LATAR BELAKANG
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mampu memberikan Asuhan Keperawatan Gangguan persepsi sensori:
Halusinasi
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk melakukan pengkajian terhadap pasien dan keluarga dengan
gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
2. Untuk merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dan keluarga
dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
3. Untuk menyusun perencanaan keperawatan pada pasien dan keluarga
dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
4. Untuk melaksanakan intervensi keperawatan pada pasien dan keluarga
dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
5. Untuk mengevaluasi pada pasien dan keluarga dengan gangguan persepsi
sensori : halusinasi pendengaran.
1.3 Manfaat
1. Bagi Pasien
Asuhan keperawatan ini diharapkan memberikan efek terapeutik kepada klien
dengan masalah gangguan kejiwaannya khususnya yang menderita gangguan
persepsi sensori: halusinasi
2. Bagi Keluarga Pasien
Keluarga diharapkan dapat mengetahui tanda dan gejala yang terjadi pada
pasien dengan gangguan persepsi sensori:halusinasi
3. Bagi Mahasiswa
Diharapkan dapat memberikan pembelajaran dan pengalaman yang nyata bagi
mahasiswa praktik dan dapat memberikan terapi kepada pasien dengan
gangguan persepsi sensori: halusinasi
4. Bagi Institusi Rumah Sakit
Sebagai bentuk tindakan keperawatan terapeutik dalam rangka memberikan
dampak rehabilitasi yang positif kepada pasien khususnya pada pasien dengan
gangguan persepsi sensori: halusinasi
BAB II
KONSEP TEORI
2.1 Konsep Dasar Halusinasi
2.1.1 Definisi
Halusinasi adalah persepsi klien yang salah terhadap lingkungan tanpa
stimulus yang nyata, memberi persepsi yang salah atau pendapat tentang
sesuatu tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata dan hilangnya
kemampuan manusia untuk membedakan rangsangan internal pikiran dan
rangsangan eksternal (Trimelia, 2011).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang
dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduaan tanpa adanya stimulus
yang nyata (Keliat, 2014).
Halusinasi adalah gangguan persepsi tentang suatu objek atau
gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar
yang dapat meliputi semua sistem penginderaan (Dalami, Ermawati dkk
2014).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
halusinasi adalah adanya gangguan persepsi sensori tentang suatu objek atau
gambaran dan pikiran sering terjadi yang dialami oleh pasien gangguan jiwa
berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan dengan
persepsi yang salah terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata.
2.1.2 Etiologi
1) Faktor Predisposisi
Menurut Yosep (2010) faktor predisposisi klien dengan halusinasi :
a) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentah terhadap stress.
b) Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
c) Faktor biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stres
yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan
suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stres
berkepanjangan menyebabkan teraktivitasnya neurotransmitter otak.
d) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa
depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata
menuju alam hayal.
e) Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2) Faktor Presipitasi
a) Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah, bingung, perilaku menarik diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan keadaan yang nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan
Heacock (1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan
atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun
atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spritual. Sehingga halusinasi dapat
dilihat dari lima dimensi yaitu :
(1) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang
sama.
(2) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi, isi daari halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi
menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat
sesuatu terhadap kekuatan tersebut.
(3) Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang
menekan, namun merupakan satu hal yang menimbulkan kewaspadaan
yang dapat menagmabil seluruh perhatian klien dan jarang akan
mengontrol semua perilaku klien.
(4) Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dari fase awal dan comforting
klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata sangat
membahayakan. Klien asik dengan halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial,
contoh diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi
halusinasi dijadikan ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung
keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang
menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta
mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi
dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
(5) Dimensi spritual
Secara spritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas,
tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara
spritual untuk menyucikan diri, irama sirkardiannya terganggu, karena ia
sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun terasa
hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi
lemah dalam upaya memjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan
orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.
2.1.3 Rentang Respon Neurobiologi
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Efek
Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi
Pendengaran
Core Problem Kerusakan Komunikasi Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi Pendengaran
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan dan proses
berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan yang telah
dilakukan kepada klien. Menurut Keliat (2014), evaluasi terhadap masalah
keperawatan halusinasi meliputi kemampuan pasien dan keluarganya serta
kemampuan keluarga dalam merawat pasien halusinasi. Beberapa hal yang
harus dievaluasi adalah sebagai berikut (Trimeilia, 2011):
1) Apakah klien dapat mengenal halusinasinya, yaitu isi halusinasi, situasi,
waktu dan frekuensi munculnya halusinasi.
2) Apakah klien dapat mengungkapkan perasaannya ketika halusinasi
muncul.
3) Apakah klien dapat mengontrol halusinasi dengan menggunakan empat
cara baru, yaitu menghardik, menemui orang lain dan bercakap-cakap,
melaksanakan aktivitas terjadwal dan patuh minum obat.
4) Apakah keluarga dapat mengetahui pengertian halusinasi, jenis halusinasi
yang dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi, dan cara–cara merawat
pasien halusinasi.
5) Apakah keluarga dapat merawat pasien langsung dihadapan pasien.
6) Apakah keluarga dapat membuat perencanaan follow up dan rujukan
pasien.