperawatan pasien yang menjelang ajal dan keluarganya.
Jika dibandingkan dengan keterampilan kompetensi lainnya, keterampilan
intrapersonal merupakan hal yang sangat menantang dan memiliki andil yang
besar untuk membantu membangun kepribadian yang lebih bai. Namun, kondisi
ini membawa perawat dalam posisi dilematis, karena perawat terkadang terbawa
emosi dengan perasaan yang dialami pasien.

6
TOPIK II
MODEL PELAYANAN PERAWATAN PALIATIF

Kemampuan yang Diharapkan :


Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa mampu menjelaskan kembali model & prinsip
perawatan paliatif, serta mampu mensimulasikan bekerja sebagai tim.

A. Model Pelayanan
Pelayanan perawatan paliatif dapat dilakukan di rumah atau di RS atau fasilitas
kesehatan lainnya yang menyediakan layanan berupa rawat inap maupun rawat jalan
dimana pasien dapat mengakses layanan tersebut setiap hari dengan pelayanan
konsultasi. Perawatan paliatif di Indonesia dikenal dengan istilah Puskesmas (Pusat
Kesehatan Masyarakat). Pelayanan perawatan paliatif di rumah dapat dilakukan oleh
dokter atau perawat komuniti. Sedangkan pelayanan perwatan paliatif di rawat inap
dapat dilakukan di RS yang menyediakan layanan khusus atau terintegrasi dengan
layanan lainnya, termasuk rumah hospis. Pasien juga dapat melakukan kunjungan
rawat jalan untuk mendapat pelayanan dari praktisi spesialis paliatif atau sekedar
konsultasi mengenai perkembangan penyakitnya. Rumah hospis atau layanan khusus
paliatif bertujuan untuk memberikan perawatan pada pasien dengan penyakit terminal
atau penyakit stadium akhir. Seyognya pelayanan tersebut tersedia kapan saja
sehingga pasien dapat mengakses pelayanan tersebut disaat pasien membutuhkan atau
disaat pasien mengalami perubahan status kesehatan semakin memburuk.
1. Perawatan Suportif
a. Perawatan di Rumah
Di beberapa Negara maju (Australia, inggris, AS dan Belanda) petugas
kesehatan di pelayanan primer (Puskesmas) merupakan tim utama dalam
penyediaan layanan terhadap pasien yang mengalami sakit satadium akhir.
Dokter dan perawat melakukan kerja sama dalam mengelola kasus pasien
dengan kondisi terminal ditatanan layanan primer.
Di Negara Inggris, tim pelayanan tingkat primer akan selalu mendapatkan
dukungan dari tim perawatan paliataif. Ada dua bentuk pelayanan paliatif di
rumah yang telah dikembangkan, yaitu :

7
• Tim yang terdiiri dari dokter spesialis atau dokter yang terlatih dan
perawat spesialis dengan macam latar belakang keahlian atau perawata
yang terlatih.
• Tim yang semua anggotanya terdiri dari perawat, namun perawat yang
bergabung adalah perawat yang telah terdidik atau terlatih di bidang
paliatif.
Model terbaru perawatan rumah yang dikembangkan di Inggris dikenal
dengan istilah rapid response team dan respite care team. Team cepat
tanggap (rapid response team) seperti layanan kegawatan daruratan yang
menyediakan layanan kondisi kristis, di mana dokter atau perawat akan
dipanggil kerumah pasien saat pasien mengalami kondisi kritis. Tim tersebut
akan bekerja dan berada di rumah pasien hingga kondisi pasien
menunjukkan perbaikan atau kemajuan. Sedangkan respite care team,
merupakan tim yang menyediakan layanan sebagai pengganti peran keluarga
pasien dalam ngurusi pasien. Sehingga hadirnya respite care team dapat
membantu keluarga pasien untuk beristirahat sejenak
Di Amerika Serikat, beberapa pasien yang dirawat di rumah akan dirujuk ke
rumah hospis untuk mendapat pelayanan paliatif. Pertumbuhan pelayanan
paliatif di AS lebih lambat dibandingkan dengan Inggris. Namun, setelah ada
sitem asuransi kesehatan pertumbuhannya meningkat sekitar 1900 unit.
Tujuan dari pelayanan perawatan paliatif di rumah adalah untuk
menyediakan pelayanan yang lebih nyaman bagi pasien, sehingga pasien
mampu mempersiapkan diri menghadapi proses kematian yang pasti akan
terjadi.
2. Pelayanan Rawat Inap
a. Rumah Hospis
St Christoper merupakan rumah hospis modern pertama yang didirikan di
Inggris pada tahun 1960-an. Rumah hospis menyediakan tim perawatan
multidisiplin hal ini bertujuan untuk memenuhi pasien yang begitu
kompleks, serta kebutuhan keluarga pasien. Beberapa bentuk layanan yang
diberikan di rumah hospis yaitu berupa pengontrolan gejalaatau keluhan,
rehabilitasi, perawatan menjelang ajal/kematian, dukungan rawat jalan,
konseling keluarga, perawatan sehari dan dukungan masa berduka. Tim

8
dalam pelayanan paliatif di rumah hospis terdiri dari perawat , dokter,
fisioterapi , okupasiterapi, pekerja sosial medik, rohaniawan, relawan dan
kadang juga psikolog atau konselor, serta berbagai praktisi terapi
komplementer dan alternative.
Saat ini sangat mudah menemukan rumah hospis di Negara maju seperti
Eropa dan Amerika. Sebagai contoh di Inggris 20% pelayanan rumah hospis
dari departemen kesehatan, sedangkan yang lainnya disediakan secara
parsial. Hal berbeda terjadi di Belanda, dimana dari sekian hospis yang ada,
sekitar tiga rumah hospis terintegrasi dengan rumah perawatan. Rumah
hospis menyediakan pelayanan yang lingkungan dan suasananya di atur
sedemikian rupa sehingga pasien merasa seperti di rumah sendiri.
Berikut beberapa perbedaan antara perawatan paliatif dan perawatan hospis
(Guido, 2010)
Perawatan Paliatif Perawatan Hospis
Pasien yang diterima adalah pasien Pasien yang diterima adalah pasien
yang membutuhkan rasa nyaman yang membutuhkan rasa nyaman dari
dari penyakit atau kondisi yang penyakit atau kondisi yang
dialaminya, tanpa melihat harapan dialaminya, dimana harapan hidupnya
hidup pasien diperkirakan tidak lebih dari 6 bulan.
Pasien dapat tetap melanjutkan Pasien hanya mendapatkan
pengobatannya, baik yang berisifat pengobatan yang bersifat untuk
aktif maupun bersifat control gejala mengontrol keluhan spesifik saja
sja sperti nyeri atau sesak, dimana
pengobatan yang bersifat aktif
biasanya sudah dihentikan.
Tidak ada batasan mengenai lama Masa perawatan maksimun 6 bulan.
perawatan, tergantung kebutuhan
pasien
Perawatan dapat dilakukan di RS, Rumah hospis, pelayanan hospis yang
rumah perawatan, Puskesmas, berbasis di RS.
hospis dan rumah panti
Bentuk lain rumah hospis berupa day care atau day hospis. Dimana tujuan
dari day hospis yaitu:

9
• Mempertahankan atau meningkatkan kualitas hidup pasien
• Menyediakan pelayanan holistic melalui tim multidisiplin
• Melakukan rehabilitasi.
• Melanjutkan perawatan yang telah dilakukan melalui kerjasama
interdisiplin dan antar institusi pelayanan kesehatan
• Membantu pasien untuk tetap dapat melanjutkan aktifitas rutinnya di
rumah sepanjang pasien merasakan mampu dan mungkin untuk
melakukannya (Spencer & Daniels, 1998)
Fasilitas day care biasanya didukung oleh para pekerja professional seperti
perawat, fisioterapi, okupasi terapi dan relawan. Pelayanan day care lebih
mengedepankan layanan berupa suportif care pada pasien dengan tahap
perkembangan penyakit tertentu yang memungkinkan pasien dapat
mengontrol keluhannya. Day care juga sangat bermanfaat bagi penjaga
orang sakit, mengatasi rasa kesendirian dan kesepian pada pasien sebelum
masuk pada masa perawatan terminal.
b. Perawatan Paliatif di Rumah Sakit
Pelyanan perawatan paliatif di RS masih sedikit di Inggris, hal ini mungkin
dikaibatkan banyaknya jumlah hospis yang tersebar hingga ke tingkat distrik
(bisa bermakna tingkat kecamatan atau kelurahan). Namun, di AS dan
Kanada sangat popular, hal ini diakibatkan kurangnya dukungan soaial dari
pihak ketiga atau masyarakat sehingga donasi tidak cukup untuk menjaga
keberlangsungan pelayanan ke pasien. Sedangkan di Belanda, perawatan
paliatif di RS di fokuskan pada pasien kanker. Penyediaan layanan
perawatan paliatif di RS lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan
layanan paliatif lainnya. Serta peluang untuk melibatkan tenaga professional
lainnya seperti fisioterapi, rohaniawan, pekerja sosial medic, okupasi terapi
menjadi lebih memungkinkan terutama disaat pasien dalam kondisi terminal.
c. Rumah Perawatan (Nursing homes)
Sejak dicetuskannya, rumah perawatan juga terlibat memberikan pelayanan
perawatan pada pasien dengan penyakit kronis atau terminal. Di AS
beberapa rumah perawatan memiliki kerjasama dengan beberapa rumah
hospis. Beberapa rumah perawatan menyediakan unit perawtan khusus
untuk pasien menjelang ajal, namun kebanyakan fasilitas rumah perawatan

10
mengijinkan pasien untuk menjalani perawatan menjelang ajal di ruang
perawatannya berdasarkan pilihan pasien.
Di Belanda, terdata sekitar 326 rumah perawatan. Rumah perawatan telah
berkonstribusi banyak dalam peneyediaan pelayanan paliatif pada pasien
dengan penyakit non malignan, akan tetapi rumah perawatan juga
menyediakan layanan perawatan paliatif danperawatan terminal jangka
pendek pada pasien kanker.

B. Prinsip pelayanan
Tujuan perawatan paliatif adalah untuk mebgurangi nyeri dan mencegah
penderitaan pada pasien dengan penyakit yang sudah tidak bisa diobati lagi. Proses
perawatan membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif baik dari segi kodetran,
keperawatan, psikologis, sosial, budaya dan spiritual. Pendekatan holistik yang
mencakup seluruh aspek perawatan yang tercantum diatas akan dapat memberikan
layanan dan praktik yang lebih baik dan hal tersebut sebagai hal yang esensial dalam
perawatan paliatif.

1. Perilaku Dalam Merawat


Perilaku caring meliputi kepekaan, simpati, dan iba. Hal tersebut menunjukkan
sebagai bentuk perhatian terhadap pasien, dimana perhatian tersebut ditujukan
untuk semua aspek yang menyebabkan timbulnya masalah atau keluhan pada
pasien yang bukan hanya pada aspek medis saja. Selain itu pendekatan tersebut
juga harus dapat menghargai pasien sebagai individu yang unik, dan juga hal
lainnya seperti etnis, kemampuan intelektual,agama dan kepercayaanyya. Perilaku
caring merupakan hal yang sangat mendasar dalam pelayanan pasien diperawatan
paliatif. Penetapan diagnosis dengan benar dan pemberian obat-obatan yang
sesuai pada kondisi pasien mungkintidak akan efektif bila aspek yang lain pada
pasien diabaikan.
Pelayanan perawatan membutuhkan komitmen dari para praktisi yang terlibat
untuk dapat mensukseskan proses perawatan. Menangani pasien kanker stadium
lanjut secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama dapat memicu stres.
Oleh itu dedikasi yang tinggi dibutuhkan untuk mengatasi adanya stres akibat
kerja yang bisa jadi akan menjadi maslah yang kompleks dan sulit untuk
dituntaskan.

11
Setiap pasien merupakan individu yang unik, sehingga mengklasifikasikan pasien
berdasarkan kesamaan penyakit atau kesamaan keluhan terkadang membuat
masalah non-fisik pasien terabaikan seperti masalah psikososial. Perbedaan
karakteristik pasien yang unik tersebut dapat menjadi atau menyebabkan
timbulnya masalah lain sehingga di saat merencanakan proses keperawatan hal
tersebut menjadi salah satu perhatuan.
2. Komunikasi
Komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga adalah hal vital. Komunikasi
antara pasien dan perawat akan menjadi lebih terbuka bila pasien menginginkan
informasi yang lebih detail mengenai penyakitnya. Akan tetapi untuk
mendiskusikan kondisi penyakit di pase terminal atau persiapan kematian
terkadang menjadi hal yang tabu atau belum diterima oleh sebagian besar
kalangan. Disaat ingin menyampaikan berita buruk terutama pada pasien kanker
stadium lanjut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu siapa yang
menyampaikan, bagaimana cara menyampaikan dan apa yang akan disampaikan.
Mengenai hal tersebut akan dibahas lebih lanjut pada chapter tentang prinsip-
prinsip komunikasi dalam perawatan paliatif.
3. Perawatan
Semua tindakan atau intervensi dalam proses perawatan paliatif harus sesuai
dengan tahap atau pase penyakit pasien serta prognosisnya. Intervensi yang sesuai
merupakan hal penting dalam pelayanan perawatan paliatif, karena timbulnya
keluhan terkadang diakibatkan oleh intervensi yang bersifat aktif atau proses
perawatan yang kurang memperhatikan pasien sebagai individu yang unik.
Perawat harus memperhatikan dan melakukan observasi disaat pasien
mendapatkan intervensi anti kanker, dengan membatasi segala hal yang
memungkinkan timbulnya keluhan tambahan serta memantau prognosis dan
kondid pasien. Penilaian keberhasilan perawatan paliatif yang bersifat simtomatik
dan suportif didasarkan pada laporan pasien yang menyatakan bahwa merea
merasakan adanya penurunan keluhan dan menyatakan kondisinya membaik
dibandingkan sebelumnya, sehingga bertambahnya usia atau harapan hidup pada
pasien bukanlah hal yang terpenting. Jadi “Kualitas hidup lebih utama daripada
kuantitas hidup”. Perawatan paliatif yang baik yaitu mencakup proses
perencanaan yang disusun secara teliti, cermat,dan berhati-hati. Dimana aspek-
aspek pencegahan akan terjadinya kondisi kritis baik secara fisik berdasarkan

12
progress penyakit pasien maupun secara emosional, hal tersebut sering terjadi
pada kasus penyakit kanker bersifat progressif. Banyak kondisi klinis yang timbul
seiring dengan progress penyakit dapat diantisipasi dan beberapa diantaranya
dapat dicegah dengan intervensi yang sesuai. Pelibatan pasien dan keluarga
menjadi hal penting dalam proses perawatan paliatif karena dapat membantu
meminimalisir stres fisik dan emosional. Selain itu juga dapat membantu pasien
atau keluarga untuk melakukan pencegahan kejadian krisis karena selama masa
perawatan dirumah.

C. Bekerja interprofesional/ multidisiplin dalam paliatif


Beberapa terminology yang sering digunakan untuk menggambarkan makna bekerja
bersama dalam suatu tim yang terdiri dari berbagai latar belakang disiplin ilmu yaitu
interprovesional, interagency, dan multidisplinary. Terma tersebut kadang digunakan
secara bertukaran, dimana secara harfiah dari terma tersebut mengisyaratkan akan
makna bekerja sama. Namun, maksut utama yang diinginkan adlah bagaimana para
tenaga profesional dengan beragam latar belakang tersebut dapat bekerja sama dalam
sebuah tim (interprofesional). Hal ini akan bereda dengan makna multidiplin dimana
mengacu pada jumlah dari para tenaga profesional yang terlibat dalam pelayanan,
yang boleh jadi mereka tidak bekerja secara tim.
Berdasarkan makna diatas maka dapat disimpulkann bahwa interprofesional berarti
bekerja dengan berbagai tenaga profesional dengan mengedepankan kolaborasi
dengan tim. Sedangkan multi disiplin tidak selalu bermakna para tenaga profesional
melkaukan kolaborasi dengan melaksanakan tugas dan fungsinya dalam proses
perawatan pasien. Dimana diketahui bahwa kolaborasi merupakan hal terpenting
dalam proses pelayanan perawatan, termasuk dalam perawtan paliatif. Seiring dengan
perkembangan penyakit pasien, maka gejala dan keluhan pasien akan menjadi
semakin kompleks, sehingga penanganan dengan berbagai prespektif menjadi hal
yang dibutuhkan. Sehingga pola pelayanan dengan interprofesional dapat dilakukan
untuk meningkatkan kualitas dan efektifitas layanan. Secara prinsip dengan bekerja
secara interprofesional diharapkan para tenaga profesional tersebut dapat bekerja
sesuai kebutuhan spesifik dari pasien dan sekaligus untuk berbagi pengalaman atau
ketrampilan dalam penanganan pasien lebih baik. Tanpa adanyapeahaman yang baik,
mengenai peran masing-masing tenaga profesional maka hal tersebut akan
mengaburkan batasan ruang lingkup kerja masing-masing, dan boleh jadi pelayanan

13
perawatan akan terfragmentasi atau terpisah-pisah. Seorang perawat memiliki
tanggung jawab secara profesional untuk memastikan dan bekerja secara kolaboratif
dengan tenaga profesional lainnya. Sehingga, kegagalan dalam memenuhi kebutuhan
dasar pasien boleh jadi karena kurangnya kolaborasi yang dilakukan oleh para tenaga
profesionnal yang berdampak terhadp layanan pada pasien yang berujung pada
kerugian terhadap pasien dan keluarganya.
Membangun tim yang baik dan berkualitas membutuhkan seperangkat hal, nilai-nilai
tersebut terperinci sebgai berikut :
• Humor
Rasa humor atau humor selalu dihubungkan kondisi kesehatan yang baik, sehingga
saat ini menjadi bagian dari terapikarena humor dapat mengurangi stresssekaligus
meningkatka kretifitas. Humor ditempat kerja dapat bermanfaat untuk meningkatkan
produktifitas kerja, pelayanan dan moral ;mengurangi perasaan sakit atau stres ;
meningkatkan kreatifitas ; meningkatkan dan menguatkan kebersamaan diantara
anggota tim,sekaligus meningkatkan interaksi dan komunikasi. Sehingga humor
memiliki kekuatan unuk mengajarkan sesuatu, menginspirasi, dan memotifasi. Akan
tetapi perlu untuk selalu memperhatikan situasi kerja kapan saatnya melakukan humor
sehingga tidak tejadi kesalah pahaman diantara anggota tim.
• Mudah untuk berkomunikasi
Sangat penting untuk setiap anggota tim merasa lebih mudah berkomunikasi dan
diajak komunikasi. Sehingga mudah membangun budaya diskusi sesama anggota tim
terutama disaat menghadapi situasi kritis dimana kondisi pasien memburuk.
• Memahami kebutuhan orang lain
Setiap anggota tim harus memiliki pandangan dan wawasan yang luas serta sikap
terbuka dengan hal-hal baru. Selain itu juga harus mampu memahami kondisi setiap
anggota tim karena setiap anggota kemungkinannya memiliki keahlian atau
ketrampilan dan pengalaman yang berbeda. Menawarkan bantuan,atau bimbingan dan
dukungan sebelum diminta merupakan keterampilan yang sangat penting dalam
bekerja tim.
• Percaya diri dan saling percaya
Percaya diri dan saling percaya merupakan hal yang sulit untuk dilakukan, akan tetapi
kedua hal tersebut menjadi dasar sebagai karakteristik individu dalam kesuksesan

14
kelompok atau tim. Setiap anggota harus menjadikan hal tersebut sebagai prinsip
dalam bekerja tim.
• Menikmati pekerjaan
Menikmati pekerjaan sekalipun dalam kondisi sulit seperti bekerja di area paliatif
yang menghadapi pasien menjelan ajal/kematian akan menimbulkan kepuasan.
Kepuasan tersebut membuat seseorang akan lebih merasa nyaman.
• Kepedulian
Kepedulian terhadap sesama anggota dan tim merupakan hal yang bersifat dasar
dalam membangun tim yang baik. Setiap anggota harus merasa dirinya berharga dan
peduli.

D. Peran dalam Tim Paliatif


Kolaborasi secara interdisiplin dalam pelayanan perawatan paliatif bertujuan untuk
menunjukkan bentuk penghargaan para anggota tim terhadap nilai yang dimilki pasien
dan keluarga sekaligus menunjukkan nilai yang dimilki tim sebagai professional.
Beberapa hal yang dibutuhkan dalam tim untuk mempertahnakan dinamika kelompok
atau tim untuk mencapai tujuan bersama, respect, interdependence. Coyle (1997)
mengidentifikasi beberapa hal yang dapat menjadi faktor penghambat proses
implementasi pelayanan perawata paliatif secara kolaboratif, yaitu :
• Budaya kerja pada suatu institusi seperti hubungan dokter perawata yang terjalin
secara hirarki otoriti
• Isu mengenai kepemilikan pasien, dimana masih ditemukan adanya pengklaiaman
tenakes terhadap pasien sehingga tenakes lain harus mendapata izin terlebih
dahulu sebelum memberi pelayanan terhadap pasien.
• Meragukan kemampuan anggota tim lainnya
• Model pelayanan
• Model tim
Pendapat lain, meyatakan beberapa hal yang melemahan proses membangun budaya
kerja tim, yaitu:
• Kurangnya dukungan dana serta komitemen dari pihak pimpinan institusi
• Komunikasi yang kurang
• Adanya kebingungan untuk membedakan peran dan keterampilan dari masing-
masing anggota

15
Berikut dijelaskan beberapa perawat, dokter, pekerja sosial medic, fisioterapis,
okupasi terapis, detician nutrisionist dan rohaniawan.

1. Peran Perawat
Beberapa peran perawat paliatif yang didefinisikan sebagai suatu dukungan untk
berbagai hal menurut Davies Oberie (1990), yaitu :
• Valuing, mampu menghargai nilai dan keyakinan seseorang.
• Connectin, mampu berinteraksi dengan pasien dan keluarga serta mampu
memahami mereka.
• Empowerin, memeberdayakan pasien dan keluarga untuk melakukan
sesuatu seseuai kemampuan mereka dan untuk mereka sendiri sesuai
harapan.
• Doing for, memeberi pelayanan secara fisik sesuai kebutuhan pasien dan
mampu mengatasi keluhan pasien.
• Finding meaning, mendorong pasien mendapat makna dari sakit yang
dialami sehingga pasien mendapat kekuatan.
• Preserving own integrity, menjaga dan mempertahanakan integritas diri,
keyakinan diri serta semangat sehingga dapat menjalankan peran secara
efektif.
2. Peran Dokter
• Peran dokter secara umum mengatasi keluhan pasien yang kompleks
• Memastikan tata kelola keluhan oleh anggota tim lainnya berdasarkan
kondisi terkini pasien terminal.
• Mempunyai andil memperjelas siapa yang mengambil keputusan terhadap
tindakan yang akan diberikan pada pasien
• Memberi pengajaran pada calon dokter, DM, ataupun perawat mengenai
praktik terkini dalam perawatan paliatif.
• Berkompetensi dalam hala memahami penyakit keganasan atau penyakit
kronis pasien
• Mempunyai kualitas personal (peduli, ramah, matanga atau dewasa, serta
percaya diri)
3. Peran pekerja Sosial Medik
• Meningkatkan kemmapuan untuk beradaptasi dan berespon terhadap
lingkungan

16
• Memberikan dorongan internal serta mengajarkan koping psikologis pada
pasien secara individu maupun keluarga
• Melakukan deteksi dini terhadap adanya gejala psikopatologi
• Membantu meningkatkan keyakinan diri dalam system keluarga termasuk
pada pasien
• Menyediakan layanan pengontrolan keluhan secara spesifik terutama terkait
masalah psikologis, emosional dan sosial.
4. Peran Fisioterapis
• Mengatasi keluhan fisik dan non fisik pasien dengan menggunakan
intervensi nonfarmakologis, meningkatkan kemampuan mobilitas, dan
mengelola masalah limphoedema pasien.
• Mengelola pasien dengan keluhan sesak napas dengan mnegajrakan tehnik
relaksasi, tehnik pernapasan dn batuk efektif.
• Mngajarkan keterampilan pada pasien dan keluarga mengenai cara
memindahkan pasien, mengangkat pasien, serta merekomendasikan alat
bantu berjalan yang cocok memaksimalkan mobilitas pasien.
5. Peran Apoteker
• Penyedia layanan obat-obatan
• Mengoptimalkan pemberian obat-obatan
• Pendidikan dan informasi tentang obat-obatan
• Keselamatan pasien
• Managemen dan administrasi pelayanan obat.
6. Peran Okupasi Terapis
• Merancang atau mendesain alat bantu sesuai dengan kondisi, sehingga
pasien dapat beraktifitas di rumah.
• Memeriksa kemampuan pasien untuk hidup mandiri
• Menyediakan alat bantu serta mengajarkan cara penggunaannya sehingga
pasien dapat beradaptasi dengan lingkungan dan dapat melakukan aktifitas
harian.
• Menyarankan penyedia layanan untuk menyediakan alata pengaman atau
alat bantu berjalan serta alat bantu berdiri di kamarmandi dan toilet.
7. Peran Dietician dan Nutrisionist
• Melakukan skring dan pengkajian kebutuhan nutrisi dan diet pasien.

17
• Merencanakan dan mengembangkan rencana perawatan
• Melakukan dan memperkenalkan perubahan kebutuhan nutrisi pasien
berdasarkan perkembangan dan prognosisnya.
8. Peran Rohaniawan
• Lebih berkompetensi menghadapi isu-isu yang berkenaan dengan
spiritualitas dan religiusitas
• Sebagai advokat pasien dengan mempertimbangkan pendapat pasien dan
keluarga
• Berperan secara aktif saat dibutuhkan memberikan keputusan berkenaan
dengan etik dan isu akhir hayat.
• Membantu pasien menjalankan, berdoa terutama saat kondisi menjelang
ajal.

18
TOPIK III
KEBIJAKAN NASIONAL TERKAIT
PERAWATAN PALIATIF DI INDONESIA

Kemampuan yang Diharapkan :


Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa mampu menjelaskan kembali kebijakan paliatif
di Indonesia.
A. Sistem Pelayanan
1. Rumah Sakit

Pelayanan paliatif di tatanan rumah sakit di Indonesia telah dimulai sejak tahun
1992 di salah satu rumah sakit milik pemerintah, dimana pelayanan yang tersedia
pada saat itu sebatas pelayanan rawat jalan saja. Pada tahun 2007, pemerintah
Indonesia melalui Kementerian Kesehatan mengeluarkan sebuah regulasi dan
kebijakan mengenai perawatan paliatif di Indonesia. Dalam keputusan Menteri
Kesehatan disebutkan bahwa lima daerah sebagai percontohan pelayanan paliatif
yaitu Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar dan Makassar. Namun, di
Indonesia belum ada panduan pelayanan paliatif yang terstandart beserta indikator
penialian mutu terhadap organisasi pemberi layanan paliatif seperti rumah sakit,
sehingga proses evaluasi terhadap implementasi pelayanan paliatif di rumah sakit
di Indonesia belum dapat dilakukan (Effendy, 2015)

Beberapa hal terkait dalam aspek medico legal dalam pelayanan perawatajn
paliatif di Indonesia telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI tahun
2007, seperti Informed consent, resusitasi atau tidak resusitasi, perawatan pasien
paliatif i ICU, dan masalah medikolegal lainnya.

Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif:

• Pasien harus memahami pengertian, tujuan, dan pelaksanaan perawatan pasien


paliatif melalui komunikasi yang intensif dan berkesinambungan antara tim
perawatan dengan pasien dan keluarganya.
• Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran pada
dasarnya dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan.

19
• Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang
membutuhkan informed consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya
setiap tindakan yang berisiko dilakukan informed consent.
• Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan diutamakan pasien
sendiri apabila ia masih kompeten, dengan saksi anggota keluarga terdekatnya.
Waktu yang cukup agar diberikan kepada pasien untuk berkomunikasi dengan
keluarga terdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak kompeten, maka keluarga
terdekatnya melakukan atas nama pasien.
• Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesanatau
pernyataan pasien pada saat ia sedang kompeten tentang apa yang harus atau
boleh atau tidak boleh dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya
kemudian menurun (advanced directive). Pesan memuat secara eksplisit
tindakan apa yang boleh dilakukan atau dapat pula hanya menunjuk orang
yang nantinya akan mewakili dalam membuat keputusan pada saat ia
tidakkompeten. Pernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan panduan
utama bagi tim perawatan paliatif.
• Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan paliatif
dapat melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan informasi dapat
diberikan pada kesempatan pertama

Resusitas/tidak resusitasi pada pasien paliatif

• Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat dibuat


pasien yang kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif.
• Informasi tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan pada saat pasien
memasuki atau memulai perawatan paliatif.
• Pasien yang kompeten memiliki hakuntuk tidak menghendaki resusitasi,
sepanjang informasi adekuat yang dibutuhkan untuk membaut keputusan telah
dipahaminya. Keputusan tersebut dapat diberikan dalambentuk pesan (advance
directive) atau dalam informed consent menjelang ia kehilangan
kompetensinya.
• Keluarga terkedatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan tidak
resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis. Namun
demikian, dalam keadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak

20
dan patut, permintaan tertulis oleh seluruh anggora keluarga terdekat dapat
dimintakan penetapan pengadilan untuk pengesahannya.
• Tim keperawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan
resusitasi sesuai dengan pedoman klinis di bidangini, yaitu apabila pasien
berada dalam tahap terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan
menyembuhkan atau memperbaiki kualitas hidupnyan berdasarkan bukti
ilmiah pada saat tersebut.

Perawatan pasien paliatif fi ICU mengacu pada beberapa prinsip yaitu pada
dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU mengikuti ketentuan-ketentuan umum
yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas. Dalam menghadapi tahap terminal,
Tim perawatan paliatif harus mengikuti pedoman penentu kematian batang otak
dan penghentian peralatan life-supporting.

2. Puskesmas

Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI tentang kebijakan perawatan


paliatif, perawatan paliatif seyogyanya tekah tersedia di tingkat fasilitas kesehatan
primer yaitu puskesmas melalui kelompok perawatan paliatif. Hingga saat ini
pelayanan perawatamn paliatif untuk ditingkat puskesmas masih sangat terbatas.
Beberapa puskesmas di Kota Jakarta dan Kota Surabaya telah menyediakan
layanan perawatan paliatif, dimana layanan tersebut berupa kunjunan rawat jalan
maupun kunjungan rumah. Bahkan salah satu puskesmas di Kota Surabaya giat
mempromosikan perawatan paliatif pada masyarakat sehingga terbentuklah suatu
kelompok relawan paliatif. Untuk membekali pra relawan tersebut
pihakpuskesmas memfasilitasi dengan kegiatan-kegiatan pelatihan dan workshop
serta praktikkunjungan rumah.

Salah satu kendala dalam aplikasi pelayanan perawatan paliatif ditatanan fasilitas
pelayanan kesehatan mulai dari tingkat primers, sekunder,tersier adalah sistem
rujukan. Sehingga saat ini belum tetapkannya dengan baik sistem rujukan pasien
paliatif dari puskesmas ke rumah sakit ataupun sebaliknya. Sehingga banyak
pasien kanker yang mengalami penderitaan yang tidak diharapkan akibat gejala
yang semakin memburuk serta tidak terkelolanya gejala tersebut sehingga pasien
beberapa kebutuhan dasar pasein tidak dapat terpenuhi. Lebih lanjut, akhirnya

21
pasien tersebut meninggal di rumah tanpa mendapatkan pelayanan dan dukungan
yang adekuat dari para tenaga profesional paliatif. (Effendy, 2015)

B. Perawatan Paliatif Dan Kebijakan Pendidikan

Di Indonesia belum ada perguruan tinggi yang membuka program studi di tingkat
master mengenai kekhususan di bidang perawatan paliatif. Namun di beberapa
universitas telah memasukkannya keperawatan paliatif sebagai mata kuliah baik
sebagai mata kuliah wajib maupun sebagai mata kuliah pilihan di jenjang pendidikan
magister dengan bobot sks yang bervariasi.

Saat ini keperawatan paliatif telah diusulkan menjadi satu mata kuliah pada program
pendidikan strata satu keperawatan berdasarkan kurikulum standart Asosiasi Institusi
Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) 2016 dengan bobot 3 sks. Beberapa institusi
pendidikan baik negeri maupun swasta telah memasukan perawatan paliatif kedalam
kurikulum yang diberlakukan di institusi mereka. Namun tenaga pendidik atau
pengampu mata kuliah tersebut kebanyakan belum pernah mendapatkan pendidikan
secara formal mengenai perawatan paliatif. Sehingga hal ini setidaknya akan
mempengaruhi capaian pembelajaran.

C. Pengembangan Organisasi Profesi Di Bidang Paliatif

Masyarakat paliatif di Indonesia saat ini menjadi satu-satunya wadah bagi para
peminat perawat paliatif, dimana tenaga dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya
dapat bergabung dan berkontribusi di organisasi ini. Saat ini belum ada organisasi
paliatif yang di kelola secara mandiri oleh profesi di bidang kesehatan seperti
Himpunan perawat paliatif atau ikatan dokter paliatif Indonesia. Semoga dimasa yang
akan datang organisasi mengenai perawatan paliatif dari berbagai profesi kesehatan
maupun non kesehatan dapat terbentuk sehingga nantinya mutu layanan perawatan
paiatif turut berubh menjadi lebih baik, lebih terjangkau dan berkualitas.

DIKTAT PALIATIF

22
TOPIK IV
ETIK DALAM PERAWATAN PALIATIF

Kemampuan yang Diharapkan :


Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa mampu memahami konsep dasar hukum etik
& mengaplikasikan etik pada pasien paliatif.
A. Hukum Dan Etik
Penyediaan layanan keperawatan dan kedokteran yang berkualitas terutama pada
pasien diakhir hayatnya telah menjadi perhatian utama dibeberapa Negara didunia.
Beberapa keputusan saat memberikan pelayanan perawatan maupun kedokteran yang
berkualitas terkadang diperhadapkan dengan kondisi apakah tindakan tersebut benar
adanya untuk pasien dan keluarganya secara etik dan legal.
Hukum sering didefinisikan sebagai satu kesatuan dari aturan dan kebijakan dalam
tatanan sosial yang diatur dalam suatu pemerintahan. Hukum mencakup aturan dan
kebijakan dibuat dan dijalankan dalam suatu kelompok komunitas, masyarakat dan
Negara. Jadi hukum dibuat oleh masyarakat dan juga dijalan oleh masyarakat untuk
mengatur jalannya tatanan sosial yang lebih baik. Namun hukum seiring dengan
waktu dapat diperbaharui atau di amandemen yang merupakan suatu sistem yang
mengorganisir dan merespon adanya tuntutan perubahan sesuai dengan kondisi
kekinian dan harapan masyarakat pada umumnya.
Etik merupakan suatau ilmu tentang hubungan perilaku atau kepribadian dan aksi
moral terhadap nilai. Etik secara kebahasaan berasal dari bahasa yunani yaitu ethos
yang berarti karakter berpikir, cara memaknai sesuatu , kebiasaan, atau perilaku yang
dapat diterima dalam suatu kelompok. Namun secara luas etik didapat dimaknai
sebagai suatu pandangan yang focus pada motif dan perilaku dan hubungan perilaku
tersebut pada individu. Beberapa kalangan menyatakan bahwa etik merupakan
bagian dari prinsip moralitas yang dengannya seseorang dapat membedakan hal yang
baik dan buruk.

B. Teori Etik
Sebagaimana yang telah dijelaskan diats bahwa etik merupakan salah satu cabang
ilmu dalam bidang hubungan manusia yang berfokus pada dimensi moral. Beberapa
pandangan mengenai konsep dan teori tentang etik, namun secara dasar teori etik
dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu Etik non-normatif dan Etik normatif. Etik

23
non-normatif kadang merujuk pada metaetik, yang mana fokusnya menganalisa
suatu makna, melakukan justifikasi, dan pengambilan keputusan berdasarkan fakta
dan rasionalitas mengenai konsep moral hingga menetapkan suatu sikap. Sedangkan
Etik normative berfokus pada norma dan standar dari perilaku dan nilai dan
memastikan bahwa norma-norma atau standar tersebut diaplikasikan dalam
kehidupan sehari hari.
Deontological teori berawal dari norma dan aturan dari tugas dan peran manusia
yang harus ditunaikan dari seoang ke yang lainnya dengan suatu komitmen
berdasarkan aturan dan peran yang telah dibuat dan disepakati. Deontological
tindakan didasarkan pada nilai suatu normal pada perseorangan dari seseorang yang
membuat keputusan etik.
Teori teleological berasal dari norma atau aturan untuk dilaksanakan sebagai
pertanggung jawaban atau konsekuensi dari suatu tindakan yang dilakukan. Teori ini
sering dirujuk sebagai teori utilitarian, dimana teori tersebut dapat dikelompokkan
menjadi utilitarian aturan dan utilitarian tindakan.
C. Prinsip Etik
Secar etik pendekatan etik mengenai pengambilan keputusan dikenal dengan “The
Four principles” yang mana dikemukakan oleh Beauchamp dan Childress. Mereka
mengungkapkan bahwa ada 4 prinsip mpral aplikasi etik dibidang pelayanan
kesehatan, yang mana prinsip tersebut dikenal dengan nama :
• Menghargai otonomi pasien
• Benificience : melakukan hal yang terbaik untuk pasien.
• Non-maleficience : menghindari hal yang merusak atau merugikan pasien.
• Distributive justice : adil dalam menggunakan dan mendistribusikan sumber atau
fasilitas.

1. Menghargai Otonomi
Prinsip tentang menghargai otonomi merupakan upaya untuk menunjukkan
akan hak individual dalam menetapkan apa yang menjadi keinginannya sehingga
membuat dan menetapkan keputusan terkait dengannya. Prinsip menghargai otonomi
juga mensyaratkan bahwa otonomi dari setiap anggota dalam suatu tim atau kelompok
juga harus dihargai. Informasi yang diberikan kepada pasien merupakan informasi

24
yang sifatnya sangat mendasar mengenai kondisi pasien, dimana informasi yang
dimaksud tersebut yaitu :
• Mengenai diagnosis penyakit yang diderita pasien.
• Rencana tindakan yang akan dilakukan kepada pasien
• Mengetahui risiko dan dampak yang mungkin dapat terjadi
• Keuntungan atau manfaat yang diharapkan dari tindakan yang dilakukan
• Mengenai semua alternatif tindakan yang rasional dan beralasan untuk dapat
digunakan.

Jadi secara prinsip, otonomi pasien secara jelas digambarkan sebagai kondisi atas hak
yang dimiliki oleh pasien atau perwakilannya untuk mengambil keputusan terhadap
suatu tindakan termasuk menolak atau memberhentikan pengobatan.

2. Beneficience dan Non-Malificience


Beneficience dapat diartikan sebagai tugas atau tindakan yang dilakukan oleh
seseorang, dimana tugas atau tindakan tersebut memberikan asas manfaat kepada
orang lain. Sedangkan non-malificience diartikan sebagai suatu tindakan yang
dilakukan tanpa menyebabkan kerusakan atau kerugian terhadap orang lain.
Hal yang tersulit adalah bagaimana menetukan atau menetapkan apakah tindakan itu
memberikan dapat baik atau merugikan pada setap pasien.
3. Justice
Prinsip keadilan merujuk pada pemerataan keadilan, yaitu bagaimana berlaku adil
pada setiap orang dan mendistribusikan sumber-sumber untuk kepentingan banyak
orang. Jadi sumber-sumber yang ada harus dibagikan secara merata kepada semua
anggota dalam suatu komunitas sosial. Hak pasien dalam kondisi menjelang kematian
atau diakhir hayat sumber-sumber yang ada menjadi hal ysng kurang penting
dibandingkan dengan kematian itu sendiri atau ajal semakin mendekat.
Jadi disini yang dimaksud dengan sumber-sumber bukan hanya merujuk pada hal
yang sifatnya financial akan tetapi juga dapat bermakna waktu yang dimiliki oleh para
professional, dimana diharapkannya para petugas professional dapat mengalokasikan
waktunya yang cukup untuk setiap pasien. Akan tetapi sebagai seorang professional
akan mampu melihat dan mengklasifikasikan pasiennya berdasarkan berat ringannya
masalah yang dihadapi oleh pasien sehingga perawat dapat menetapkan pasien yang

25
mana yang akan dilayani lebih dahulu dan beberapa lama akan berinteraksi
dengannya.
4. Veracity
Veracity dapat dimaknai dengan berkata jujur, dalam hal ini setiap orang haruslah
selalu berkata jujur, berkata apa adanya. Prinsip ini pula yang menjadi dasar bahwa
semua kebenaran haruslah disampaikan atau dikatakan. Prinsip berkata jujur
merupakan suatu pembuktian saat perawat menjawab sebuah pertanyaan pasien secara
lengkap dan jelas dengan jalan memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya
sebanyak mungkin sesuai yang mereka butuhkan sehingga mereka dapat memahami
kondisi pasien yang sebenarnya. Seseorang tidak akan dapat mengidentifikasi
berbagai hal yang berkenaan dengan kondisinya bila tidak mengetahui bagaimna
kondisi sebenarnya tentang kondisi sakitnya, diagnose dan prognosis penyakitnya. Hal
yang perlu dingat bahwa dengan memberikan atau menyampaikan informasi tanpa ada
yang disembunyikan pada pasien sehingga pasien mendapatkan informasi yang
lengkap maka pasien pun dapat mengambil sebuah keputusan yang valid mengenai
rencana proses keperawatannya.
5. Fidelity
Fidelity merupakan sebuah komitmen atau pun permintaan khusus dari seseorang
yang perlu untuk dipertahankan. Akan tetapi sebagai seorang perawat mesti
mengetahui kapan untuk tidak berkomitmen terhadap apa yang diinginkan tersebut
tidak mampu untuk dilaksanakan atau tidak dapat kontrol. Pendidikan dan informasi
yang berkesinambungan mengenai hal tersebut terhadap pihak keluarga menjadi hal
penting dalam proses berkelanjutan proses perawatan pasien dan apa yang menjadi
harapan pasien itu sendiri.
6. Paternalism/Parentalism
Paternalism adalah kondisi dimana seseorang mengambil keputusan untuk orang lain,
namun prinsip ini sering tidak diinginkan dalam beberapa kajadian. Berdasarkan
definisi, paternalism merupakan kondisi yang membolehkannya proses pengambilan
keputusan tanpa melalui kolaborasi terlebih dahulu, dimana keputusan dari pihak
pasien dan keluarga pasien diabaikan. Karena orang tua dari anak-anaknya akan
membuat keputusan yang mana berlaku untuk keluarganya, berdasarkan prinsip inilah
maka paternalism kadang juga disebut parentalism.
7. Menghargai Orang Lain

26
Menghargai orang lain dalam hal ini pasien menjadi hal yang sangat penting. Karena
menghargai orang lain mencakup dalam semua aspek prinsip etik. Menghargai orang
lain dengan memahami hak individu dalam membuat keputusan, menghargai orang
lain akan hidup atau mati yang menjadi pilihannya.

D. Aplikasi Etik Dalam Praktik

1. Pengelolaan Gejala dan Nyeri Secara Proporsional


Beberapa tenaga medis tidak dapat menetapkan dosis yang sesuai untuk mengatasi
nyeri yang dirasakan oleh pasien karena merka kwatir dengan dosis yang ditetapkan
justru dapat mempendek harapan hidup pasien (Nash, 2013). Sehingga membuat
mereka begitu sangat berlebihan dalam memperhitungkan risiko keracunan dari
pemberian obat analgesic seperti golongan opioid. Akan tetapi pengelolaan nyeri pada
pasien stadium lanjut atau akhir menjadi hal ru mit karena efek medikasi dapat
menimbulkan kondisi yang disebut "Double Effect".

Keputusan yang di ambil oleh pra klinisi untuk mempertahankan atau menberhentikan
suatu tindakan, dimana dari keputusan tersebuit terdapat dua kemungkinan akibat yang
dapat ditimbullkan yaitu efek syang diharapkan dan yang tidak diharapkan (ELNEO
2010 dikutip dalan Lowey, 2015). Sebagai contoh, perawat memberikan obat analgesic
pada pasien untuk mengurangi rasl nyeri dan meningkatkan rasa nyaman pasien. Akan
tetapi pad saat yang bersamaan tindakan tersebut justru memnpercepa proses kematian,
hal tersebut yang disebut "Double Effect". Jardi pemberian obat tersebut akan
mengurangi sensasi nyeri pad pasien akan tetapi juga mengurangi rerata pernapasan
pasien dan hal tersebut memungkinnya pasien untuk tidak dapat bertahan hidup secara
alamiah. Berdasarkan kasus tersebut, perawat se harusnya selalu memperhatikan dan
mempertimbangkan efel dari setiap tindakan yang akan dilakukan kepada pasien,
apakah indakan tersebut bertujuan untuk mengurangi nyeri yang d sakan pasien atau
tindakan tersebut justeru lebih cenderung engakibatkan timbulnya masalah pada sistem
respirasi pasien.

2. Euthanasia

Euthanasia secara kebahasaan dapat diartikan sebagai mening gal dengan baik, atau
meninggal tanpa merasakan sakit. Terminologi eusthanasia pasif tidak digunakan
untuk menje. laskan kondisi dimana membiarkan secara alamiah proses ke matian

27
terjadi. Mempertahan atau menghentikan intervensi un tuk memperpanjang harapan
hidup ketika secara biologis telah mengalami penurunan fungsi tubuh atau
ketidakmampuan untul nemenuhi kebutuhan biologisnya. Hal tersebut tidaklah terma
suk sebagai euthanasia, karena hal tersebut tidak memperce pat proses kematian
ataupun memperpanjang masa sekarat Penggunaan istilah tersebut dalam situasi atau
kondisi sekarat terkadang membuat situasl yang sulit untuk membedakan tu juan
penanganan secara medis dan paliatif. Menubah priori tas dilakukan saat pasien
menunjulkan kondisi atau dipredik si akan meninggal dalam hitungan mingqu atau
bulan, Pada kondisi tersebut tujuan utama perawatan adalah bukan untuk
memperpanjang usia atau harapan hidup, akan tetapl untuk meningkatkan dan
mempertahankan rasa nyaman. Pengqunaan istilah euthanasia tidak langsung
digunakan untuk menjelaskan proses pemberian obat analgesik pada pasien kanker
stadium lanjut dan terminal. Namun istilah tersebut kurang tepat, karena pemberian
obat yang bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri tidak berarti bahwa sama dengan
pem berian obat secara overdosis yang bersifat mematikan untuk mengakhiri hidup.

Sekalipun permintaan terhadap tindakan euthanasia merupa kan hal yang tidak lazim.
Namun boleh tidaknya euthanasia dilakukan pada pasien yang menginginkannya atau
atas per mintaan keluarga menjadi hal yang rumit dan masth terus di perdebatkan
hingga saat ini baik secara etik maupun agama. Lebih lanjut, sebenarnya banyak
pasien yang menjelang ajal justru meminta bantuan untuk tetap dapat bertahan hidup.
Namun ada hal ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan terutama pada pasien
dengan keluhan fisik kronis dimana atas dasar tersebut pasien mungkin
menginginkan akan bantuan un tuk mengakhiri hidupnya. Beberapa alasan atau
penyebab yang di identifikasi sebagai pemicu terhadap pengambilan keputusan untuk
mengakhiri hidup yaitu:

1. Nyeri berat yang tidak teratasi atau keluhan fisik lainnya seperti perasaan tercekik
atau sesak yang berat.

2. Kekhawatiran atau ketakutan akan ketidakmampuan untuk erhadap nyeri atau


keluhan fisik lainnya.

3. Kekhawatiran atau ketakutan akan proses penyakit yang se makin memburuk dan
berlangsung dalam waktu yang larl yang mungkin dapat berlangsung berbulan-
bulan.

28
4. Khawatiran atau ketakutan akan ketergantungan terhadal alat bantu hidup untuk
dapat bertahan yang mana pada san bersamaan mungkin kualitas hidup pun
semakin menuny atau memburuk.

5. Keputusasaan atau ketidakmampuan yang menyebabkar ketergantung secara


permanen terhadap orag lain Depresi.

6. Adanya perasaan membebani orana terdekat baik keluarga sahabat ataupun orang
lain.

7. Adanya perasaan bahwa dirinya sudah tidak dinginkan lagi dalam keluarga,
sahabat atau kelompok sosial.

3. Resusitasi Jantung Paru

Berdasarkan panduan yang telah ditetapkan dimana panduan tersebut berlaku khusus
untuk diperawatan paliatif memberikan bukti dengan jelas bahwa sangat sedikit
penelitian yang dilaku kan sebagai dasar untuk melakukan Resusitasi Jantung Paru
(RJP) pada pasien menjelang kematian, namun tindakan terse but dilakukan sebagai
upaya untuk penyelamatan jwa pasien. Sekalipun dalam beberapa kejadian RJP dapat
mengemba likan fungsi jantung, namun hal tersebut hanya dapat bertahan dalam
waktu yang singkat dan akibatnya dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup,
bahkan dapat menjani lebih buruk dari sebelumnya. Olehnya itu menjadi hal yang
sangat penting untuk dapat membedakan kondisi pasien berdasarkan kualitas
hidupnya yang memungkinkannya memberikan peluang se cara rasional akan
bertahannya pasien setelah RJP dilakukan. Keputusan apakah dilakukannya RJP akan
memberikan peluang tehadap terselamatkannya pasten atau tidak merupakar
keputusan akhir yang biasanya ditetapkan oleh dokter yang merawat pasien tersebut.
Diskusi terhadap pasien dan keluar ganya mengenal proses perawatan pasien menjadi
hal yang penting, karena pada diskusi tersebut petugas harus mema hami apa yang di
harapkan oleh pasien terhadap proses pera watannva dan kondisi bagaimana yang
dinginkannya kede pan. Selain itu mengeksplorasi perasaan dan keinginan pasien
seperti apakah pasien ingin mengetahui mengenai kapan saat dilakukan RJP atau
tidak dilakukan RJP dan siapa yang dapat membuat keputusan untuk hal tersebut,
pasien kah atau keluarganya. Beberapa pasien mungkin membutuhkan waktu khusus
untuk membicarakan hal RJP bahwa intervensi tersebut kemungkinannya tidak akan

29
memberikan manfaat secara klinis pada kondisi-kondisi tertentu sehingga pasien
mungkin akan mempertimbangkannya kedepan bahwa ia akan menerima tin dakan
RJP atau tidak terutama disaat kondisi pasien menjelang ajal. Sehingga dengan
adanya penilaian bahwa pasien dalam kondisi sekarat maka keputusan yang dapat
diambil oleh pihak keluarga apakah pasien akan menjalani masa akhir hayatnya di
rumahnya atau di rumah sakit. Seluruh proses diskusi dengan pasien dan keluarganya
harus di dokumentasikan secara leng ap dan bila perlu pasien harus menandatangi
sebuah form persetujuan untuk tidak dilakukan RJP atau yang lebih dikenal dengan
istilah Do Not Attempt Cardio Pulmonary Resuscitation (DNACPR)

4. Isu Mengenai Hidrasi dan Nutrisi

Penyediaan hidrasi merupakan hal yang sangat penting seba gai bagian dari
kebutuhan dasar manusia (Ellershaw, 2011). Sehingga petugas dan keluarga dapat
memahami akan pen tingnya mempertahankan tindakan bantuan hidrasi secara klinis
termasuk pada pasien yang menjelang akhir hayat. Disaat hi drasi menjadi bantuan
hidup secara klinis hal tersebut dikla sifikasilkan sebagal sebuah pengobatan bukan
sebagai bagian dari proses perawatan yang bersifat dasar. Sehingga bila in tervensi
tersebut tidak menunjukan adanya manfaat maka tindakan tersebut dapat
diberhentikan. Akan tetapi, beberapa hasil penelitian dan tinjauan sistematik
menemukan bahwa kurangnya bukti sebagai dasar untuk mendukung pengarmbilar
keputusan mengenai bantuan hidrasi tersebut. Dimana dalarn pelayanan paliatif
secara umum dipahami bahwa pemberian bantuan hidrasi secara klinis memiliki
dampak buruk dibandino. kan manfaatnya. Hal yang menarik adalah bagaimana mem
bedakan bahwa pasien tersebut dalam kondisi sekarat akibat proses penyakitnya
dengan pasien yang dalam kondisi sekara akibat ketidakmampuan mempertahankan
dan memenuhi ke. butuhan hidrasinya. Jika pasien tidak dalam kondisi sekarat atau
menjelang ajal maka pemberian hidari dapat dipertimbangkar seperti pada pasien
denga status konfusi akibat dari infeksi atau gangguan metabolic seperti
hiperkalsemia, maka kemungkinan pasien tersebut akan lebih merasakan manfaat dari
tindakan rehi drasi. Hal serupa juga dapat dilakukan pada pasien yang menga lami
sumbatan secara mekanik seperti kanker osefagus, kemung kinannya akan lebih
membutuhkan bantuan hidrasi dan nutris hingga sumbatan pada osefagus tersebut
dapat di hilangkan.

30
Dalam kondisi dimana pasien berada pada situasi yang menje lang alkhir hayat entah
itu dalam hitungan hari atau jam, yang menjadi dasar pertimbangan moral untuk
mempertahankan atau menghentikan intervensi tersebut adalah apakah tindakan
tersebut lebih banyak memberi manfaat atau sebaliknya. Pasie dalam kondisi tersebut
terkadang masih mampu minum walaur pun dalam jumlah yang sedikit dan di saat
menjelang kematian mereka lebilh merniltih untuk tidak ada intervensi atau pemasa
ngan bantuan hidup melalui mulut lagi. Hal ini lebilh menunjukkan kondisi alamiah
dan pengalaman dalam perawatan paliatif juga membuktikan bahwa pasien lebih
cenderung memasuki tahap akhir kehidupan lebilh darnai dan nyaman tanpa adanya
alat ban tuan hidup seperti bantuan hidarasi dan nutrisi. Beberapa gejala ataupun
keluhan seperti mulut kering lebih sering diakibatkan oleh proses pengobatan atau
pun karena pernapasan melalui mulut dibandingkan akibat dari kekurangan cairan.
Sehingga perawatan mulut akan lebih sesuai untuk mengatasi keluhan tersebut.

Beberapa risiko potensial yang yang akan terjadi pada pasien akibat tindakan bantuan
hidrasi seperti peningkatan secret pada sistem pernapasan, odema, atau pun masalah
yang timbul aki bat pemasangan infus. Selain hal tersebut, adanya pemasangan
beberapa jenis alat baik yang bertujuan untuk observasi maupun untuk pengobatan
akan memberikan dampak psikologis terha dap pasien dan keluarga, sehingga akan
menjadi penghalang bagi keluarga untuk menjalin kontak yang lebih dekat dengan
pasien.

Dalam kasus ini pasien dalam kondisi sekarat bukan karena kekurangan cairan, akan
tetapi pasien memang dalam kondisi sekarat yang sebenarnya, sehingga pasien tidak
membutuhkan nya. Olehnya itu, atas pertimbangan manfaat pada pasien se hingga
pemasangan bantuan hidrasi maupun nutrisi tidak di lakukan, kecuali atas dasar
pertimbangan atau dapat dijelaskar secara moral. Perawat atau dokter harus dapat
menelusuri dan memahami ide, perhatian khusus pasien, ataupun harapan yang
dinginkan oleh pasien maupun keluarganya. Akan tetapi bila penghentian pemberian
makanan dan minuman atas permintaan pasien maka tindakan tersebut menjadi salah
hichup secara sadar. Karena tindakan tersebut diyakini dapar mengatasi kelthan
terhadap ketidaknyamnanan yang dirasakan oleh pasien (Cimino, 2003). Dari
beberapa penelitian yan dilakukan pada pasien dengan penyakit stadium akhir dimara
pasien tersebut mengalami peningkatan kualitas hidup darl perasaan
ketidaknyamanan, batuk dan sesak berkurang akibal penurunan secret pada sistem

31
pernapasan, menurunnya jurnlab cairan pada sistem pencernaan yang dampaknya
menguranal sensasi muntah ataupun diare, menurunkan udema peripheral
menurunkan nyeri sehingga pasien dapat meninggal dengan nyaman tanpa merasakan
nyeri (Geppert, Andrews & Druyansatu bentuk darl euthanasia atau bantuan untuk
mengakhin 2010).

5. Terminal Sedation or Sedation Therapy2010).

Penggunaan obat-obatan sedative untuk mengontrol keluhan fisik secara moral dan
legal telah disetujui dalam pelayanan perawatan paliatif. Sedangkan penggunaan obat
golongan opioid lebih spesifik untuk masalah nyeri dan dispnea. Potens obat
golongan sedative dalam pengelolaan keluhan fisik dan sikologis sangat luas. Akibat
dari hal tersebut sehingga obat obatan golongan sedative memiliki potensi untuk
menyebabkan kondisi yang tidak diharapkan. Dimana hasil penelitian menun jukkan
bahwa sekitar 15-36% pasien di unit perawatan paliati melaporkan adanya tambahan
keluhan. Hal ini menunjukkan bahwa secara etik butuh perhatian khusus terutama
penanga nan yang kurang spesifik, yang mana memiliki kecenderungan akan
menyebabkan kerugian terhadap pasien. Akan tetapl prinsip-prinsip dasar secara etik
juga berlaku pada kondisi ini Agitasi, kecemasan, dan konfusi atau kesulitan bernapas
disaal menjelang akhir hayat dapat memicu stres bukan hanya padal pasien namun
juga pada orang yang mendampinginya. Atas dasar pertimbangan tersebut sehingga
pemberian obat -obatan sedative dapat diberikan dimana tujuan utama darl tindakan
tersebut hanya untuk mengurangi gejala keluhan fisik yang di rasakan pasien dan
untuk memberikan rasa nyaman. Akibat dari adanya dampak negatif dari obat-obatan
sedative sehingga penting adanya seorang petugas kesehatan memahami bebe rapa
hal sebagai berikut:

1. Semua pengobatan termasuk sedative yang dilakukan di pe rawatan paliatif


bertujuan untuk mengurangi gejala keluhan fisik.

2. Pengobatan yang menyebabkan kondisi sedasi hanya dapat digunakan bila


gejala dan keluhan fisik tidak dapat di kontrol dengan intervensi yang lebih
spesifik.

3. Pasien mungkin akan mengalami stres akibat gejala dar keluhan fisik yang tidak
dapat dikontrol tersebut, atau sete lah tindakan yang spesifik untuk mengontrol

32
gejala yang cukup melelahkan pasien. Sehingga pemberian obat seda tive
mungkin dapat dipertimbangkan pada kondisi tersebut untuk mengurangi
penderitaan yang dialami oleh pasien.

4. Jika obat sedative tersebut memberikan efek positif maka pe ngawasan dosis
obat yang diberikan harus dilakukan, dimana diharapkan dosis sekecil mungkin
dengan efek yang maksi mal. Namun dosis yang digunakan pada kondisi
tersebut tidak menimbulkan atau memperpendek harapan hidup pasien.

5. Sedasi pada perawatan paliatif adalah sedasi di saat pasien me ninggal bukan
sedasi yang menyebabkan pasien meninggal.

6. Morphin dan obat sejenisnya merupakan obat utama dalam menangani nyeri,
namun obat-obatan tersebut tidak dapat digunakan disaat pasien mengalami
sedasi atau untuk tujuan sedative.

6. Isu mengenai ventilasi mekanik

Acuan yang digunakan untuk isu mengenai ventilasi mek nik sama dengan acuan
yang diqunakan pada RJP dan is mengenal hidrasi dan nutrisi (Ellershaw, 2011). Lalu
di saal wentilasi sudah tidak memberikan manfaat pada pasien nal mun pasien tetap
menginginkannva, maka kondisi tersebe menjadi hal dilematis secara etik. Sebagai
seorang petugas kesehatan profesional maka dituntut untuk selalu mengede.6. Isu
Mengenai Ventilasi Mekanik pankan 4 prinsip dasar dalam etik seperti tetap
menghargal keputusan pasien bila tetap menginainkan tindakan venti lasi mekanik.
Namun berdasarkan prinsip keadilan terhada. ventilasi dapat dilakukan apabila
berdasarkan pengkajiarsumber dan fasilitas layanan maka memberhentikan tindakan
bahwa tindakan tersebut tidak memberikan manfaat bahkar dapat memperburuk
kondisi pasien. Petugas mungkin akan menilai bahwa tindakan tersebut lebih
cenderung mengaki batkan kerugian terhadap pasien dibandingkan manfaat nya,
namun pasien mungkin dapat memiliki pandangan vang berbeda. sehingga
mempertahankan intervensi disaat sudah tidak lagi memberikan manfaat mungkin
dapat dilaku kan dengan pertimbangan yang lainnya. Komunikasi efekil menjadi hal
yang sangat penting untuk dapat memberikan pemahaman terhadap pasien dan
keluarganya mengenail pengelolaan keluhan fisik sebagai dilema etik.

33
7. Mempertahankan dan Menghentikan Intervensi dan Pengobatan di Saat
Menjelang Ajal

Dilemma etik yang paling sering ditemukan dalam kor teks kinis adalah kondisi
menjelang ajal atau akhir hayat terutama saat keputusan mengenai tetap
dipertahankannya atau dilepaskannya suatu alat bantuan hidup pada pasien atau
tindakan pengobatan (Ellershaw, 2011). Diasat pasier dan dokter atau perawat
menvetujui bahwa tindakan yang dilakukan tidak memberikan manfaat atau
mempertim bangkan dengan intervensi yang lainnya sebagai pengganti tindakan
sebelumnya maka pengambilan keputusanpun menjadi jelas, dan hal ini membutuhkan
suatu keterampilan yang khusus bagaimana mengelola proses diskusi mengenai topik
yang sensitive dengan pasien. Olehnya itu maka petus gas kesehatan memiliki
tanggung jawab untuk memberikan penjelasan yang detail mengenai kapan suatu
intervensi atau tindakan tetap dipertahankan atau dilepaskan/diber hentikan terutama
dalam kondisi menjelang ajal.

8. Penelitian Perawatan Paliatif

Salah satu alasan untuk memperhatikan prinsip etik secara khusus pada penelitian di
area perawatan paliatif adalah karena subjek atau sampel penelitian merupakan
subjek yang dikategorikan sebagai kelompok rawan, rentan atau sangat berisiko
(Casarett & Karlawish, 2000). Kerawanan, kerentanan dapat diartikan sebagai
kondisi dimana sese orang yang mungkin atau bahkan tidak mampu melindungi
dirinya sendiri dari berbagai hal yang dapat merusak atau merugikan dirinya sendiri.
Salah satu yang dapat menyebab kan seseorang menjadi rawan atau rentan apabila ia
tidak memiliki kemampuan kognitif untuk membuat keputusan atau karena pilihan
tersebut di buat atas dasar paksaan aki bat ketidaktahuannya.

E. Filosofi Terapeutik Dan Advokasi Pasien Komite Etik Rumah Sakit


Dengan meningkatnya kasus dilema etik akhir-akhir ini dalar lavanan kosehatan, maka
penvedia lavanan kesehatar, pasien dan keluarga pasien membutuhkan suatu panduan
dalam membuatkeputusan terkhusus keputusan vang menvangkut isu mengenai
tersedianya satu solusi terbaik vang besifat jangka panjang dan pendek. Komisi etik
dapat menvediakan struktur dan pan.kondisi di akhir hayat. Menetapkan dan
memaksimalkan fungs komite etik dalam suatu institusi meniadi penting, dengan hara.

34
duan beberapa masalah potensial, menvediakan forum terbuka untuk diskusi, dan
berfungsi sebagai advokasi pasien dengan menempatkan pasien sebagai inti dalam
diskusi komite seharusnya berawal dari sebuah grup belajar mengenai bioetilk
sehingga prinsip-prinsip dan teori-teori etik dan isu-isu yang se ring terjadi dalam
pelayanan kesehatan akan lebih mudah untuk didentifikasi dan ditelusuri oleh para
anggota grup. Komite etik harus tediri dari perawat, dokter, rohaniawan, pekerja sosial
medik, dietician, apoteker, tenaga profesional hukum.Membentuk komite etik
sekiranva itu belum tersedia, persiapan

Secara umum komite etik akan mengikuti salah satu struktur atau modelkomit etik,
bahkan beberapa komite etik melaku kan kombinasi terhadap struktur komite etik
tersebut. Struktur komite etik diklasifkasikan menjadi 3 kelompok yaitu:

1. Autonomi model; memfasilitasi pembuatan keputusan pada pasien dan keluarga


pasien yang kompoten membuat kepu tusan sendiri.

2. Patient benefit model; digunakan sebagai pengganti pe ngambil keputusan


sekaligus memfasilitasi pembuatan kepur tusan disaat pasien tidak kompeten
untuk melakukannya.

3. Sosial justice model; lebih menekankan isu sosial secara luas. termasuk isu etik
dalam organisasi, yang memiliki dampak secara langsung pada organisasi.

Setiap model dari struktur komite etik tersebut bertujuan untuk menyediakan layanan
yang berkualitas terutama layanan men jelang akhir hayat. Di beberapa pusat layanan
kesehatan memi liki jadwal untuk melakukan pertemuan mingguan dan bulanan secara
rutin. Pertemuan yang terjadwal dan berkala tersebut memungkinkannya anggota
komite etik mengeksplorasi isu-isu etik dan belajar membuat keputusan tentangnya.
Hal ini sangat bermanfaat di saat di perhadapkan dengan kasus etik yang nya ta terjadi
di lingkungan organisasinya sehingga anggota komite dapat menyelesaikannya dengan
baik.

35
TOPIK V
PRINSIP KOMUNIKASI
DALAM PERAWATAN PALIATIF

Kemampuan yang Diharapkan :


Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa mampu memahami prinsip komunikasi &
mengaplikasikan etik pada pasien paliatif.

A. Komunikasi Dalam Perawatan Paliatif


Komunikasi dalam perawatan paliatif merupakan hal yang kompleks (O’Connor, Lee
& Aranda 2012). Secara sederhana komunikasi dimkanai sebagai proses dimana
seseorang membawa berita atau pesan dalam bentk lisan maupun tulisan dengan
berbagai macam cara penyimpangan, dan penerima informal tersebut memiliki
kewajiabn untuk menginterpretasikan pesan tersebut. Akan tetapi Higgs, ajjwi,
McAllister, Trede, And Loftus(2008) menekan bahwa beberapa hal penting sdapat
mempengaruhi proses penyampaian berita tersebut yaitu lingkungan yang bising,
kondisi fisik dan emosi seseorang seperti gangguan pendengaran dan depresi atau
kecemasan serta kemampuan seseorang untuk menginterpretasikan atau memaami
baasa yang digunakan dalam pesan tersebut.

Candrian (2015) mengemukakan bahwa isu komnikasi merupakan inti dari diskusi
tentang bagaimana meningkatkan perawatan pada pasien yang menjelang akhir hayat.
Kondisi menjelang ajal dapat terjadi dalam kesendirian, mekanikal atau impersonal.

B. Model Komunikasi Dalam Perawatan Paliatif


Memahami keinginan pasien disaat menjelang akhir hayat akan mencegah petugas
kesehatan melakukan intervensi yang tidak diinginkan dan sekaligus merupakan upaya
menghargai harkat dan martabat serta otomatis pasien. Akibat proses interaksi antara
petugas kesehatan pasien merupakan hal dinamis sehingga hal ini mendorong para
ilmuwan untuk melakukan riset mengenai upaya pengembangkan model komunikasi
yang tepat. Berikut beberapa model komunikasi yang dapat diterapkan dalam
perawatan paliatif terutama pada kondisi menjelang akhir hayat (Candrian, 2015)

1. An Interpersonal Approach

36
Komunikasi model interpersonal menitik beratkan pada pentingna perspektif
mengenai dimensi perawatn yang terkoordinasi pada kondisi menjelang akhir
hayat.komunikasi merupakan proses transmisi ide dari pasien sebagai sender ke
petugas kesehatan sebagai receiver, atau secara sederhana dipahami sebagai
proses pertukaran pesan atau informasi, ata dimana seseorang menyampaikan
sedangkan ang lainnya mendengarkan.
Sayangnya, pemahaman yang spesifik mengenai model ini kadang menyebabkan
ketidak mampuan para petugas kesehatan melakukan mediasi pada kondisi plural
atau majemuk dan interdependensi. Sehingga wawasan kita akan meningkat
memalui interaksi kita ditatanan klinis, serta ide tentang kehidupan dan kematian
akan menjadi suatu pemahaman hingga akhirnya kita memahami mengapa al
tersebut harus dipahami.
2. A Social Construction Approach
Komunikasi dengan pendekatan social contruction tentang isu akhir hayat akan
memberikan kessadaran betapa pentingnyya dan menariknya proses komunikasi
saat ini, bagaimana pemahaman sosial dapat memproduksi dan mereproduksi pola
interaksi. Dari perspektif socal contruction menyatakan bahwa tidak ada kata,
aksi, perilaku ata kejadian yang memiliki makna tanpa memahami makna sistem
secara luas yang mana hal tersebut ditempatkan.
Nilai tentang kehidupan yang baik, kematian yang baik dan perawatan yang baik
dapat berbeda pada setiap orang. Hal tersebut sangat dipengaruhi olehpengalaman
masa lalu. Para penggiat social construction menyatakan bahwa pengalaman
pengalaman tersebut merupakan hal yang sifat subjektif, dan pemahaman yang
didapatkan sangat tergantung pada konteks sejarah dan budaya dan bagus mana
menempatkannya.
3. A Critical Cultural Approach
Pendekatan ini berupaya untuk mempertanyakan bagaimana faktor ekonomi,
materi dan sejarah membentuk budaya untuk merespon, dan konsep tentang
kesehatan, sakit dan keputusan untuk melakukan pengobatan. pendekatan ini
mencoba untuk mendefinisikan dan menamai segala hal termasuk status fisik
emosional. Perbedaan ini menjadi penting untuk memahami budaya dan dinamika
budaya dan dinamika budaa itu sendiri dan hubungan sentimental anatara bidang
kesehtan dan bahasa

37
Memahami buaday terkait dengan komunikasi pada kondisi akhir hayat termasuk
bagaimana penggunaan bahasa dalam pelayanan kesehatan mencerminkan
hubungan dan sekaligus perbedaan tentang apa dari siapa kita dalam nilai sosial.
Pemahaman peran budaya dalam pelayanan paliatif merupakan hal sangat
mendasar.
4. A Multi-Method Approach
Meruapakan bagian dari model komunikasi dengan pendekatan multi –method.
Pendekatan berfokus pada bagaimana seseorang melakukan kontruksi ide dan
mengemukakan apa yang mereka maknai tentang sesuatu seperti arti sebuah
kesehatan dan penyakit terminal. Akan tetapi, juga dapat bermula dari asumsi
secara epistemology.
Sedangkan Dialog Approach berupaya mencari sesuatu yang dapat menginspirasi
proses diskusi yang mana terlihat sebagaisesuatu yang tidak eksis. Kombinasi
pandangan secara kritis dan dialogis meberikan pemahaman yang berbeda dalam
memahami pengalaman masa-masa akhir hayat.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Komunikasi Dalam Keperawatan


Paliatif.
Kesulitan dalam berkomunikasi kemungkinan dapat diakibatkan oleh berbagai faktor
seperti masalah dalam sistem keluarga finansial, pendidikan, masalah fisik dan
keterbatasan, serta tingkatan koping dan kondisi berduka yang dialami (Matzo
sherman, Sheehan, Ferrell & Penn, 2003). Faktor fisik yang dapat mempengaruhi
komunikasi dapat mencakup gangguan tidur, Akibat kelelahan fisik maka hal tersebut
dapat mempengaruhi kemampan seseorang untk menerima dan memproses informasi,
serta kemampan untk memberikan bantuan pada pasien. Hal tersebut harus menjadi
perhatian perawat dan tim perawatan paliatif untuk dapat tetap melakukan komunikasi
dengan baik.
O’Connor, Lee&Aranda (2012) menambahkan beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi komunikasi dipelayanan perawatan paliatif yaitu perubahan kondisi
pasien dan lingkungan kerja.
Faktor yang berkenaan dengan lingkungan kerja mungkin dapat menjadi sebagai
barier dalam melakukan komunikasi yang baik terutama sebagai barrier dalam
melakukan komunikasi yang baik terutama saat perawatan menjelang akhir hayat.
Selain itu dapat juga terjadi dimana perawat disibukkan dengan kegiatan untuk

38
mengurus pasien sehingga membuat seseorang terlupakan untuk menyampaikan
infomasi penting terkait masalah pasien.
Ada dua framework yang telah dikembangkan untuk membantu tenaga kesehtan
profesional untuk mengenali mnegapa pasien dan bahkan tenaga kesehatan memasang
berrier selama komunikasi (Nico& Nyatanga, 2014). Frame work tersebut dapat
diingat dengan singkat FEARS (fears, enviroment, attitudes, responses, skills) dan
FIBS (frears, inadequate skills, beliefs, support). FEARS digunakan untuk mengenali
potensi barrier dari pihak pasien sedangkan FIBS digunakan untuk mengenali
kemungkinan barrier pada tenaga kesehatan profesional.

D. Ketrampilan Komunikasi Dalam Setting Perawatan Paliatif


1. Ketrampilan Dasar Dalam Berkomunikasi
Komunikasi merupakan hal penting dalam pelayanan perawatan paliatif, sejak awal
pasien mendapatkan pelayanan paliatif dan bertemu dengan para tenaga
professional hingga akhir hayat pasien (Emanuel & Librach, 2011). Komunikasi
pada pasien mencakup dua hal yang sangat sering dan penting untuk dilakukan
yaitu komunikasi mengenai informasikesehatan pasien dan dialog yang berpusat
pada perasaan dan emosi pasien, yang mana dialog tersebut juga merupakan bagian
dari tindakan terapi. Namun biasanya diawal percakapan lebih sering membahas
mengenai status dan kondisi kesehatan pasien yang mencakup perkembangan
penyakitnya, dan pertemuan selanjutnya biasanya sudah lebih fokus pada terapi.
Beberapa hal yang menjadi elemen dasar dalam komunikasi efektif, yang hal
tersebut menjadi penting dalam proses dialog atau komunikasi terapeutik. CLASS
merupakan sebuah metode wawancara yang menggunakan lima langkah sebagai
protocol. Metode ini menggunakan teknik langsung untuk mengatasi emosi yang
dirasakan oleh pasien. Secara singkat CLASS protocol mencakup lima komponen
dasar dan krusial dalam wawancara terhadap pasien dimana CLASS merupakan
singkatan dari kelima komponen dasar tersebut yaitu Context (konteks secara fisik
maupun setting), Listening skills, Acknowledgement of the patient’s emotions,
Strategy for clinical management, dan Summary.
a. C (Context atau setting)
Context dalam wawancara adalah konteks atau setting secara fisik dan termasuk
lima komponen utama yaitu menyediakan ruang yang memadai, bahasa tubuh,
kontak mata, sentuhan, dan pengantar atau perkenalan.

39
Menyediakan ruangan yang memadai dan tetap memperhatikan privacy pasien.
Jika berada di rumah sakit, sebaiknya wawancara dalam ruangan dengan pintu
yang tertutup untuk menjaga privasi pasien. Selama wawancara sangat penting
untuk menjaga jarak yang nyaman dengan pasien. Jarak antara perawat – pasien
dalam wawancara dapat berbeda makna dalam perspektif budaya, namun jarak
yang ideal yaitu2-3 kaki. Pada jarak tersebut seorang perawat dapat
menunjukkan kedekatan dengan pasien sekaligus kesiapan untuk mendiskusikan
hal yang sifatnya pribadi.
Bahasa tubuh merupakan hal yang dapat memberikan makna berbeda dengan
pesan yang disampaikan. Upayakan dalam melakukan komunikasi kondisi
dalam keadaan rileks, duduk dengan posisi nyaman dengan kedua kaki berada
diatas lantai tidak dalam keadaan tergantung dari kursi. Upayakan menjaga dan
mempertahankan kontak mata selama bekomunikasi terutama saat pasien
berbicara.
Sentuhan merupakan hal yang sangat membantu selama wawancara, namun
tetap mempertimbangkan beberapa seperti sentuhan dilakukan pada area yang
tidak terpasang alat medikasi atau luka, perawat merasa nyaman untuk
emlakukan sentuhan, pasien tidak menunjukkan respon atau reaksi menolak
dengan sentuhan yang dilakukan.Bila pasien merasa Nyman dengan sentuhan
yang dilakukan, maka sentuhan dapat dipertahankan. Namun, bila pasien
menunjukkan ketidaknyamanan maka sentuhan harus dihentikan.
Pastikan pasien mengenal siapa anda dan apa yang akan anda lakukan.
Upayakan perawat memberi9kan salam atau dengan berjabat tangan dengan
pasien lebih dahulu, lalu pada keluarga pasien atau pendampingnya.
b. Listening Skills
Saat memulai dialog dengan pasien, sebagai seorang profesional harus
memastikan bahwa ia melakukan wawancara atau dialog dengan memiliki
ketrampilan mendengar yang baik. Secara umum ada empat poin yang sangat
esensial dari ketrampilan mendengarkan yaitu pertanyaan terbuka, teknik
fasilitasi, klarifikasi, dan mengendalikan waktu dan interupsi.
Pertanyaan gterbuka merupakan salah satu bentuk pertanyaan yang dapat
dijawab dalam berbagai pandangan. Pertanyaan terbuka memberikan
kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaannya berdasarkan
pemahamannya mengenai pertanyaan yang diberikan.

40
Hal yang pertama dan sekaligus merupakan hal sangat penting dari teknik
fasilitasi dalam komunikasi antar perawat-pasien adalah diam. Jika pasien
sedang berbicara , upakan untuk tidak memtong pembicarannya. Tunggulah
pasien berhenti berbicara sebelum anadamemulai berbicara. Diam juga
merupakan kondisi dimana pasien berpikir atau merupakan sesuatu yang
penting. Jika perawat mampu memberikan waktu untuk kondisi diam pasien
maka memungkinkan pasien akan mengungkapkan atau mengekspresikan apa
yang dipikirkannya.
Selain diam sejenak, ada beberapa teknik fasilitasi lainnya yang dapat
dilakukan selama berkomunikasi dengan pasien yaitu menganggukkan kepala,
berhenti sejenak saat berbicara, tersenyum , atau memberikan respon seperti
“ya”,”mmmm” atau juga dapat mengatakan “apa lagi”. Untuk menunjukkan
pada pasien bahwa perawat memperhatikan dan mendengarkan perkataan
pasiennya yaitu dengan melakukan pengulangan satu atau dua kata terakhir
yang diucapkan oleh pasien. Pengulangan merupakan satu bentuk dari teknik
fasilitasi.
Masih sering ditemukan petugas kesehatan saat berkomunikasi dengan pasien
terkesan bahwa informasi yang diterimanya pergi dan berlalu begitu saja tanpa
berupaya untuk mengetahuinya secara jelas apakah perkataan itu maknanya
dapat dipahami atau tidak. Hal ini akan menyebabkan masalah serius selama
proses komunikasi berlangsung. Sehingga menjadi hal yang penting disaat
petugas tidak memahami maksud dari perkataan pasien untuk melakukan
klarifikasi. Beberapa pernyataan yangdapat digunakan untuk melakukan
klarifikasi seperti “Maaf, saya belum begitu memahami apa maksud perkataan
bapak/ibu mengenai………waktu bapak,ibu mengatakan…….maksud
bapak/ibu seperti apa…?. Jadi dengan melakukan klarifikasi, hal tersebut
memberikan kesempatan pada pasien untuk menjelskan lebih detail lagi
mengenai pernyataan sebelumnya dan juga sekaligus menunjukkan bahwa
petugas kesehatan tertarik padatopik yang dijelaskan oleh pasien.
c. Acknowledge
Respon empati merupakan teknik yang sangat baik selama proses komunikasi
yang penuh emosional, namun hal ini seringkali dipersepsi oleh prasiswa atau
trainee. Respon empati tidak membutuhkan perasaan pribadi dari petugas, jika
pasien merasa sedih maka sebagai perawat tidak diharuskan merasa sedih juga.

41
Akan tetapi respon empati merupakan sebuah teknik untuk mengetahui dan
memahami terhadap apa yang ditunjukkan oleh pasien berdasarkan observasi
perawat mengenai emosi pasien, terdapat 3 tahapan dalam melakukan respon
empati, yaitu :
1) Mengidentifikasi emosi yang diekspresikan oleh pasien
2) Mengidentifikasi penyebab terhadap kondisi emosional pasien
3) Melakukan respon berdasarkan pernyataan pasien yang telah dikemukakan
dengan menghubungkan hal-hal pada bagian 1 dan 2

Objektifitas dari respon empati yaitu dengan menunjukkan bahwa sebagai


perawat telah melakukan identifikasi dan mengetahui mengenai kondisi
emosional atau perasaan pasien yang telah dialaminya dan dilakukannya.

d. Strategy management
Berikut ini manajemen strategi yangdapat dijadikan sebagai pedoman :
1) Tentukan apa yang akan dinilai sebagai strategi medis yang optimal.
Tentukan rencana pengelolaan yang ideal.
2) Melakuakan penilaian dalam pikiran anda sendiri atau dengan menanyakan
padapasien mengani harapan pasien mengenai kondisi, pengobatan dan hasil
yang ingin dicapai. Sebagai perawat, anda seharusnya dapat membuat
simpulan dalam pikiran anda. Jika anda menyadari ada ketidakcocokan antaa
harapan pasien dengan situasi dan fakta-fakta medis. Maka anda harus dapat
membuat rencana strategiyang logis dan dapat diterima oleh pasien jika anda
menilai ada kejanggalan yang signifikan antara harapan pasien dan realitas.
3) Mengusulkan strategi. Mengingat kesimpulan anda dari langkah 1 dan
langkah 2, lalu ajuakn strategi. Ketika menjelaskannya pada pasien, terus-
menerus.
4) Kaji respon pasien dengan membuat catatan kemajuan pasien dalam
membentuk sebuahfrencan aksi (tahap ini sering didefinisikan sebagai
precontemplation, kontemplasi, dan pelaksanaa atau penguatan). Memahami
kondisi emosi pasien yang dapat terjadi dan terus hingga pasien dapat
menerima dan mengikuti rencana yang anda susun.

42
e. Summary
Summary merupakan bagian akhir dari wawancara. Dalam pelayanan onkologi,
komunikasi merupakan hubungan antara perawat atau petugas kesehatan
dengan pasien menjadi salah satu aktivitas yang berlangsung terus-menerus
secara berkala dan merupakan komponen utama dari pengobatan pasien. Untuk
emlakukan summary yang baik maka ada3 hal yang penting untuk diketahui
yaitu :
1) Ikhtisar atau pengulangan poin utama yang dibahas dalam dialog
2) Memeberikan kesempatan pada pasien untuk mengajukan pertanyaan, dan
3) Merencanakn pert6emuan atau interaksi berikutnya (kontrak yang jelas
untuk kontak)

2. Menyampaikan Berita Buruk


Komuniakasi dalam praktik keperawatan bukanlah hal yang mudah akan tetapi secara
alamiah hal tersebut merupakan sesuatu yang kompleks (Malloy, Virani, Kelly dan
Munevar, 2010). Seperti halnya ketrampilan keperawatan professional komuniaksi
memerlukan pendidikan dan latihan yang intens. Kebutuhan akan kemampuan
komunikasi yang baik menjadi hal yang berlaku secara umum dalam praktik
keperawatan terutama saat waktu – waktu tertentu atau khusus seperti kondisi
penyakit serius dan kritis serta perawatan menjelang akhir hayat.

Menyampaikan berita buruk membutuhkan ketrampilan dan juga perhatian khusu.


Ketika seseorang menyampaikan pengalamannya mengenai sesuatu yang buruk dalam
pelayanan kesehatan atau cara penyampaian berita buruk yang jelek, prognosis
penyakit yang buruk atau kegagalan dari upaya pengobatan sering menunjukkan
respon ketidakpuasan. Membicarakan hal tersebut terkadang menjadi hal yang yang
selalu dihindari oleh mereka.Hal tersebut akan mempengaruhi petugas kesehatan
untuk melakukan komunikasi. Buruknya komunikasi pada situasi tersebut menjadikan
petugas kesehatan mengalami stress dan burnout.

Ada 2 model yang sangat membantu untuk menyampaikan berita buruk. Robert
Buckman (2005) mempekenalkan the SPIKES strategi untuki menyampaikan berita
buruk. SPIKES merupakan singkatan dari Setting, Perception, Invitation, Knowladge,
Empathy, dan Summary.

43
Setting mencakup upaya untuik menjamin lingkungan yang privasi dan dengannya
memungkinkan orang terdekat dan keluatga untuk hadir. Perception merupakan upaya
untuk menyakinkan sebagai petugas kesehatan telah memahami persepi pasien, orang
terdekat atau keluarga mengenai situasinya sebelum berita buruk tersebut
disampaikan. Invitation adalah strategi untuk mengundang pasien, orang terdekat atau
keluarga untuk ingin tahu lebih banyak lagi mengenai informasi secara detail.
Knowladge berarti kondisi dimana petugas kesehatan memberikan beberapa pertanda
padamereka bahwa berita buruk tersebut akan segera disampaikan. Tunjukkan rasa
Empathy dengan mengidentifikasi dan merespon emosi yang timbul pada pasien atau
keluarga yang selanjutnya akan membantu memvalidasi perasaan mereka. Selanjutnya
padatahap akhir lakukan Summary atau ringkasan komunikasi yangtelah dilakukan,
dan tetap memberiakn kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau butuh
penjelasan mengenai rencana pengobatan atau perawatan selanjutnya yang akan
disetujui dan diikuti oleh pasien dan keluarganya.

Strategi lain untuk menyampaikan berita buruk yaitu the PREPARED strategi (O’
Connor, Lee& Aranda, 2012). Strategi tersebut menyediakan panduan bagaimana
mengkomunikasikan prognosis dan isu-isu lainnya mengenai akhir hayat terkhusus
pada pasien dewasa dan keluarganya. PREPARED merupakan singkatan dari Prepare
for the discussion, Relate to the person, Elicit patient and caregiver preferences,
Provide information, Acknowladge emotions and concerns, Realistic hope, Encourage
questions, and Document.

Langkah awal pada strategi PREPARED yaitu Prepare, dimana petugas kesehatan
akan mempersiapkan diskusi dengan berupaya untuk memeberikan informasi yang
akurat mengenai pemeriksaan dan diagnosis penyakit, menjamin privasi dan
melakukan negosiasi terhadap keluarga yang hadir. Selanjutnya “Rolate” diskusi focus
pada hal yang menjadi focus perhatian pasien untuk membangun hubungan yang lebih
akrab. Elicit, hindari dan cegah segala sesuatu yang berpotensi untuk mengganggu
proses komunikasi dan penyampaian informasi, termasuk faktor budaya. Selanjutnya
menyediakan dan memeberikan informasi penting sesuai dengan kebutuhan pasien
dan keluarga. Acknowladge merupakan upaya untuk memahami emosi dan focus
perhatian pasien dan keluarga dengan merespon secara empati. Lalu memberikan
harapan yang realistik, hal ini dapat dicapai dengan menyeimbangakn antara kejujuran
secara realistic dengan memberikan jaminan dukungan, perawatan dan bantuan.

44
Encourage question, memberikan kesempatan untuk bertanya, dan hal ini dapat
dilakukan dengan memberikan informasi dan penjelasan ulang untuk memeastikan
bahwa mereka telah memahami informasi yang telah diberikan dan siap untuk proses
komunikasi selanjutnya. Tahap akhir yaitu Summary, Ringkasan komunikasi harus
didokumentasikan dalam catatan rekam medic pasien , dan komunikasi oleh petugas
kesehatan lainnya yang dianggap penting juga harus dimasuk dalam dokumentasi.

3. Barrier Dalam Menyampaikan Berita Buruk


Beberapa barrier faktor yang dapat menjadi penghambat dalam proses komunikasi
untuk menyampaikan berita buruk pada pasien dan keluarga pasien yaitu situasi yang
kurang nyaman atau kondusif, kemampuan koping dalam merespon kedukaan, dan
ketidakmampuan untuk merespon pertanyaan (Jevon,2010).

Menyapaikan berita buruk pada pasien dan keluarga pasien bukanlah pekerjaan yang
mudah dan hal tersebut menjadi tugas yang membuat petugas kesehatan sangat stress
dan tidak nyaman, dan beberapa alas an yang menyebabkan hal tersebut terjadi.
Pertama, kemungkinan petugas kesehatan memiliki keterbatasan atau minimnya rasa
percaya diri untuk membantu pasien yang mengalami masalah psikologis seperti stres,
dan juga ada kesulitan untuk merasakan empati terhadap perasaan seseorang.

Para praktisi kesehatan juga terkadang mengalami kesulitan untuk menghadapi pasien
dengan marah atau pasien yang menyalahkan dirinya sendiri atau orang lain yang
mungkin akan timbul disaat pasien menedengarkan berita buruk. Mengenai respon
marah atau menyalahkan diri sendiri atau orang lain terkadang ditujukan pada
seseorang atau system pelayanan kesehatan. Kondisi ini kemungkinan dapat terjadi
pada seseorang yang tidak mampu mengendalikan perasaan pribadi.

4. Komunikasi Pada Pasien Dengan Demensia

Seiring meningkatnya angka harapan hidup secara global, maka prevalensi kejadian
demensia juga turut meningkat (Buckley,2008). Hal ini menjadi sangat penting untuk
mengembangkan kemampuan atau ketrampilan berkomunikasi pada pasien dengan
demensia. Pada tahap awal demensia, isu komunikasi belumlahmenjadi masalah. Isu
komunikasi pada tahap awal biasanya dimanifestasikan sebagai akibat dari adanya
perubahan memori, menurunnya kemampuan pasien dalam merespon secara spontan,
terjadinya disorientasi waktu, kadang – kadang juga ditemukan kecemasan, atau

45
bertanya tentang sesuatu secar berulang – ulang. Bila hal tersebut telah teridentifikasi
maka pada kondisi tersebut merupakan waktu yang tepat untuk mengembangkan
beberapa cara yang inovatif untuk mengelola lingkungan pasien sehingga nantinya
dapat membantu dan meningkatkan semua proses komunikasi pada pasien demensia.

Sesungguhnya seseorang masih dapat berkomunikasi sekalipun itu mengalami


demensia berat. Komukasi bukan hanya dalam bentuk verbal akan tetapi penggunaan
sentuhan terapeutik atau kontak langsung merupakan bagian yang paling dasar dalam
komunikasi pada pasien demensia. Sehingga menjadi hal yang dasar untuk
diperhatikan terutama pada pasien dengan penyakit yang semakin meburuk untuk
tetap mempertahankan kontak pada pasien yang dapat berupa membelai atau
mengelus tangan pasien, menyisir rambut, memegang tangan pasien disaat pasien
berjalan. Ekspresi wajah juga merupakan hala yang terpenting dalam berkomunikasi
pada pasien demensia seperti tersenyum dan selalu berupaya untuk merefleksikan
setiap perasaan atau emosi yang disampaikan.

46
TOPIK VI
PENGKAJIAN PASIEN PALIATIF

Kemampuan yang Diharapkan :


Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada pasien
paliatif.
A. Pengkajian Holistik
Melakukan pengkajian secara komperehensif dan multidimensi pada pasien dengan
penyakit pada tahap lanjut yang disertai berbagai gejala dan keluhan merupakan
sesuatu yang sangat penting. Pengkajian multidimensi harus dapat membantu
mengenal kontribusi berbagai dimensi terhadap ekspresi gejala dan keluhan yang
dialami oleh pasien, sehingga pengkajian dapat membantu dalam membantu
merencanakn suatu tindakan atau intervensi. Pengkajian terhadap gejala dan keluhan
yang dilakukan dengan baik maka perawtan dan penanganan gejala maupun keluha
dapat dilakukan secara efektif (Yenurajalingam & Bruera, 2016).

B. Instrumen Pengkajian Mengenai Prognosis Dan Status Fungsional


Status fungsional merupakan predictor independen terhadap kemampuan pasien
untuk dapat bertahan hidup. Hal tersebut menjadi sangat dasar dalam merencanakan
perawatan pasien, apakah perawatan dapat dilakukan dirumah pasien, hospis atau
rumah sakit. The Karnfosky Performance Scale (KPS) Dan the Eastern Cooperativ
Oncology Group (ECOG) merupakan instrument yang telah digunakan secara luas
untuk mengkaji fungsi fisik terutama pada pasien kanker (Bruera, Higginson, von
Gunten & Morita, 2015). Kedua instrument tyersebut realible untuk menilai
prognosis pasien (Yenurajalingam & Bruera, 2016).
The Karnfosky Performance Status score sangat membantu tenaga medis untuk
dapat mengklasifikasikan pasien berdasarkan kemampuan dan tingkat status
fungsionalnya. Pengklasifikasian tersebut dapat digunakan untuk membandingkan
efektifitas dari berbagai macam terapi maupun intervensi yang dilakukan pada
pasien, dan juga untuk menilai prognosis pada masing-masing pasien. Skala yang
digunakan pada the ECOG score mulai dari rentang niali 0 yang berarti aktif secara
penuh dengan tanpa adanya keterbatasan, hingga nilai 5 yang berarti kematian.
Seorang perawat terlatih sering menggunakan the Edmonton Functional Assessment
Tool untuk menulusuri performance status fungsional dan mengevaluasi faktor-

47
faktor lainnya yang berkontribusi tehdapa gangguan fungsional pada pasien dengan
kanker stadium lanjut seperti kemampuan komunikasi, status mental, tingkat nyeri,
dan instensitas dispnea.
Skala aktifitas kehidupan sehari-hari sering digunakan untuk mengevaluasi tingkat
gangguan fisik yang dialami oleh pasien. Aktifitas kehidupan sehari-hari yang dinilai
berupa makan/minum , mandi, berpakaian, berdandan, berkemh dan buang air besar,
dan berpindah (pindah dari tempat tidur kek kursi, atau sebaliknya). Sedangkan
kuisioner aktifitas kehidupan sehari-hari yang bersifat instrumental (The
Instrumental Activity Daily Living = IADL) Digunakan untuk menilai bagaimana
pasien mampu melakukan aktifitas kehidupan yang kompleks seperti menyediakan
sarapan, mencuci pakaian, mengendarai mobil atau motor, berbelanja kebutuhan
harian dan mengelola keuangan. IADL kuisioner dapat membantu perawat atau
dokter mengidentifikasi gangguan kognitif, keterbatasan fisik, gejala ynag dapat
menimbulkanstress atau nyeri, dan masalah terkait klinis terutama pada pasien
kanker stadium lanjut.

C. Pengkajian Fungsi Fisik


Mayoritas pasien dengan penyakit stadium lanjut dan terminal memiliki masalah
terkait kemampuan untuk melakukan kegiatan rutin setiap hari dalam berbagai tahap
perkembangan penyakitnya (Bruera, Higginson, von Gunten & Morita, 2015).
Penurunan status fungsional memungkinkan adanya hubungan dengan kondisi
seperti nyeri berat yang tiba-tiba, delirium, dispnea dengan usaha yang minimal,
kerusakan saraf yang bersifat ireversibel. Olehnya itu pengkajian fungsi fisik harus
dintregasikan dengan pemahaman mengenai status penyakit utama, pengontrolan
gejala dan keluhan, dan distress psikososial (Bruera, Higginson, von Gunten &
Morita, 2015). Pengkajian terkait gejala spesifik nyeri, dispnea, fatikdan delirium
akan dijelaskan pada bagian berikut.
1. Pengkajian Nyeri
Pengkajian nyeri secara akurat serta mengkomunikasikan diagnosis terkait nyeri
serta merencanakan tindakan atau penanganan nyeri pada tim paliatif merupakan
hal yang terpenting untuk mengelola nyeri dengan efektif terutama pada pasien
paliatif (Hughes, 2012). Model pengkajian nyeri akan lebih baik dilakukan saat
melakukan wawancara terkait nyeri yang dialami pasien, karena terkadang

48
pasien mengalami kesuliatan untuk menjelaskan atau menggambarkankondisi
nyeri yang dirasakannya.
Riwayat pasien, melaporkan atau menceritakan sendiri tentang nyeri yang
dialami oleh pasien merupakan standar yang terbaik dalam mendiagnosis nyeri
terutama pada pasien yang masih mampu berkomunikasi, lebih lanjut Simon
(2008 dalam Hughes, 2012) menyatakan bahwa kuisioner nyeri metode
SOCRATES dapat digunakan untuk mengungkapa riwayat nyeri pasien paliatif.
• Site of pain : di daerah mana nyeri dirasakan? Apakah ada nyeri otot atau
sendi.
• Onset : kapan nyeri terjadi, bagaimana nyeri tersebut terjadi, kondisi apa
yang dapat memicu munculnya nyeri, apakah nyerinya berubah dalam
kurun waktu selama kejadian.
• Character : bagaimana tipe nyeri dirasakan? Apakah seperti rasa tertusuk,
teriris, gatal, panas atau terbakar, tertekan. Bagaiman pola nyerinya apakah
nyeri terjadi secara terus-menerus atau hilang timbul.
• Radiation : apakah nyeri menyebar kebagian tubuh lainya, daerah apa?
• Associated features : apakah saat nyeri terjadi kadang disertai dengan gejala
yang lain seperti mual, muntah.
• Timing / Pattern : apakah nyeri semakin parah pada waktu tertentu, apakah
nyeri terjadi saat melakukan aktifitas seperti bergerak atau buang air kecil.
• Exacerbating and relieving factors : apa saja ynag membuat nyeri semakin
buruk atau nyeri menjadi lebih berkurang.
• Severity : apakah derajat ataupun skala nyeri mengalami perubahan selama
kurun waktu kejadian.
Variasi instrument yang tersedia mulai dari rating yang sederhana sampai rating
yang panjang, dan instrument pengkajiannyeri multidimensi (Rosser & Walsh,
2014).
Instrument sederhana dapat digunakan oleh petugas atau perawat pemula
sedangkan instrument pengkajian nyeri multidimensi hanya sering digunakan
oleh petugas atau perawat spesialis paliatif yang telah berpengalaman
menangani pasien dengan nyeri yang kompleks, yang mana kadang nyeri
tersebut sulit untuk dikelola. Beberapa contoh instrument pengkajian nyeri
dengan menggunakan skala rating, yaitu :

49
a. The Numerical Rating Scale (NRS)
Tidak nyeri Nyeri Sangat
hebat

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

b. The Visual Analog Scale (VAS)


Pasien akan ditanya mengenai perasaan nyeri yang dialaminya pada suatu
garis lurus dengan panjang sekitar 10 cm, dari tidak ada nyeri hingga pada
sisi ujung lainya berupa nyeri sangat hebat.
Tidak nyeri ------------------------------------- Nyeri sangat hebat

c. The Verbal Rating Score


Pasien akan ditanya untuk menetapkan tingkat atau level nyeri yang
dialaminya dengan menggunakan daftar kata kata yang menggambarkan
adanya peningkatan intensitas nyeri.
0 Tidak nyeri
1 Nyeri ringan
2 Nyeri sedang
3 Nyeri berat

d. Body chart
Body chart juga dapat digunakan untuk mengkaji nyeri. Penggunaan body
chart memberikan kesempatan pada pasien untuk menetapkan dan
menunjukan tempat kejadian nyeri yang dialaminya. Hal tersebut sangat
penting mengingat bahwa beberapa pasien dapat memiliki nyeri nyeri
lebih dari satu tempat. Sehingga body chart sangat membantu perawat
untuk mengidentifikasi dan memahami daerah yang nyeri yang pasien
sampaikan selama proses pengkajian. (Rosser & Walsh, 2014). Berikut
contoh body chart yang digunakan untuk pengkajian nyeri.
Pain scale*
10 Overehelming pain
9
8 Servere pain

50
7
6
5 Moderate pain
4
3
2 Mild Pain
1
0 No pain
Berikut beberapa instrument pengkajian nyeri pada apsien dewasa kategori
khusus yaitu:

Instrument Kelompok Khusus


Assessment of Discomfort in Demensia
Dementia (ADD)
Behavioural Pain Scale (BPS) Intensive care, Dewasa yang tidak sadar
Checklist of Nonverbal Pain Demensia
Indicators (CNPI)
Critical Care pain Observation Tool Demensia, Dewasa yang tidak sadar
(CPOT)
Doloplus 2 Demensia, perawatan paliatif
Nursing Assistant-administered Demensia
instrument to assess Pain In
Demented Individuals (NOPPAIN)
Pain Assesment Scale for Seniors Demensia
with Limited Ability to
Communicate (PACSLAC)
Pain Assessment in Advanced Demensia
Dementia (PAINAD)

2. Pengkajian Dispnea
Berbagai alat ukur yang tervalidasi dapat digunakan untuk menilai dispnea baik
secara kuantitatif maupun kualitatif pada pasien paliatif. Instrumen tersebut
mulai dari yang menggunakan skala ordinal dengan menggunakan acuab single-
item seperti visual analog scale (VAS), numerical rating scale (NRS) dimana

51
angka 0 menunjukan tidak mengalami dispnea sedangkan angka 10 menunjukan
dispnea yang sangat berat atau sangat buruk ( Kamal, Maguire, Wheeler, Currow
& Abernethy, 2011). Modified Borg scale digunakan untuk menilai status
fungsional terkait dispnea maka dapat digunakan The Medical Research Council
Dyspnea scale, dan Baseline Dyspnea Index (BDI). Selain menggunakan skala
yang ordinal, skala pengukuran dispnea ada juga yang menggunakan skala
kategorik seperti The Memorial Symptom Assassement Scale dan Edmonton
Syimptom Assassement Scale (ESAS). Tanaka dkk mengembangkan instrument
pengukuran dispnea terkhusus pada pasien kanker yang dikenal dengan nama
The Cancer Dyspnea Scale. Dimana instrument tersebut terdiri dari 12 item
pertanyaan yang mencakup berbagai dimensi terkait masan dan rasa
ketidaknyamanan. Sehingga instrument tersebut juga disebut sebagai
multidimensional dispnea scale.
Sekalipun the Cancer Dyspnea Sclae merupakanj instrument yang komplek
namun instrument tersebut belum di aplikasi dalam tatanan klinis. Akan tetapi
dalam penelitian The Cancer Dyspnea Scale digunakan untuk membantu
mengindentifikasi penyebab dispnea, dan menilai adanya perubahan pada kriteria
hasil dari proses pengobatan. (Kamal, Maguire, Wheeler, Currow & Abernethy,
2011).
The Respiratory Distress Observation Scale (RDOS) merupakan instrument yang
valid dan reliable untuk mengukur dan menilai tanda-tanda yang konsisten
ditemukan pada saat dispnea terjadi, intensitas dan responj terhadap pengobatan
terutama pada pasien yang tidak mampu melaporkan sendiri mengenai kondisi
dispnea yang dialaminya (Pantilat, Anderson, Gonzales & Widera, 2015).
The RDOS adalah instrument yang menggunakan skala ordinal pada 8
variabelyang digunakan untuk menilai derajat dispnea. Setiap variabel di nilai
dari skor 0 sampai 2, lalu seluruh skor di total untuk menentukan derajat dispnea.
Semakin tinggi skor dari hasil pengukuran mengindikasikan semakin tinggi pula
intensitas distress pernapasan pasien. The RDOS dapat diaplikasikan pada semua
kasus pasien yang memiliki resiko terjadinya distress pernapasan yang mana
pasien tersebut tidak mampu melaporkan kondisi dispneanya secara akurat,
termasuk pasien yang sedang mendapatkan intervensi ventilasi mekanik baik
secara invansif maupun non invansive. Beberapa tanda-tanda RDOS yaitu
adanya distress pernapasan seperti takikardia, takipnea, restlessness, penggunaan

52
otot-otot bantu pernapasan, pola pernapasan paradox, adanya suara seperti
mendengkur pada akhir ekspirasi, dan ekpirasi wajah yang menunjukan adanya
kecemasan. Berikut ini gambaran variabel yang diobservasi pada RDOS yaitu :
Variabel Skor Total
0 1 2
Denyut nadi per menit ˂90 kali per 90-109 kali per ≥110 kali per
menit menit menit
Frekuensi pernapasan ≤18 kali per 19-30 kali per >30 kali per
per menit menit menit menit
Restlessness : Tidak Kadang- Melakukan
pergerakan yang tidak kadang, pergerakan
bermakna atau tujuan melakukan yang lebih
pergerakan sering
yang minim
Pola pernapasan Tidak - Tampak ada
paradox : perut pergerakan
bergerak ke dalam saat perut
inspirasi
Penggunaan otot-otot Tidak Sedikit Nampak jelas
bantu pernapasan : terangkat terangkat
klavikula keatas saat
inspirasi suara seperti
mendengkur di akhir
ekspirasi
Suara seperti Tidak - Iya
mendengkur
Cuping hidung Tidak Iya

Ekspresi ketakutan atau Tidak Iya


cemas
Total

Petunujuk penggunaan RDOS :


• RDOS tidak dapat digunakan pada pasien yang mampu melaporkan
kondisinya.
• RDOS merupakan instrument pengkajian untuk pasien dewasa
• RDOS tidak dapat digunakan bila pasien mengalami paralisis atau pasien
yang mendapatkan obat agen penghambat neuromuscular.
• Hitung frekuensi denyut nadi dan pernapasan dalam satu menit, bilaa perlu
lakukan auskultasi
• Suara mendengkur kemunkinanya dapat pula didengar melalui auskultasi
pada pasien yang dilakukan intubasi

53
Dispnea, serupa dengan nyeri dimana hanya dapat dirasakan oleh pasien. Selama
pengkajian perawat harus membrikan kesempatan yang cukup pada pasien untuk
menceritakan mengenai persaanya terkait dispnea yang dialaminya.
Beberapa penyebab dispnea yang diidentifikasi yaitu sebagai berikut :

Respiratory / pernapasan
Akut Pneumonia, emfisema, pneumothoraks
Kronis COPD, Asma
Sepsis : Bronkiektasis, cystic fibrosis
Kanker : kanker paru, mesothelioma, intrathoracic
metastases
Fibrosis
Kelemahan otot-otot pernapasan akibat kaheksia
Penyakit neuromuscular, motor neuronedisease, muscular
distropi
Penyakit skeletal : kelainan dinding atau bentuk dada
Pulmonary vascular Pulmonary thromboembolism, hipertensi pulmonal
Cardiac / jantung
Akut Penyakit jantung koroner
Kronis Heart failure,m aritmia seperti atrial fibrilasi
Psikologis Kecemasan, depresi dan hiperventilasi
Anemia
Kakeksia

3. Pengakjian Fatik
Pengkajian fatik memperhatikan aspek atau dimensi fisk, kognitif dan spirit
merupakan hal yang sangat dasar (Paice, 2014). Hingga saat ini belum ada
kesepakatan mengenai definisi fatik. Beberapa hal yang sering digunakan untuk
menggambarkan kondisi fatikyang dialaminya seperti hilang energy atau tenaga
untuk melakukan aktifitas ringan, kelemahan dan kelelahan.
Pada pasien kaker stadiu lanjut fatik menjadi gejala yang sering dikeluhkan
dan sebagai penyebab terjadi kelemahandan ketidakberdayaan paada pasien,
dimana berdasarkan studi yang dilakukan ditemukan bahwa kejadia fatikpada
pasien kanker sekitar 60-90% (Cherny, Fallon, Kaasa, Portenoy & Currow,
2015). Beberapa kriteria yang digunakan untuk menetapkan diagnosis fatik
yang berhubungan dengankanker yaitu :
• Gejala fatik yang dirasakan hamper setiap hari dalam kuirun waktu 2
minggu terakhir.

54
• Menyatakan akan adanya kelemahan yang bersifat umum atau tungkai
terasa berat.
• Kemampuan berkonsentrasi ataupun perhatian semakin berkurang.
• Menurunya motivasi atau keinginan untuk melakukan kegiatan rutin.
• Insomnia atau hypersomnia
• Pasien merasa tidak segar saat terbangun dari tidur
• Mengalami kesulitan untuk mengatasi kondisi ketidakaktifan.
• Ditandai dengan reaksi emosional yang mengakibatkan pasien merasa
fatik seperti kesedihan, frustasi, dan iritabilitasi
• Mengalami kesulitan untuk menyelesaikan aktifitas rutin
• Mengalami masalah terkait memory
• Merasakan ketidaknyamanan dalam beberapa jam setelah melakukan
latihan fisknatau aktifitas.
Instrument pengukuran fatikseperti the multidimensional assessement of
Fatigue, the Symptom Distress Scale, the Fatigue Scale, the Fatigue
Observation Checklist, dan Visual Analog Scale untuk Fatigue. Dalam tatanan
klinik penggunaan skala rating secara verbal merupakan metode yang sangat
efesin. Dimana tingkat atau derajat fatika akan dengan mudah dan cepat untuk
dikaji dengan menggunakan kriteria 0 yang berarti tidak fatik dan kriteria 10
yang berarti fatik berat.
Tidak Fatik
Fatik berat

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Hal-hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengkajian fatik yaitu


menelusuri karakteristikfisik seperti derajat fatik yang dialami pasien, kapan
pasien mulai merasakan fatik, bagaimana durasi kejadian fatik, bagaimana
pola harian kondisi fatik, faktor-faktor apa saja yang dapat meningkatkan atau
menjadikan fatik semakin parah atau memburuk. (Bruera, Higginson, von
Gunten & Morita, 2015).

55
Beberapa faktor yang dapat mengakibatkan atau mempengaruhi kejadian fatik
yang harus diketahui :
Faktor personal Usia terutama usia yang semakin bertambah, status
perkawinan, status menopause, incoma dan jaminan
kesehatan
Faktor psikologis Status mental dan emosional seperti depresi,
ketakutan, kecemasa, distress, dan konflik
Budaya dan etnik, situasi atau kondisi kehidupan.

Faktor yang berhubungan Jumlah dan kedekatan atau ketertarikan dengan


dengan perawatan para pendamping, penjaga orang sakit

Perhatian para petugas kesehatan yang merawat


Faktor yang berhubungan Stadium atau perkembangan penyakit, penyakit
dengan penyakit penyerta, anemia, nyeri, dispnea, kontinensia, pola
tidur dan hal yang menghambat tidur
Perubahan status nutrisi seperti penurunan berat
badan, kaheksia, dan ketidakseimbangan elektrolit
Faktor yang berhubungan Berbagai efek yang berhubungan dengan
dengan pengobatan pengobatan seperti pembedahan, kemoterapi,
radiasi (reaksi kulit, perubahan tingkat energy
seaktu-waktu, perubahan pola BAB dan BAK ,
nyeri)
Isu terkait pengobatan sepereti efek samping obat,
polifarmasi, perubahan sensasi pengecapan
Perubahan fisiologis yang bersifat permanen

4. PENGKAJIAN DELIRIUM

Delirium merupakan salah satu masalah yang terkait dengan ganggua n mental yang
sering ditemukan pada pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit.kejadian deliriumm
sangat tinggi pada kelompok kasusu seperti cancer dan AIDS stadium lanjut terutama pada
kondisi sakit terminal dan minggu-minggu terakhir kehidupan. Dimana prevalensi
kejadiannya berkisar sekitar 20% sammpai 88% (Bruera Higginson, Von Gunten & Morita,
2015)

56
Kejadian delirium di ruang perawatan intensif masih menjadi kondisi yang sulit untuk
dikenal atau dideteksi secara dini, dan sekaligus menjadi kondisi yang salah di pahami baik
dokter maupun perawat (Boot, 2012)

Gambaran klinis delirium yaitu :

• Adanya perubahan tingkat kesadaran dan kewaspadaan


• Adanya peubahan tingkat perhatian
• Secara klinis kejadiannya dapat berlangsung secara cepat dan berfluktuasi, dan
timbulnya gejala yang tiba-tiba dan tidak dapat dipekirakan atau diharapkan
• Disorientasi
• Perubahan kognitiff seperti gangguan memori, apraksia, agnosia dingfungsi
visual-spasial, gangguan atau perubahan dalam bahasa
• Terjadinya penigkatan atau penurunan aktifitas motorik
• Terjadi perubahan siklus tidur dan terjaga
• Gejala terkait mood seperti depresi dan mood yang labil
• Proses pikir yang tidak terstuktur dan terorganisir dengan baik
• Berbicara dengan tidak koheren
• Kemungkinan ditemukan gejala terkait gangguan saraf seperti asteriksis
mioklonus, tremor dan terjadi perubahan tonus otot.

Identifikasi delirium harus berdasarkan pada observasi di tempat tidur pasien dan
juga informasi dari pihak keluarga dan penjaga orang sakit. Inouye menjelaskan
bahwa diagnosis delirium harus didasarkan pada monitoring pasien ditempat tidur
yang dilakukan secara cermat dan teliti yang mengacu pada 4 gambaran umum
delirium yaitukejadian yang sifatnya akut, dan berfluktuasi, menurunnya
perhatian, proses pikir yang tidak terorganisir, dan perubahan tingkat kesadaran
(lose & Long, 2012).

D. PENGKAJIAN PSIKOLOGIS
1. Pengkajian kecemasan dan depresi
Gangguan mood sering tidak terdiagnosis akan tetapi saat ini berbagai instrumen
pengkajian telah dikembangkan sehingga dapat meningkatkan tingkat akurasi dari

57
skining yang dilakukan terhadap masalah depresi dan kecemasan (Yenurajalingam &
Bruera 2016).
Kecemasan yang tidak terdiagnosis dan tidak diintervensi dapat menyebabkan
ketidakberdayaan. Sedangkan kejadian depresi ditemukan sekitar 20-30% pada asien
disetting paliati. Sekitar 80% dari kasus depresi tidak tertangani dengan baik. Beberapa
hal penting yang perlu diperhatikan mengapa penting melakukan identifikasi pada
pasien depresi, yaitu :
• Lebih dari 80% pasien depresi memberikan respon positif terhadap pengobatan.
• Depresi yang tidak tertangani dapat memicu pasien menarik diri dari kehidupan
sosial sehingga terjadi isolasi sosial.
• Mencegah pasien dari ketidakmampuan pasien untuk menyelesaikan urusan atau
kegiatannya.
• Depresi yang tidak tertangani juga dapat mempengaruhi gejala yang lainnya
baik fisik maupun psikis.
• Gejala yang dialami pasien daat menjadi lebih buruk dibandingkan dengan
kondisi penyakit pasien itu sendiri (Rosser & Walsh, 2014).
The Hospital Aniety And Depression sclae (HADS) merupakan instrumen yang cukup
singkat dan mudah untuk mengukur tingkat distress psikologis pasien. Selain HADS
distress thermometer meruakan instrumen yang menggunakan skla visual analog
sehingga penggunaannya menjadi lebih mudah terutama pada pasien paliatif
(Zepatella 2012).

E. PENGKAJIAN SPIRITUAL
Riwayat spiritual merupakan suatu riwayat mengenai nilai dan kepercayaan yang
dianut oleh seseorang yang secara tidak langsung menggambarkan peran spiritualitas
agama terhadap kehidupan pasien. Pengkajian terkait riwayat spiritual pasien dapat
menggunakan metode FICA yang diperkenalkan oleh Puchalski (1998 dalam Mazto &
Sherman 2010).
• F merujuk pada Faith yaitu keyakinan. Hal ini dapat diidentifikasi melalui
pertanyaan “apa keyakinan atau kepercayaan yang anda anut”.
• I merujuk pada influence yang bermakna pengaruh. Hal ini dapat ditelusuri
dengan mengajukan pertanyaan berupa “ bagaimana keyakinan atau agama
anda mempengaruhi keputusan anda terkait pengobatan anda”.

58
• C merujuk pada Community yang bermakna komunitas atau sekumpulan orang
yang memiliki karakteristik. Hal ini dapat dinilai dengan mengajukan
pertanyaan “apakah anda merupakan bagian dari suatu komunitas keagamaan
atau spiritual”
• A merujuk pada addressing spiritual concerns yang bermakna cara mengatasi
isu-isu spiritual yang dialami pasien. Hal inidapat digambarkan dengan
pertanyaan berupa “ apakah anda menginginkan seseorang yang dapat
membantu mengatasi masalah atau isu-isu terkait spiritual yang anda hadapi”
Terapi ini diberikan mungkin akan ditolak oleh pasien bila bertentangan nilai
keyakinan yang dianutnya sehingga perawat harus memahami dan menunjukkan rasa
menghargai terhadap keyakinan tersebut. Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk
mengkaji kebutuhan spiritual yaitu metode SPIRIT, yang diperkenalkan oleh Highield
(2000 dalam Matzo & Sherman 2010).
• S, spiritual belief sistem yang bermakna sistem kepercayaan spiritual dalam
hal ini juga dapat merujuk pada afiliasi keagamaan seseorang.
• P, personal spirituality yang bermakna spiritualitas individu. Mencakup
kepercayaan dan praktik dari suatu afiliasi keagamaan yang mana pasien dan
keluarga terima dan jalankan
• I, integration with a spiritual community yang bermakna integrasi dengan
sebuah komunitas spiritual.
• R, ritualised practised and restrictions yang bermakna praktik ritual yang
dijalankan dan pantangan-pantangan yang diyakini.
• I, implication for medical care yang dapat berartidampak terhadap perawatan
dan pengobatan
• T, terminal events planning yang dapat berarti perencanaan mengenai kejadian
yang akan atau kemungkinan terjadi di masa-masa menjelang akhir kehidupan.

F. PENGKAJIAN BUDAYA
Pengetahuan mengenai budaya kelompok yang dianut oleh seseoang dapat dijadikan
sebagai langkah awal atau acuan dalam melakukan pengkajian terkait budaya, yaitu :
• Mengidentifikasi tempat kelahiran pasien
• Menanyakan mengenai pengalaman migrasi pasien
• Determinasi mengenai tingat identitas budaya atau etnis pasien

59
• Mengevaluasi tingkat akulturasi pasien terhadap budaya lokal tempat pasien
berdomisili
• Mengidentifikasi kemampuan pasien menggunakan jaringan informal dan
sumber-sumber untuk mendukung dalam kegiatan dikomunitas
• Mengidentifikasi penentu dan pembuat keputusan, apakah pasien, keluarga atau
suatu unit sosial.
• Menelusuri bahasa utama dan bahasa kedua yang digunakan oleh pasien dan
keluarga
• Etc.

G. PENGKAJIAN PROGNOSIS
Pemahaman mengenai pola perkembangan penyakit, indikator stadium akhir dari suatu
penyakit, dan kebutuhan penanganan pada setiap fase atau stadium penyakit merupakan
hal yang sangat penting untuk dapat memberikan penanganan, perawatan yang
komprehensif terutama pada kondisi akut.
Ada beberapa alasan mengapa prognosis penyakit menjadi penting, yaitu :
• Pasien dan keluarga mengambil keputusan mengenai pengobatan dan rencana
perawatan lanjutan didasarkan pada persepsi mereka mengenai prognois
penyakit pasien itu sendiri.
• Prognosis dapat membantu dan memandu perawat dan tenaga kesehatan lainnya
mengembangkan rencana pengobatan dan perawatan yang sesuai dengan kondisi
pasien.
• Informasi mengenai prognosis pasien dapat memberikan gambaran pada pasien
dan keluarga mengenai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada
pasien dimasa yang akan datang.
Ada beberapa instrumen yang sering digunakan untuk menentukan prognosisdarri suatu
penyakit tahap terminal ddisetting paliatif seperti :
Diagnosis Instrumen Prognosis Model
Congestive Heart Failure Sseattle Heart Failure Model
Copd Bode Indeks
Liver Failure Model For End Stage Liver Disease
(Meld)
Demensia The Mortality Risk Index

60
Kidney Desease The Modified Carison Comorbidity Index

DIKTAT PALIATIF

TOPIK VII
Perawatan Menjelang Akhir Hayat

Kemampuan yang Diharapkan :


Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa mampu mengenal kondisi akhir hayat &
melakukan perawatan akhir hayat.
A. MENGENAL KONDISI AKHIR HAYAT
Berbagi informasi mengenai tanda dan gejala pada seseorang yang menjelang
kematian akan sangat bermanfaat untuk pasien dan keluarganya bagaimana mereka
mempersiapkan

61
B. PATOFISIOLOGI KEMATIAN
Saat ini beberapa kasus kematian akibat penyakit kronis, atau penyakit terminal
termasuk kematian akibat penuaan menjadi semakin dimengerti proses kejadiannya
secara patofisiologi (Poor & Poirrier, 2001). Kematian dan proses menjelang kematian
menjadi bagian dari akhir kehidupan manusia, hal ini telah diterima dan dipahami
bahwa kematian sebagai bagian dari akhir kehidupan alamiah yang mana secara fisik
mudah untuk dikenal dan diprediksi.

Secara sains, dimensi fisik dan patologi proses kematian bukanlah suatu kejadian yang
terjadi sebagai satu kejadian tunggal dalam waktu singkat tapi merupakan suatu
kejadian yang berlangsung lama sesuai dengan kondisi dan perkembangan penyakit
pasien. Berdasarkan hal tersebut sehingga proses kematian dapat dilihat dari dua
aspek yaitu kematian selular, di mana kematian yang terjadi pada tingkat sel ataupun
sekelompok sel, hal ini juga dikenal sebagai kematian tingkat mikroskopik.
Sedangkan dalam skala yang lebih besar yaitu kematian individu dari suatu makhluk
hidup sebagai manusia yang dikenal dengan kematian somatic.
1. Kematian Sel
Kematian sebagai bagian dari kejadian hidup menjadi hal yang semakin jelas
setelah beberapa ilmuwan seperti John Kerr, Andrew Wyllie dan Alastair Currie
memulai penelitiannya mengenai sel tumor pada tahun 1972.dari penelitian
tersebut mereka lalu memperkenalkan sebuah konsep baru yang dikenal dengan
istilah Apoptosis atau kematian sel yang terprogram. Apoptosis merupakan sebuah
fenomena di mana sel terprogram secara genetic untuk melakukan bunuh diri. Hal
ini merupakan sebuah bukti ilmiah bahwa kematian sel secara apoptosis adalah
kejadian yang menjadi bagian dari proses kehidupan. Sedangkan fungsi protektif
berupa fungsi imun dan inflamasi, dan juga dalam proses penuaan. Setiap dari
proses-proses tersebut memungkinkannya tersedia ruang untuk sel-sel normal dan
sehat, dan hal tersebut sangat penting untuk sel-sel baru untuk digantikan oleh sel
yang lebih sehat.

Bentuk lain dari proses kematian sel yaitu kematian sel yang diakibatkan oleh
pengaruh bahan-bahan yang berbahaya, hal ini bisa disebut sebagai stressor
lingkungan, yang mana bahan berbahaya tersebut dalam kondisi yang banyak dan

62
berlangsung dalam waktu yang lama, maka sel-sel yang terpapar tidak akan
mampu lagi menjalankan fungsi normalnya dan proses kematian sel akan
berlangsung yang dikenal dengan nekrosis.

Kematian sel secara nekrosis terjadi akibat injuri pada sel yang diakibatkan oleh
stressor eksternal dan biasanya terjadi secara cepat pada kelompok-kelompok sel
dan kejadiannya tidak terorganisir dengan baik.

Beberapa jenis stressor yang dapat menyebabkan injuri sel yaitu hypoxia akibat
kekurangan oksigen, faktir fisik atau bahkan kimiawi. Akan tetapi, kematian sel
nekrosis merupakan injuri sel yang bersifat irrevesible. Jenis kematian ini
merupakan bagian dari proses atau mekanisme kematian.

Nekrosis sel merupakan kematian sel yang terjadi melalui serangkaian proses yang
bersifat merusak yang mana dimulai pada tingkat sub sel atau tingkat molecular
sel. Hal ini secara klinis dikenal sebagai bagian dari kejadian penyakit akut, kronis
maupun terminal.
2. Kematian Somatic
Sekalipun apoptosis dan nekrosis sel merupakan kejadian yang terjadi pada sel
yang sehat dan normal atau karena status penyakit, akan tetapi kedua kejadian
tersebut yang terjadi pada tingkat sel tidaklah berarti akan dapat menyebabkan
kematian pada seseorang.

Kematian somatic merupakan rangkaian kejadian yang mana semua proses


kehidupan yang mana semua proses kehidupan pada seseorang berakhir dan hal
tersebut erat kaitannya dengan definisi dasar mengenai kematian yaitu berakhirnya
pernapasan dan sirkulasi pada seseorang.

Secara fisik proses kematian somatic dapat dimanifestasikan dalam berbagai cara
ataupun gejala. Mengingat kematian somatic merupakan kematian dari semua
proses kehidupan maka tanda dan gejala fisik akan tampak sebagai manifestasi
dari adanya kerusakan atau kematian dari organ tersebut disusul dengan fisik yang
diakibatkan oleh organ dan sistem organ lainnya.

63
Secara patofisiologi kematian somatic akan dimanifestasikan secara berbeda, hal
ini dipengaruhi oleh penyebab kematian itu semdiri. Akan tetapi secara umum
tanda dan gejala akan dapat diidentifikasikan sebagai menifestasi dari kerusakan
atau kegagalan berbagai sistem organ. Setiap tanda dan gejala fisik yang terjadi
sebagai manifestasi dari kegagalan sistem organ tubuh dan hal tersebut akan
menginisisasi adanya perubahan pada sistem organ lainnya. Berikut akan
dijelaskan perubahan yang terjadi pada beberapa sistem organ tubuh selama proses
kematian berlangsung.
a. Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Selama masa impending maupun imminent death maka akan terjadi
perubahan fungsi sistem kardiovaskuler yang cukup signifikan.
Kebanyakan perubahan tersebut terjadi sebagai akibat langsung dari
menurunnya kemampuan pompa jantung secara bertahap yang dikenal
sebagai penurunan kardiac output. Oto-otot jantung akan mengalami
kelemahan untuk memompa darah ke seluruh organ tubuh, kekuatan
nadi akan melemah. Akibat otot-otot jantung yang semakin melemah
maka tekanan darah pun akan turun. Sianosis mungkin akan semakin
memburuk terutama pada bagian kaki, tangan, bibir, dan kematian
semakin dekat. Kadang juga terjadi oedema terutama pada kulit
tungkai kaki bagian bawah sebagai akibat dari peningkatan
permeabilitas pembuluh darah pada kondisi vadodilatasi yang
menyebabkan perpindahan cairan dari pembuluh darah ke ruang
interstitial.
b. Perubahan Sistem Respirasi
Tanda dan gejala fisik yang berhubungan dengan sistem respirasi yaitu
bagaimana fektifitas dari proses pernapasan itu berlangsung. Kejadian
patofisiologis pada sistem respirasi akan mengakibatkan kerusakan ataupun
gangguan pernapasan yang selanjutnya mengakibatkan penurunan kardiac
output dan kelemahan secara umum pada otot-otot dada. Kondisi ini
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler sehingga
terjadi perpindahan cairan dari pembuluh darah paru ke ruang-ruang udara
pada paru yang menyebabkan oedema paru.

64
Di saat proses kematian berlanjut, oto0otot pernapasan yang mengalami
kelemahan makin lemah sehingga tidak memungkinkannya untuk mendukung
proses batuk yang efektif, kondisi ini membuat sekret semakin sulit untuk
dikeluarkan. Sekret-sekret tersebut berakumulasi pada area di mana pertukaran
gas terjadi, sehingga hal tersebut berlangsung maksimal maka akibat dari
kondisi oksigenasi tidak dapat berlangsung maksimal maka akibat dari kondisi
tersebut maka psien akan mengalami dipsnea.
c. Perubahan Sistem Saraf
Manifestasi klinis sistem saraf yaitu otak dan saraf secara fungsional
berhubungan dengan kondisi memburuknya sistem pernapasan dan
kardiovaskuler. Suplai darah yang teroksigenasi yang menuju otak berkurang
sehingga akan mengakibatkan gangguan fungsi otak seperti proses berpikir
dan juga fungsi saraf volunter dan autonom. Menifestasi awal akibat gangguan
sistem saraf dapat berupa perubahan fungsi kognitif, di mana proses berpikir
secara logika berurutan menjadi abnormal. Menghindar dan menarik diri dari
hal tersebut, kemampuan komunikasi juga mengalami penuruna termasuk
kemampuan berkomunikasi verbal dan non verbal. Kejadian-kejadian tersebut
biasa diikuti oleh periode konfusi halusinasi dan delusi.

Disaat proses kematian berada pada impending dan imminent death,maka


beberapa fungsi dasar dari otak semakin mengalami gangguan. Yang mana
boleh jadi pasien mengalami kehilangan fungsi sarafnya hingga ke berbagai
bagian periperal tubuh sehingga terjadi perubahan sensai terhadap nyeri
sentuhan suhu. Selain itu juga terjadi penurunan sensitifitas dari beberapa alat
indra seperti pengecapan, penciuman, dan penglihatan. Berkurangnya
ketajaman penglihatan mungkin juga diakibatkan oleh penurunan aliran darah
pada rentina.

Di saat fungsi otak terus mengalami penurunan suplai darah yang


teroksigenasi, maka hal ini akan mengakibatkan kondisi pasien yang semakin
terkantuk dan tidak mampu lagi berespon dengan baik terhadap berbagai
stimulus. Biasanya bila pasien berada pada kondisi imminent death maka
pasien mengalami kegelisahan yang membuat pasien menjadi tidak rileks,
mengerang seperti kesakitan, agitasi, dan kemungkinan terjadi delirium.

65
Beberapa kejadian kondisi tersebut berlanjut menjadi kondisi Koma. Di mana
kondisi tersebut, batang otak mengalami kehilangan fungsinya, begitupun
reflek-reflek batang otak. Penurunan fungsi kontrol sistem kardiovaskuler pada
batang otak akan semakin memperburuk fungsi jantung dan pembuluh darah.
Tanpa kontrol yang tepat dari batang otak terhadap fungsi respirasi maka akan
mengakibatkan perubahan pola napas, di mana frekuensi pernapasan dapat
terjadi secara irreguler dan bahkan dapat disertai dengan periode apnea.
Batang otak akan mengalami kehilangan terhadap fungsi-fungsinya seperti
reflek yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup pada manusia
seperti reflek batuk, reflek menelan, dan reflek kornea. Di mana reflek-reflek
tersebut berfungsi untuk mencegah dan melindungi paru dan mata dari injuri.
Kehilangan reflek batuk dan menelan disertai dengan kelemahan pada otot-
otot farings maka sekret atau cairan akan terakumulasi pada tenggorokan yang
mengakibatkan timbulnya suara bising seperti kumur-kumur saat proses
respirasi berlangsung, yang kondisi tersebut disebut “Death rattle”.

Tanda dan gejala fisik tahap akhir dari kegagalan fungsi neurologis adalah
kehilangan kemampuan kontrol buang air besar dan buang air kecil. Kondisi
ini bisa terjadi pada seseorang dengan manifestasi seperti diare atau
inkontinesia urin.

d. Perubahan Sistem Pencernaan


Sebagai komponen penting dalam proses kehidupan, maka sistem
gastrointestinal atau pencernaan akan mengalami perubahan yang mana
perubahan tersebut merupakan bagian proses kematian. Pada tahap awal,
perubahan yang terjadiberupa kehilangan nafsu makan atau kurang nafsu
makan (Anoreksia). Akibat intake yang tidak adekuat seperti kebutuhan
protein dan karbohidrat yang biasanya didapatkan dari makanan padat maka
pasien akan mengalami kehilangan berat badan. Tanpa intake nutrisi yang
adekuat atau protein yang disintetis oleh sel maka otot-otot akan kehilangan
kemampuannya untuk melakukan kontraksi. Hal ini tidak hanya
mempengaruhi fungsi kerja jantung, respirasi, dan muskolektal, akan tetappi
juga otot-otot pada sistem pencernaan itu sendiri.

66
Di saat fungsi gastrointestinal semakin memburuk, ketidakmampuan menelan
makanan lunak dan cair, maka akan semakin rumit. Hal ini diakibatkan oleh
hilangnya sensasi haus. Intake cairan yang tidak adekuat akan memicu kondisi
dehidrasi dan akan mempengaruhi volume cairan intra vaskuler sehingga
terjadi penurunan tekanan darah dan gangguan fungsi jaringan tubuh.

e. Perubahan Sistem Muskolektal


Kehilangan kekuatan otot rangka merupakan tanda fisik yang paling awal
ditemukan pada kematian somatic. Di saat otot-otot semakin melemah maka
produksi atau sintesis protein semakin berkurang, sehingga tubuh akan
mengalami kehilangan berat badan dan hal ini menjadi salah satu masalah
utama. Ukuran otot pun semakin berkurang, kondisi berkurangnya ukuran otot
tersebut akan mengurangi kekuatan dan kemampuan otot untuk alat gerak
tubuh dan sendi.

C. PROSES KEMATIAN
Umumnya beberapa tanda dan gejala yang sifatnya irrevesible semakin memburuk di
jam-jam terakhir kehidupan, hal ini dapat menjadi sebagai pertanda bila dipahami
(Emanuel % Librach, 2011). Memeriksa ulang setiap intervensi yang dilakukan. Bila
perlu menghentikan setiap intervensi yang dinilai dapat memperburuk kondidi pasien
sehingga tujuan perawatan yang sesuai dengan pasien dapat dicapai.
1. The Usual Road
Pasien yang mengikuti pola “The Usual Road” menuju kematian biasanya akan
mengalami rasa mengantuk yang semakin bertambah, kemampuan komunikasi
yang semakin menurun, terjjadi perubahan terhadap persepsi nyeri, disfungsi
pernapasan, kehilangan kemampuan menelan, kehilangan kontrol terhadap otot
sphintcer, coma dan akhirnya meninggal dengan tenang.
2. The Difficult Road

Delirium tipe hiperaktif tahap terminal merupakan status konversi akut yang sifatnya
irreversible pada jam-jam terakhir atau hari-hari terakhir kehidupan yang mana hal tersebut
juga bersamaan dengan tanda dan gejala lainnya selama proses menjelang akhir kehidupan.

67
Kondisi deli riung terjadi pada hampir sekitar 88% pada pasien yang menjelang kematian
titik. Namun kondisi tersebut lalu berubah ke jalur atau pola "The difficult road to death".
Kegagalan dalam mengenali deli riung tipe hiperaktif fase terminal mungkin akan
memperburuk agitasi pada pasien. Jika hal tersebut ditangani maka selanjutnya akan terjadi
kedutan kedutan pada otot bahkan kejang, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit
yang bermetastase pada otak.

Sebelum pasien mengalami delirium tipe hiperaktif tahap terminal, beberapa pasien akan
mengalami perubahan siklus tidur dan terjaganya. Perhatian dan kemampuan untuk fokus
menjadi menurun. Pasien mengalami kehilangan akan sensitivitas terhadap lingkungan
tempat dia berada sehingga nampak terlihat seolah-olah pasien berada dalam dunianya
sendiri.

Pada tahap tersebut, kemungkinan delirium tipe hiperaktif tahap terminal sulit untuk
dibedakan dengan delirium yang bersifat reversible. Jika tanda dan gejala proses kematian
tidak nampak, maka namun tanda dan gejala delirium tersebut masih ditemukan pada pasien,
maka penting untuk menelusuri beberapa penyebab delirium yang sifat reversible seperti
hipoksia, gangguan metabolik (ketidakseimbangan elektrolit, asidosis), infeksi akumulasi
toksin sebagai akibat dari gagal hepar atau gagal ginjal, efek samping obat-obatan, faktor
yang berhubungan dengan penyakit, atau menurunnya perfusi serebral.

Bila delirium tipe reversible diidentifikasi telah terjadi sebelumnya, maka delirium tipe
hiperaktif tahap terminal kemungkinan memiliki hubungan dengan stres yang dialami oleh
pasien seperti gelisah yang berulang, agitasi dan halusinasi.

Pada kondisi delirium tipe hiperaktif tahap terminal pasien sering mengerang dan merintih,
kondisi ini sering membuat perawat menilai jika pasien mengalami nyeri. Untuk dapat
membedakan erangan dan rintihan akibat dari delirium tipe hiperaktif tahap terminal dan
nyeri yaitu tu perhatikan kerutan pada dahi pasien, pasien cenderung memejamkan mata baik
total maupun parsial, dan ekspresi meringis. Bila tanda-tanda tersebut ditemukan, maka suara
suara rintihan pasien tersebut lebih cenderung berhubungan dengan delirium daripada nyeri.

68
Delirium type hiperaktif tahap terminal kemungkinan akan sulit untuk dibedakan dengan
tanda dan gejala akibat krisis psikologis atau spiritual menjelang akhir hayat. Sekalipun krisis
tersebut tidak selalu terjadi pada pasien yang sebelumnya tenang dan telah mempersiapkan
masa-masa akhir kehidupannya.

D . PERAWATAN AKHIR HAYAT PADA 48 JAM TERAKHIR

Perawatan akhir hayat menjadi penting untuk membantu memonitor berapa gejala yang
lasim ditemukan pada pasien yang menjelang akhir hayat seperti nyeri , agitasi , secret
pada jalan nafas mual dan muntah, somaiis dan masalh eliminasi (De Souza & Peifer,
2013; Ellershaw, 2011).

1. Manajemen Nyeri
Pasien dalam fase menjelang akhir hayat sangat penting adanya unuk
mempertahankan 4 prinsip dasar dalam pengontrolan nyeri, akan teapi menerima dan
memodifikasi beberapa metode selama masa menjelang akhirt hayat mungkin
dibutuhkan :
• Identifikasi stimulus yang sifatnya merusak dan reversible
• Identifikas hal – hal yang dapat meningkat inensitas nyeri
• Memberikan oploid saat faktor pencetus ditemukan
• Jika sesuai dan memungkinkan berikan co- analgesik berupa adjuvan.

Issue nyeri yang intensitasnya semakin meningkat merupakan hal yang sering terjadi
pada pasien menjelang akhir hayat . Akan tetapi pengtkajiannya akan sangat sulit
tertutama disaat pasien berada pada kondisi Imminent death atau saat terjadi agitasi
tahap tertminal . Penggunaan opoid hartus berhati- hati pada pasien dengtan sadasi
tertlebih dengan dosis yang tinggi kartena dapat menyebabkan neurotoksik sehinggta
memicu kejadian delirtium dan kejang.

4 prinsip dasar manajemen nyeri menjelang akhirt hayat (Ellershaw, 2011 )

• Pasien dengan bebas nyeri dengan bukan pemberian opoid kertas. Pembertian
mortpin subkutan 2.5-5 mg setiap 4 jam digunakan bila nyterti bertambah . Lalu
di kaji ulang setelah 24 jam aau bila dilakukan pembertian 2 jenis obat analgesic
secarta bertsamaan . Selanjutnya pertimbangan untuk pembertian obat-obatan
melalui infus.

69
• Paien bebas nyeri dengan pembertian obat opoid kertas. Lanjutnya intervensi
yang sedang diberikan. Jika dibutuhkan ubah rute pemberian obat ke subkutan
atau melalui infus. Pada kondisi ini pasien kadang membutuhkan dosis ringan dari
biasanya dimana morphin diberikan per 4 jam. Maka dosis selingan diberikan
sekitar 1 / 6 dari total dosis obat yang diberikan selama 24 jam pasien bisa di
diberi sekitar 2.5- 5 mg jika pasien menerima 20 mg morfin selama 24 jam
melalui infus.
• Pasien dengan nyeri namun kurang berespon terhadap opioid jika nyeri menetap
dengan intensitas sedang ke barat maka pemberian obat keras seperti morpin
melalui oral atau subkutan dengan dosis 2. 5 - 5 mg setiap 4 jam.Intervensi ini
harus dievaluasi setelah 24 jam jam atau bila pemberian obat lebih dari satu jenis.
• Pasien dengan nyeri yang telah mendapatkan obat morpin setelah oral atau opioid
keras lainnya. Pada situasi ini, pemberian analgesik tidak efektif lagi atau boleh
jadi intensitas nyeri yang semakin meningkat. Jika pasien tidak merasakan
kenyamanan setelah penambahan dosis obat opioid sekitar 33 - 55% dari dosis
sebelumnya, maka perlu mempertimbangkan untuk merujuk pada tenaga ahli
paliatif

2. Manajemen Agitasi
Hadirnya tanda atau gejala berupa kegelisahan dan agitasi pada fase akhir
hayat merupakan masalah yang dapat menyebabkan distress atau kesedihan.
Penyebab sakit ASI atau konfusi atau delirium juga harus diidentifikasi Dan Bila
memungkinkan faktor penyebab tersebut dapat diatasi, sekalipun penyebab agitasi
sering akibat multifaktor. Penyebab tersering kejadian agitasi pada hari terakhir
menjelang akhir hayat yaitu keracunan obat ( opioid neuroyoxic ), gangguan
metabolisme, ketidaknyamanan fisik dan kecemasan, jika dugaan opioid Toxicity
sebagai penyebab, maka mengurangi dosis atau mengganti jenis obat dapat
dilakukan sekalipun hasil akhir dari tindakan tersebut sangat sulit untuk
dievaluasi pada kondisi dengan waktu yang sangat terbatas. Secara klinis agitasi
ada tiga jenis yaitu tipe hiperaktif, hipoaktif dan campuran atau gabungan. Namun
sekitar 86% dari pasien yang akan mengalami tipe hypoactive. Secara

70
farmakologis ada dua pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi agitasi yaitu;
benzodiazepines yang bertujuan untuk mengatasi sedasi, dan obat antipstchtic
untuk menenangkan pasien dari kecemasan. Selain benzodiazepin, midazolam
juga sering digunakan untuk mengatasi agitasi terutama pada kondisi akhir hayat,
pemberian yang dianjurkan melalui subkutan dengan dosis 5 - 20 mg/hari pada
pemberian awal, lalu dosis dapat dinaikkan hingga 30 mg/hari.

3. Manajemen Mual dan Muntah

Cyclizine merupakan obat golongan antihistamin yang mana juga dapat


menstimulasi aktivitas anti kolinergik. Obat tersebut bekerja langsung pada pusat
muntah. Beberapa efek samping yang timbul dengan pemberian cyclizine yaitu
mengantuk, dan mulut kering.Cyclizine tidak boleh diberikan pada pasien dengan
gagal jantung kongestif, Selain itu pemberian cyclizine melalui infus juga dapat
menyebabkan iritasi pada area pemasangan infus. Levomepromazine merupakan
anti emetik yang efektif dan memiliki efek sedatif yang kuat disaat dosisnya
dinaikkan. Obat jenis ini merupakan obat yang sangat efektif karena secara
farmakologis obat tersebut langsung bekerja pada reseptor target pada jalur yang
menstimulasi muntah

4. Manajemen Secret pada Jalan Napas

Pengelolaan sekret pada jalan nafas pada pasien menjelang akhir hayat yaitu lebih
mengutamakan pada keluarga pasien dengan fokus pada hal yang dapat
menyebabkan stres pada mereka dibanding pada pasien. Penggunaan cairan
parental untuk hidrasi juga tidak menunjukkan adanya hubungan dengan semakin
memburuknya kondisi sekresi terminal. Penanganan pada kondisi ini yaitu
perubahan posisi dan pemberian farmakologis, dan pada kasus berat tindakan
suction mungkin dibutuhkan .

5. Manajemen Dispnea

71
Dispnea merupakan gejala yang sifatnya subjektif yang pengalaman subjektif
tersebut melibatkan beberapa faktor yang akan mempengaruhi Tingkat atau
derajat dan persepsi tentang Dispnea. Obat-obatan yang digunakan dapat berupa
obat golongan opioid dan benzodiazepin. Obat-obatan golongan opioid akan
bekerja melalui berbagai cara dan cara esensi opioid berfungsi untuk mengurangi
laju pernapasan dan juga mengurangi tingkat kecemasan.

Diamophin, morphine,atau oxycodone dapat diberikan melalui injeksi subkutan


atau melalui infus. Dosis yang digunakan tergantung pada dosis awal yang
digunakan saat obat tersebut diberikan secara oral. Pasien biasanya akan merasa
cocok dengan memulai pemberian dosis sekitar 10 mg sehari untuk obat jenis
morphine . Penggunaan benzodiazepine mungkin akan memberikan efek yang
lebih baik pada pasien dispnea yang disertai dengan kecemasan, walaupun hasil
penelitian terbaru menemukan bahwa tidak cukup bukti untuk merekomendasikan
penggunaan benzodiazepine untuk mengatasi dyspnea.

6. Perawatan Mulut

Mulut kering merupakan gejala yang biasa ditemukan pasien menjelang akhir
hayat. Kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor seperti kurangnya intake cairan
melalui oral, efek samping pengobatan dan akibat bernafas melalui mulut. Prinsip
perawatan mulut pada pasien yang menjelang akhir hayat sama dengan pasien
lainnya di mana tujuan dari perawatan mulut tersebut untuk mempertahankan
kelembaban dan kebersihan mulut. Perawatan mulut yang dilakukan setiap 2 jam
dapat mengurangi resiko timbulnya masalah sekaligus meningkatkan rasa nyaman
pasien.

7. Masalah Mikturisi

Berdasarkan observasi ditemukan lebih dari 50% pasien mengalami disfungsi


urinary baik retensi maupun incontinence- nensia selama 48 jam terakhir
kehidupan. Retensi urin mungkin dapat disebabkan oleh konstipasi dan
pemeriksaan secara lengkap sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
khusus pasien. untuk pasien dengan riwayat penyakit yang mengenai abdomen

72
bagian bawah maka kemungkinan retensi tersebut disebabkan oleh kanker.
Sedangkan Inkontinensia urine kemungkinan berkembang seiring dengan semakin
melemahnya kondisi pasien sehingga pasien tidak mampu untuk mengenal dan
merespon terhadap sensasi kandung kemih yang telah terisi penuh. Inkontinensia
dapat dikelola dengan penggunaan diapers atau popok namun harus lebih sering
diganti untuk menghindari iritasi kulit dan ketidaknyamanan.

8. Perawatan pencernaan

Pengelolaan sistem pencernaan ter khusus pada usus selama masa-masa akhir
kehidupan (minggu atau hari) untuk mengetahui sekaligus untuk mengevaluasi
Apakah pasien mengalami konstipasi atau diare. Iritasi pada usus yang
diakibatkan oleh tumor, radioterapi, atau obat-obatan kemungkinan akan lebih
menyebabkan diare.
Pemberian laxative melalui rektal akan lebih efektif karena memiliki proses kerja
yang lebih cepat dan kerjanya tidak tergantung pada aktivitas usus. Prinsip utama
pada pengelolaan diare Yaitu fokus pada mempertahankan kondisi pasien yang
bersih dan nyaman.

9. Perawatan Kulit

Strategi untuk mencegah terjadi luka tekanan atau luka baring harus dapat
diimplementasikan secara individual terutama pada pasien saat pasien menjelang
akhir hayat. Seiring dengan semakin memburuknya kondisi pasien maka penting
untuk memastikan kulit pasien tetap terjaga bersih dan kering. Bila perlu
menggunakan bet yang menggunakan matras khusus sesuai dengan rekomendasi
dan panduan dari NICE ( the national Institute for health and care excellent ).

E. PERAWATAN AKHIR HAYAT DI RUMAH

Jika diberikan kesempatan untuk memilih maka banyak pasien yang akan
memilih untuk meninggal di rumah sendiri dibanding meninggal ditempat yang
mereka mungkin merasa asing seperti di rumah sakit (Twycross,2003). Dengan

73
dukungan pelayanan yang baik, maka perawatan dengan kualitas yang tinggi di
rumah pasien akan memungkinkan namun hal ini:

● Pihak keluarga ada yang bersedia untuk mendampingi dan dapat membantu
memberikan pelayanan pada pasien.
● Perawat akan mengunjungi pasien setiap hari dan mungkin bisa lebih sering
tergantung kondisi pasien.
● Ada tenaga dokter yang tersedia melakukan kunjungi bisa di diperlukan.
● Memiliki kemampuan untuk memberikan perawatan secara tim untuk
merespon secara tepat masalah baru yang muncul.
● Memastikan bahwa ada serana untuk merujuk pasien ke rumah sakit bila
kondisi tidak dapat diatasi di rumah.

Beberapa masalah yang sering terjadi pada kondisi tersebut yaitu delirium dan
death rattle. Sekalipun pada kondisi tersebut pemberian obat-obatan lebih
cenderung melalui infus atau injeksi subkutan namun terkadang dibutuhkan
untuk mendiskusikan ke pasien atau ke keluarga mengenai pemberian obat obatan
melalui rektal.
Hanya sekitar 30% pasien yang meninggal di rumah dan sekitar 30% lagi memilih
untuk masuk rumah sakit sekitar 1 sampai 3 hari sebelum meninggal, dan
selebihnya tetap bertahan dalam waktu yang agak lama sebelum masa akhir
kehidupan berakhir.

F. MENGENAL TANDA TANDA PASIEN YANG DINYATAKAN TELAH


MENINGGAL

Berikut langkah-langkah yang dilakukan untuk memastikan apakah pasien telah


meninggal (Campbell,2009)
● Lakukan pengkajian secara seksama untuk mengetauhui dan memastikan
bahwa:

➢ Suara jantung tidak terdengar.


➢ Nadi tidak teraba

74
➢ Bunyi napas tidak terdengar
➢ Tidak ada tanda-tanda yang menunjukan usaha bernapas.
➢ Pupil mengalami dilatasi dan tidak berespon terhadap cahaya.
➢ Badan menjadi pucat dan seperti lilin
➢ Badan terasa dingin
➢ Umumnya mata terbuka
➢ Dagu nampak terjatuh dan terbuka

● Catat catat hasil observasi dan riwayat proses kematian pasien pada catatan
rekam medik pasien dengan mencantumkan waktu kejadian berdasarkan hasil
pengkajian atau pemeriksaan di atas. Berikut contoh pencatatan kematian pasien

16/09/2015
00.25

Berdasarkan pemeriksaan yang di lakukan pada pasien ditemukan nadi


tidak teraba, reflek pupil negatif , tidak terdengar bunyi jantung dan suara
napas. Dengan ini dinyataka bahwa pasien tersebut telah meninggal pada
pukul 00.10

TTD Perawat
Ahmad Kholil,S.Kep,Ns

75
DIKTAT PALIATIF

TOPIK VIII
Mengkritisi Isu Akhir Hayat Pada Rentang Usia Tertentu
Kemampuan yang Diharapkan :
Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa mampu menganalisis isu perawatan akhir hayat,
dampak & peran perawat setelah kematian.

A. Berbagai Isu Mengenai Akhir Hayat dalam Berbagai Rentang Usia.


Perawatan pada pasien menjelang akhir hayat dengan menggunakan framework
tahapan tumbuh kembang akan membantu orang dalam berbagai rentang usia (Guido,
2010). Usia tumbuh kembang mencakup masa infant, tooddler, remaja dewasa muda,
dewasa pertengahan, dan dewasa tua atau lanjut usia.

1. Isu Akhir Hayat Pada Anak

76
Secara umum telah dipahami bahwa anak-anak berbeda dalam mengekspresikan
kedudukannya dibandingkan orang dewasa. Beberapa anak akan merasakan berduka
Saat Sendiri seperti waktu menjelang tidur malam atau ditinggalkan orang tua. Akan
tetapi beberapa anak tidak dapat memahami akan perasaan berdukanya, biasanya anak
akan bertanya berulang kali mengenai orang yang telah meninggal tersebut. Anak
yang lebih mudah belum mampu mengekspresikan rasa berdukanya secara verbal,
tetapi mereka akan mengekspresikannya melalui tindakan seperti mudah marah, dan
perubahan mood dan perilaku yang tiba-tiba. Perlu diingat bahwa anak-anak belum
memiliki keterampilan koping seperti pada remaja dan dewasa sehingga mereka
kurang mampu mengekspresikan apa yang sesungguhnya mereka rasakan atau alami.

Secara umum pengambilan keputusan pada anak diambil alih oleh orang tuanya atau
keluarganya. Penelitian yang dilakukan oleh Keese dkk (2008) menemukan bahwa
proses berduka orang tua setelah ditinggal meninggal oleh anaknya akan lebih mudah
untuk menerima kondisinya kematian anaknya di saat mereka dapat menemukan
makna kematian anaknya tersebut.

2. Isu Akhir Hayat Pada Dewasa Muda


Dewasa muda menurut Erickson (1959) adalah mereka yang berusia antara 18 sampai
35 tahun. Menurut fase tumbuh kembangnya, maka usia ini dikategorikan sebagai usia
"Intim versus isolasi". Karena kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat
diantisipasi maka para dewasa muda cenderung untuk menyangkal sebagai reaksi
awal terhadap kehilangan. Pada usia Ini masa berduka akan berlangsung lama pada
mereka yang lebih muda. Disaat mereka dapat menerima kenyataan maka reaksi
marah merupakan reaksi selanjutnya yang sering terjadi.

Di waktu yang sama, anggota keluarga yang usia dewasa muda akan menghadapi
berbagai masalah. Pasangan akan merasakan ketakutan akan kehilangan intimacy dari
pasangannya. Ketakutan lainnya adalah ketakutan akan tidak mampu membesarkan
anak-anaknya tanpa adanya bantuan dari orang yang dicintainya selama ini.
Sedangkan dari orang tua yang kehilangan anak usia dewasa muda akan merasakan
dan mengalami berduka dalam berbagai cara sebagai bentuk ekspresi kedudukannya
karena garis keturunannya berhenti atau terputus. sedangkan saudara yang
ditinggalkan yang memiliki usia hampir sama dengan yang meninggal maka saudara
yang ditinggalkan tersebut akan merasakan dan mengambil tanggung jawab untuk

77
membantu membesarkan kemenakannya jika kemenakannya tersebut usianya lebih
muda dari dia.

Setiap orang memiliki kehidupan yang unik dan tidak cukup dengan satu cara untuk
memenuhi kebutuhan pasien dewasa muda yang menjelang akhir hayatnya atau
kebutuhan keluarganya. Perawat harus dapat membaca isyarat-isyarat dari pasien yang
menjelang akhir hayat atau keluarganya saat mereka mengekspresikannya secara
verbal maupun nonverbal dan memberikan respon yang tepat. Perawat dapat
melakukan diskusi secara formal maupun informal pada keluarga Setelah pasien
dewasa muda meninggal, walaupun kematian yang baru saja terjadi merupakan hal
yang sangat sulit untuk diterima. Selain itu alasan mengenai pasien dewasa muda yang
meninggal siapa yang akan menggantikan posisinya dalam keluarga dan hal ini
menguras emosi pasangan yang ditinggalkannya.

3. Isu Akhir Hayat Pada Dewasa Pertengahan dan dewasa Tua


usia dewasa pertengahan merupakan usia yang paling produktif dalam hidup
seseorang yang mana pada usia tersebut seseorang telah mempersiapkan masa
pensiunnya di mana usia dewasa pertengahan berada dalam rentang usia 35-65 tahun.
Keluarga, tempat kerja, dan komunitas merupakan hal yang penting dan secara umum
masa usia dewasa pertengahan akan sibuk di tiga tempat tersebut. Orang tua bagi
pasien usia dewasa pertengahan mungkin tidak mampu untuk menjaga dan
memberikan Perawatan pada anaknya karena usia yang rentan Dan juga mungkin
karena masalah kesehatan itu sendiri. pasangan akan menjadi penjaga yang ideal
untuk pasien usia dewasa pertengahan, namun hal ini menjadi dilema bila pasien
tersebut juga bekerja. Pada usia ini penjaga akan lebih cenderung membutuhkan
informasi yang sifatnya realistis mengenai penyakit pasien tersebut dan kemungkinan
prognosisnya seperti perkiraan akan masa akhir hayatnya nya.

Individu pada kelompok usia ini sering memiliki banyak tujuan tujuan atau impian
hidupnya. Salah satu harapan hidupnya mungkin ingin melihat anak-anaknya tumbuh
dan berkembang hingga usia dewasa hingga dia menjadi seorang kakek atau nenek
atau mungkin menginginkan untuk mengenang Bagaimana anak-anaknya atau
cucunya bertanya tentang sesuatu padanya.

Sedangkan pada pasien dewasa tua maka perkembangannya berfokus pada


mengenang dan mengingat kembali kehidupannya, bgaimana mengatasi kehilangan

78
dan mempersiapkan akan kematian. Sehingga sebagai perawat penting untuk
membantu pasien mengatasi depresi dan perasaan gagal yang dirasakannya.
Perawatan pada pasien usia dewasa tua akan lebih banyak menyita waktu hal ini
diakibatkan oleh kondisi fisik yang semakin melemah sebagai akibat dari proses
menua dan proses penyakit. Sbagai penjaga orang sakit dengan usia dewasa tua
mungkin akan mempengaruhi status kesehatan nya di mana boleh jadi kondisinya ikut
menurun karena menjaga orang sakit terutama pasien dengan menjelang akhir hayat
sangat mempengaruhi status kesehatannya, di mana boleh jadi kondisinya ikut
menurun karena menjaga orang sakit terutama pasien dengan menjelang akhir hayat
sangat mempengaruhi fisik, psikologis dan mental. Sehingga fokus perawatan pada
usia dewasa tua yaitu bagaimana menyediakan dukungan dan bantuan terhadap
keluarga selama merawat anggota keluarganya terutama di saat menjelang akhir hayat.

B. Dampak Kematian

Saat ini angka harapan hidup semakin meningkat tidak hanya di negara maju tetapi juga di
negara berkembang termasuk Indonesia namun angka harapan hidup pada perempuan di
hampir seluruh negara di dunia menunjukkan lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Guide
,2010). Dengan meningkatnya angka harapan hidup tersebut maka massa atau usia hidup
tersebut akan mempengaruhi kebutuhan Perawatan pada masa akhir hayat dengan berbagai
macam prognosisnya. Secara umum ada 3 jenis alur prognosis pasien di masa menjelang
akhir kehidupan yaitu:

● kemampuan untuk mempertahankan fungsi fisik dan mental dalam jangka waktu
yang panjang terkecuali dalam
● penurunan secara perlahan akan kemampuan fisik yang mana dapat diperburuk
dengan kondisi yang serius sehingga kematian yang sifatnya mendadak atau tiba-tiba
dapat saja terjadi bila kondisi memburuk tiba-tiba.
● kehilangan fungsi fisik dan mental yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama,
sehingga kondisi ini membutuhkan perawatan secara individual akibat dari
kemampuan pasien yang semakin buruk
Ketiga alur prognosis dan perkembangan kondisi pasien menjelang akhir hayat akan
mempengaruhi pola perawatan pasien. pada bagian pertama, di mana dokter dan perawat
dibutuhkan untuk memberikan perawatan jangka panjang melalui paliatif suportif atau
perawatan host pada pasien dan keluarganya. Pada bagian kedua membutuhkan kemampuan

79
dari dokter dan perawat untuk memberikan perawatan sehingga adanya perubahan yang cepat
dan memperburuk kondisi pasien dapat diatasi tanpa mempengaruhi kemampuan fungsional
pasien. Pada kondisi ini juga membutuhkan perencanaan dan instruksi terhadap keluarga
sehingga intervensi dini dapat dilakukan saat terjadi perubahan kondisi yang tiba-tiba, atau
kondisi serius sebagai akibat dari penyakit utama pasien. Jadi tujuan intervensi dilakukan
untuk mencegah komplikasi serius dan sekaligus tetap mempertahankan kualitas hidup
pasien. Sedangkan pada bagian ketiga ,membutuhkan dukungan yang dilakukan mungkin
beberapa tahun, dimana seiring dengan bertambahnya waktu maka pasien semakin meningkat
kebutuhan akan bantuan terutama dalam melakukan kegiatan aktivitas harian dan rasa
nyaman.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kehilangan anggota keluarga merupakan salah satu
kejadian yang menyebabkan trauma dan distress emosional dalam kehidupan seseorang. Jadi,
pola interaksi dan komunikasi dalam keluarga merupakan area yang sangat penting untuk
dikaji pada saat melakukan perawatan pada pasien yang menjelang akhir hayat. Keluarga
yang sehat secara umum dapat dinilai melalui pola hubungan baik secara internal maupun
eksternal. Hubungan keluarga yang sehat dapat dilihat dengan adanya rasa Peduli di antara
mereka, pasien dan anggota keluarga lainnya di mana mereka dapat mendiskusikan masalah-
masalah yang sulit dengan mengedepankan kejujuran dan keterbukaan dan mampu
memutuskan tujuan yang sifatnya saling menguntungkan.

Sebagai seorang tenaga kesehatan yang bekerja di area paling aktif maka penting untuk
mendengarkan dan memulai komunikasi secara individu dalam keluarga termasuk pasien
untuk memahami Bagaimana pengalaman seseorang terhadap proses berduka dukung pasien
untuk mengungkapkan perasaannya dan mengatasi hal tersebut secara terbuka dan jujur.
Bantu pasien untuk memahami mengenai emosi, ketakutan, dan harapannya. Dukung pasien
untuk berbicara secara terbuka terhadap anggota keluarga, buat mereka peduli terhadap
persepsi dan perhatian pasien. Jika memungkinkan, perawat dapat hadir selama komunikasi
keluarga berlangsung.

C. Peran Perawat Setelah Kematian

Periode saat pasien meninggal merupakan waktu yang sangat emosional bagi seluruh yang
terlibat pada proses perawatan pasien seperti keluarga, sahabat, pasien yang lainnya dan

80
petugas (Reddal, 2008). Hal ini sangat penting untuk memberikan kesempatan yang cukup
terhadap mereka untuk mengungkapkan perasaan dan menyatakan selamat tinggal atau
selamat jalan terhadap orang yang dicintainya. Setelah seseorang dinyatakan meninggal maka
sebaiknya jangan memindahkan segera jenazah tersebut. Beberapa mungkin akan memilih
untuk meluangkan waktunya sejenak di samping pembaringan jenazah, dan yang lainnya
mungkin akan merasa berat meninggalkan ruangan tempat jenazah tersebut. Beberapa
anggota keluarga yang memiliki hubungan sangat dekat seperti suami atau istri, akan merasa
lebih nyaman dengan tetap duduk di samping jenazah. Jika hal ini yang diinginkan oleh
mereka, maka beri kesempatan dan sediakan kondisi yang lebih privasi untuk mendukung
mereka melakukan sesuatu terhadap jenazah. Perawat harus meyakinkan bahwa kondisi
tersebut dapat membuat mereka menjadi lebih dekat dengan orang yang mereka cintai seperti
menurunkan tempat tidur menjadi lebih rendah, atau melepaskan pengaman tempat tidur.
Sampaikan pada mereka untuk meninggalkan sejenak dan kembali dalam 15 menit kemudian.
Biasanya orang terdekat akan merasa siap untuk meninggalkan jenazah saat perawat kembali,
akan tetapi, jika anggota keluarga merasakan kesulitan untuk meninggalkan ruangan dan
jenazah maka perawat dapat membantu mereka. Beberapa anggota keluarga akan merasa
nyaman dengan ikut terlibat memandikan pasien. Ketika anggota keluarga akan
meninggalkan jenazah pastikan bahwa mereka memahami instruksi mengenai hal yang akan
dilakukan selanjutnya. Karena seseorang yang dalam kondisi stress dan berduka maka akan
sulit untuk mempertahankan komunikasi verbal. Oleh karena, itu maka sangat penting
memberikan instruksi secara tertulis pada mereka mengenai bagaimana dan dimana
mendapatkan surat kematian.

Perlu diingat bahwa perawatan paliatif tetap berlanjut setelah pasien meninggal sebagai
bentuk penghargaan dan menjaga martabat jenazah. Menjadi hal yang sangat penting yaitu
cara memperlakukan dan merawat jenazah dan orang yang berduka akan memberikan
pengaruh terhadap proses berduka pada keluarga yang ditinggalkan.

81
DIKTAT PALIATIF

TOPIK IX
Penyakit Kronis & Terminal

Kemampuan yang Diharapkan :


Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa mampu menyusun asuhan keperawatan pada
pasien dengan penyakit terminal.
A. GAGAL JANTUNG
Gagal jantung merupakan sindrom klinis yang kompleks dimana jantung tidak dapat
lagi mempertahankan curah jantung yang mana hal tersebut sangant penting untuk

82
metabolisme sekaligus untuk mengakomodasi aliran balik vena (Kemp &
Conte,2012).
Penyebab gagal jantung secara umum yaitu penyakit jantung iskemik, hipertensi dan
diabetes. Sekitar 75% pasien gagal jantung telah mengalami hipertensi sebelumnya,
hipertensi tersebut meningkatkan resiko 2 kali lebih besar untuk mengalami gagal
jantung dibandingkan seseorang dengan tekanan darah normal.
Tanda gelaja pada gagal jantung merupakan manifestasi dari ketidak adekuatan curah
jantung dan ketidak efisiennya arus balik vena ke jantung. Dispnea, batuk dan
wheezing merupakan gejala yang timbul akibat terjadinya peningkatan tekanan pada
pembuluh kapiler paru yang hal tersebut timbul sebagai dampak dari menurunnya
kemampuan ventrikel kiri untukmemompa darah keluar dari jantung. Udema pada
tungkai bawah dan ansietas terjadi sebagai akibat dari ventrikel kanan yang tidak
mampu menyalurkan aliran balik vena ke paru untuk selanjutnya ke seluruh tubuh.
Fatik secra umum terjadi saat jantung gagal untuk mempertahankan curah jantung
yang cukup memenuhi kebutuhan tubuh dalam melakukan metabolisme, serta
menjaga aliran darah ke otak dan jantung itu sendiri (Kemp & Conte, 2012). Gagal
jantung merupakan sindrom klinis yang berkembang secra progresif dan kompleks
yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan struktur dan fungsi pada jantung
yang mengalami injury sehingga menurunkan kemampuan ventrikel untuk mengisi
ruangnya dan memompa darah keluar menuju keseluruh tubuh (Rathi &Deedwania,
2012). Injury pada otot jantung akan mempengaruhi kemampuan jantung untuk
melakukan penyesuaian secara mekanik maupun biokimiawi. Semua mekanisme
melalui endokrin, parakrin, autokrin atau intrakrin dapat berkontribusi dan berperan
sebagai respon biologis. Proses remodeling pada jantung dilakukan dalam berbagai
macam mekanisme sel yang mana distimulasi oleh adanya disfungsi pada jantung
(Rathi &Deedwania, 2012).
1. Disfungsi ventrikel kiri
Disfungsi ventrikel kiri dikelompokkan menjadi 2 kategori yang disfungsi sistolik
dimana ventrikel mengalami ketidak mampuan untuk melakukan kontraksi dan
ejeksi, dan disfungsi diastolik dimana ventrikel mengalami penurunan kemampuan
untuk melakukan reaksi dan mengisi ruangannya untuk diejeksikan pada fase
sistolik (Kemp & Conte, 2012).
Penyebab disfungsi ventrikel kiri deng disfungsi sistolik yaitu kehilangan fungsi
miokardium sebagai dampak dari penyakit iskemik dan infark, dan beban tekana

83
yang berlebihan sebagai dampak dari hipertensi yang tidak terkontrol. Selain itu
peningkatan volume akibat gangguan katup jantung, gangguan kontraktilitas dari
efek penggunaan obat yang bersidat karditoksik juga berkontribusi terhadap
kejadian disfungsi ventrikel kiri. Dampak dari disfungsi ventrikel kiri yaitu
menurunnya curah jantung yang mana hal tersebut menjadi pemicu terhadap
kejadian hipoperfusi sistemik.
Gejala dan tanda pada pasien gagal jantung sistolik dan diastolik memiliki
kesamaan, namun untuk membedakan disfungsi sistolik dan diastolik berdasarkan
nilai fraksi ejeksi yang telah dijelaskan diatas.
2. Disfungsi ventrikel kanan
Penyebab utama kejadian disfungsi ventrikel kana yaitu kegagaln ventrikel kiri.
Kegagalan pada ventrikel kanan dapat meningkatkan jumlah darah dalam ventrikel
yang dengannya akn meningkatkan tekanan pada atrium kanan dan tekanan pada
sistem vena kava yang selanjutnya akan menurunan aliran balik darah dari seluruh
tubuh menuju jantung. Kondisi tersebut akan meningkatka tekanan pada sirkulasi
hati, saluran pencernaan, dan ekstremitas bawah.
Gagal jantung akut merupakan kondisi akut dari disfungdi jantung yang
selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya kongesti pulmonary (Viau, Sala-
Mercado, spranger, O’Leary &Levy, 2015).
Pada gagal jantung akut kemungkinan akan terjadi udema paru sebagai akibat dari
tekanan balik darah dari jantung bagian kiri ke paru-paru sebgai konsekuensi dari
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah keluar dari ventrikel kiri.
Tekanan balik tersebut akan meningkatkan tekanan onkotik sehingga memicu
kejadian extravasasi cairan kerongga paru yang selanjutnya akan mempengaruhi
proses disfusi oksigen dan karbondioksida yang berakhir pada kejadia hipoksia.
Gagal jantung kronis kemungkinan akan lebih dikarakteristikan dengan kondisi
fatik, sesak napas, dan penimpunan cairan yang semakin bertambah banyak pada
paru dan perifer (Pearse & Cowie, 2014 ; Haydock & Cowie, 2010).
Pasien dengan gagal jantung memiliki prognosis yang buruk. Prognosis gagal
jantung lebih buruk dari beberapa penyakit maligna lainnya seperti kanker
payudara dan kanker kolorektal.
B. PENYAKIT PARU OBSTRUKSI MENAHUN
Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) atau penyakit paru obstruksi
menahun merupakan penyakit obstruksi pada paru yang man dikarakteristikan dengan

84
obstruksi jalan napas yang sifatnya irreversible, dan inflasi yang berkelanjutan seperti
gejala pernapasan pada umumnya, dypnea primer, batuk, dan adanya produksi
spuntum (Rycroft, Hayes, Lanza&Becker, 2012), yang biasanya mengakibatkan oleh
kondisi lingkungan yang kurang sehat dan membahayakan seperti asap rokok (Kim
&Criner, 2013).
Perkembangan COPD selama ini terjadi secara perlahan dalam bebrapa decade
terakhir, penyakit ini sering menyebabkan penderitaan pada pasien dan dapat
menyebabkan kematian sebagai akibat dari kegagalan pernapasan atau sebagai
penyakit penyerta atau komplikasi dari berbagai penyaki seperti penyakit jantung dan
pembuluh darah, penyakit pembuluh darah otak, kanker paru, diabetes, osteoporosis,
kelemahan otot dan kaheksia (Barnes, 2014; Decrame & Janssens, 2013; Divo et al ,
2012). Divo et al (2012), menjelaskan bahwa sekitar 60% kasus kematian pada pasien
COPD diakibatkan oleh adanya penyakit penyerta dan penyulit.
Penyakit COPD diklasifikasikan kedalam 4 kategori berdasarkan gejala, fungsi paru,
dan riwayat eksaserbasi yang mengacu pada panduan baru the Global Initiative for
Obstructive Lung Disease (GOLD) seperti berikut :
• GOLD 1, COPD ringan dengan nilai FEC1≥ 80%.
• GOLD 2, COPD sedang dengan nilai FEV1 50-80%.
• GOLD 3, COPD berat dengan FEV1 30-50%.
• GOLD 4, COPD sangat berat dengan nilai FEV1 <30%.

Pengklasifikasian COPD dalam kategori A-D mengacu pada niali FEV1, selanjutnya
kategori Cdan D lalu dikelompokkan lagi dalam sub kategori C1,C2,C3, begitupan
D1, D2, dan D3. Secara detail pengelompokan sub kategori tersebut mengacu pada:

• C1 dan D1 bila nilai FEV1 < 50 % dan ekserbasi < 2 kali dalam satu tahun terakhir.

• C2 dan D2 bila nilai FEV1 > 50 % dan eksaserbasi > 2 kali dalam satu tahun terakhir.

• C3 dan D3 bila nilai FEV1 < 50 % dan eksaserbasi > 2 kali dalam satu tahun terakhir
(Lange, Marott, Vestbo, Olsen,dalam satu tahun terakhir. Ingebrigtsen, Dahl &
Nordestgaard, 2012).

Berhenti merokok merupakan salah satu strategi untuk mengurangi laju perkembangan
penyakit, komorbiditi dan kematian (Decramer & Janssens, 2013).

85
C. GAGAL HEPAR/HATI

Kegagalan hati merupakan suatu syndrome yang secara klinis dikarakteristikkan sebagai
jaundice, asites, hepatic encelopati, dan risiko perdarahan akibat penurunan fungsi hepar
(Sugawara, Nakayama & Mochida, 2012). Beberapa faktor penyebab yang diIdentifikasi
terjadinya kondisi tersebut seperti hepatitis virus, hepatitis autoimun, kerusakan hati akibat
penggunaan obat, penyakit metabolik, dan gangguan metabolik.

Kegagalan hati di klasifikasikan menjadi 2 kelompok berdasar kan kondisi klinisnya yaitu:

• Gagal Hati Akut


Secara umum seseorang di diagnosis menderita gagal hati akut bila mengalami kerusakan
fungsi hati berat yang ditetapkan berdasarkan gejala kinis, analisis laboratorium dan
pemeriksaan radiologi. Gagal hati akut dapat berlangsung dan berkembang dalam waktu 24-
36 minggu setelah hati mengalami trauma baik secara fisik, kimiawi maupun biologi dan
kondisi normalnya. Punzalan & Barry (2015) menjelaskan bahwa gagal hati akut merupakan
injuri pada hati yang sifatnya mengancam jiwa yang mana dapat terjadi tanpa didahului oleh
penyakit atau gangguan hati sebelumnya. Lebih lanjut Punzalan & Banry menjelaskan bahwa
gejala awal akan muncul dan berkembang dalam waktu 25 minggu.

Sargent (2010) menglakisifikasikan gagal hati akut ke dalarn 3 kelompok yaitu:

Definisi Interval waktu Risiko Udem Prognosis untuk


(Jaundice- Serebral Dapat Bertahan
encelopati)

Hyperakut < 7 hari Umumnya > 70% Sedang 36%

Akut 8-28 hari Umumnya > 55% Jelek 7%

Subakut 5-12 hari < 15% Jelek 14%

Sumber: Sargent, S. (2010). An overview of acute liver failure: Managing rapid deterioration.
Gastrointestinal Nursing, 8(9). p.37

• Gagal hati kronis

86
Diagnosis gagal hati kronis di tetapkan bila pasien mengalami inflamasi dan injuri pada hati
yang menetap ditandai dengan adanya kerusakan pada fungsi hati setelah 6 bulan dari
munculnya gejala yang berhubungan dengan gangguan fungsi hati.

Selain dua kelompok penyakit gagal hati yang disebutkan di atas, Rahimi & Rockey (2016)
menambahkan kondisi akut pada gagal hati kronis. Walaupun belum ada definisi yang jelas
mengenai kondisi akut pada gagal hati kronis, namun kondisi akut tersebut biasanya akan
diawali dengan sirosis dengan atau tanpa gagal hati kronis yang selanjutnya terjadi kegagalan
multi organ. Bernal, Jalan, Quaglia, Simpson, Wendon & Burroughs (2015) menjelaskan
bahwa kondisi akut pada gagal hati kronis adalah kondisi dimana semakin memburuknya
fungsi hati secara akut pada seseorang yang telah menderita penyakit hati kronis dan
terjadinya kegagalan organ hati dan ekstrahepatik. yang kondisi tersebut berhubungan dengan
risiko kematian dalam waktu singkat.

Berikut ini beberapa indikator yang dapat dijadikan acuan untuk penetapan kondisi akut pada
gagal hati kronis yaitu:

APASL EASL-CHC WGA


• Hepatic akut yang Grade 1 • Terjadinya dekom
terjadi dalam waktu 4 pensasi hepatic akut.
• Terjadinya gagal ginjal
minggu bersama • Jaundice dan koagu
Disfungsi ginjal dengan
asites, dengan atau lapati
nilai kreatinin 1.5-1.9
tanpa hepatic ence • Terjadinya kegagalan
mg/dl dengar atau tanpa
palopati. pada >1 organ
hepatic encepalopati +
• Bilirubin >5 mg/dl ekstrahepatik.
1 or gan yang
atau INR> 1.5 • Meningkatnya kejadi
mengalami kegagalan.
• Risiko kematian an kematian dalam
meningkat dalam 28 • Disfungsi ginjal dengan waktu 28 hari hingga 3
hari kejadian nilai kreatinin 1.5-1.9 bulan setelah gejala
mg/dl dengan atau muncul.
tanpa hepatic
encepalopati.

• Grade 2

• Terjadi kegagalan pada

87
> 2 organ tubuh.

Grade 3

• Terjadi kegagalan pada


>3 organ tubuh

Sumber: Rahimi, R. S., & Rockey, D. C. (2016). Acute on chronic liver failure: definitions.
treatments and outcomes. Current Opinion in Gastroenterology, 32(3), p. 173 APASL (Asian
Pacific Association for the Study of the Liver), EASL-CHC (European Association for the
Study of the Liver-Chronic Liver Consortium), WGA (World Gastroenterology Association).

Secara epidemiologi penyebab gagal hati dapat berbeda dari Negara yang satu dengan Negara
yang lainnya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Sugawara, Nakayama & Mochid (2012)
menemukan bahwa hepatitis akibat infeksi virus merupakan penyebab paling sering
terjadinya gagal hati akut di Jepang, sedangkan di Eropa dan Amerika Serikat, Injuri hati
yang di akibatkan oleh penggunaan obat-obatan seperti keracunan acetaminopen menjadi
penyebab utama kejadian gagal hati akut. Mohsenin (2013) mengidentifikasi beberapa yang
menjadi faktor penyebab gagal hati akut yaitu hepatotoksik yang diakibatkan oleh obat-
obatan seperti acetaminophen dan non-acetaminopen, infeksi virus hepatitis B akut, infeksi
virus lainnya, hepatitis autoimun, hepatitis iskemik dan beberapa penyebab lainnya seperti
Wilson disease, gagal hati akut yang berhubungan dengan kehamilan, dan kelainan
metabolisme.

Punzalan & Barry (2015) melaporkan bahwa sekitar 65% kasus gagal hati akut diakibatkan
oleh overdosis acetaminophen, dan usia rata-rata pasien dengan kasus overdosis
acetaminophen yaitu 33 tahun, sedangkan menurut Rahimi & Rockey (2016 usia rata-rata
penderita gagal hati akut 38 tahun dengan ma yoritas perempuan yaitu sekitar 78% dari total
penderita gagal hati akut.

Manifestasi klinis pada gagal hati akut dan gagal hati krois sangat sulit untuk dibedakan.
Namun ada beberapa data yang dapat digunakan untuk mengenali gagal hati akut yaitu kor
gulapati protrombin time > 15 detik atau berdasarkan acuan international normalized ratio
(INR) > 1.5, sekitar 30% pasien dengan gagal hati akut akan mengalami asites, sekitar 18%
pasien akan mengalami peritonitis bacterial spontan, dan dapat disertai hepatic encelopati.
Berdasarkan hasil pemindaian dapat dilihat adanya nodular pada permukaan hati yang mana

88
mengindikasikan sirosis, asites, spenomegali, dan adanva formasi pembuluh darah kolateral.
Terberituknya nodular pada permukaan hati dan hipertensi portal sering ditemukan pada
pasien dengan gejala yang semakin berkembang dalamn wakts 1-4 minqgu. Nodular pada hati
menunjukkan bahwa sel-sel hati mengalami nekrosis secara massif.

Hipertensi intracranial diternukan pada 42%6 pasien dengan gagal hati akut. Dimana
hipertensi kranial ditegakkan bila tekan intracranial melebih 20 mmHg. Secara etiologi gagal
hati akut tidak memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi kranial namun kejadian
tersebut kemunakinan dipicu oleh demam tinggi, agitasi psikomotor, dan hipertensi arterial.

Prognosis gagal hati akut sangat jelek, berdasarkan penelitiar rata-rata kematian terjadi sekitar
40-64% dari total kasus gagal hati akut (Punzalan & Barry, 2015). Beberapa komplikasi yang
berkontribusi sebagai penyebab kematian pada gagal hati akut yaitu udem serebral, herniasi
serebral, sepsis, gagal ginjal, gagal jantung dan sistem sirkulasi dan kegagalan multi organ
(Rahimi & Rockey, 2016). Udem serebral menyebabkan sekitar 71.4% kasus kematian pada
gagal hati akut. Saat ini rasio neutrophil limfosit dapat juga dijadikan acuan untuk
menetapkan prognosis pasien gagal hati akut. Peningkatan nilai rasio neutrophil-limfosit
menunjukkan adanva hubungan yang kuat dengan prognosis yang buruk terhadap kondisi
pasien, sehingga nilai neotrofil-lim fosit > 5 dapat menjadi prediktor indenpen yang potensial
ter hadap tingkat kematian pada pasien dengan kondisi akut pada gagal hati kronis (Chen,
Lou, Chen & Yang. 2014). Pasien gagal hati akut yang selamat dari kondisi udem serebral
akan mengalami deficit neurologis kronis. Namun bagaimana udem serebral dapat
mengakibatkan deficit neurologis kronis hingga saat ini be lum diketahui secara pasti
(Leventhal & Liu, 2015).

Hepatic Encepalopati

Hepatic encelopati merupakan status neuropsikiatrik yang bersifat reversible, hepatic


encepalopati adalah komplikasi yang dapat terjadi pada gagal hati akut maupun gagal hati
kronie (Fullwood& Sargent, 2014). Hepatic encepalopati dimanifestasikan sebagai suatu
sindrom dengan gangguan kesadarar sebagai akibat dari kondisi fungsi otak yang semakin
memburuk secara progresif (O'Neal, Olds & Webster, 2006).

Patofsiologi kejadian hepatic encepalopati belum sepenuhnya dipahami namun dipercaya


bahwa kejadiannya merupakan akibat multi faktor yang terjadi secara alamiah. Namun Lee
dan kolega (2011, dalam Fullwood & Sargent, 2014) menyatakan bahwa kombinasi dari

89
gangguan ostomtik pada otak, peningkatan aliran darah otak, dan inflamasi merupakan faktor
yang memiliki kemungkinan sebagai penyebab hepatic encepalopati. Gangguan osmotic
kemungkinan disebabkan oleh peningkatan kadar ammonia dimana hal ini sering ditemukan
pada pasien dengan gagal hati akut. Ammonia diproduksi melalui proses pemecahan protein
dan asam amino, narnun ammonia juga dapat dihasilkan oleh flora pada sistem pencernaan
(Zafirova & O'Connor, 2010 dalam Fullwood & Sargent, 2014). Secara normal ammonia
akan di metabolism di hati menjadi urea yang selanjutnya akan dieksresikan melalui ginjal,
namun dengan adanya gangguan fungsi hati maka hal tersebut tidak dapat berlangsung
dengan baik. Peningkatan kadar ammonía dalam sirkulasi darah otak akan memberikan
peluang pada ammonia untuk berikatan dengan glutamate sebagai neurotransmitter yang
bersifat excitatory untuk membentuk glutamin. Peningkatan kadar glutamin akan
menyebabkan tekanan osmotic meningkat pada lebih lanjut, pada saat yang sama otak
kehilangan kemampuanastrosit, sehingga terjadi perpindahan cairan ke astrosit otak, lebih
lanjut, pada saat yang sama otak kehlangan kemampuan secara untuk mengatur sendiri
perfusi yang menuju ke otak. Peningkatan perfusi akan memicu peningkatan aliran darah ke
otak sehingga hal ini akan menambah dan meningkatkan tekanan intracranial. Sitokin yang
berperan dalam proses inflamasi yang ditemukan dalam sirkulasi juga berkontribusi terhadap
peningkatan kerja ammonia melalui perlengketan pada sel endothelial otak yang
menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas sel yang selanjutnya semakin
menyebabkan pem bengkakan atau udem.

D. PENYAKIT GINJAL KRONIS DAN GAGAL GINJAL

Penyakit ginjal kronis merupakan terminolgi yang secara umum digunakan untuk
menggambarkan berbagai gangguan yang diakibatkan oleh adanya perubahan struktur dan
fungsi ginjal yang disertai dengan hilangnya fungsi regulasi, ekskresi dan endokrin pada
ginjal (Frazão, Medeiros, e Silva, Batista, Sá & Lira, 2014; Levey & Coresh, 2012). Selain itu
penetapan penyakit ginjal kronis juga mengacu dan berdasarkan pada adanya albuminuria,
atau terjadinya penuruan fungsi ginjal dimana laju filtrasi ginjal <60 mL/min per 1.73 m2
selama 3 bulan atau lebih, dan beberapa gejala klinis lainnya. Berdasarkan panduan praktik
yang ditetapkan oleh the National Kidney Foundation (KNF) menyatakan bahwa laju filtrasi
glomerulus merupakan alat ukur yang paling baik untuk mengetahui fungsi ginjal, lebih lan
jut KNF menekankan bahwa konsentrasi serum kreatinin tidak boleh digunakan secara
tunggal untuk menilai dan menetapkan status fungsi ginjal mengingat bahwa serum kreatinin
sangat. dipengaruhi oleh beberapa hal seperti usia pasien, jenis kelamin, ras, massa otot, dan

90
diet (Cole, Masoumi, Triposkiadis, Giamouzis, Georgiopoulou, Kalogeropoulos & Butler,
2012)..

………………………………………………………………………………

DIKTAT PALIATIF

91
TOPIK X
Perawatan Paliatif dalam Prespektif Agaman & Spiritual

Kemampuan yang Diharapkan :


Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa mampu menjelaskan kembali perspektif agama &
spiritual.

DIKTAT PALIATIF

TOPIK XI

92
Perawatan Paliatif Dalam Prespektif Sosial & Budaya

Kemampuan yang Diharapkan :


Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa mampu menjelaskan kembali perawatan paliatif
dalam perspektif sosial & budaya.

A. Tinjauan Sosial dalam Perawatan Paliatif


Sosiologi sering diindentikkan dengan disiplin ilmu sosial (Walsh, 2004). Sehat, sakit
dan penyakit bukan hanya kondisi terkait biologis dan psikologis namun juga terkait
dengan status sosial (larke, 2010). Sehingga timbul persepsi umum bahwa sehat dan sakit
merupakan produk sosial. Parson (1951 dalam Clarke, 2010) mengembangkan sebuah
konsep tentang peran sakit yang menarik perhatian sehingga hal tersebut menjadi sebuah
fakta bahwa sakit bukanlah murni sebagai status biologis namun sakit juga memiliki
dimensi sosial. Seiring dengan meningkatnya kasus penyakit kronis yang disertai dengan
penurunan kualitas hidup dalam berbagai kasus penyakit terutama pada stadium lanjut
atau terminal maka kebutuhan akan pelayanan dalam tatanan sosial pun turut meningkat.
Mengingat akan kebutuhan tersebut maka perawatan paliatif dinyatakan sebagai salah
satu HAM (Brennan, 2007 dalam Pesut, Beswick, Robinson & Buttorff, 2012)
B. Tinjauan Budaya dalam Perawatan Paliatif
Budaya didefinisikan sebagai jalan hidup, yang mana memberikan pandangan dunia,
dasar, dalam memahami dan mencipta realitas hidup seseorang, mengarahkan makna dan
tujuan hidup dan sekaligus memberikan dan menjadikan acuan hidup (Matzo & Sherman,
2010). Latar belakang budaya yang dimiliki pasien sangat mempengaruhi pasien
terhadapa bagaimana ia memilih atau merujuk sesuatu dan menginginkan hal terkait
mendiskusikan berita buruk, membuat keputusan, serta bagaimana pengalamnnya terlait
kematian (Lum & Arnold, 2012) maupun penanganan dan perawatan menjelang
kematian (Clark & Philips, 2010). Andrews and Boyle (1995, dalam Matzo & Sherman,
2010) menjelaskan bahwa kepercayaan yang terkait dengan kesehatan dikelompokkan
dalam 3 kategori, yaitu :
• Magico-religious
• Biomedical
• Holistic

Perawatan dengan model holistic lebih menekankan pada pengalaman subyektif


terhadap kondisi sakit dibandingkan dengan deskripsi penyakit secara fisiologis.

93
Berdasarkan fenomena tersebut maka di adopsi 3 prinsip yang berkenaan dengan
pengalaman sakit, yaitu :

• Prinsip pertama, sakit sebagai budaya


• Prinsip kedua, makna, kematian dan sakit
• Prinsip ketiga, narasi tentang sakit

Hasil dari proses integrasi ketiga prinsip di atas menjadikan sebuah model yang
melibatkan dan menjadikan budaya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
pengalaman seseorang tentang sakit.

Schim dan Miller mengembangkan model kompetensi budaya, dimana modl tersebut
mencakup empat komponen, aitu :

• Keragaman budaya
• Kesadaran akan budaya
• Sensitifitas terhadap budaya
• Kompetensi budaya

Selain model kompetensi budaya yang dikemukakan Schim dan Miller, berikut beberapa
model kompetensi budaya yang digunakan untuk pengajaran kompetensi buadaya bagi
para professional kesehatan, dan untuk mengkaji latar belakang budaya pasien, yaitu :

• The model of cultural competeny dari Campinha-Bacote.


• A model of cultural competent health care practice dari Papadopoulos.
• Taxonomy for culturally competent care dari Lister.
• Model for the development of culturally competent community care dari Kim-
Godwin.
• Transcultural model dari Giger and Davidhizar.
• Four-step approach to providing culturally sensitive patient teaching dari Kittler and
Sucher.
• Model of cultural competence dari Purnell and Paulanka.
• Sunshine model dari Leininger. (Evans, Menaca, Koffman, Harding, Higginson, Pool
& Gysels, 2012)

94
DIKTAT PALIATIF

TOPIK XII
Manajemen Gejala Fisik & Non-Fisik Pada Pasien Paliatif.

95
Kemampuan yang Diharapkan :
Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa mampu mensimulasi cara manajenemen nyeri &
keluhan non-nyeri.

A. Manajemen Nyeri
…………..
B. Manajemen Keluhan Non Nyeri
…………

4. Konstipasi
Konstipasi merupakan keluhan yang sering ditemukan dalam perawatan paliatif pada
berbagai kelompok usia, namun kejadiannya yang cukup tinggi pada kelompok lansia (Smith
,2015). Kejadian konstipasi pada berbagai kelompok pasien dapat bervariasi seperti pada
pasien dengan penyakit ginjal stadium lanjut atau akhir diidentifikasi kejadian konstipasi
sekitar 53%, 32-87% pada pasien kanker stadium lanjut. Selain itu beberapa hasil penelitian
juga melaporkan kejadian konstipasi juga sering ditemukan pada pasien COPD tahap lanjut
dan penyakit jantung (Rosser & Walsh, 2014).
Berbagai penyebab kejadian konstipasi pada pasien penyakit kronis namun obat-obatan
merupakan penyebab yang paling sering. Penyebab lain yang sering menimbulkan konstipasi
imobilisasi kelemahan, fatik, diet rendah serat, kurangnya intake cairan, lingkungan yang
kurang mendukung privasi, hiperkalsemia, dan penyakit penyerta seperti diverticulitis (Rosser
& Walsh, 2014).
Beberapa langkah untuk mengatasi gejala konstipasi yaitu :
• berikan banyak cairan, sehingga urine pasien terlihat ke kuningan lakukan selama
pemberian obat-obatan pada pasien dan selagi tidak ada kontraindikasi.
• tanyakan pada pasien hal apa saja yang dilakukan untuk mengatasi konstipasi yang
pernah dialaminya. Mulailah dengan hal-hal yang telah dilakukan oleh pasien dan
berhasil mengatasi konstipasi.
• Diet serat yang lebih banyak termasuk buah-buahan dan jus buah seperti seperti
dikonsumsi 3/4 gelas jus buah plum yang telah dikeringkan waspada pemberian tinggi
serat pada pasien dengan dehidrasi.
• tablet Senna. Pasien di setting pelayanan hospis pemberian surfaktan seperti docusate
(Colace) tidak akan menambah efek terhadap penggunaan tablet Senna berdasarkan
penelitian dengan randomized trial. Berikan surfaktan dan tablet Sena secukupnya
sehingga pasien mengalami peningkatan peristaltik atau pergerakan usus.

96
• magnesium sitrat juga dapat digunakan, mengingat magnesium sitrat harga terjangkau,
dan mudah didapat. Pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi magnesium sitrat sekitar
30 cc per jam hingga pasien merasakan adanya peningkatan gerakan dan peristaltik
usus.
• Polietilen glikol generic juga dapat digunakan, saat ini poli etilen glikol digunakan
untuk mengganti penggunaan lactulose, sorbitol dan beberapa agen osmotik lainnya
yang sebelumnya sering digunakan.
• Metilnaltexone subkutan juga dapat digunakan terutama pada pasien yang
mendapatkan terapi opioid. Metilnaltexone dapat mengurangi efek opioid terhadap
motilitas usus waspada obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan masalah
ileus (Smith, 2015).
5. Asites
Asites merupakan kumpulan cairan pada rongga peritonium yang bersifat apa normal
Mayoritas kejadian asites ditemukan pasien dengan penyakit malignant seperti gagal jantung,
gagal hati atau gagal ginjal, dengan persentase sekitar 90% kasus. Sekitar 10% kasus asites
terjadi pada pasien dengan kanker.
Beberapa jenis kanker yang sering menimbulkan gejala asites yaitu adenokarsinoma
ovarium, kanker payudara, kanker kolon, kanker lambung, dan kanker pankreas, namun tata
kelola aktivitas pada pasien paliatif dikategorikan sebagai berikut:
• Diuretik
Spironolactone +/- furosemide merupakan obat-obatan yang sering digunakan pada
kasus asites namun bila terjadi asites malignant dengan nilai serum Ascites-Albumin
Gradient (SAAG) < 1.1 biasanya penggunaan diuretik tidak memberikan efek yang
bermakna . Sedangkan pada pasien asites yang disertai dengan hipertensi portal
dengan nilai serum Ascites-Albumin Gradient (SAAG) >1.1 memiliki respon baik
terhadap obat diuretik. Nilai SAAG >1.1 sering ditemukan pada pasien dengan sirosis,
kongesti hepatis, CHF,atau trombosis vena porta (LeBlanc & Arnold, 2015a)
• Parasintesis, yaitu drainage cairan asites dengan menggunakan jarum yang tujuannya
untuk mengurangi jumlah cairan asites untuk jangka waktu singkat. Berdasarkan
penelitian ditemukan bahwa sekitar 90% gejala yang dirasakan oleh pasien berkurang
sesaat setelah intervensi dilanjutkan (LeBlanc & Arnold, 2015a)
• pemasangan selang peritonium ke sistem Vena yang bertujuan untuk mengalirkan
cairan asites dari rongga peritonium ke dalam Vena cava Superior (Rosser & Walsh,
2014).

97
6. Dehidrasi
Dehidrasi sering ditemukan pada pasien menjelang kematian. Dehidrasi didefinisikan sebagai
suatu kondisi dimana berkurangnya cairan tubuh total yang diakibatkan oleh menurunnya
jumlah asupan atau intake, dan atau hilangnya cairan tubuh (Kuebler & Mckinnon, 2002
dalam Australian Government Department of Health and Aging, 2011). Pasien lanjut usia
memiliki risiko untuk mengalami dehidrasi Hal ini disebabkan oleh menurunnya kemampuan
sensasi terhadap rasa haus dan dahaga yang diakibatkan oleh proses penuaan. Tujuan utama
dari tata kelola dehidrasi pada pasien menjelang ajal yaitu mengurangi rasa ketidaknyamanan
daripada pemberian hidrasi yang optimal.
Tatalaksana dehidrasi di layanan paliatif dapat dilakukan dengan berbagai macam cara
pemberian, yaitu:
• Intravena
pemberian hidrasi melalui intravena merupakan metode yang telah lama dilakukan,
dan paling sering digunakan adalah pemberian hidrasi intravena melalui pembuluh
darah perifer. Akan tetapi pada beberapa pasien dengan kondisi penyakit stadium
lanjut atau penyakit terminal pemasangan alat melalui vena sentral kadang dilakukan.
Namun pemberian hidrasi melalui Vena Sentral dapat meningkatkan risiko komplikasi
terhadap pasien baik sewaktu pemasangannya maupun selama alat tersebut terpasang
pada pasien.
• Enternal
Pemberian hidrasi melalui rute enteral lebih diindikasikan pada pasien dengan
gangguan nutrisi terkait sistem pencernaan yang mana pasien tidak mampu mencerna
makanan secara adekuat melalui jalur oral. Pilihan alat yang akan digunakan untuk
rute internasional didasarkan beberapa hal seperti durasi pemasangan dan
penggunaannya, patofisiologis dan anatomis, pilihan pasien, dan kemampuan tenaga
kesehatan yang ada.
• Hypodermoclisis
Hypodermoclisis merupakan metode pemberian cairan pada ruang subkutan yang
mana dapat pula digunakan untuk tujuan pemberian obat. Beberapa penelitian telah
dilakukan pada pasien dengan stadium akhir dan Terminal maupun pemberian
analgesik infus menunjukkan bahwa hyperdermoclisis merupakan intervensi yang
aman, menunjukkan efikasi yang bermakna, dan secara praktis lebih menguntungkan
bila dibandingkan dengan rute intravena.

98
Pada pasien yang mampu melakukan ambulasi secara mandiri lokasi pemasangan
hipodermoklisa subkutan dapat dilakukan pada area abdomen, dada bagian atas,
maupun bagian atas payudara.
• Proctolisis
Proctolisis merupakan metode pemberian cairan melalui rektal metode ini merupakan
salah satu alternatif di saat pasien membutuhkan terapi cairan atau hidrasi yang
adekuat namun pemberian cairan melalui rute lainnya tidak memungkinkan. Protolisis
merupakan intervensi invasif dimana kateter dimasukkan ke dalam rektum sepanjang
40 cm.

7. Diare
Kejadian diare lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan konstipasi pada pasien di
layanan perawatan paliatif. Diare didefinisikan sebagai suatu kondisi buang air besar lebih
dari 3 kali dalam 24 jam. Sekitar 10% pasien yang masuk dan dirawat di rumah perawatan
hospes melaporkan adanya diare sedangkan sekitar 27% pada pasien HIV atau AIDS
melaporkan mengalami diare (Yennurajalingan & Bruera, 2016).
Berikut beberapa faktor yang sering menjadi penyebab kejadian diare pada pasien di setting
pelayanan paliatif, yaitu:
• Ketidakseimbangan dalam pemberian terapi laksatif. Biasanya diare akan berhenti
dalam waktu 24 jam saat penggunaan laksatif dihentikan, upayakan pemberian laksatif
dengan dosis rendah bila akan diberikan lagi pada pasien.
• Obat-obatan seperti antibiotik, antasida NSAID, dan obat dengan preparat besi.
• Pengerasan feses atau fecal impaction.
• Radioterapi.
Intervensi radioterapi yang mengenai area abdomen dan pelvis dapat memicu kejadian
diare terutama pada minggu kedua dan ketiga terapi.
• Malabsorpsi yang berhubungan dengan:
o Karsinoma pada bagian kepala pankreas yang menurunkan jumlah sekresi
pankreas sehingga menurunkan jumlah absorpsi lemak yang mengakibatkan
terjadinya steatorhoe.
o Gaestrectomi dapat menurunkan kemampuan untuk mencampur makanan
dengan sekresi dari pankreas sehingga terjadi steatorhoe.

99
o Reseksi pada ileum dapat menurunkan kemampuan usus halus melakukan
reabsorpsi asam empedu.
• Tumor atau kanker kolon dan rektum dapat meningkatkan sekresi mukus pada usus.
• Tumor pada endokrin yang dikategorikan langka yang mana hormon yang disekresi
dapat menyebabkan diare.
• Penyakit infeksi pada saluran cerna seperti clostridium difficile.
• Kebiasaan diet yang tidak lazim, pola konsumsi makanan berserat atau konsumsi
buah-buahan yang berlebihan.
Tata kelola masalah diare pada pasien di pelayanan perawatan paliatif yaitu:
• Pasien yang memiliki potensi menyebabkan infeksi silang harus dirawat di ruang
khusus atau isolasi hingga penyebab diare ditetapkan. Hal ini dilakukan untuk
mencegah terjadinya penyebaran infeksi.
• Berikan antibiotik untuk kasus infeksi namun untuk kasus terkait clostridium difficile
hal ini menjadi perhatian khusus mengingat clostridium diffcile merupakan
mikroorganisme yang resisten terhadap hampir semua jenis antibiotik.
• Pada kasus AIDS, diare kemungkinan diakibatkan oleh berbagai jenis infeksi sehingga
sangat penting untuk meminta pendapat dari dokter atau perawat yang ahli di bidang
HIV atau AIDS dan dokter spesialis di bidang bakteriologi dan mikrobiologi.
• Koreksi terhadap segala sesuatu yang dapat dikoreksi yang mana memiliki
kemungkinan terlibat pada kejadian diare.
• Penanganan gejala secara symptomatik seperti pemberian antimotilitas, obat anti
diare. Untuk diare yang berhubungan dengan AIDS maka pemberian morfin oral
maupun morfin injeksi subkutan yang dikontrol mungkin dibutuhkan.
• Ruang pasien diupayakan tidak menimbulkan aroma yang kurang sedap sebagai
akibat dari diare Bila memungkinkan aromaterapi dapat dilakukan, pastikan ventilasi
ruangan baik.
• Kulit di area anus dapat mengalami luka lecet atau ekskoriasi hal ini dapat menjadi
faktor distres pada pasien. Sehingga penggunaan tisu toilet yang bersifat absorbent
dan lunk mungkin dibutuhkan. (Bukley, 2008)
8. Fatik/Kelelahan

100
DIKTAT PALIATIF

TOPIK XIII
Terapi Komplementer di Keperawatan Paliatif

Kemampuan yang Diharapkan :


Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa mampu memahami terapi komplementer dalam
paliatif & mendemonstrasikan nya.

A. DEFINISI TERAPI KOMPLEMENTER


National Center for Complementary and Alternatif Medicine (NCCAM) (2004)
memberikan definisi bahwa terapi alternative dan komplementer adalah
sekolompok dari keragaman secara medis dan pelayanan kesehatan, praktik-
praktik, pengobatan, dan produk yang saat ini tidak diklasifikasikan sebagai
bagian dari pengobatan medis secara konvensional (Ferreli, Coyle & Paice, 2015 :
Fowler & Newton, 2006).

B. JENIS-JENIS TERAPI KOMPLEMENTER


National Center for Complementary and Alternatif Medicine (NCCAM)
Mengelompokan terapi alternative dalam 3 kelompok besar yaitu Natural
products (herbal medicine, vitamins, minerals, dietary supplements, probiotics),
mind body therapies (imagery, meditation, yoga), dan manipulative and Body-
based therapies (chiropractic medicine, massage, bodywork such as rofling).
Terapi alternative dan komplementer diklasifikasikan menjadi 5 kelompok besar
yaitu system pengobatan alternative, mind body interventions, terapi berbasis
biologis, manipulative and body based therapies dan terapi energy.

1. System pengobatan alternative

101
Beberapa contoh system pengobatan alternative yaitu pengobatan tradisonal
Cina, pengobatan ayurvedic, India, pengobatan homeopatik, pengobatan
naturopatik, pengobatan native American, dan pengobatan Tibet.
a. Pengobatan Traditional Cina
Konsep dasar dari pengobatan cina adalah Qi. Dimana Qi dimaknai
bsebagai semangat hidup.
Akupuntur juga merupakan salah satu dari pengobatan Cina.
b. Pengobatan Ayurvedic
Pengobatan ayurvedic menggunakan pengobatan system alamiah seperti
diet, herbal, praktik pembersihan dan pemurnian , meditasi, yoga,
astrologidan batu permata untuk tujuan kesehatan dan kesembuhan.
c. Pengobatan Homeopathic
Pengobatan Homeopathic merupakan system pengobatan yang dirancang
oleh Samual Hahnemann pada abad ke 18. Dalam pengobatan
homeopathic bukanlah penyakit yang membutuhkan pengobatan tapi
orangnya yang membutuhkan pengobatan.
d. Naturopathic
Lebih mengedepankan pendekatan filosofis bagaimana untuk sehat dan
menjaga kesehatan disbanding dengan metose pengobatan yang spesifik
(Ferrell, Coyle & Paice, 2015)
e. Tibetan Medicine
Dalam keyakinan Tibet bahwa seluruh matrial yang tercipta di alam raya
ini terdiri dari 5 unsur dasar yaitu tanah, air, api, angin, dan angkasa.
2. Mind Body Intervensi
Mind Body intervensi merupakan sekelompok teknik yang didesain untuk
meningkatkan kemampuan pikiran untuk mempengaruhi fungsi tubuh dan
gejala penyakit (Ferrell, Coyle & Paice, 2015). Beberapa bentuk mind
body terapi yang telah di identifikasi yaitu :
a. Meditasi
Meditasi merupakan pengendalian diri terhadap perhatian.
Meditasi meningkatkan konsentrasi dan kesdadransecara individu
dengan fokus.
b. Teknik relaksasi

102
Teknik relaksasi merupakan suatu teknik yang sederhana yang
dapat membuat suasana rileks. Macam-macam teknik relaksasi :
• Relaksasi otot progesif
• Relaksasi otot progesif secara pasif
• Pernapasan terpusat
c. Imajinasi terbimbing
Imajinasi terbimbing merupakan suatu formasi untuk membentuk
imaginasi gambar di dalam pikiran seseorang berdasarkan suatu
perintah yang bertujuan untuk mendapatkan hasil terapeutik yang
spesifik (Ferrell, Coyle & Paice, 2015).
d. Hypnosis
Hypnosis adalah sebagai suatu interaksi social yang mana
seseorang akan dijadikan partisipan yang akan merespon setiap
sugesti byang diberikan oleh praktisi terhadap pelibatan
pengalaman yang imajinatif untuk merubah persepsi dan memori
secara sadar (Ferrell, Coyle & Paice, 2015).
e. Biofeedback
Biofeddback merupakan teknik yang mengelola berbagai gejala
atau keluhan akibat dari efek samping pengobatan.
f. Terapi Musik
Music diyakini dapat membantu memfasilitasi antara pasien
dengan keluarga dan petugas kesehatan (Ferrell, Coyle & Paice,
2015).
g. Terapi Seni (Menggambar/Melukis)
Terapi seni merupakan fokus pada upaya untuk membantu pasien
mengekspresikan, mgeklplorasi, dan melaukan transformasi
mengenai sensasi, emosi, dan pikiran yang berhubungan dengan
penderitaan secara fisik.
3. Terapi berbasis biologis
• Nutrisi dan diet
• Diet khusus
• Herbal
4. Manipulative And Body-based Methods

103
National Center for Complementary and Alternatif Medicine (NCCAM)
mendefinisikan terapi manipulative and body-based sebagai suatu praktik
yang fokus utamanya pada struktur dan system tubu yang termasuk tulang dan
sendi, jaringan lunak, sirkulasi limfatik (Lindquist, Snyder & Tracy, 2014).
a. Massage
Terapi massage merupakan salah satu metode pengobatan tertua yang
digunakan dalam praktik kesehatan. Terdiri dari beberapa teknik
manual yaitu menggosok, mengelus, menekan dan meremas pada
jaringan lunak tubuh.
b. Aromaterapi
Aromaterapi merupakan pengobatan yang mengguynakan ekstrak
tumbuhan untuk tujuan terapi.
c. Refleksologi
Refleksologi merupakan untuk mencegah stress, membantu relaksasi,
dan mudah tidur, meningkatkan sirkulasi tubuh, dan untuk mengurangi
nyeri.
d. Akupresur
Akupresure merupakan metode pengobatan dengan melakukan
penekanan pada titik akupuntur pada bagian tubuh tertentu yng
tujuanya untuk mengurangi nyeri dan stress (Ferrell, Coyle & Paice,
2015).
e. Exercise
Exercise yang diidentifikasi sebagai aerobic dan latihan ketahanan
untuk mengevaluasi program yang dilakukan untuk mengurangi gejala
pada pasien kanker. (Ferrell, Coyle & Paice, 2015).

5. Terapi Berbasis Energi


Terapi berbasis energy merupakan terapi alternative dan komplenter yang
menimbulkan efek dan mempengaruhi energy yang berada disekitar kita juga
dan energy yang berada di dalam tubuh.
a. Reiki
Reiki berasal dari bahasa jepang yang artinya energy kehidupan yang
universal (Berger, Tavares & Berger, 2013). Reiki merupakan terapi

104
modalitas yang berbasis energy dan sentuhan, dimana sentuhan yang
diberikan disertai dengan tekanan yang lembut atau ringan.
b. Qi Gong
Qi Gong merupakan bagaian dari pengobatan tradisonal cina, yang mana
qi gong mengkombinasikan gerakan, meditasi, dan pengaturan pernapasan
untuk meningkatkan aliran energy qi sebagai energy utama dalam tubuh
(Ferrell, Coyle & Paice, 2015).
c. Sentuhan terapeutik
Sentuhan terapeutik dimaknai dengan terapi yang berupa pertukaran
energy secara lansgung melalui tangan praktisi terapis yang bertujuan
untuk membantu proses penyembuhan. (Berger, Tavares & Berger, 2013).
d. Terapi polaritas
Terapi polaritas merupakan suatu keseimbangan antara energy dalam
tubuh yang terdiri dari unsure tanah, udara, api, air, dan angkasa raya.

105

Anda mungkin juga menyukai